Ad Code

Mengapa Indonesia Mendukung Palestina

Konflik Palestina-Israel dan bagaimana sikap Indonesia perlu ditelusuri dari akar konflik territorial kedua pihak. Kedatangan kaum Yahudi ke Palestina paling tidak dimulai sejak ‘aliyah pertama pra Gerakan Zionis.

Saat itu imigran Yahudi dari Eropa relatif diterima rakyat Palestina, yang diantaranya dinyatakan Ilan Pappe (seorang intelektual Yahudi) sebagai “… the local Palestinians in most cases offered these newcomers some accomodation and advice on how to cultivate the land, something about the Zionist had little to no knowledge as they had been barred for centuries from being farmers or landowners in their home countries.”[1]

Sejarah Imigrasi Yahudi Eropa ke Palestina

Penduduk Palestina banyak mengajari imigran Yahudi Ashkenazi Eropa (terutama Eropa Timur) untuk mengolah tanah bagi pertanian dan peternakan yang kurang mereka kuasai. Ini mengingat di tempat asalnya (Eropa) mereka umumnya berprofesi sebagai buruh pabrik manufaktur maupun pedagang kaki lima.

Namun, keramahan yang ditawarkan bangsa Palestina tidak dibalas secara positif para imigran Yahudi Ashkenazi ini. Bahkan, tanggapan umum imigran Yahudi tahap awal ke Palestina agak berbeda dengan rakyat Palestina, di mana dengan mengutip Ibrahim Abu Lughod, Pappe melukiskan: “ … the denial and total disregard of the Palestinians in situ by early Zionist settlers shocked well-meaning but rather ineffectual Jewish European thinkers at the time.”[2] Inilah anehnya sikap umum para imigran Yahudi (terutama Ashkenazi) di Palestina, bantuan yang diberikan penduduk lokal Palestina tidak disikapi positif secara resiprokal. Pappe menambahkan bahwa terdapat persepsi di kalangan Yahudi imigran bahwa rakyat Palestina kurang menerima mereka, dan sikap ini terus bertahan hingga secara formal negara Israel diproklamasikan sepihak tahun 1948.[3]

Sejak diresmikannya pendudukan sepihak Israel atas Palestina 14 Mei 1948, hingga artikel ini disusun, belum ada penyelesaian yang bersifat permanen, final, dan adil antara dua bangsa semi-serumpun:[4]Israel dengan identitas keyahudiannya dan Palestina dengan identitas Arab dan Islamnya.

Jauh sebelum deklarasi sepihak berdirinya negara Israel tahun 1948, pun bahkan sebelum First Zionist Congress 29 Agustus 1887 di Basel Municipal Casino – yang dipimpin Theodore Herzl dan yang dihadiri 16 kelompok Yahudi Askhenazi dan Sephardi – sudah ada aliran migrasi Yahudi Ashkenazi yang disponsori keluarga Rothschild.[5] Rothschild bahkan mengingatkan Theodore Herzl – Herzl ini seorang Askhenazi kelahiran Budapest, yang dicap Rothschild sebagai agitator politik – dan Chaim Weizmann (Askhenazi Russia, yang dicap Rothschild sebagai bodoh) agar jangan mengganggu proyek ‘aliyah (imigrasi Yahudi gradualnya) ke Palestina yang selama ini berjalan lancar.

103736713-grunge-palestine-flag-palestine-flag-with-grunge-texture-brush-stroke-


Namun, akhirnya Rothschild pun melihat keuntungan dari gerakan Zionis Herzl dan Weizmann lalu berbalik mendukungnya. Dengan demikian ‘aliyah kedua adalah kolaborasi antara Gerakan Zionis dan Rothschild, dan atas Gerakan politik Yahudi Eropa ini, reaksi rakyat Arab di Palestina adalah berdirinya organisasi Al-Fatah di Perancis tahun 1911 dengan basis komandonya di Damaskus. Sikap resmi Al-Fatah sebagai Gerakan perlawawan atas Aliyah Kedua Yahudi Eropa adalah anti-Inggris dan anti-Zionis.

Apabila ditelusuri lebih lanjut, jauh sebelum Herzl menerbitkan Der Judenstaat, proto-Zionis sesungguhnya telah bermunculan. Tujuan kaum proto-Zionis ini utamanya hendak tinggal di kota-kota Palestina yang mereka anggap suci seperti Yerusalem, Hebron, Tiberias, dan Safed.

Salah satu dari mereka adalah Mordecai Manuel Noah (1785-1831), seorang diplomat, penulis, dan pemilik surat kabar di Amerika Serikat. Tahun 1818, Noah menyerukan agar 7 juta Yahudi berangkat ke Suriah (maksudnya Palestina dan wilayah subur bulan sabit) dan menduduki jabatan tinggi di aneka pemerintahan negara yang ada di muka bumi. [6] Noah juga menyerukan dikerahkannya 100 ribu tentara Yahudi untuk menaklukan tanah air kuno Yahudi: Palestina. Tahun 1844, Noah juga mengajukan usul agar wilayah utara New York, dekat perbatasan Kanada, diberikan ‘devolusi’ sebagai wilayah khusus kaum Yahudi.

Proto-Zionis lainnya adalah Yehuda Alkalai (1798-1878), rabi Serbia kelahiran Yerusalem. Alkalai menulis tentang restorasi negara-bangsa Yahudi di bukunya Minhat Yehuda tahun 1843. Alkalai adalah Yahudi Ortodoks pertama yang menyeru Yahudi untuk kembali ke Palestina secara damai. Berbeda dengan Noah yang menganjurkan perjuangan bersenjata, Alkalai menganjurkan para Yahudi kaya untuk mengumpulkan uang guna membeli wilayah Palestina dari Sultan Utsmani. [7] Seperti sudah umum diketahui, upaya pembelian tersebut ditolak oleh Sultan Abdul Hamid II.

Proto-Zionis lainnya Zvi Hirsch Kalischer (1795-1874), seorang rabi Yahudi Ortodoks di Thorn, Prussia. Tahun 1862 ia mempublikasikan karyanya Derishat Zion (Mencari Sion). Ia menolak asimilasi dan aliran Yudaisme Refomis. Kalischer berkeras bahwa kembali ke Palestina adalah cara untuk menghindari asimilasi dan pembaruan Yudaisme. Kalischer ini bahkan telah mendirikan sejumlah pemukiman agrikultur Yahudi di Palestina, lewat organisasi yang didirikan di Berlin tahun 1864 bernama Central Committee for Palestine Colonization. Bagi Kalischer, nasionalisme Yahudi adalah energi penting bagi Dunia Yahudi. [8]

Senada dengan Kalischer, tetapi beda motivasinya karena lebih sekuler, Proto-Zionis lainnya adalah Moses Hess (1812-75), mentor intelektual Karl “Moses Mordecai” Marx (penulis Manifesto Komunis, bersama Friedrich Engels). Ia sempat beraliran kiri, tetapi kemudian kembali ke akar keyahudiannya. Tahun 1862 Hess menulis Rom und Jerusalem (Roma dan Yerusalem). Ia menekankan bahwa Yahudi adalah sebuah entitas bangsa, sama seperti bangsa-bangsa lain. Bagi Hess, kesetaraan hidup kaum Yahudi hanya akan terjadi di sebuah Negara Yahudi, bukan di wilayah diaspora.[9] Hess terus mendengungkan diperhebatnya sentimen nasionalisme Yahudi.

Proto-Zionis lainnya diwakili sebuah organisasi bernama Hibbat Zion (Cinta pada Sion), dengan ideolognya Dr. Leon Pinsker (1821-91). Pinsker adalah seorang dokter yang awalnya mendukung asimilasi sebagai solusi masalah keyahudian dengan masyarakat asli tempat mereka berdiaspora. Pogrom Rusia lalu mengubah pandangannya. Tahun 1882 ia menulis buku Auto-Emancipation yaitu serupa pamflet tentang reperkusi Yahudi Ashkenazi Rusia. Bagi Pinsker, antiSemitisme sifatnya abadi dan sebab itu tahun 1884 ia mengorganisir Konferensi Kattowitz di Polandia, dengan hasil berdirinya organisasi Hibbat Zion. Tahun 1890, Hibbat Zion memiliki 138 cabang lokal dengan 14 ribu anggota. Tujuan organisasi ini adalah mendirikan aneka koloni pertanian di Palestina, lengkap dengan pabrik yang dijalankan oleh orang-orang Yahudi.[10]

Sebelum Hibbat Zion, tahun 1882 juga telah berdiri gerakan Bilu (sebuah singkatan yang dalam bahasa Ibrani yang artinya ‘Oh rumah Yakub, datanglah kamu dan bawa kami pergi'). Bilu didirikan oleh para mahasiswa Yahudi di Kharkov (Russia) dengan tujuan berimigrasi ke Palestina. Bilu telah mendirikan 2 koloni di Palestina, satu berlokasi di Rishon-le-Zion dan satu di Gedara.[11]

Sejalan dengan gerakan Bilu, sekelompok Yahudi Ashkenazi (dari Rumania dan Rusia) juga telah mendirikan sejumlah koloni di Palestina lewat ‘aliyah Pertama yang waktunya berkisar antara 1882 – 1903. Tahun 1903, 25 ribu pendatang Yahudi Ashkenazi telah mukim di Palestina dan mengambil 1,5% total area Palestina, dengan wilayah utama di Jaffa (Tel Aviv) dan mendirikan 700 peternakan.[12] Bilu ini didukung pendanaan oleh Baron Edmond de Rothschild, cabang Perancis dari Keluarga Rothschild.

Rothschild adalah figur kuat bagi para pemukim Yahudi di ‘aliyah Pertama dan tahun 1899 berdirilah Palestine Jewish Colonization Association. Turki kemudian melarang ‘aliyah Pertama tahun 1891, dan Rothschild pun mengarahkan ‘aliyah ke Amerika Serikat.[13] Proto-Zionis lainnya disuarakan Asher Ginsburg, yang lahir di Ukraina dari keluarga Hasidim yang kaya-raya (mengenai Ginsburg ini, akan dibahas kemudian).

Tibalah kini dimulai peran gerakan Zionis formal dan banyak dikenal itu dengan Theodore Herzl sebagai motornya. Pada tanggal 17 Januari 1896 Herzl menerbitkan bukunya Der Judenstaat yang edisi pertamanya dimuat di Jewish Chronicle, sebuah surat kabar di Inggris.[14] Buku itu tipis, cuma 86 halaman.

Di buku itu, Herzl berasumsi bisa saja negara Yahudi didirikan di Argentina, karena di sana ada milioner Yahudi bernama Baron Maurice de Hirsch, yang sukses membangun koloni yang terdiri atas 6 ribu kaum Yahudi. Atau, di Palestina di mana Rothschild sudah merintisnya.[15] Herzl melakukan aneka lobi dengan pemerintah Inggris. Dicarilah alternatif ke mana migrasi Yahudi (terutama Askhenazi) diarahkan.

Dalam rintisan awal impiannya, Herzl mendapat penolakan dari para rabi Yahudi Ortodoks, Yahudi Reformis, para Yahudi penguasa keuangan Eropa dan Amerika Latin (Rothschild, Hirsch, dan Moritz Benedikt).

Dukungan awal padanya malah datang dari Nathan Birnbaum (pemimpin mahasiswa Yahudi di Wina, Austria), Herman Adler (pemimpin kepala para rabi Askhenazi di Inggris), Moritz Gudemann (kepala rabi Wina, Austria), dan Max Nordau (faylasuf Yahudi yang sukses dengan bukunya Entartung (dalam Bahasa Jerman) atau Degeneration (dalam Bahasa Inggris) yang terbit di London 1895).[16] Ironisnya, dukungan riil atas Herzl terutama datang dari kaum Yahudi Askhenazi miskin asal Eropa timur. Herzl pun menarik perhatian David Ben-Gurion (Askhenasi Rusia-Polandia) dan Chaim Weizmann. Bagi mereka, Herzl adalah messiah. Herzl pun beroleh dukungan dana dari Daniel Wolffsohn, pedagang kayu dari Cologne (Jerman), yang kelak melanjutkan kepemimpinan Zionis internasional bersama dengan Weizmann.

Karena terus dibanjiri pengungsi Askhenazi dari Rusia, pemerintah Inggris membentuk Royal Commission on Alien Immigration (RCAI) tahun 1902, dengan Lord Rothschild sebagai salah satu anggotanya. Kini Rothschild bersedia untuk melakukan negosiasi dengan Herzl, tetapi tidak secara terbuka melainkan pribadi. Herzl kini menemukan sumber kekuatan terbesarnya: Dukungan Rothschild lengkap dengan koneksi politik dan sumber daya uang.

Komisi merekomendasikan bahwa untuk sementara waktu aliran imigran Askhenazi ke Inggris tidak boleh ditolak, sambil mencapai tujuan utama yaitu menemukan wilayah yang secara legal akan diakui oleh hukum internasional sebagai milik mereka (kaum Yahudi). [17]

Dukungan Rothschild pun memungkinkan Herzl mengakses Joe Chamberlain (Menteri Kolonial Inggris) dan Marquess of Lansdowne (Menlu Inggris). Dari keduanya, Siprus dan El-Arish (di perbatasan Mesir) sempat diperbincangkan sebagai wilayah target penempatan kaum Yahudi. Siprus (sebuah pulau) tidak diperhitungkan Herzl. Untuk El-Arish sendiri, setelah dilakukan survey oleh Inggris atas para penduduknya, ternyata masyarakat Arab-Mesir di sana menolaknya.

Petinggi Inggris membujuk kaum Zionis dengan menawarkan Uganda. Tawaran atas Uganda ini, menurut Chamberlain, ditanggapi Herzl dengan penolakan sentimental.[18] Selain itu, tawaran atas Uganda juga ditolak Kongres Zionis ke-7 tahun 1905. Dengan demikian disimpulkan, Palestina adalah tempat sasaran untuk pembangunan negara Yahudi versi Herzl, dan tentu sesuai kehendak Herzl dan para proto-Zionis sebelumnya. Sungguh disayangkan, Inggris tidak terlebih dahulu melakukan survey persetujuan atas penduduk Palestina seperti Chamberlain lakukan atas penduduk El-Arish di Mesir sebelumnya. Dalam tahap lobi politik ini, Herzl meninggal di usia 44 tahun. [19]

Kepemimpinan Zionis lalu diambil-alih Chaim Weizmann. Weizmann saat itu juga berprofesi dosen biokimia di Manchester University (Inggris). Dengan dukungan dukungan Rothschild, Weizmann bahkan mampu melobi Perdana Menteri Inggris, Lloyd George.

Dukungan George atas gerakan Zionis diwujudkan dengan pengangkatan atas Arthur Balfour sebagai Menteri Luar Negeri Inggris. George (PM Inggris dari Partai Konservatif, juga seorang Zionis non Yahudi) dan Balfour – juga dari Partai Konservatif – adalah pendukung garis keras Balfour dan gerakan Zionis. Seperti yang umum telah diketahui, kelompok Zionis ini kemudian mendominasi para petinggi politik di Inggris di era PM Lloyd George.

Pada sisi lain, kalangan Yahudi Ortodoks memandang Zionis secara lebih kritis. Gerakan Zionis bukan sekadar mereka anggap wujud gerakan kaum Barat sekuleris, melainkan lebih jauh, mereka identikkan dengan gerakan kaum ateis. Bahkan baik Theodore Herzl maupun Nordau sama sekali tidak tahu ‘syari’at’ agama Yahudi.

Namun, baik Yahudi Ortodoks maupun sekuler dan ateis – dengan asumsi mereka masing-masing – kini bertemu di satu titik: Sama-sama mendukung berdirinya negara Yahudi di Palestina. Asumsi kaum Yahudi Ortodoks adalah merasa nantinya akan mampu mengeksploitasi gerakan Zionis untuk kepentingan pelaksanaan ‘syari’at’ Yahudi secara penuh di Palestina.

Pada sisi lain, bagi kelompok Yahudi relijius yang telah lama hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat Arab-Islam di Palestina justru melihat Zionisme itu sebagai sebuah horror, setidaknya itulah komentar Rabi Joseph Hayyim Sonnenfeld. Saat Theodore Herzl datang mengunjungi Palestina, Sonnenfeld tercatat pernah berkata: “ …. Evil entered with him, and we do not yet know what we have to do against the destroyers of the totality of Israel, may the Lord have mercy.” [20] Proses pengesahan kolonialisasi Yahudi di Palestina sepenuhnya berjalan di bawah Brittish Mandate. [21]

Pada bulan Januari 1917, pasukan Inggris memulai proses penaklukan Palestina. Di tahun yang sama, tepatnya pada bulan Oktober, juga meletus Revolusi Bolshevik di Rusia yang dipimpin Vladimir Ilyich Ulyanov (Lenin) dan Leon Trotsky (nama aslinya Leoba Bronstein, seorang Yahudi Askhenazi).

Rata-rata jabatan sebagai anggota Politbiro Diktator Proletariat Rusia diduduki Yahudi Askhenazi sehingga sebagai akibatnya, pogrom Yahudi yang dulu dijalankan Tsar Nicholas II otomatis berhenti. Pogrom kini berbalik yaitu kini diarahkan pada etnis asli Rusia, terutama kalangan intelektual dan profesionalnya.

Jutaan etnis Rusia kehilangan nyawanya dalam pembalasan ini termasuk para petani, rohaniawan Kristen Orthodox, para guru, budayawan, dan kaum intelektual mereka. Bahkan Perdana Menteri Provisional Rusia saat itu, Kerensky (seorang Yahudi Askhenazi) membatalkan semua aturan anti-Semit yang pernah diberlakukan oleh Tsar di masa sebelumnya. Dengan berhasilnya pogrom oleh para politisi Yahudi Askhenazi, Rusia seharusnya sudah aman bagi mereka sehingga tidak perlu lagi ada migrasi ke Palestina. Namun, bukan penghentian proses migrasi Yahudi ke Palestina yang terjadi, malah sebaliknya, proses imigrasi Yahudi Ashkenazi (terutama dari Rusia) malah membludak.

Di aras politik tingkat tinggi, Weizmann terus mendesak Inggris agar segera memberikan Palestina kepada mereka. Terlebih, Amerika Serikat pun ikut serta dalam Perang Dunia I, dan otomatis menjadi pendukung kuat gagasan penjajahan Yahudi di Palestina. [22] Halangan utama datang dari Perancis, yang masih dihantui kasus pengkhianatan Dreyfus. Dreyfus adalah perwira Perancis berdarah Yahudi yang dicurigai Perancis menjadi mata-mata Inggris. Saat itu Inggris dan Perancis terlibat rivalitas dalam menjadi hegemon di Eropa Barat. 

Selain kasus pengkhianatan Dreyfus, Perancis – yang diwakili Georges Picot dalam pengkaplingan wilayah Kesultanan Utsmani yang direbut sekutu – juga menyebut ada keberatan yang didasarkan atas kepentingan orang-orang Arab Palestina atau aneka departemen pemerintahan yang mewakili mereka (Palestina).[23]

Namun, Palestina saat itu kurang terorganisir sehingga peluang adanya dukungan dari Perancis tidak bisa dimanfaatkan kaum Arab-Palestina secara organisasi dan maksimal. Melihat celah ketidaksiapan aliansi Perancis-Palestina itu, Inggris melalui agen mereka Kolonel T. E. Lawrence (Lawrence of Arabia) terus merangsek dan memastikan rencana negara Yahudi di Palestina terwujud.

Walter Rothschild, kepala komunitas Yahudi di Inggris, bertukar surat dengan Arthur Balfour. Weizmann terus mempersuasi Walter Rothschild, sehingga salah satu keturunan Rothschild ini mau memberikan draft kaum Zionis kepada Arthur Balfour tanggal 18 Juli 1917.

Ada tiga poin inti dalam draft tersebut, yaitu: (1) rekonstitusi Palestina secara menyeluruh sebagai rumah bangsa Yahudi; (2) hak tanpa batas bagi imigrasi Yahudi; dan (3) Otonomi internal Yahudi. [24] Draft Rothschild ini tidak disetujui Parlemen Inggris hingga 31 Oktober 1917, dan persetujuan yang diberikan parlemen Inggris pun kemudian ternyata tidak meloloskan tiga inti draft yang Rothschild (juga Weizmann tentunya) diktekan.

Kabinet Inggris justru mengubah draft tersebut lalu disampaikan tanggal 2 November 1917 dengan sikap intinya yaitu “it no longer equated Palestine with the national home, it had no reference to unrestricted Jewish immigration or internal rule, and it safeguarded the rights of the Arabs.” [25]

Catatan ‘keras’ sebagai hasil negosiasi para anggota Parlemen Inggris, lengkapnya berbunyi sebagai berikut:

“His Majesty’s Government view with favour the establishment in Palestine of a national home for the Jewish people, and will use their best endeavours to facilitate the achievement of this object, it being clearly understood that nothing shall be done which may prejudice the civil and religious rights of existing non-Jewish communities in Palestine, or the rights and political status enjoyed by Jews in any other country.” [26]

Chaim Weizmann menganggap keputusan Parlemen Inggris yang dikenal sebagai Dekralasi Balfour jauh dari harapan dan kekecewaan itu ia sampaikan pada Sir Mark Sykes (kepala delegasi perundingan Inggris dengan Perancis).

Saat Deklarasi Balfour ditetapkan, di antara 600 ribu penduduk yang menghuni wilayah Palestina, terdapat 85 ribu sampai 100 ribu Yahudi. Apabila jumlah Arab-Palestina yang besar ini terorganisasi secara baik, Deklarasi Balfour pasti akan ditolak dan jadi pepesan kosong belaka karena Perancis, yang memiliki bargain politik dan militer cukup kuat, saat itu tengah bersaing dengan Inggris dalam pengkaplingan wilayah bekas Kesultanan Utsmani. Pada sisi lain, di kalangan petinggi Inggris sendiri pemahaman atas Deklarasi Balfour beragam.

Saat itu hanya sedikit pejabat senior Inggris yang memahami makna Deklarasi tersebut. Satu atau dua di antara mereka dapat disebut sebagai pro Yahudi, lainnya justru teridentifikasi sebagai anti-Semit, sementara sejumlah besar lainnya justru pro-Arab dan mengganggap kaum Yahudi Askhenazi yang menetap di Inggris sebagai ‘sampah’ Bolshevik-komunis. [27] Bahkan seorang Jenderal Inggris, Sir Wyndham Deedes, mengirim surat yang ia ketik sendiri kepada Chaim Weizmann yang isinya “You had better read all of it with care. It is going to cause you a great deal of trouble in the future.” [28] Apa yang disuruh Jenderal Deedes untuk dibaca Weizmann? Itu tidak lain adalah salinan dari The Protocols of the Elders Zion. Salinan tersebut dibawa oleh misi militer Inggris yang bekerja sama dengan Tsar Nicholas II di Kaukasus dan Jenderal Deedes meyakinkan bahwa kini seluruh pejabat Inggris di Palestina telah memiliki salinan tersebut. [29]

Apa yang diperingatkan Jenderal Deedes terjadi di masa kemudian, pasukan teroris Zionis banyak menyerang pasukan keamanan Inggris. Hal terpenting adalah, kesewenangan Zionis disikapi perlawanan tanpa henti rakyat Palestina dan negara-negara Arab dan non Arab yang mendukungnya.

Salah satu lawan dari Zionisme politik Theodore Herzl adalah Asher Ginsberg (nama Yahudinya Ahad Ha-Am). [30] Perilaku militeris pengikut Herzl (Weizmann, David Ben-Gurion, Vladimir Jabotinsky, dan Menachem Begin) mendorong Ginsberg berupaya menciptakan pusat spiritual di Tanah Israel dengan tujuan menghapus perilaku dekaden dan ‘hampir matinya’ spiritualitas para Yahudi diaspora.

Sebelum Herzl mengadakan Kongres Zionis pertama, Ginsberg adalah pengkritik tajam upaya pendudukan paksa imigran Yahudi di Palestina. Ginsberg adalah Zionis pertama yang mengajak seluruh elemen Zionis melihat realitas populasi Arab di Palestina dan potensi konfrontasi dengan mereka. [31] Ginsberg tetap seorang Zionis, tetapi lebih ke arah kultural. Varian lain dari Zionisme Herzl adalah kelompok Mizrahi (diaspora Yahudi di Iran) yang menerima Zionisme secara nominal, karena lebih menekankan pada ketaatan dalam aspek nasionalisme-religius.

Karena motivasi dasarnya adalah memberikan wilayah politik bagi kaum Yahudi Azkhenazi maka mereka yang non Yahudi, termasuk non Yahudi Azkhenazi mengalami disorientasi. Hal yang dipahami bangsa Palestina adalah bahwa sejak era Turki Utsmani, mereka adalah penggarap utama dan otonom tanah Palestina.[32] Sejak 1948 hingga saat ini wilayah negara Palestina terus menyusut hingga sekadar ‘pulau-pulau’ kecil tak beraturan yang dikepung ‘lautan luas’ wilayah Israel.

Setiap komunitas Palestina di satu distrik yang ingin berkunjung ke distrik lain selalu wajib melalui wilayah keamanan Israel. Apapun resolusi PBB yang mengatur soal konflik bangsa Palestina dengan Israel (yang mayoritas dikendalikan imigran Yahudi Azkhenazi) tidak satupun dipatuhi oleh Israel, karena Amerika Serikat terus memvetonya.

Namun, bagi bangsa Palestina, hidup adalah perjuangan. Manakala mereka lemah secara politik, maka selain tentunya memohon pertolongan dari Allah SWT, juga melakukan ikhtiar baik melalui perjuangan fisik maupun mensosialisasikan masalah mereka kepada negara-negara saudara Muslim mereka. Salah satu negara yang kerap dijadikan sandaran perjuangan rakyat Palestina adalah Indonesia.


Alasan Indonesia Dukung Palestina Merdeka

Mukadimah UUD 1945 menyatakan “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”[33] Demikian Mukadimah konstitusi yang disusun oleh para Bapak Pendiri Indonesia yang mayoritas Muslim.

Mukadimah disusun tahun 1945 dan wajar manakala tahun 1948 penjajahan Israel atas Palestina resmi diproklamasikan, Indonesia menyikapinya sebagai bentuk pelanggaran konstitusi Indonesia. Para Bapak Pendiri Bangsa Indonesia dan pemimpin-pemimpin politik setelahnya (dari Sukarno sampai Joko Widodo) tidak satu pun resmi mengakui negara Israel dan membangun hubungan diplomatik. Dalam hal Palestina politik luar negeri Indonesia selalu berpihak terhadap kemerdekaan bangsa Palestina untuk berdiri sebagai sebuah bangsa yang punya wilayah, penduduk, pemerintahan, dan diakui oleh negara lain sebagai syarat berdirinya suatu negara dalam hukum internasional.

Apabila didasarkan logika materialistik semata, pemihakan Indonesia atas Israel tentu kurang menguntungkan. Banyak negara Arab berpenduduk mayoritas Muslim seperti Mesir, Turki, dan Arab Saudi punya hubungan diplomatik resmi dengan Israel. Israel, kendati kecil, memiliki lobi sangat kuat di negara-negara besar karena kekuatan para bankir, pengusaha, dan pemilik media mainstream rata-rata Yahudi.

Lobi Israel di Amerika Serikat misalnya, mampu mempengaruhi politik luar negeri negara tersebut. Lobi-lobi Israel melalui kelompok-kelompok penekan mereka seperti AIPAC, ADL, atau AJC beroperasi baik di Gedung Putih maupun Kongres, seperti juga diungkap sejumlah penulis berpengaruh Yahudi sendiri seperti John Mearsheimer, Ilan Pappe, Noam Chomsky, ataupun Norman Finkelstein.

Aneka tulisan mereka yang kritis tentang negara Israel, Gerakan Zionis, dan Zionisme, membuka selubung yang menutupi betapa sangat erat kaitan aneka lobi Yahudi dengan politik luar negeri Negara Barat berpengaruh (terutama Amerika Serikat) atas Palestina. Lobi Yahudi terus memastikan bahwa bantuan luar negeri Amerika Serikat yang terbesar adalah untuk Israel. Juga, lobi Yahudi bisa memutus bantuan Amerika Serikat pada negara yang memusuhi Israel, termasuk faksi-faksi di dalam Palestina.

Dengan demikian, sebuah pilihan kurang menguntungkan bagi Indonesia memihak kemerdekaan Palestina dan tidak menyetujui dibukanya hubungan diplomatik dengan Israel. Potensi ekonomi, sumberdaya manusia (tenaga ahli), militer, dan politik Palestina tidak setara dengan Israel dan pengaruhnya atas Amerika Serikat (juga Inggris).

Padahal, di dalam politik internasional, kepentingan nasional adalah hal pokok yang harus diperhatikan. Hubungan dengan Israel akan lebih memuluskan jalan bagi Indonesia dalam memperoleh dukungan Amerika Serikat dalam hal stabilitas nilai tukar Rupiah-Dollar, bantuan militer, bantuan ekonomi dan sosial, serta bantuan pengaruh dalam politik internasional.

Apa pun perilaku politik negara yang tidak disukai oleh Israel pasti akan mereka ‘balas’ dengan lobi-lobi mereka di Gedung Putih dan Kongres Amerika Serikat, seperti sudah dialami Libia (masa Ghadaffi), Afghanistan, Lebanon, Suriah, dan Iran. Paragraf-paragraf ini hanya hendak memberikan gambaran alangkah lebih menguntungkan bagi Indonesia apabila mendukung berdirinya negara Israel lalu menjalin hubungan diplomatik resmi dengan mereka ketimbang terus mendukung kemerdekaan Palestina. Terlebih saat ini, di mana Palestina tidak lebih hanya berupa aneka ‘pemukiman terserak’ di dalam negara Israel. Yerusalem, kota suci tiga agama, yang awalnya menjadi bagian Palestina, saat Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump – dengan Jared Kushner, menantu Trump yang Yahudi Ortodoks selaku penasehatnya – dirancang berubah menjadi ibukota Israel, menggantikan Tel Aviv.

Sebab itu, perlu ditelusuri kepentingan apa sesungguhnya yang melandasi Indonesia terus mendukung berdirinya negara Palestina merdeka. Pemihakan terhadap Palestina merdeka bahkan terus dipertahankan setelah politik global bersifat unilateral, dengan Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara dengan kekuatan militer, ekonomi, dan politik terkuat dunia. Kendati saat ini Cina dan Rusia adalah penantang kuat hegemoni Amerika Serikat.

Memang, saat ini Amerika Serikat – terkesan menjadi sekadar negara “cabang” Israel, negara yang percetakan uangnya dimiliki perusahaan swasta yaitu Federal Reserve [34] ---tengah mendapat tentangan politik, ekonomi, dan militer dari dua kompetitor utamanya: Cina dan Rusia. Namun, dengan dukungan para ilmuwan yang berkolaborasi dengan militer, Amerika Serikat masih dapat melakukan perang dalam ‘bentuk lain’ terhadap mereka dengan tujuan melemahkan kemampuan ekonomi kedua negara.

Misalnya melalui perang-perang dalam konteks biopolitik seperti persebaran virus dan bakteri yang ditujukan dalam mewujudkan rasa panik. Apabila dipelajari dalam sejarah yang belum terlalu lama, rencana-rencana invasi Amerika Serikat ke Iraq, Afghanistan, dan Libya merupakan seruan dari lobi-lobi Yahudi relung-relung Gedung Putih dan Kongres. [35] Kini, lobi-lobi Zionis Israel di Amerika menyasar agar pemerintah Amerika Serikat menginvasi Iran dan Suriah. [36]

Namun, sebagian besar rakyat Amerika Serikat tidak lagi sebodoh dulu, saat begitu saja menerima keputusan Bush untuk menyerang Iraq dengan casus belli senjata pemusnah massal Iraq yang ternyata fiktif. Casus belli yang sama kemungkinan gagal diciptakan oleh aneka lobi Yahudi guna meyakinkan rakyat Amerika Serikat untuk kedua kalinya.

Sejalan dengan pilihan Indonesia untuk terus mendukung kemerdekaan Palestina sebagai sebuah negara berdaulat, maka secara logis pilihan Indonesia untuk terus melakukannya dan tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel adalah sebuah anomali.

Apabila alasannya adalah bahwa rakyat Indonesia mayoritas Muslim dan dengan demikian lebih memilih pro Palestina daripada berhubungan diplomatik resmi dengan Israel juga kurang signifikan. Mesir, Turki, dan Arab Saudi, tiga negara mayoritas Muslim utama saat ini pun ternyata memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Israel. Hal tersebut tidak merupakan masalah bagi rakyat di ketiga negara. Juga, tidak ada protes signifikan dari publik Islam Indonesia agar pemerintah Mesir, Turki, dan Arab Saudi memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel seperti pemerintah Indonesia tidak memilikinya. Hubungan rakyat Indonesia dengan rakyat Arab Saudi, Mesir, dan Turki terus berjalan hingga saat ini.

Dengan demikian perlu dicari alasan yang bisa dipahami mengapa Indonesia lebih memihak kemerdekaan Palestina, yang tentu tidak menyenangkan Israel dan Amerika Serikat. Sebab dalam konteks politik global, kepentingan nasional merupakan rujukan utama suatu negara menjalin hubungan dengan negara lain. Cina tidak mungkin menjalin hubungan dengan Rusia apabila hubungan tersebut tidak menguntungkan mereka. Indonesia tidak mungkin menjalin hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat apabila hubungan tersebut tidak menguntungkan Indonesia. Timor Leste tidak mungkin menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia apabila hubungan tersebut tidak menguntungkan mereka. Lalu mengapa Indonesia lebih memilih memihak pada kemerdekaan Palestina ketimbang Israel?

Persoalan kepentingan nasional, dengan demikian, merupakan suatu hal yang perlu dikaji lebih lanjut dalam kasus Indonesia yang berkepentingan atas merdekanya Palestina agar berdaulat di tanah airnya sendiri.

Konsep kepentingan nasional sebagai dasar penentuan sikap politik luar negeri suatu negara. Dengan konsep kepentingan nasional maka perilaku Indonesia terhadap Palestina tersebut akan dapat dipahami. Kepentingan nasional suatu negara adalah pedoman politik luar negeri suatu negara. Kepentingan nasional mengarahkan politik bilateral ataupun multilateral. Kepentingan nasional yang terdefinisi secara baik oleh pemerintah suatu negara akan mendorong munculnya karakter negara tersebut di kancah perpolitikan internasional. Dengan demikian artikel ini menyimpulkan dua hal, yaitu: (1) Dukungan Indonesia atas kemerdekaan Palestina sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia, dan (2) Tujuh rezim politik yang pernah berkuasa di Indonesia, seluruhnya memberikan dukungan atas kemerdekaan Palestina dari Israel dengan sejumlah variasi.


Argumentasi Dukungan Indonesia atas Palestina

Kepentingan nasional adalah konsep yang umum dipelajari dalam studi politik internasional. Kepentingan nasional adalah dasar suatu negara merancang politik luar negeri dan berpolitik secara internasional. Juga, kepentingan nasional adalah alasan mengapa Indonesia terus mendukung kemerdekaan Palestina.

Menurut Andrew Heywood, kepentingan nasional adalah “ … foreign policy goals, objectives or policy preferences that benefit a society as a whole.” [37] Bagi Heywood, konsep kepentingan nasional lebih banyak digunakan kaum realis dalam politik internasional sebab berkaitan dengan keamanan nasional, dampak sistem internasional yang anarkis, dan kebertahanan hidup suatu negara. Kepentingan nasional adalah tujuan politik luar negeri suatu negara, yaitu rangkaian pilihan kebijakan yang dianggap akan memberi manfaat bagi suatu negara secara keseluruhan.

Menurut Heywood, konsep kepentingan nasional sifatnya sangat subyektif, berubah-ubah, bergantung pada siapa yang mendominasi rezim suatu negara. Kepentingan nasional Israel di era Yitzhak Rabin (yang diasasinasi) kemungkinan berbeda dengan di era Ehud Barak ataupun Benyamin Netanyahu yang ‘brutal.’ Dengan demikian, bagi Heywood, konsep kepentingan nasional adalah konsep yang sifatnya ambigu dan menjebak apabila ia dilepaskan dari konteks perumusan suatu negara tanpa menganalisis siapa rezim yang tengah memegang kekuasaan saat itu.

Penjelasan lain mengenai kepentingan nasional diberikan oleh Steven L. Lamy, et.al. Menurut mereka, kepentingan nasional merupakan artikulasi kebijakan luar negeri, dan kepentingan nasional sendiri, yang berarti “ … the material and ideational goals of a nation-state.” [38] Kedua macam tujuan tersebut, baik material maupun ideasional, harus dipenuhi dalam politik luar negeri suatu negara.

Makna material adalah tujuan yang berbentuk seperti perjanjian dagang, sumberdaya energi, bahkan kendali atas teritori strategis (yang umumnya dilakukan lewat perang, baik konvensional maupun non konvensional). Makna ideasional termasuk promosi nilai-nilai, norma-norma, dan gagasan kebijakan yang bisa menguatkan keamanan dan kesejahteraan negara yang menyusunnya.

Apabila Heywood menyebut kepentingan nasional sebagai sebuah konsep yang ambigu, atau dan Steven L. Lamy, et.al. membedakannya sebagai tujuan yang bersifat material ataupun ideasional, maka Jean-Marc Coicaud & Nicholas J. Wheeler menekankan pada gagasan kekuasaan dan kekuatan. [39] Menurut Coicaud & Wheeler, kepentingan nasional adalah “ … self-interest of nations, how states envision their defence and projection of power beyond their borders.” [40] Kepentingan diri suatu bangsa adalah kata kunci dalam memaknai kepentingan nasional. Pemaknaan tersebut di seputar bagaimana suatu negara memandang pertahanan diri mereka, juga proyeksi kekuasaan di luar batas wilayah mereka. Pandangan semacam ini umum dianut kaum realis politik internasional.

Kepentingan diri ini harus mempertimbangkan bagaimana negara itu menakar pertahanan dan kekuatan mereka di luar batas yuridiksi hukumnya. Juga, Coicaud & Wheeler membagi kepentingan nasional ke dalam kepentingan yang oleh suatu negara dianggap sebagai inti atau vital seperti keamanan serta lainnya, yang bersifat sekunder dan umumnya lebih bersifat promosi nilai-nilai. Coicaud & Wheeler menandaskan bahwa penentuan kepentingan nasional yang sifatnya vital dan sekunder bergantung pada pemahaman geopolitis setiap negara di dalam hubungan internasional.

Sebab itu, penentuan yang primer dan sekundernya kepentingan nasional suatu negara bergantung pada konteks kepentingan nasional tersebut didefinisikan. Juga, definisi Coicaud & Wheeler ini mirip dengan Lamy, et.al. yang membagi kepentingan nasional menjadi bersifat material dan nilai, yang sifatnya kasuistik bagi setiap negara. Jika Lamy, et.al. tidak menentukan mana yang lebih penting dari kepentingan yang bersifat material dan ideasional, maka Coicaud & Wheeler menyebut yang bersifat material dan kekuatan lebih penting ketimbang promosi nilai-nilai suatu negara ke luar batas yuridiksinya.

Politik global saat ini tidak hanya didominasi oleh kaum realis melainkan kini muncul kaum konstruktivis yang punya pemahaman tersendiri mengenai konsep kepentingan nasional. Salah satu eksponen kaum konstruktivis adalah Alexander Wendt, yang mendefinisikasi kepentingan nasional sebagai “ … as the objective interests of state-society complexes, consisting of four needs: physical survival, autonomy, economic well-being, and collective self-esteem.” [41]

Berbeda dengan kaum realis yang mengasumsikan negara (state) sebagai satu-satunya aktor dalam politik global, kaum konstruktivis menganggap aktor dalam politik global adalah negara plus civil societynya.Kepentingan nasional lahir dari interaksionalisme simbolik antara negara dan civil society. Negara harus menyuarakan kepentingan rakyatnya dalam mendefinisikan kepentingan nasional sebagai basis penyusunan politik luar negerinya. Masyarakat sipil yang terorganisasi akan lebih mampu mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara.

Jadi, masalah artikulasi kepentingan publik dan kepentingan nasional negara saling berkelindan. Salah satu jenis kepentingan nasional menurut kalangan konstruktivis adalah collective self-esteem. Dalam asumsi kaum konstruktivis, di dalam hubungan internasional, konteks politik dan budaya suatu kebijakan berikut interpretasinya dapat merupakan sarana sekaligus tujuan dalam rangka pencapaian kepentingan nasional. [42]

Pandangan lain mengenai kepentingan nasional diajukan oleh Martin Griffith, et.al. Griffith, et.al. menganggap kepentingan nasional adalah sebuah konsep yang perlu didekati lewat dua cara yang satu sama lain saling berhubungan.

Pada satu sisi, penetapan “kepentingan” itu harus bisa diterima agar dapat diklaim sebagai milik negara. Pada sisi lain, kepentingan nasional juga digunakan untuk mendeskripsikan serta mendukung kebijakan tertentu. [43] Berdasarkan dua relasi ini, makna kepentingan dan makna nasional maka diperoleh tiga pendekatan atas kepentingan nasional. [44] Menurut Griffith, et.al., aturan untuk mengidentifikasi kepentingan nasional dapat didekati lewat proses politik yang bernilai independen-normatif, demokratis, atau dengan kata lain, kepentingan nasional diidentifikasi tatkala ia mencerminkan ekpresi yang bisa diverifikasi lewat pilihan sikap mayoritas warganegara. [45] Dengan demikian maka kepentingan nasional adalah refleksi sikap dan kebutuhan warganegara. Pemerintah adalah instrumen untuk mencapai tujuan tersebut.

Setelah mengeksplorasi sejumlah pemahaman mengenai kepentingan nasional, maka dapat dinyatakan bahwa kepentingan nasional merupakan pedoman dalam penentuan arah politik luar negeri suatu negara plus sebagai pijakan hubungan bilateral maupun multilateral. Kepentingan nasional juga tidak melulu bersifat material seperti sumber daya alam, energi, keuangan, dan material lainnya, melainkan pula ideasi seperti norma, nilai, ataupun perilaku yang dikehendaki, seperti misalnya collective self-esteem, di mana Indonesia cukup menyesalkan, bahwa dari seluruh negara yang ikut Konferensi Asia-Afrika 1955, hingga artikel ini disusun hanya Palestina saja yang belum merdeka.

Sebab itu, dalam kasus hubungan Indonesia dengan Palestina, kepentingan nasional Indonesia lebih diletakkan pada kepentingan yang bersifat ideasional. Ini akibat tidak mungkin Indonesia melihat di Palestina ada keuntungan material yang bisa ‘dikeruk’ ketimbang dari Israel. Gagasan kepentingan nasional ideasional ini termaktub dalam Mukadimah konstitusi Indonesia seperti disebut di bagian terdahulu bahwa “ … penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”

Indonesia merdeka tahun 1945 dan di saat Indonesia ‘sibuk’ menghadapi aksi-aksi polisionil Belanda yang kembali hendak menjarah bumi Indonesia dan Madiun Affair, Israel tiba-tiba memproklamasikan diri sebagai negara berdaulat dengan menjajah bumi Palestina yang saat itu statusnya adalah protektorat Inggris. Inggris tidak terlebih dahulu meminta persetujuan rakyat Palestina seperti mereka melakukannya dengan survey persetujuan rakyat Arab-Mesir di El-Arish. Indonesia melihat proklamasi ini sebagai aksi sepihak atas kedaulatan suatu bangsa oleh Israel atas ‘izin’ Inggris. Aksi sepihak ini dilihat oleh Indonesia sebagai bentuk penjajahan di muka bumi yang harus dihapuskan.

Sesuai dengan pandangan Wendt, bahwa kepentingan nasional bukan semata ditentukan pemerintah, melainkan interaksionalisme-simbolis antara rakyat dan pemerintah, agar memenuhi syarat guna disebut sebagai kepentingan nasional. Wendt yang berasal dari kalangan konstruktivis bertolak belakang dengan kaum realis yang menganggap bahwa negara-lah satu-satunya aktor dalam politik global.

Wendt justru membantah dengan menyatakan bahwa kepentingan nasional bukan semata-mata dibuat oleh negara; Kepentingan nasional suatu bangsa adalah kepentingan bangsa itu sendiri, dan itu harus dijalankan pemerintahnya. Sebab itulah, bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim (sekurangnya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama tetap menganggap Israel de facto dan de jure menjajah Palestina) melihat aksi proklamasi sepihak Israel di bumi Palestina, klaim Israel bahwa Palestina hanya milik Yahudi (mayoritas Ashkenazi), adalah suatu perbuatan penjajahan yang harus ditolak.

Sebab itu, siapapun Presiden Indonesia yang berupaya menghentikan dukungan atas kemerdekaan Palestina, apalagi menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, harus berhadapan dengan kekuatan civil society Islam di dalam negeri. Untuk itu, selalu, kepentingan nasional mencerminkan ekspresi rakyat negara tersebut seperti disebut oleh Wendt.

Dengan argumentasi teoretis di atas, maka artikel ini membantah tesis kalangan realis yang dimotori Hans J. Morgenthau (ilmuwan hubungan internasional yang juga seorang Yahudi Ashkenazi) bahwa kepentingan nasional selalu berkenaan dengan perimbangan kekuatan (balance of power) atau mengejar kekuatan, sehingga hubungan antar-negara selalu dalam kondisi bermusuhan, anarki, negara kuat selalu mencengkeram yang lemah, tanpa ada kekuatan sentral yang mampu memaksakan ketertiban. Hanya rasa takut pihak kuat yang satu terhadap pihak kuat lainlah yang menciptakan situasi perdamaian “semu.”

Menurut cara pandang realis, akan lebih menguntungkan bagi Indonesia menjalin hubungan dengan Israel ketimbang Palestina. Di sekitar Israel berdiri kekuatan-kekuatan besar dunia seperti Amerika Serikat dan Inggris. Tentu akan ada insentif dari negara-negara kuat tersebut apabila Indonesia bersahabat dengan Israel ketimbang Palestina. Namun, kenyataan tidaklah demikian, hingga saat ini Indonesia cukup konsisten dalam hal dukungannya atas kemerdekaan Palestina dengan tidak menjalin hubungan diplomatik "resmi" dengan Israel.


Posisi Politik Palestina sebelum 1948

Secara singkat, momentum politik signifikan berdirinya negara Israel adalah Deklarasi Balfour 1917 (tahun yang sama dengan terjadinya Revolusi Bolshevik di Rusia). Chomsky menulis bahwa Lord Arthur Balfour, perdana menteri Inggris “ … committed Britain to ‘facilitate’ the ‘establishment in Palestine of a national home for the Jewish people’ on the condition that ‘nothing shall be done which may prejudice the civil and religious rights of the existing non-Jewish communities in Palestine.”[46]

Namun, deklarasi ini dua tahun kemudian segera menyimpang dengan disiarkannya sikap empat negara pemenang di mana “the four great powers are committed to Zionism and Zionism, be it right or wrong, good or bad, is rooted in age-long tradition, in present needs, in future hopes, of far profounder import than the desires and prejudices of the 700,000 Arab who now inhabit that ancient land.”[47] Pernyataan politik ini menandai dimulainya dukungan penuh keempat negara pemenang Perang Dunia I atas migrasi Yahudi ke Palestina, dan para imigran ini dianggap "lebih berhak" atas tanah Palestina daripada 700 ribu orang Arab-Palestina yang telah menjadi penghuni tanah tersebut selama ribuan tahun.

Pertikaian terjadi bulan September 1928 dipicu sengketa Tembok Ratapan Barat yang sesungguhnya merupakan properti waqaf kaum Muslim. Pertikaian ini mendorong terjadinya kerusuhan bulan Agustus 1929 yang mengakibatkan meninggalnya 133 orang Yahudi dan 116 orang Palestina. [48]

‘Pasukan perusak’ Yahudi bukanlah berasal dari dalam Palestina melainkan "impor" yaitu para Yahudi Azkhenazi, khususnya Yahudi Rusia yang dipimpin Vladimir Jabotinsky. Jabotinsky, dengan organisasinya Betar (sebuah organisasi fasis Yahudi muda) yang datang dari Rusia, dan banyak dari mereka juga berpengalaman dalam ikut serta di dalam Revolusi Komunis Lenin, mengambil bagian dalam melakukan aksi provokasi. Aksi tersebut ditujukan baik terhadap kaum Arab-Palestina maupun polisi keamanan Inggris. Bahkan Jabotinsky pernah memfasilitasi pengeboman atas barak polisi Inggris dan mengarahkan penyalahan pada kaum Arab-Palestina. Tentu saja, pihak Arab-Palestina tidak tinggal diam dalam menghadapi kenyataan bahwa tanah mereka akan tergusur oleh orang ‘asing’ dan menjadi sesuatu yang wajar apabila mereka pun melakukan perlawanan. Sama seperti Indonesia memerangi Belanda dalam Revolusi Fisik 1945-1949. 

Dukungan dari empat negara pemenang perang membuat Yahudi ‘impor’ ini semakin merajalela. Noam Chomsky menulis, kendati ia (Chomsky) meragukan motivasinya, bahwa sempat Presiden Woodrow Wilson membentuk Komisi King-Crane yang merekomendasikan pembatasan imigran Yahudi dan pengabaian tujuan negara Yahudi. [49]

Namun, upaya-upaya ‘damai’ pihak ketiga, dalam hal ini Amerika Serikat, tidak menyurutkan langkah Zionis. Tahun 1936 – 1939, kaum Arab-Palestina melakukan revolusi nasional. [50] Dalam menghadapi ini, David Ben-Gurion, seorang realis, dicatat oleh Chomsky mengatakan “ … in our political argument abroad, we minimize Arab opposition to us … let us not ignore the truth among ourselves … politically we are the aggressors and they defend themselves …. The country is theirs, because they inhabit it, whereas we want to come here and settle down, and in their view we want to take away from them their country, while we still outside.” [51]

Tahun 1937 pernah dibentuk Komisi Peel, sebuah komisi yang dibentuk oleh Pemerintah Inggris untuk melakukan studi atas situasi Palestina yang diketuai Lord Robert Peel. [52] Kesimpulan komisi tersebut adalah, untuk menghentikan konflik di Palestina, Inggris perlu mengakhiri mandatnya dan segera membagi Palestina. Rekomendasi komisi adalah membagi Palestina menjadi tiga: Wilayah Yahudi, wilayah mandat Inggris (yang kecil di Yerusalem), dan sebagian besar untuk Negara Palestina.

Komisi pun merekomendasikan pembatasan imigrasi Yahudi masuk ke Palestina menjadi hanya 12 ribu orang untuk 5 tahun. Komite Tinggi Arab keberatan atas rekomendasi tersebut dan menolaknya. Gerakan Zionis tidak terima akibat kecilnya wilayah yang mereka terima. Pertikaian pun berlanjut.

Untuk lebih jelas mengenai pembagian tiga wilayah tersebut, berikut adalah peta yang disusun oleh Komisi Peel: [53]


Pada peta dapat dilihat, kendati ditolak oleh Komite Tinggi Arab, wilayah Arab-Palestina cukup dominan. Namun, tetap saja pembagian ini bukan sesuatu yang adil karena status quo Palestina adalah wilayah Turki Utsmani sebagai entitas politik aktual. Secara etika, Inggris seharusnya mengembalikannya ke bangsa Palestina setelah Turki Utsmani kalah perang untuk mereka (bangsa Palestina) menentukan nasib sendiri.

Palestina pasca lepas dari kekuasaan Turki sesungguhnya adalah komunitas politik yang memiliki wilayah, pemerintahan, dan penduduk yang selama ini tunduk sebagai bagian dari Kesultanan Utsmani. Inggris dan dunia internasional tinggal mengakui eksistensinya, seperti dilakukan negara sekutu lain atas Mesir, Iraq, Suriah, Aljazair, Maroko, ataupun Lebanon. Namun, PBB yang sangat mungkin atas pengaruh lobi AS, sudah merencanakan partisi atas Palestina tahun 1947. [54]

Apabila diperhatikan, dalam kurun 1 tahun (dari 1947 ke 1948) terjadi pembalikan rencana awal. Solusi dua negara versi PBB menjadi gagal total setelah Haganah (serta pasukan teroris Irgun-LEHI) beroperasi. Negara Israel secara ‘ajaib’ langsung mendominasi peta Palestina. Wilayah Palestina pun terpaksa dikontrol oleh Yordania dan Mesir karena bangsa Palestina tidak memiliki persenjataan yang mencukupi untuk mempertahankan wilayah. Peta di bawah ini memperlihatkan ‘pembalikan’ tersebut.[55]


Rencana Partisi PBB sudah terlihat akan memecah wilayah Palestina menjadi 3 bagian terpisah: Wilayah Utara (Acre), Tepi Barat, dan Jalur Gaza. Pemecahan wilayah ini lantas makin parah pasca perang Arab-Israel 1948, di mana wilayah Utara Palestina ‘lenyap’, Gaza mengecil drastis, dan Tepi Barat mengecil.

Lalu, ke mana bangsa Arab-Palestina dalam kurun 1947-1948 mengungsi adalah hal yang perlu diungkap, karena ini menjadi dasar didirikannya sebuah badan PBB bernama UNRWA. Sebagian mereka mengungsi ke Lebanon (100 ribu), ke Suriah (75-90 ribu), ke Iraq (4 ribu), ke Yordania (100 ribu), ke Gaza (160-190 ribu), ke Mesir (7 ribu), dan bertahan di Tepi Barat (280 – 300 ribu). [56] Untuk info grafisnya dapat dilihat pada peta berikut: [57]




Perlu diketahui bahwa peta Palestina di atas adalah tahun 1948 yang semakin lama semakin mengecil. Warga Arab-Palestina terusir secara gradual dari tanah yang mereka garap ribuan tahun. Sejak 1948 wilayah Palestina yang satu dibatasi oleh wilayah Israel, dan seiring perkembangan dari tahun ke tahun, wilayah Palestina di atas semakin tercabik-cabik.

Dorongan migrasi Yahudi Eropa ke Palestina semakin gencar pasca fenomena ‘holocaust’ yang diblow-up. Fenomena ini pun sampai ke Kongres AS sehingga dibentuk Komite tahun 1943 untuk menyelamatkan orang-orang Yahudi di Eropa ke ‘manapun’ agar tidak ‘dimusnahkan’ Hitler (setidaknya ini persepsi di Kongres Amerika Serikat). Hal yang ironis adalah Stephen Wise, seorang Rabi Ashkenazi (yang dekat dengan Presiden Roosenvelt) menolak rencana itu karena Komite tersebut tidak memasukkan klausul yang mewajibkan Inggris membuka Palestina bagi migrasi besar-besaran Yahudi Eropa ke Palestina. [58] Inggris menolak ini karena mereka tengah dalam posisi bangkrut. Inggris mulai mendekati para pemimpin Arab dengan harapan memperoleh konsesi pengelolaan minyak. Sebab itu, Inggris tidak boleh lagi mengikuti kehendak Israel secara membabi-buta. [59]

Lobi Yahudi kian gencar di Amerika Serikat, sebuah negara adidaya baru, di mana sektor keuangannya banyak dikuasai para bankir Yahudi super besar. Sejak tahun 1942, gerakan Zionis Amerika memperhebat gagasan Negara Yahudi yang dikenal sebagai Biltmore Program dan di bulan November tahun yang sama, Negara Yahudi menjadi tujuan resmi dari gerakan Zionis atas inisiatif David Ben-Gurion. [60]

Pada bulan November 1947, Dewan Umum PBB merekomendasikan pembagian mandat Palestina menjadi ‘negara’ Yahudi dan negara Arab. Dalam menyikapi rekomendasi ini, Gerakan Yahudi terbelah, ada yang setuju dan tidak setuju. Kelompok yang tidak setuju adalah angkatan bersenjata teroris yang dipimpin Menachem Begin (Begin ini adalah penerus Vladimir Jabotinsky, Askhenazi dari Rusia Komunis) yaitu Irgun Tsvai Leumi dan LEHI, kelompok teroris yang dikomandani oleh Yitzhak Shamir. Kedua kelompok ini sama sekali tidak setuju atas berdirinya Negara Arab Palestina. Akhirnya, Presiden Truman mengakui berdirinya Negara Yahudi pada 14 Mei 1948. [61]

Segera setelah itu, pecah aksi kekerasan di tanah Palestina. Haganah (cikal-bakal Israel Defense Force) menyerang desa Khissa, membunuh 10 orang Arab, termasuk 1 wanita dan 4 anak-anak. Operasi Haganah ini dipimpin oleh Moshe Dayan.

Secara umum, pihak Negara Yahudi lebih siap dan terorganisir. Pada bulan Mei 1948, Haganah relatif sudah mengambil sebagian besar teritori yang diperuntukkan bagi Negara Palestina. Serangan bersama Irgun-LEHI yang dikenal sebagai peristiwa Deir Yassin di bulan April 1948 membuat banyak penduduk Arab-Palestina yang terpaksa mengungsi akibat kekejamannya. Dalam serangan tersebut, 250 orang Arab-Palestina tidak bersenjata terbunuh, termasuk lebih dari 100 wanita dan anak-anak. [62]

Di bulan Mei 1948 sekitar 300 ribu Arab-Palestina mengungsi dan sepertiga mereka berasal dari teritori yang seharusnya diperuntukkan bagi Negara Palestina. Aneka kejadian tentu telah menjadi pengetahuan bersama, bahwa pasukan gabungan Arab turun membantu Palestina, seperti Yordania-Mesir yang dikenal sebagai Perang Arab-Israel pertama, dan dimenangkan Israel. Demikian perang-perang selanjutnya, yang melibatkan Mesir, Suriah, dan Yordania.


Wilayah Palestina Setelah 1948

Sejak awal, pendirian dunia internasional mainstream adalah solusi dua negara. Namun, Israel dengan kekuatan lobinya seperti banyak diungkap oleh John Mearsheimer & Kenneth Walt juga James Petras,[63] terus membuat apapun resolusi Dewan Keamanan PBB kandas, nalar sehat seolah tidak ada lagi artinya, dan sekadar menjadi kalimat di atas kertas tanpa bisa diimplementasi.

Sejak 1982, migrasi Yahudi dari luar Palestina terus terjadi. Tepi Barat, wilayah suaka Palestina yang cukup luas sedikit demi sedikit mulai dijamuri oleh para pemukim Yahudi dari luar Palestina. Kota-kota utama di Palestina seperti Tulkarm, Jenin, Nablus, Qalqiliya, Ramallah, Jericho, Bethlehem, dan Hebron pun dikepung oleh aneka pemukiman Yahudi. Ini merupakan taktik baru Zionis untuk terus mendesak populasi Arab-Palestina agar ‘tidak betah’ lagi di kampung halamannya. Hal ini dapat dilihat pada peta sebaran berikut: [64]


Pemukiman Yahudi dibagi menjadi dua tahap, pertama yang didirikan sebelum tahun 1977 dan kedua dalam rentang 1977 – 1982, yang jumlahnya jauh lebih besar. Jumlah pemukiman terus berlanjut sekurangnya hingga saat artikel ini disusu. Pemukiman ini bukannya tanpa konsekuensi, karena mendorong terciptanya kendali sipil dan keamanan, dengan mana hampir seluruh wilayah Tepi Barat perbatasan luarnya didominasi oleh kendali sipil dan keamanan Israel.

Area otonom Palestina di Tepi Barat (disebut Area A), di mana ia masih memiliki kendali sipil dan keamanan – bukan militer, tentunya – hanya tersisa di Jenin, Jericho, Ramallah, Turkarm, Bethlehem, dan Hebron. Sementara Area B, di mana Palestina wajib menjalankan join kendali sipil dan keamanan dengan Israel adalah Abu Dis. Di selain wilayah-wilayah yang disebut, seluruhnya dibawah kendali penuh sipil dan keamanan Israel (Area C).

Hal serupa pun terjadi di Gaza, di mana Area A Palestina ada di Gaza, Khan Yunis, dan Rafah. Namun, di sebelah utara Rafah dan Bara Khan Yunis pemukiman Yahudi sudah berdiri dan merupakan Area C. Termasuk pula di utara Gaza (kendati agak jauh). Peta berikut akan memberi gambaran yang lebih visualistis: [65]


Dalam peta di atas tampak jelas bahwa wilayah Palestina di Tepi Barat praktis sudah terkepung secara ketat oleh Israel. Tahun 2002, wilayah Gaza dapat dikatakan secara praktis ada di bawah kendali sipil dan keamanan Israel, dan pemukiman Yahudi terus mendesak hingga artikel ini dibuat.


Palestina Merdeka dan Tujuh Presiden Indonesia

Kepentingan nasional ada dua bentuk, material dan ideasi. Dalam hal Indonesia terhadap Palestina, maka kepentingan nasional Indonesia bercorak ideasi, yaitu pelaksanaan nilai yang telah dibakukan ke dalam mukadimah konstitusi Indonesia.

Berdasarkan mukadimah tersebut, Indonesia memandang Israel sebagai negara penjajah dan Palestina adalah bangsa terjajah. Karena terjajah maka Indonesia memiliki kepentingan nasional untuk membela bangsa tersebut melalui aneka tindak politik luar negeri Indonesia, baik terhadap seluruh negara di dunia pada umumnya, dan Palestina khususnya. Sebab itulah maka hingga saat ini Indonesia tidak pernah mengizinkan pembukaan konsulat diplomatik Israel di Indonesia, sementara justru Palestina lah yang memiliki perwakilan diplomatik di Jakarta.

Kepentingan nasional, menolak argumen kaum realis, tidak melulu dimonopoli oleh negara sebagai aktor. Negara harus benar-benar menyerap aspirasi dari masyarakatnya untuk kemudian diterjemahkan sebagai kepentingan nasional dan dimanifestasikan ke dalam sikap politik luar negeri. Sekali pemerintah Indonesia, siapapun mereka, berani membuka hubungan diplomatik dengan Israel maka perlawanan civil society Islam di Indonesia akan memaksa mereka untuk segera membatalkannya.

Sebelum 1945, saat Palestina berjuang mendirikan negara yang terancam pendudukan oleh para Yahudi diaspora, Indonesia tengah mengalami hal serupa, yaitu berupaya lepas dari penjajahan Belanda dan Jepang. Seorang pemuda Indonesia bernama Abdul Kahar Mudzakkir, yang tengah kuliah di Mesir aktif memperkenalkan Indonesia yang sedang berjuang untuk lepas dari penjajahan Belanda.[66] Aktivitas Mudzakkir lalu dikenal hingga tahun 1931 diminta Mufti Besar Palestina, Al-Hajj Amin al-Husayn mengikuti Muktamar Islam Internasional di Palestina sebagai wakil umat Islam dari Indonesia. [67]

Segera setelah Perdana Menteri Kuniaki Koiso menjanjikan kemerdekaan Indonesia pada 6 September 1944, Mufti Palestina Al-Hajj Amin al-Husayni menyiarkan ‘ucapan selamat’ melalui Radio Berlin berbahasa Arab (saat itu mufti mengungsi ke Jerman sejak awal Perang Dunia II) kepada Alam Islami bertepatan dengan ‘janji’ Jepang untuk memerdekakan Indonesia yang diutarakan PM Kuniaki Koiso di depan Sidang Teikoku Gikai. [68] Bahkan Mufti Palestina tersebut mengirim telegram kepada PM Koiso yang isinya memberi penghargaan atas janji mereka untuk memerdekakan Indonesia. [69]

Saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya 17 Agustus 1945 Palestina adalah salah satu bangsa yang langsung mengakui kemerdekaan Indonesia. Saat Indonesia terus didesak lewat aksi-aksi polisionil Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, Mufti Palestina bahkan mengunjungi Indonesia. Al-Husayni datang untuk mengekspresikan dukungan dan simpati rakyat Palestina bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. [70]

Sebagai ulama kharismatis, Amin al-Husayni aktif mempromosikan negara-negara Timur Tengah seperti Suriah, Iraq, Lebanon, Yaman, Arab Saudi, dan Afghanistan untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. [71] Tidak hanya dukungan politik, Palestina pun memberi bantuan material.

Misalnya seorang saudagar Palestina bernama Muhammad Ali Taher menyerahkan sejumlah besar uangnya di Bank Arabia untuk perjuangan bangsa Indonesia. [72] Taher menemui Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia, M. Zein Hassan, meminta bukti tanda terima sumbangannya dan berkata, “Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia.” [73] Dengan demikian sangat wajar apabila Indonesia memiliki kepentingan immaterial atas Palestina.

Apa yang dilakukan Palestina dibalas oleh Indonesia. Dukungan atas kemerdekaan Palestina tidak hanya ditunjukkan atas nama negara. Nahdlatul Ulama, salah satu ormas besar Islam di Indonesia, telah menggalang bantuan untuk Palestina seiring dengan Deklarasi Balfour yang kian mendekati perwujudannya (negara Israel). [74]

Saat Israel memproklamasikan negaranya secara sepihak tanggal 14 Mei 1948, pemerintah Indonesia tidak mengucapkan selamat dan memberi pengakuan. Saat Presiden Israel Chaim Weizmann dan perdana menterinya David Ben-Gurion mengirim telegram kepada Sukarno dan Hatta akhir 1949 atas pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia, Sukarno sebagai presiden tidak membalasnya, sementara Hatta sebagai Menteri Luar Negeri (mungkin dengan alasan etika) hanya membalas dengan ucapan terima kasih, tanpa memberi pengakuan serupa atas Israel. [75]

Lalu saat Menlu Israel Moshe Sharett bersurat pada Hatta bahwa ia ingin datang untuk misi baik ke Indonesia, Hatta menyarankan untuk menunda tanpa batas waktu definitif. [76] Kepentingan nasional yang melandasi sikap Hatta adalah kepentingan yang bersifat nilai, bahwa Israel adalah penjajah sama seperti Belanda, dan Palestina adalah bangsa terjajah seperti dulu pernah dialami Indonesia. Kepentingan nasional yang bersifat nilai ini mengatasi kepentingan nasional yang bersifat material.

Sikap pemerintahan Sukarno terhadap Israel tercium oleh pers Arab dan Pakistan pada bulan Juni 1952, dan ini informasi ini berasal dari kantor berita Antara. [77] Pers Arab dan Pakistan melaporkan bahwa pemerintah Indonesia “tidak akan mengakui Israel karena mayoritas penduduk Indonesia Muslim … dan Indonesia mempertimbangkan bantuan negara-negara Arab semasa perjuangan kemerdekaan.” [78] Sikap Indonesia ini dipertegas dengan penghentian pemberian visa masuk bagi warga negara Israel secara menyeluruh. [79]

Sukarno saat menggagas Konferensi Asia-Afrika tahun 1953, bersama Pakistan, menolak keras keikutsertaan Israel dalam konferensi tersebut karena Israel adalah bagian dari bangsa imperialis. [80] Lalu saat KAA diadakan tahun 1955 di Bandung di mana Yasser Arafat – pejuang kemerdekaan Palestina – hadir, Sukarno “menyatakan bahwa kolonialisme belum mati, hanya berubah bentuknya. Neokolonialisme itu ada berbagai penjuru bumi, seperti Vietnam, Palestina, Aljazair, dan seterusnya.” [81]

Tahun 1958, saat Indonesia tengah ada di penghujung penyisihan Piala Dunia dan hanya tinggal melawan Israel, Sukarno memerintahkan Tim Indonesia untuk tidak berlaga dengan tim Israel, karena bertanding dengan Israel sekalipun dalam ajang olahraga, sama saja dengan mengakui negara tersebut. [82]

Tahun 1962, saat Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games IV, pemerintah Indonesia tidak memberikan visa kepada kontingen Israel dan Taiwan (karena RRC mengklaim Taiwan sebagai provinsinya). Akibat dari tidak dikeluarkan visa terhadap kontingen Israel dan Taiwan, International Olympic Committee (IOC) menskors keanggotaan Indonesia tanpa batas waktu yang ditentukan. Sukarno segera memerintahkan Komite Olimpiade Indonesia keluar dari IOC pada Februari 1953 dan mengadakan Ganefo tahun 1963. [83] Pidato umum disampaikan Sukarno di aneka forum internasional pada tahun 1962 adalah “selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.” [84]

Palestina adalah satu-satunya negara peserta KAA 1955 di Bandung yang belum merdeka. [85] Sikap konsisten terhadap Palestina dilanjutkan oleh Presiden Soeharto, kendati dengan gaya berbeda, tidak meledak-ledak seperti Sukarno. Sikap Indonesia di awal era Orde Baru agak lebih lunak terhadap Israel, yang mungkin akibat Indonesia cukup bergantung pada Amerika Serikat (pendukung utama Israel). [86]
Kebijakan utama Soeharto adalah pemulihan ekonomi Indonesia dan sebab itu ia membuka pintu investasi selebar-lebarnya, terutama dari blok Barat (Kapitalis) yang rata-rata adalah negara sahabat Israel.

Saat terjadi Perang Enam Hari, di mana mayoritas negara Muslim mengecam perang tersebut (perang antara Mesir, Suriah dan Yordania versus Israel), sikap Indonesia cukup moderat. [87] Tahun 1970, lewat seorang pengusaha Israel Saul Eisenberg, dirintis jalur perdagangan Indonesia dengan Israel. Untuk tetap konsisten menyatakan sikap Indonesia atas Palestina, tahun 1972, Adam Malik (Menlu saat itu) diutus Soeharto ke sejumlah negara Timur Tengah dengan tujuan meyakinkan mereka bahwa Indonesia tetap mendukung perjuangan bangsa Palestina untuk merdeka. Soeharto, lewat Adam Malik, mempersilakan Palestine Liberation Organization (PLO) Yasser Arafat untuk membuka kantor perwakilan di Jakarta. [88]

Tahun 1979, Indonesia membeli 28 pesawat tempur Douglas A-4 Skyhawk dan 11 helikopter dari Israel yang dilakukan secara rahasia oleh Jenderal Moerdani. [89] Selain militer, Indonesia pun membangun saluran telepon langsung dan pengiriman pos dengan Israel. [90] Tahun 1980 larangan pemberian visa perjalanan bagi warga Israel yang dulu diterapkan oleh Sukarno, dicabut diam-diam oleh Soeharto, demikian pula larangan untuk warga Indonesia berkunjung ke Israel. [91] Sebagai imbangan ketergantungan Soeharto atas Amerika Serikat, Indonesia tetap menjalankan kepentingan nasionalnya atas kemerdekaan Palestina.

Sikap Indonesia terhadap Palestina ditegaskan saat PLO Yasser Arafat didirikan tahun 1984, Indonesia langsung memberikan dukungan. [92] Tanggal 25 Juli 1984, pemimpin PLO Yasser Arafat bertemu dengan Soeharto di Istana Merdeka Jakarta. Inti dari pertemuan tersebut adalah Indonesia mendukung penuh perjuangan rakyat Palestina memperoleh kemerdekaannya sebagai hal prinsipil dan secara politis sesuai dengan Pembukaan UUD 1945. [93]

Dukungan ini dikonkritkan saat Negara Palestina dideklarasikan di Aljazair pada tanggal 15 November 1988, dan Indonesia adalah negara pertama yang mengakui Negara Palestina tersebut. [94] Tidak hanya mengakui, Indonesia lalu mewujudkannya dalam tindakan konkrit tanggal 19 Oktober 1989 di Jakarta, di mana ditandatangani “Joint Communique opening diplomatic relations” antara Menlu Ali Alatas (Indonesia) dengan Farouq Kaddoumi (Menlu Palestina) dan setelah itu dibukalah Kedutaan Besar Palestina di Jakarta. [95]

Kepentingan nasional material Indonesia era Soeharto adalah pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan. Sebab itu, investasi sangat dibutuhkan untuk terlebih dahulu menguatkan kegiatan investasi di segala bidang dan mitra yang dipilih Soeharto adalah antitesis dari Sukarno, yaitu Barat-Kapitalis yang rata-rata pendukung Israel. Soeharto secara prinsip tetap berkepentingan terhadap kemerdekaan bangsa Palestina, tetapi menjalankannya secara lebih terselubung.

Tanggal 22 Oktober 1993, Soeharto melakukan pertemuan rahasia dengan PM Israel Yitzhak Rabin di Cendana, di mana Rabin mendesak Soeharto setelah AS mencoba menghentikan pasokan senjata mereka untuk Indonesia akibat lobi Yahudi di kalangan pengambil kebijakan AS. [96] Pertemuan lanjutan dilakukan tanggal 22 Oktober 1995) di acara peringatan 50 tahun berdirinya PBB di mana dimulai hubungan dagang dengan Israel. [97]

Sikap soft terhadap Israel pun terjadi saat delegasi Israel hadir dalam forum World Trade Organization (WTO) yang diadakan di Denpasar bulan Oktober 1993, dan dalih pemerintah Indonesia adalah, delegasi Israel tersebut diundang oleh WTO, bukan oleh pemerintah Indonesia. [98]

Pertemuan Soeharto dan Rabin ini dilanjutkan oleh pembicaraan Menlu Ali Alatas dan Menlu Israel Shimon Peres, lewat sebuah pertemuan informal di Konferensi Hak-hak Asasi Manusia PBB di Wina Austria tahun 1993 yang sama. [99]

Peres secara terus terang menyatakan keinginan Israel membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia, tetapi dijawab diplomatis oleh Alatas, hal tersebut baru bisa dibicarakan apabila pembicaraan perdamaian Israel-Palestina berjalan lancar. Pembicaraan tersebut bocor ke kalangan media, dan kemudian Ali Alatas dan Menhankam Edi Sudrajat sibuk membantahnya.

Pada September 1993 Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung menyangkal kabar bahwa militer Indonesia mendapat hibah alat kelengkapan tempur dari Israel. [100] Di bulan yang sama sejumlah wartawan senior Indonesia yang mengunjungi Tel Aviv (ibukota Israel) dan ini ditentang oleh sejumlah ormas Islam, selain itu ormas-ormas ini pun melarang pemutaran film Schlinder List di bioskop-bioskop Indonesia yang penuh berisikan propaganda Zionis. [101]

Sikap lebih soft terhadap Israel dapat dipandang sebagai upaya diplomatis Indonesia atas kepentingan nasionalnya yang dikenal dengan trilogi pembangunan. Soeharto menghadapi situasi yang pelik, pada satu sisi ia sangat bergantung pada dukungan negara-negara Barat, tetapi pada sisi lain sikap alamiah Indonesia yang terus mendukung kemerdekaan Palestina tetap harus berjalan. Sebab itulah, maka Indonesia mendukung PLO saat ia didirikan, dan mendukung proklamasi kemerdekaan Palestina oleh PLO kemudian.

Tanggal 29 November 1988, saat diadakan Peringatan Hari Solidaritas Internasional Bersama Rakyat Palestina, Soeharto menyampaikan pesan tertulis yang dibacakan Kepala Perwakilan RI di PBB, Nana Sutresna, “Keputusan Pemerintah RI dalam mengakui negara Palestina Merdeka sepenuhnya sejalan dengan dukungan konsisten Indonesia bagi perjuangan rakyat Palestina guna memperoleh hak sah mereka untuk menentukan nasib sendiri dan untuk mendirikan negara berdaulat dan merdeka di Palestina.” [102] Indonesia pun mengecam penindasan atas perlawanan sah rakyat Palestina atas pendudukan Israel yang tidak sah.

Dua tahun sebelumnya, tahun 1986, saat menjamu Raja Hussein dan Ratu Noor dari Kerajaan Yordania, Soeharto menyatakan “sejak semula, Indonesia secara konsekuen mendukung perjuangan bangsa Arab dan rakyat Palestina untuk mengembalikan seluruh wilayah Arab yang diduduki Israel sejak tahun 1967, dan hak-hak sah rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri.” [103]

Tahun 1993, Soeharto menerima kunjungan Presiden Palestina Yasser Arafat di Istana Negara. Saat itu kunjungan disikapi secara kontroversial, karena sebagian umat Islam Indonesia menyebut Yasser Arafat dengan julukan ‘Abu Ammar’ (penelikung dalam perundingan Khalifah Ali dan Muawiyah), karena bersedia meneken Perjanjian Oslo 13 September 1993 dengan Yitzhak Rabin (PM Israel). Bagi sebagian umat Islam, perjanjian tersebut menguntungkan Israel dan merugikan Palestina. [104]

Sikap protes terhadap Arafat dimotori oleh KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Islam) pimpinan Ahmad Sumargono. Tidak hanya di Jakarta, di Jawa Timur pun berkembang kritik atas kedatangan Arafat. “Perjanjian itu [Oslo] seperti melegalisir penjajahan” dalam mana pernyataan ini dikatakan oleh Wakil Ketua NU Pasuruan, K. H. Zakki Mubeid, dan perjanjian itu telah membuat sejumlah ulama Pasuruan gusar. [105]

Namun, tidak seluruh umat Islam Indonesia menentang sikap Arafat, Lukman Harun, Ketua Komite Solidaritas Islam Indonesia berpendapat berbeda. [106] Bagi Harun, yang juga tokoh Muhammadiyah, apabila terus dilakukan jalan perang maka Arab akan terus kalah melawan Israel karena melawan Israel berarti melawan Amerika Serikat.

Soeharto mengambil sikap sendiri, dan ini merupakan sikap resmi Republik Indonesia atas Palestina. Dalam sambutannya kepada Arafat, Soeharto tercatat menyatakan “kami menyambut baik prakarsa perdamaian yang kini dirintis oleh Yang Mulia.” [107] Soeharto saat bertemu Arafat berposisi sebagai Ketua Gerakan Non Blok, gerakan yang sesuai dengan pilihat politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia. Dalam kesempatan bertemu dengan Soeharto tersebut, kepada wartawan Arafat menyatakan bahwa ia ingin mendirikan negara Palestina yang demokratis, yang melindungi semua agama, sama seperti Pancasila di Indonesia. [108]

Soeharto mundur selaku presiden Indonesia 20 Mei 1998 digantikan B.J. Habibie yang kemudian memerintah kurang dari 1 tahun. Rekaman sikap Indonesia atas Palestina di era Habibie mungkin kurang banyak diliput akibat singkatnya masa kepemimpinan presiden ketiga ini yang dikepung oleh aneka krisis seperti jatuhnya nilai tukar rupiah, krisis Timor sebelah Timur, dan politik dalam negeri. [109]

Namun, di masa Habibie inilah keluar pernyataan dari Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad bahwa George Soros, investor Yahudi, sebagai aktor utama di balik krisis moneter Asia. [110] Pada sisi lain, Habibie tentu tidak akan berhenti mendukung sikap resmi Indonesia yang terus mendukung Negara Palestina pasca Perjanjian Oslo 1993 bahkan menguatkan kerjasama antar negara Islam untuk mendorong dukungan yang lebih kuat atas Palestina. Di masa singkat pemerintahannya Habibie tercatat menjalin kerja sama dengan Perdana Menteri Turki Necmetin Erbakan dalam meningkatkan kapasitas negara-negara Muslim agar menjadi negara yang kuat. [111]

Habibie dan Erbakan sepakat mendirikan organisasi bernama Developing 8 atau D-8, sebuah organisasi kerjasama pembangunan bidang ekonomi yang dianggotai negara-negara mayoritas Muslim seperti Bangladesh, Mesir, Indonesia, Iran, Malaysia, Nigeria, Pakistan, dan Turki. [112] D-8 dibentuk lewat Deklarasi Istanbul tanggal 15 Juni 1998. Tujuan dari D-8 adalah meningkatkan posisi tawar negara anggotanya dalam ekonomi global, diversifikasi, dan peningkatan partisipasi dalam pengambilan keputusan internasional. Hal yang disayangkan adalah cukup singkatnya masa pemerintahan ‘transisi’ Habibie sehingga apa yang diperbuat Indonesia atas Palestina di bawah kepemimpinan kurang tampak.

Setelah Habibie dihentikan dari jabatan presiden oleh Sidang Istimewa MPR, Abdurrahman Wahid terpilih menggantikannya. Langkah kontroversial Wahid adalah terang-terangan mencabut surat larangan dagang dengan Israel. [113] Era Wahid ditandai dualisme dalam perjuangan Palestina: Negara Palestina resmi dan kelompok perlawanan Hamas. Pada sisi lain, Wahid mengambil posisi kooperatif-kritis atas faksi Zionis di Israel. [114]

Wahid mengecam agresi militer yang dilancarkan Israel ke Palestina sebagai tindakan yang tidak didasari rasa keadilan. [115] Lebih lanjut, Wahid menyatakan bahwa “beberapa waktu lalu saya katakan kepada ribuan warga Yahudi Amerika Serikat di Los Angeles, jika pemerintah Israel ingin diakui sebagai negara yang berdaulat, mestinya Israel juga harus mengakui Palestina sebagai negara yang merdeka.” [116] Wahid melanjutkan kendati Israel mampu menduduki Palestina, banyak faksi-faksi yang akan mempertahankan kehormatan tanah Palestina apapun resiko yang mungkin diterima oleh aneka faksi tersebut. Wahid juga menyinggung posisi Hamas, yang walaupun kecil tetapi mereka tidak akan tinggal diam tanahnya terus dijajah oleh Israel. [117]

Sikap resmi Indonesia di masa Wahid terbilang unik dan seperti ‘ke sana’ dan ‘ke mari’ sesuai dengan gaya Wahid yang bertipikal citizen leader bukan managerial. Wahid terbiasa bebas mengemukakan pendapat sesuai kapasitas intelektualnya yang tidak bisa langsung dipahami oleh publik, terutama kelompok Islam garis keras di Indonesia. Surat kabar Haaretz yang terbit di Israel menjuluki Wahid sebagai a friend of Israel in the Islamic World. [118]

Di masa Soeharto, Wahid pernah diundang PM Israel Yitzhak Rabin untuk menyaksikan penandatangan perjanjian damai Israel – Palestina di Yordania. [119] Wahid menjalin kontak dengan Yahudi, Arab, Kristen, dan Islam di Palestina, kemudian menyimpulkan mereka semua ingin damai. Tidak berhenti di situ, Wahid kemudian teribat sebagai pendiri dan anggota Yayasan Shimon Peres (Shimon Peres Foundation), dan mengenai ini, Wimar Witoelar juru bicara Wahid menjelaskan, Yayasan tersebut didirikan untuk menciptakan perdamaian di dunia, dan itulah yang menyebabkan Wahid bersedia menjadi anggotanya sebelum menjadi presiden Indonesia. [120] Inilah yang melatbelakangi pernyataan kontroversial Wahid bahwa Indonesia berencana membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Argumentasi Wahid adalah bagaimana mungkin Indonesia bisa menekan Israel kalau tidak ada hubungan diplomatik antar kedua negara. Dengan adanya hubungan diplomatiknya maka Wahid merencanakan dua hal: Pertama, Wahid ingin memastikan kapitalis Yahudi yaitu George Soros tidak mengacaukan pasar modal; Kedua, ingin meningkatkan posisi tawar Indonesia di Timur Tengah, sebab selama ini Timur Tengah tidak pernah membantu Indonesia menghadapi krisis [akibat ulah Soros]. [121] Selain itu, seperti diakui oleh Alwi Shihab (Menlu era Wahid), Amerika Serikat terus menekan Indonesia untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. [122] Seperti diketahui, Israel telah memiliki hubungan diplomatik resmi dengan negara-negara seperti Turki, Arab Saudi, Yordania, dan Mesir. Wahid mencabut SK Menteri Perdagangan Nomor 102/SK/VIII/1967 yang melarang hubungan dagang dengan Israel lewat SK Nomor 26/MPP/Kep/II/2000 yang ditandatangani Jusuf Kalla (saat itu menjabat Menteri Perdagangan) tanggal 1 Februari 2000. Dengan dicabutnya surat tahun 1967, maka perdagangan Indonesia-Israel menjadi legal.

Alasan lain dari rencana pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel adalah untuk membantu pemulihan ekonomi Indonesia yang masih terpuruk, yang dengan pertimbangan tersebut, Indonesia di era Wahid memerlukan aliran modal dari luar negeri baik investasi langsung maupun portofolio. [123] Para pemodal besar tentu saja dikuasai oleh bankir Internasional keturunan Yahudi. Alwi Shihab menghitung bahwa pendapatan per kapita Israel US$ 16.824 dengan PDB US$ 19,2 milyar, dan ini potensial untuk produk ekspor Indonesia. [124]

Wahid lalu melakukan pertemuan dengan George Soros (yang dikecam Mahathir Mohammad sebagai dalang krisis moneter Asia 1997) pialang saham Yahudi dalam Konperensi Tingkat Tinggi Milenium PBB. Pertemuan tersebut berlangsung tertutup karena akan memunculkan reaksi keras dari umat Islam apabila diketahui luas. Namun, semua aktivitas Wahid ini kemudian menyebarluas dan memunculkan kekecewaan di kalangan umat Islam Indonesia dan justru mengakibatkan instabilitas politik dalam negeri.

Logika seputar akan diuntungkannya Indonesia dalam hubungan dagang dengan Israel setelah dibuka hubungan diplomatik dibantah oleh Suroso Imam Zadjuli, ekonom Universitas Airlangga. [125] Hubungan dagang dan politik dengan Israel keduanya akan merugikan Indonesia. Kepiawaian ekonomi Yahudi akan membuat mereka justru lebih leluasa menjajah ekonomi Indonesia, terlebih mereka sudah mengincar industri-industri strategis seperti semen, listrik, dan penerbangan. [126]

Dari sisi politik tentu saja, Indonesia akan dinilai sebagai negara yang tidak tahu membalas budi pada Palestina, yang bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka, Palestina sudah mendukung pernyataan PM Koiso tentang rencana Jepang memerdekakan Indonesia. Bahkan, Palestina pula yang giat mengkampanyekan agar negara-negara Timur Tengah yang berdaulat untuk memberi pengakuan atas kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, logika ekonomi yang digunakan Wahid sangat berbahaya. Seperti telah ditulis oleh Eustace Mullins, bahwa ekonomi Yahudi Ashkenazi sifatnya parasitis. [127]

Argumentasi dan rencana Wahid tentu saja tidak bisa diterima mayoritas umat Islam Indonesia. Pernyataan Wahid kemudian malah berbalik menyerang dirinya sendiri dan akhirnya hingga akhir jabatannya, pembukaan hubungan diplomatik tidak terjadi. Saat menjadi presiden, Wahid bertemu dengan Presiden Palestina Yasser Arafat di Jakarta, Wahid menyatakan selaku kepala negara ia menegaskan bahwa “Indonesia terikat kepada keputusan yang dulu, yaitu hak untuk mencapai perdamaian di Palestina, terserah pada orang-orang Palestina itu sendiri … bukan saya mendukung, tetapi hal itu akan ditentukan oleh keputusan negara-negara Organisasi Konperensi Islam (OKI) dan resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa.” [128] Dengan demikian Wahid menekankan bahwa persoalan Palestina adalah persoalan dunia, baik itu yang diwadahi oleh negara-negara anggota OKI maupun aneka resolusi PBB.

Sikap ambigu Indonesia di bawah Wahid atas Palestina pun terjadi saat konferensi International Parliamentary Union (IPU) di Jakarta. Jakarta menyatakan akan bersikap netral terhadap perkembangan yang terjadi di Timur Tengah, dan pernyataan ini mengecewakan delegasi Palestina. Sikap Indonesia kali ini tidak sejalan dengan apa yang sudah diambil Indonesia selama masa Sukarno, Soeharto, dan Habibie. Pernyataan kekecewaan delegasi Palestina disikapi lewat permintaan Alwi Shihab (Menlu Indonesia) untuk menarik Duta Besar Palestina Ribbi Yawad dari Indonesia karena dinilai gagal memberikan pengertian pada para delegasi Palestina tersebut. Namun, akhirnya melalui serangkaian dialog penarikan duta besar tidak dilakukan. [129]

Sesungguhnya aneka upaya pembukaan hubungan diplomatik bukan terjadi di era Wahid. Di era Soeharto pun upaya serupa kerap kali terjadi, terlebih di era Orde Baru ketergantungan Indonesia pada Amerika Serikat begitu besar. Di era Soeharto memang tidak terjadi hubungan diplomatik resmi dengan Israel, tetapi hubungan dagang dan perjalanan warga kedua negara berlangsung. Perbedaannya adalah, Wahid berupaya untuk secara resmi dan terang-terangan hendak membuka hubungan diplomatik tersebut dan inilah blunder politik luar negerinya karena tidak sejalan dengan Mukadimah UUD 1945 “ … bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan …”

Setelah Wahid dihentikan di tengah jalan oleh MPR, Megawati Soekarnoputri duduk sebagai presiden dengan Hamzah Haz sebagai wakil presiden. Pada masa presiden Megawati, dukungan kepada Palestina kembali dipertegas, misalnya seperti diungkap oleh Menlu Hasan Wirajuda dalam Sidang Darurat OKI, 10 Desember 2001. [130]

Saat terjadi pengepungan terhadap kantor pemimpin Palestina Yasser Arafat di Ramallah, Megawati bereaksi secara tegas, yaitu melalui Wakil Presiden Hamzah Haz untuk melayangkan undangan kepada Yasser Arafat untuk berkunjung ke Indonesia. [66] Undangan Megawati tersebut dipuji oleh pengamat politik Fachry Ali sebagai keputusan cerdas, yaitu sebagai terobosan politik dan diplomatik sekaligus. Sikap Megawati yang mengundang Arafat terang-terangan berseberangan dengan Amerika Serikat yang justru terang-terangan mendukung pengepungan pasukan Israel atas kantor Arafat. Bahkan Majelis Ulama Indonesia merujuk pada Fatwa Al-Azhar tahun 1968 bahwa “memerangi Israel adalah fardu ‘ain bagi umat Islam. [131]

Dalam Special Bulletin on the Commemoration of the International Day of Solidarity with the Palestinian People 2002 Megawati menyatakan sejumlah hal mengenai sikap Indonesia atas Palestina. Megawati kembali menegaskan sikap pemerintah dan rakyat Indonesia, seputar kebulatan tekad bangsa Indonesia akan selalu bersama dengan perjuangan rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri dan mendirikan negara berdaulat di tanah mereka sendiri, dengan Yerusalem sebagai ibukotanya.

Indonesia juga mengecam perusakan atas sejumlah instansi mendasar Otoritas Palestina yang dirusak dan dihancurkan oleh operasi militer Israel, dan ini memperburuk penderitaan rakyat Palestina. Indonesia menghendaki pelaksanaan Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1397 yang menegaskan batas-batas yang sudah ditentukan di dalam resolusi tersebut. Indonesia ingin agar pendudukan Israel di wilayah yang menjadi hak Palestina diakhiri. Pernyataan Megawati diakhiri dengan dukungan penuh atas kebebasan dan kemerdekaan rakyat Palestina. Hanya dengan pemberian kebebasan dan kemerdekaan itulah maka perdamaian di region konflik bisa diakhiri. [132]

Sikap Indonesia atas Palestina berlanjut di masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Masa jabatan SBY ini cukup panjang yaitu 10 tahun. Dalam masa awal periode pertama jabatan, SBY menyatakan filosofi politik luar negerinya yaitu navigating a turbulenced ocean dalam menghadapi konteks internasional, dan sebab itu Indonesia akan menunjukkan sikap moderat. [133] Unilateralisme Amerika Serikat begitu ‘ganas’ di era SBY dan hal beralasan bahwa dalam memajukan kepentingan nasional Indonesia memilih sikap moderat. SBY menekankan “bukan kita yang jadi antek asing, tapi terbalik, justru semua dapat jadi antek kita.” [134] Politik SBY agak mirip dengan Soeharto, yang bagi kalangan garis keras kerap disebut mendua. Sebagai contoh, SBY mengecam keras agresi Israel di Jalur Gaza, tetapi mau menerima bantuan Israel di saat terjadi Tsunami Aceh. [135]

Pada tahun 2007, SBY menyatakan “rakyat dan pemerintah Indonesia mendukung penuh perjuangan bangsa Palestina untuk menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, hidup dalam kedamaian dan mendapatkan dukungan dari masyarakat Internasional.” [136] Sebagai wujud nyata dukungan, pemerintah Indonesia pendidikan dan pelatihan para diplomat Palestina, para mahasiswa dan pelajar, dan juga angkatan kepolisian.

Selain pendidikan pelatihan, Indonesia juga mengirimkan bantuan kemanusiaan. Saat periode pertama SBY memerintah, kepemimpinan Palestina telah berpindah dari Yasser Arafat yang wafat 11 November 2004 dan kemudian digantikan Mahmoud Abbas, yang terpilih lewat Pemilu Demokratis Palestina 9 Januari 2005 kendati diboikot oleh dua kelompok garis keras Palestina: Hamas dan Jihad Islam. [137] Abbas kurang mengakar di masyarakat bawah Palestina ketimbang Barghouti, dan Abbas lebih disukai Israel dan Amerika Serikat.

Namun, seperti melanjutkan double-standard atas nama kepentingan nasional yang sifatnya material, Indonesia di era SBY pun terus menjalin hubungan dagang dengan Israel. Tahun 2008 adalah puncak hubungan dagang Indonesia-Israel dengan nilai ekspor Indonesia ke Israel mencapai US$ 200 juta, 90% dengan batubara sebagai komoditas utamanya. [138]

Logika yang melandasi rezim SBY ini serupa dengan apa yang pernah diargumentasikan Wahid, presiden RI sebelumnya, bahwa hubungan dengan Israel dapat dimanfaatkan untuk menekan Israel untuk mengakui Palestina merdeka. Namun, logika ini bukan disampaikan oleh SBY melainkan mantan petinggi diplomatik Israel untuk kawasan Asia Tenggara. [139] “Indonesia punya pengaruh kuat untuk mendamaikan konflik Jalur Gaza, tapi dengan syarat harus membuka diri guna bekerja sama dengan Israel, lanjut mantan petinggi Israel tersebut.” [140]

Israel seperti memanfaatkan kepentingan nasional ideasi Indonesia atas Palestina agar Indonesia mau masuk ‘gurita’ ekonomi Israel atas dasar kepentingan yang bersifat material. Namun, sepanjang masa pemerintahan SBY dalam kurun 10 tahun hubungan diplomatik resmi Indonesia-Israel tidak pernah mewujud.

Selama konflik Gaza 2008-2009, SBY menyatakan “pemerintah Indonesia tetap konsisten mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk mempertahankan hak dan kedaulatannya.” [141] Selanjutnya, setelah terjadi bentrokan Armada Gaza pada 31 Mei 2010, SBY mengutuk tindakan Israel dan Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu (Marty Natalegawa) juga turut mengutuk dan menyatakan bahwa blokade Israel di Gaza merupakan pelanggaran hukum internasional. Juga, dalam konflik Gaza 2014, pemerintah Indonesia mengutuk agresi militer Israel di Gaza karena dapat merusak kondisi menuju terciptanya perdamaian antara Palestina-Israel. [142]

Pada tanggal 29 Mei 2010, Presiden Abbas datang menemui SBY di Istana Negara. SBY kembali menekankan dukungan Indonesia atas kemerdekaan Palestina dan merealisasi bantuan kepada Palestina senilai 20 milyar rupiah untuk pendirian rumah sakit Palestina di Jalur Gaza. [143] Solusi yang ditawarkan SBY pada Abbas adalah solusi 2 negara: Palestina dan Israel. Tanggal 23 – 27 Mei 2011 diadakan pertemuan tingkat menteri Gerakan Non-Blok (GNB) di Bali, Indonesia. Negara-negara GNB kembali memperkuat komitmen mereka terhadap perjuangan rakyat Palestina, khususnya rekonsiliasi antarfaksi Palestina (Fattah, Hamas, dan Jihad Islam) demi menuntaskan isu Palestina. Atas gagasan Indonesia disepakati rencana aksi NAM Ministerial Committee untuk menggalang suara terhadap pengakuan Palestina sebagai anggota PBB. [144]

Namun, SBY sambil terus melaksanakan kepentingan nasional yang bersifat ideasi, juga menerapkan kepentingan nasional yang bersifat material dengan Israel. Tahun 2008 adalah periode puncak volume dagang Indonesia-Israel dengan total nilai US$ 900 juta, dengan nilai ekspor Indonesia ke Israel sebesar US$ 800 juta dan impor US$ 100 juta. Indonesia tentu saja mengalami surplus perdagangan dengan Israel, tetapi Israel menyedot sumber daya alam tak bisa diperbarui (batubara) sebagai komoditas utama ekspor Indonesia ke Israel. Indonesia bukan satu-satunya negara Asia yang melakukan perdagangan dengan Israel karena Malaysia, Turkmenistan, Uzbekistan, Yordania, Kazakstan, juga melakukannya.

Tahun 2011, total perdagangan Indonesia-Israel US$ 170,62 juta, dengan nilai ekspor US$ 159,61 juta dan impor US$ 11,01 juta. Sekali lagi di era SBY, Indonesia mengeruk surplus perdagangan dengan Israel. Di penghujung masa jabatan SBY, volume perdagangan Indonesia-Israel menurun jadi US$ 152,77 juta. Namun tahun 2015, saat Jusuf Kalla menjadi wakil presiden, tokoh yang meneken pencabutan larangan perdagangan dengan Israel 1967 pada tahun 2001, volume dagang Indonesia-Israel kembali menaik ke angka US$ 194,43 juta dengan US$ 116,70 juta ekspor dan US$ 77,73 juta. [145]

Perlu diperhatikan volume di tahun 2015 ini, bahwa Israel semakin memperkecil defisit perdagangan mereka dengan Indonesia, bahkan tanpa hubungan diplomatik sekalipun. Di sinilah bukti bahwa berjangkitnya ‘parasitisme’ dagang dengan para pengusaha Yahudi sedikit demi sedikit memperoleh kenyataannya.

Pada sisi lain, di penghujung masa kepemimpinannya, SBY kembali mengajukan kepentingan nasional ideasi Indonesia atas Palestina. [146] Saat bertemu Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah (pengganti Mahmoud Abbas) di Istana Negara 28 Februari 2014, Indonesia menandatangani 3 nota kesepahaman dengan Palestina yaitu di bidang pendidikan, politik, dan ekonomi.

Di bidang politik, SBY menekankan komitmen dan langkah praktis Indonesia untuk mewujudkan Palestina merdeka, yaitu sebagai negara peninjau di PBB dan masuk menjadi anggota UNESCO, tetapi harus ditempuh dengan two states solution. Di bidang ekonomi, Indonesia (termasuk wisata) Indonesia akan mengaktifkan joint-business council Indonesia-Palestina di bidang gas dan sumber daya alam lainnya. Dalam hal pariwisata Indonesia punya 40 ribu lebih WNI yang berwisata religi ke Palestina. Di bidang pendidikan, Indonesia membuka pintu sebesar-besarnya bagi mahasiswa Palestina yang ingin belajar di Indonesia yang kini jumlahnya sudah ribuan.

Periode SBY pun memberi fundasi yang lebih kuat bagi kepentingan nasional Indonesia atas Palestina yaitu mendekati Liga Arab, organisasi yang didirikan 22 Maret 1945 beranggotakan 22 negara. Liga Arab telah berjasa dalam memberi pengakuan awal atas kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, dan secara strategis Liga Arab memberi ruang lebih besar bagi Indonesia untuk mengupayakan kepentingan nasional Indonesia di forum-forum internasional dengan mana Indonesia punya kesamaan posisi dengan aneka negara Liga Arab. [147] Hasil dari lobi pemerintah SBY adalah, Indonesia mendapat status Accredited Ambassador to Arab League yang dengannya Indonesia dapat menghadiri beberapa pertemuan Liga Arab serta memiliki peluang besar mendapat informasi terkini mengenai perkembangan organisasi tersebut.

Langkah lain SBY yang strategis demi memajukan kepentingan nasionalnya atas Palestina adalah pembaruan solidaritas negara-negara yang tergabung dan mengadakan Konperensi Asia Afrika 22 – 23 April 2005 di Jakarta. Pertemuan yang dihadiri 106 negara (54 negara Asia dan 52 negara Afrika) melahirkan New Asian African Strategic Partnership Plan of Action (NAASP). Indonesia kemudian menjadi tuan rumah NAASP dalam momen Ministerial Conference on Capacity Building for Palestine tahun 2008 yang dihadiri 218 peserta dari 56 negara dan 3 organisasi internasional tanggal 14 – 15 Juli 2008. Kesepakatan yang lahir adalah NAASP berkomitmen memberikan bantuan program pembangunan kapasitas bagi 10 ribu warga Palestina dalam kurun 5 tahun (2008 – 2013) dan SBY sendiri langsung mengajukan komitmen bantuan Indonesia untuk 1.000 orang Palestina. [148] Hingga Mei 2013, Indonesia telah memberikan pelatihan pengembangan kapasitas terhadap 1.246 warga Palestina.

Secara umum, garis yang ditempuh SBY mirip dengan garis yang ditempuh Soeharto dalam komitmen kepentingan nasional untuk kemerdekaan Palestina. Setelah SBY digantikan Joko Widodo (Jokowi) pola soft SBY sedikit agak berubah. Jokowi yang diimbangi oleh Wapres Jusuf Kalla, relatif lebih lantang dalam menyuarakan kepentingan nasional Indonesia atas Palestina.

Saat bertemu pertama kali dengan PM Palestina Rami Hamdallah, Jokowi menyatakan bahwa “Palestina adalah satu-satunya negara yang masih dalam penjajahan … penjajahan di Palestina harus segera diakhiri.” [149] Namun, pernyataan cukup keras ini membentur realitas politik, dukungan atas Jokowi amat lemah. Ia amat bergantung pada PDIP, partai yang kerap diasosiasikan ‘jauh’ dari Islam. Juga, wakilnya adalah orang yang menandatangani surat pencabutan larangan dagang dengan Israel di era Abdurrahman Wahid. Kendati demikian, dalam pertemuan dengan Hamdallah, Jokowi menjanjikan pembukaan konsulat Indonesia di Ramallah. Saat Jokowi bertemu Hamdallah, Palestina sudah diakui sebagai anggota tidak tetap PBB.

Langkah konkrit dukungan Indonesia adalah dukungan resmi pemerintah atas dibangunnya rumah sakit di Gaza, Palestina yang diprakarsai civil society bernama MER-C (Medical Emergency Rescue Committee). [150] Rumah sakit tersebut dibangun di lahan seluas 16.261 meter persegi dan dikhususkan untuk pembedahan dan pelayanan traumalogi masyarakat Palestina. Selain rumah sakit, Indonesia berencana membangun Konsulat Kehormatan di Ramallah dan pembangunan Indonesia Cardiac Centre di RS Al-Syifa di Gaza. Presiden mengemukakan bahwa rumah sakit yang dibangun di Gaza didanai sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia, bukan pemerintah.

Salah satu wujud signifikan dukungan Indonesia atas kepentingan nasional ideasinya atas Palestina adalah peresmian Konsulat Kehormatan RI untuk Palestina di Ramallah tanggal 13 Maret 2016. [151] Namun, peresmian tersebut tidak bisa dilakukan di Ramallah (Palestina) melainkan di Kedutaan Besar Indonesia di Amman, Yordania. Ini akibat pemerintah Israel melarang kedatangan Menlu Indonesia (Retno Marsudi) untuk melakukan peresmian konsulat tersebut di Ramallah. [152]

Secara tegas Menlu Retno Marsudi menyatakan bahwa pendirian Konsulat Kehormatan RI di Ramallah bukan urusan Israel. Larangan masuk atas Menlu Retno Marsudi akibat ia menolak bertemu dengan pejabat Israel di Yerusalem, dan akibat penolakannya tersebut, Israel memutuskan tidak memberi visa pada Menlu Retno untuk masuk ke Ramallah.

Sebelumnya, pada Konperensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Organisasi Konperensi Islam tanggal 6 – 7 Maret 2016, lahir komitmen bersama (Resolusi dan Deklarasi Jakarta) mendukung Al-Quds Al-Syarif (Kota Suci Yerusalem) berupa bantuan finansial bagi Al-Quds Fund.

Dalam KTT tersebut Jokowi menyerukan negara-negara anggota OKI untuk melakukan pemboikotan produk-produk Israel yang berasal dari wilayah-wilayah pendudukan mereka di Palestina. [153] Hubungan Indonesia-Palestina sejak 2004 hingga 2015 ditandai oleh tren menaik sebesar 300%. Kerja sama bidang ekonomi adalah salah bidang utama yang harus dijalankan oleh Konsulat Kehormatan RI di Ramallah yang dipimpin oleh Maha Abu Shusha, warga Palestina, yang ditunjuk oleh Indonesia untuk menjadi konsul kehormatan Indonesia untuk Palestina. [154]

Pembukaan konsulat kehormatan Indonesia di Ramallah adalah upaya merayap untuk memancing negara-negara lain melakukan hal serupa, tetapi ternyata kenyataan tidak terlalu menggembirakan. Israel malah melobi Amerika Serikat untuk mendukung mereka memindahkan ibukota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem (Al-Quds) yang selama ini menjadi icon bagi Palestina.

Ramallah adalah ibukota administratif Palestina tetapi saat ini ada di bawah pendudukan (atau tepatnya, dijajah) oleh Israel. Israel seolah memancing Indonesia untuk membuka hubungan diplomatik dengan mereka, karena pembukaan kedutaan besar hanya dimungkinkan apabila Palestina sudah merdeka dan diakui Israel. Indonesia menolak untuk mengakui negara Israel apabila Israel tidak mengakui kemerdekaan Palestina, seperti dikatakan oleh Andy Rachmianto (Dubes RI untuk Yordania dan Palestina) [155]

Terlepas dari hal lain, Konsulat Kehormatan Indonesia sudah berdiri di Ramallah, dengan tugas: (1) Memberikan pelayanan dan perlindungan kepada Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia; (2) Meningkatkan hubungan dan kerja sama ekonomi dan sosial-budaya; (3) Mempromosikan ekonomi, perdagangan, pariwisata, dan investasi Indonesia; (4) Promosikan seni dan budaya Indonesia; dan (5) Pengawasan dan pelaporan. [156]

Indonesia tidak bisa sendiri dalam mengambil langkah tegas terhadap penghapusan penjajahan Palestina oleh Israel, kendati apa yang disepakati dalam KTT OKI cukup tegas. Hal ini diungkap oleh Smith Alhadar, pengamat Timur Tengah dari The Indonesian Society for Middle East Studies. [157] Alhadar realistis dengan mengungkap bahwa di dalam OKI sendiri terdapat perseteruan internal yaitu antara Arab Saudi dan Turki pada satu sisi dengan Iran di sisi lain. Alhadar mencontohkan proposal Perancis yang memberi ultimatum kepada Israel, apabila solusi dua negara tidak diwujudkan Israel, maka Perancis akan mengakui kemerdekaan Palestina. [158]

Dukungan atas kemerdekaan Palestina tidak pernah lepas dari kepentingan nasional Indonesia. Saat dahulu Donald Trump mengeluarkan pernyataan di acara Diplomatic Reception Room Gedung Putih, yang menyatakan bahwa Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, Indonesia menyatakan “ … mengecam keras pengakuan sepihak AS terhadap Yerusalem sebagai ibukota Israel dan meminta AS mempertimbangkan kembali keputusan tersebut.” [159]

Bagi Jokowi, permasalahan Yerusalem tidak bisa dilepaskan dari kemerdekaan Palestina. Dalam kasus pembatasan beribadah di Masjid al-Aqsa Juli 2017, Indonesia mengusulkan proteksi internasional di kompleks al-Aqsa. Apa yang diungkap Jokowi ini kembali bergema dalam KTT Negara OKI yang dilangsungkan di Istanbul lewat pernyataan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bahwa Yerusalem adalah milik Palestina dan menyerukan lembaga internasional melakukan intervensi atas dukungan sepihak AS atas pemindahan ibukota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Salah satu badan dunia yang penting bagi rakyat Palestina adalah Badan Bantuan dan Pembangunan PBB untuk Palestina atau UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East ). Badan ini mengurusi sekitar 5,3 juta pengungsi Palestina di sejumlah wilayah. [160] Pada tahun 2018 badan ini mengalami defisit anggaran sebesar US$ 440 juta sehingga menyulitkan badan tersebut membantu para pengungsi Palestina.

Anggaran UNRWA ada yang berasal dari PBB, tetapi mayoritas berasal dari kontribusi sukarela dari negara-negara anggota. Indonesia adalah salah satu negara anggota, yang kemudian menggalang dana dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), dana pemerintah, dan para filantropis Indonesia. Amerika Serikat pada September 2018 memutuskan menghentikan segala bantuan untuk UNRWA sebesar US$ 200 juta untuk dia alihkan ke tempat lain. Tidak hanya untuk UNRWA, Indonesia pun terancam dicabut bantuan ekonominya karena Presiden Trump mengancam negara mana pun yang menolak untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel akan dianggapnya menantang dirinya secara pribadi. [161]

Indonesia di era Jokowi mendapat kesempatan sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB selama 2 tahun, terhitung sejak 1 Januari 2019 – 31 Desember 2020 (bersama Jerman, Afrika Selatan, Belgia, dan Republik Indonesia). Sebelumnya Indonesia sudah 3 kali menjadi anggota tidak tetap dewan tersebut (1974-1975, 1995-1996, dan 2007-2008).

Dalam kesempatan tersebut, Indonesia menetapkan 4 isu prioritas dan 1 isu perhatian khusus. Satu-satunya isu perhatian khusus adalah Palestina. [162] Pada tanggal 21 – 25 Januari 2019, Menlu Retno Marsudi menghadiri Sidang Resmi DK-PBB yang membahas isu Timur Tengah dan Indonesia fokus pada persoalan Palestina. [163] Sikap resmi Indonesia dalam DK-PBB adalah two state solution sebagai opsi paling rasional. Sikap ini dilanjutkan pada 5 Maret 2019 saan Menlu RI mengunjungi Amman, Yordania untuk membuka pelatihan peningkatan kapasitas kewirausahaan bagi perempuan untuk Palestina. [164]

Namun, usaha Indonesia ini, seperti telah dapat diprediksi, akan dihalangi oleh kekuatan besar: Amerika Serikat. Donald Trump mengajukan usulan perdamaian Palestina-Israel tanggal 28 Januari 2020, yang disambut positif Arab Saudi yang menganggapnya sebagai dasar pembicaraan 4 mata antara Palestina-Israel (seraya tetap mendukung Palestina) dan Uni Emirat Arab. [165] Pada sisi lain, proposal tersebut memicu kegusaran Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas dan meminta DK-PBB menolak usulan perdamaian tersebut. Usulan Trump adalah pembagian wilayah Palestina dan Israel yang dapat dilihat dalam peta berikut: [166]


Peta usulan Trump di atas mirip dengan peta Israel setelah perang 1948. Dalam usulan Trump, hubungan Gaza dengan Tepi Barat bukan dihubungkan oleh jalan milik Palestina melainkan akses jalan yang dimiliki Israel. Dengan demikian, Tepi Barat benar-benar dipisahkan dari Gaza, dua wilayah utama Palestina. Juga akses pelabuhan bagi Palestina akan berada di wilayah Israel, yang apabila hendak didistribusikan ke Gaza dan Tepi Barat harus melalui seluruh wilayah Israel.

Selain itu, poin-poin ‘damai’ versi Trump adalah: (1) Israel tetap memiliki 20% wilayah Tepi Barat dan kehilangan sejumlah kecil tanah di gurun Negev dekat perbatasan Gaza-Mesir; (2) Ibukota Palestina adalah Yerusalem Timur, di utara dan tiur yang ada di luar batas keamanan Israel yaitu Kafr Akab, Abu Dis dan setengah Shuafat, sementara Yerusalem secara umum adalah ibukota Israel; (3) Israel mempertahankan Lembah Yordan dan semua pemukiman Israel di Tepi Barat seluas mungkin, mencakup 15 pemukiman terisolasi, yang nantinya akan menjadi bagian dari negara Palestina; (4) Israel mengendalikan keamanan dari Sungai Yordan sampai Laut Mediterania, Israel Defense Force tidak diharuskan meninggalkan Tepi Barat, dan tidak ada perubahan pendekatan Israel ke Yudea dan Samaria; (5) Palestina tidak akan diakui sebagai negara independen secara langsung, dan baru akan akan diberikan 4 tahun ke depan dengan syarat-syarat: berhenti mendanai Hamas dan Jihad Islam, menghentikan korupsi, menghormati HAM, kebebasan beragama, dan kebebasan pers; (6) Sejumlah pengungsi Palestina akan diizinkan masuk ke Palestina, tetapi tidak seorang pun diizinkan masuk ke Israel; dan (7) Terbuka kemungkinan Israel akan menukar daerah triangle dengan negara Palestina di masa depan yaitu Kafr Kara, Baka al-Gharbiya, atau Umm el-Fahm, dan perbatasan Israel akan digambar ulang sehingga komunitas triangle menjadi bagian dari negara Palestina. [167] Adapun proposal Trump itu merupakan hasil dari 3 tahun upaya penasehat senior Gedung Putih. [168]

Penasihat senior Gedung Putih yang selama 3 tahun menggodok proposal Trump terdiri atas 3 orang, dan ketiganya tidaklah ‘senior’ dalam arti obyektif dan memahami permasalahan sehingga dikecam Indonesia, Tunisia, Liga Arab, negara-negara OKI, bahkan Uni Eropa. Ketiganya adalah Jared Kushner, David Friedman, dan Jason Greenblatt. [169]

Jared Kushner adalah menantu Trump yang beragama Yahudi Ortodoks yang tidak punya pengalaman politik atau diplomatik sebelumnya tetapi punya koneksi langsung ke Israel. Kushner dan Friedman, lewat badan amal keluarga, telah lama menyumbang ke pemukiman Bet I di Ramallah. Sementara Greenblatt belajar di yeshiva, sekolah Yahudi yang khusus mempelajari teks agama tradisional tahun 1980-an di dekat Yerusalem. Trump pun menyampaikan proposal ‘perdamaiannya’ ditemani oleh Benyamin Netanyahu di Gedung Putih. Negara lain yang turut menghadiri adalah Oman, Bahrain, dan Uni Emirat Arab.

Indonesia dalam pertemuan khusus tingkat menteri Organisasi Konperensi Islam (OKI) di Jeddah 3 Februari 2020 menyatakan penolakan terhadap usulan damai Trump, melalui Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar dan mendesak negara-negara OKI untuk tetap bersatu mendukung Palestina. [170] Uni Eropa pun menyatakan sikap menolak ‘peta’ Trump lewat pernyataan Kepala Hubungan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell bahwa “usulan AS menyimpang jauh dari kesepakatan internasional … sejumlah masalah penting harus diselesaikan kedua belah pihak … yang terkait dengan perbatasan, status Yerusalem, keamanan hingga status pengungsi.” [171] Sebagai reaksi atas peta ‘sepihak’ Trump, DK-PBB yang dimotori Indonesia dan Tunisia memprakarsai pertemuan khusus DK-PBB dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang diadakan di New York 11 Februari 2020. [172] Pertemuan itu juga dihadiri Sekjen PBB Antonio Guterres dan Sekjen Liga Arab Ahmed Aboul Gheit. Abbas menyebut peta versi Trump sebagai ‘keju Swiss’ yaitu sejenis keju yang berlubang-lubang. Abbas menyatakan keinginannya agar kuartet “Timur Tengah” dihidupkan kembali dalam penyelesaian masalah Palestina-Israel yaitu AS, Russia, Uni Eropa, dan PBB. Sebelumnya

Namun, inisiatif Indonesia dan Tunisia yang merancang draft resolusi penolakan terhadap proposal ‘perdamaian’ Trump tetap mempertimbangkan sikap Palestina. Isi draft resolusi yang dimotori Indonesia dan Tunisia menekankan pada “ … ilegalitas anekasasi bagian mana pun” dari wilayah Palestina yang diduduki dan “mengecam pernyataan baru-baru ini yang menyerukan aneksasi oleh Israel” dari wilayah Palestina. Draft itu juga sangat menyesalkan bahwa rencana Trump melanggar hukum internasional dan resolusi PBB. Wakil Tetap RI untuk PBB Dian Triansyah Djani menyatakan bahwa pihak Palestina masih memerlukan waktu untuk konsultasi lebih jauh lagi dan menyatakan bahwa “draft bukan dokumen yang sudah dibahas atau divoting atau untuk diambil keputusan.” [173]

Draft resolusi tersebut disikapi secara personal oleh Trump, bahwa setiap negara yang menentang proposalnya adalah musuh pribadi bagi dirinya. Padahal, proposal Trump secara signifikan ingin menghapus Kesepakatan 1967 menjadi dasar perdamaian dan gagasan Indonesia bahwa pemukiman Yahudi di Tepi Barat sejak 1967 adalah ilegal. [174] Terbukti, Palestina kemudian batal melanjutkan permintaan mereka agar DK PBB menggelar jajak pendapat untuk menolak proposal perdamaian dengan Israel yang digagas Donald Trump.

Tidak lama kemudian dunia disibukkan oleh isu wabah COVID-19.


Indonesia dan Palestina Dua Negara Berdaulat

Dukungan Indonesia atas kemerdekaan Palestina sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia. Kepentingan nasional ini terdapat di dalam Mukadimah UUD 1945 bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. (artikel bagian 7)
Indonesia memandang Israel sebagai negara yang melakukan penjajahan atas Palestina. Sebab itu Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel kendati Israel terus melobi dan Amerika Serikat menekan.

Pada sisi lain, Indonesia mendukung perjuangan rakyat Palestina lewat pembukaan kantor Palestinian Liberation Organisation (PLO) dan Deklarasi Kemerdekaan Palestina oleh Yasser Arafat. Palestina memiliki perwakilan resmi di Indonesia dan Indonesia pun membuka Konsulat Kehormatan di Ramallah, Palestina. Corak kepentingan nasional Indonesia ini bersifat ideasi, non material, karena berupa nilai-nilai abstrak yang hendak diwujudkan.

Tujuh rezim politik yang pernah berkuasa di Indonesia, seluruhnya memberikan dukungan atas kemerdekaan Palestina dari Israel dengan sejumlah variasi. Sukarno bersikap paling tegas atas dukungannya terhadap Palestina dan penolakannya atas Israel.

Soeharto tetap mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina sambil di sisi lain, karena cukup bergantung pada bantuan Amerika Serikat, terpaksa menerima sejumlah bantuan terselubung dan perdagangan terselubung dengan Israel. B.J. Habibie terlalu singkat masa pemerintahan, tetapi dukungan Indonesia atas kemerdekaan Palestina tidak surut, bahkan Habibie meletakkan dasar kekuatan politik internasional yang bisa digunakan untuk melakukan desakan signifikan atas Israel, yaitu bersama Erbakan mendirikan D-8.

Abdurrahman Wahid tetap mendukung kemerdekaan Palestina dengan cara masuk ke dalam kancah pergaulan pimpinan Israel yaitu Yitzhak Rabin (lalu tewas ditembak ekstrimis Yahudi) dan Shimon Peres (luput dari upaya pembunuhan oleh ekstrimis Yahudi) dan membuka hubungan dagang dengan Israel dengan mencabut larangan dagang dengan Israel yang telah berlaku sejak 1967.

Megawati Soekarnoputri pun tetap mendukung kemerdekaan Palestina yang dilakukan terutama melalui Menteri Luar Negeri, dan malah mengundang Yasser Arafat berkunjung ke Indonesia saat ia dikepung di kantornya oleh pasukan Israel. SBY pun sama, yaitu tetap mendukung kemerdekaan Palestina dan menegaskan dukungan Indonesia atas solusi dua negara untuk memecahkan konflik Palestina-Israel dengan diplomasi yang lebih soft.

Joko Widodo pun meneruskan kebijakan tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel dan malah mendirikan Konsulat Kehormatan Indonesia di Ramallah, mengecam tindakan Israel yang didukung AS memindahkan ibukota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem, dan dengan Tunisia memprakarsai draft resolusi Dewan Keamanan PBB yang intinya menolak proposal perdamaian Donald Trump yang banyak merugikan Palestina karena hanya melibatkan Israel dalam penyusunannya. Hingga tanggal 3 April 2020, Indonesia hanya satu dari sangat sedikit negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, negara yang terus menjajah Palestina. [/]


Catatan Kaki

[1] Ilan Pappe, The Forgotten Palestinian: A History of the Palestinians in Israel (New Haven and London: Yale University Press, 2011) p. 1.
[2] ibid., p. 1-2.
[3] ibid., p. 2.
[4 ]Yang serumpun semit adalah Arab-Palestina dengan Yahudi-Palestina yang asli Palestina. Yahudi diaspora yang masuk ke Palestina terdiri atas sejumlah kelompok. Pertama, Yahudi Askhenazi, yaitu istilah bahasa Ibrani yang menggambarkan wilayah Rhineland di Jerman dan utara Perancis di abad pertengahan. Ashkenazi ini lalu melangkah ke timur: Polandia, Rumania, Hongaria, dan Rusia. Dan ada kerajaan Khazar (lokasinya di Armenia dan Lithuania, penduduknya bukan Semit) memeluk agama Yahudi sehingga ‘kaburlah’ aspek genetis di kalangan Ashkenazi di Timur Eropa. Penduduk Khazar ini kemudian disebut sebagai Ashkenazi pula, padahal kurang tepat karena mereka tidak punya darah Semit, sebab ras mereka Eurasia. Bahasa yang digunakan oleh Ashkenazi ini adalah Yiddish, bukan Ibrani. Kedua, Sephardi (atau Sefaradi, dari bahasa Ibrani untuk Spanyol). Aslinya mereka keturunan Yahudi Iberia. Mereka ini umumnya kaya dan ahli kerajinan logam, dan tentu, berdagang. Mereka ini pun turut berdiaspora ke Eropa Barat, Afrika Utara, dan Kesultanan Utsmani. Ketiga, Mizrahi (dari bahasa Ibrani yang berarti wilayah timur) utamanya dinisbahkan untuk Yahudi yang berketurunan di Afrika Utara, Timur Tengah, Kaukasus, Asia Tengah, dan India, termasuk di negara-negara seperti Iraq, Suriah, dan Iran. Saat ini di Israel, Ashkenazi adalah ‘kasta’ pertama, Sephardi ‘kasta’ kedua, Mizrahi dan Yahudi asli Palestina ‘kasta’ ketiga.
[5] Migrasi gradual Ashkenazi dimulai 1881 yang dikenal sebagai First Aliyah, disponsori keluarga Rothschild yang mendirikan permukan Askhenazi di Ekron, Gederah, Rishon le-Zion dan Petah Tikva (di Yudea), Rosh Pinha dan Yeshud ha-Ma’ala (di Galilea), dan Zikhron Yacov (di Samaria. Tahun 1986 Rothschild menambah Metullah dan Zionis Russia menambah Be’er Toviyyah. Total dana migrasi ini 1,7 juta Poundsterling, dan 1,6 jutanya keluar dari uang pribadi Rothschild. ‘Aliyah kedua terjadi sejak 1904 seiring pogrom Rusia 1904, dengan 40 ribu Askhenazi masuk ke Palestina, khususnya Jaffa (nanti Jaffa menjadi Tel Aviv). Lihat Lihat Paul Johnson, A History of the Jews (Great Britain: PerfectBound, 1987), p. 432.
[6] Hillary L. Rubinstein, Dan Cohn-Sherbok, Abraham J. Edelheit, and William D. Rubinstein, The Jews in the Modern World: A History Since 1750 (London: Arnold, 2002) p. 303-4.
[7] Hillary J. Rubinstein, et.al., The Jews in the … op.cit., p. 304.
[8] ibid., p. 305.
[9] ibid., p. 306.
[10] ibid.
[11] ibid.
[12] ibid., p. 307.
[13] ibid.
[14] Herzl menyatakan dasar dari mengapa ia menulis Der Judenstaat adalah pengadilan tidak adil atas Richard Dreyfus, prajurit Yahudi Ashkenazi yang bergabung dengan Angkatan Perang Perancis lalu dituduh berkhianat sehingga menguntungkan Jerman, musuh Perancis dalam Perang Dunia I.
[15] Paul Johnson, A History …., op.cit. p. 396. Herzl membayangkan konstitusi negara Yahudi nantinya bersifat aristokratik, seperti konstitusi Wina, Austria. Rothschild menjadi doge (posisi setara seperti kepala magistrat Wina) dan Maurice Hirsch sebagai wakilnya.
[16] ibid. p. 398.
[17] ibid., p. 401.
[18] ibid.
[19] Setelah ia meninggal, keluarganya berantakan. Tiga tahun kemudian Julia Naschauer (istrinya) meninggal. Anak perempuannya Pauline jadi pecandu heroin dan tahun 1930 meninggal akibat overdosis. Anak laki-lakinya, Hans, melakukan percobaan bunuh diri lalu dirawat kejiwaannya oleh Sigmund Freud. Trude, anak perempuan lainnya meninggal di kamp Nazi, dan anaknya (cucu Herzl) bunuh diri tahun 1946. Lihat Paul Johnson, A History … op.cit., p. 186. Anak Sigmund Freud, Ernest, pun kemudian menjadi anggota Zionis yang teguh. Sigmund Freud tidak mau mengambil royalti atas seluruh karyanya apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Yiddish (bahasa kaum Yahudi Askhenazi) ataupun Ibrani (bahasa kaum Yahudi di Palestina). Juga, tidak ada satu pun anak Freud yang pindah ke agama selain Yahudi ataupun menikahi bangsa selain Yahudi. Freudianisme lalu menjelma jadi kredo pemikiran setara agama yang menyebar dan dipraktekkan terutama oleh kaum Yahudi.
[20] ibid., p. 404.
[21] Joseph Massad, The Persistence of the Palestinian Question: Essays of Zionism dan the Palestinians (Oxon: Routledge, 2006) p. 1.
[22] Paul Johnson, A History … op.cit., p. 429.
[23] ibid
[24] ibid,. p. 429-30.
[25] ibid., p. 430.
[26] John Efron, Matthias Lehmann, and Steven Weitzman, The Jews: A History, Third Edition (New York: Routledge, 2019) p. 404.
[27] Paul Johnson, A History …, op.cit., p. 431.
[28] ibid.
[29] ibid. Protocols of Learned Elders Zion adalah rencana kaum Yahudi menguasai tidak hanya Eropa, bahkan dunia. Dokumen ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh seorang Profesor Rusia bernama Sergei Nilus, yang saat itu setia pada Tsar Nicholas II, Tsar Rusia yang ia dan keluarganya dibunuh oleh pasukan Cheka Lenin.
[30] John Efron, et.al, The Jews …., op.cit., p. 364.
[31] ibid., p. 365.
[32] Saat pecah masalah imigran Yahudi, Palestina punya pemimpin (mufti) yaitu Al-Hajj Amin al-Husayni. Namun, status pemimpin tersebut tiba-tiba hilang manakala Negara Israel diproklamasikan.
[33] Mukadimah UUD 1945 alinea pertama. Diakses dari http://www.dpr.go.id/jdih/uu1945 tanggal 30 Maret 2020.
[34] Federal Reserve didirikan atas 3 motivasi yaitu (1) mentalitas darurat yang dipicu oleh panik ekonomi 1907; (2) reformasi administrasi yang digagas Partai Demokrat AS yang selalu bersikap oposisi terhadap bank nasional; dan (3) hasrat membuat sebuah lembaga yang bertindak sebagai bank pusat. Inisiatornya adalah para bankir bank-bank besar yang umumnya dimiliki oleh bankir internasional Yahudi Askhenazi seperti Paul Warburg dari Koehn, Loeb, & co. dan para pemikirnya seperti Louis Brandeis. Salah satu tujuan didirikannya Federal Reserve adalah “ …. to make the United States the financial center of the world.” Federal Reserve adalah lembaga swasta, bukan milik publik atau pemerintah AS. Federal Reserve adalah satu-satunya perusahaan swasta (berorientasi private-profit bukan public-profit) di dunia yang diberi kewenangan untuk mencetak Dollar. Lihat John H. Wood, Central Banking in a Democracy: The Federal Reserve and Its Alternatives (Oxon: Routledge, 2015) pp. 64-68.
[35] Lihat Michel Chossudovsky, America’s “War on Terrorism”, Second Edition (Quebec: Global Research, 2005) p. 65. Chossudovsky menyatakan, “America’s New War” consists in extending the global market system while opening up new “economic frontiers” for US corporate capital … the US-led military invasion ---in close liaison with Britain---- responds to the interests of the Anglo-American oil giants, in alliance with America’s “Big Five” weapons producers: Lockheed Martin, Raytheon, Northrop Grumman, Boeing and General Dynamics.” Senjata pemusnah massal Iraq, adalah casus belli yang dibuat-buat saja untuk menutupi kepentingan nasional mereka ini.
[36] Lihat John J. Mearsheimer and Stephen M. Walt, The Israel Lobby and U.S. Foreign Policy (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2007). Bab 7 berisikan lobi Israel yang anti Palestina baik di Kongres maupun Gedung Putih, Bab 8 adalah ‘perang Arab Raya’ yang coba dipancing oleh aneka lobi Israel, bab 9 dan 10 adalah bagaimana lobi Israel di AS mengupayakan invasi atas Suriah dan Iran.
[37] Andrew Heywood, Global Politics (Hampshire: Palgrave Macmillan, 2011) p. 130.
[38] Steven L. Lamy, et.al., Introduction to Global Politics, 4th Edition (New York: Oxford University Press, 2017) pp. 117-8.
[39] Jean-Marc Coicaud and Nicholas J. Wheeler, “Introduction: The Changing Ethics of Power Beyond Borders” dalam Jean-Marc Coicaud and Nicholas J. Wheeler, National Interest and International Solidarity: Particular and Universal Ethics in International Life (Tokyo: United Nations University Press, 2008) p. 2.
[40] ibid.
[41] Alexander Wendt seperti dikutip dalam Scott Burchill, The National Interest in International Theory (New York: Palgrave MacMillan, 2005) p. 185
[42] Scott Burchill, The National Interest in International Theory (New York: Palgrave MacMillan, 2005) p. 212-3.
[43] Martin Griffiths, et.al., International Relations: The Key Concepts, Second Edition (Oxon: Routledge, 2002) p. 216.
[44] ibid.
[45] ibid. p. 217.
[46] Noam Chomsky, Fateful Triangle: The United States, Israel and the Palestinians (London: Pluto Press, 1999) p. 175. Inggris adalah salah satu dari 4 great powers yaitu negara pemenang Perang Dunia I. Tiga negara lainnya adalah Perancis, Rusia, dan Italia.
[47] ibid. p. 176.
[48] Philip Mattar, The Mufti of Jerusalem: Al-Hajj Amin al-Husayni and the Palestinian National Movement (New York: Columbia University Press, 1988) p. 33.
[49] Noam Chomsky, Fateful …, op.cit., p. 177.
[50] Pemicu hal ini adalah aksi saling balas. Melihat imigran Yahudi terus membanjiri, muncul reaksi dari kalangan Arab. Tanggal 15 April 1936, sejumlah orang Arab bersenjata menyetop bus, merampok penumpang Yahudi dan Arab, lalu memberi tahu si penumpang Arab bahwa uangnya akan digunakan untuk membiayai perjuangan. Hagana (milisi komunitas Yahudi) kemudian membalas. Lalu berujung pada revolusi nasional. Tuduhan dialamatkan pada Amin al-Husayni oleh Joseph Schechtman, seorang Yahudi Revisionis, bahwa sang Mufti Palestina tersebut yang menginspirasikan perampokan bus. Lihat Philip Mattar, The Mufti …, op.cit., p. 68. Mattar melanjutkan posisi Mufti selama 15 – 25 April adalah oposisi non kekerasan terhadap Zionis dan kooperasi politik dengan Inggris dengan harapan Palestina akan diberikan kepada bangsa Palestina secara damai.
[51] Noam Chomsky, Fateful …, op.cit., p. 178.
[52] Philip Mattar, ed., Encyclopedia of the Palestinians, Revised Edition (New York: Fact on File, 2005) p. 389.
[53] ibid., p. 340. Peta diambil dari sumber ini.
[54] ibid. Encyclopedia …, op.cit. p. 387.
[55] ibid. p. 387. Peta diambil dari sumber ini.
[56] ibid., p. 155. Peta diambil dari sumber ini.
[57] ibid.
[58] Noam Chomsky, Fateful …., op.cit., p. 182.
[59] Howard N. Lupovitch, Jews and Judaism in World History (New York: Routledge, 2010) p. 231
[60] Noam Chomsky, Fateful …., op.cit., p. 182.
[61] Konsultan yang dekat dengan Truman adalah David Niles, seorang Yahudi Komunis dengan kecenderungan pribadi kurang lazim. David Niles ini punya saudara perempuan yang bekerja pada Israeli Intelligence di Tel Aviv, juga saudara perempuan dengan jabatan tinggi di intelijen Soviet di Moskow. Selain David Niles, orang berpengaruh terhadap Truman lainnya adalah Harry Dexter White, seorang Yahudi Lithuania dan seorang agen komunis. Di puncak pengaruh atas Truman adalah Bernard Baruch spekulan Yahudi yang mampu mencetak uang 1 juta dollar per hari akibat pengetahuannya atas apapun kebijakan yang akan diberlakukan AS di bawah Truman. Lihat Eustace Mullins, The Biological Jew (Virginia: The International Institute of Jewish Studies, 1968). pp. 59-60. Tidak mengherankan bahwa Israel dengan leluasanya memproklamasikan berdirinya negara Israel 14 Mei 1948 di masa Truman ini.
[62] Noam Chomsky, Fateful …., op.cit.,., p. 184.
[63] James Petras, Zionisme dan Keruntuhan Amerika: Bagaimana Lobi Yahudi Menindas Negara-negara Muslim dan Menghancurkan Amerika Serikat dari Dalam (Jakarta: Zahira Publishing, 2009). Terumata di Bagian 1: Zionisme dan Militerisme Amerika.
[64] Philip Mattar, Encyclopedia …., op.cit., p. 246. Peta diambil dari sumber ini.
[65] ibid., p. 248
[66] Lukman Hakiem, “Hubungan Bersejarah Indonesia dan Palestina” Kamis, 27 Juli 2017. Diakses dari https://republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/07/27/otq3po385-hubungan-bersejarah-indonesia-dan-palestina tanggal 30 Maret 2020.
[66] ibid.
[67] Adara, “Peran Palestina terhadap Kemerdekaan Indonesia” diakses dari https://adararelief.com/peran-palestina-terhadap-kemerdekaan-ri/ tangal 30 Maret 2020.
[68] Lukman Hakiem, “Hubungan …,” op.cit.
[69] Kementerian Luar Negeri RI, “Important Milestone in the History of Indonesian Diplomacy” March 31st 2019. Akses di https://kemlu.go.id/portal/en/read/47/tentang_kami/important-moments-in-the-history-of-indonesian-diplomacy tanggal 28 Maret 2020.
[70] Adara, “Peran …” op.cit.
[71] ibid.
[72] ibid.
[73] Windi Dermawan, “Kemerdekaan & Palestina” (Pikiran Rakyat, Selasa, 21 Agustus 2018).
[74] M. Muttaqien, “Domestic Politics and Indonesia’s Foreign Policy on the Arab-Israeli Conflict” (Global & Strategies, Th. 7, No.1, Januari – Juni 2013) p. 61. (57-72)
[75] ibid
[76] Nasih Nasrullah, “Begini Sikap Tegas Sukarno terhadap Zionis Israel” diakses dari https://republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/16/01/06/o0j365320-begini-sikap-tegas-sukarno-terhadap-zionis-israel tanggal 30 Maret 2020.
[77] ibid.
[78] Ibid.
[79] M. F. Mukthi, “Sukarno dan Palestina” diakses dari https://historia.id/politik/articles/sukarno-dan-palestina-Dw5OP tanggal 30 Maret 2020.
[80] ibid.
[81] ibid.
[82] ibid.
[83] Ramadhan Fadillah, “Membandingkan Presiden Sukarno & Jokowi Memperjuangkan Palestina” diakses dari https://www.merdeka.com/khas/membandingkan-presiden-soekarno-jokowi-memperjuangkan-palestina.html tanggal 30 Maret 2020.
[84] Kementerian Luar Negeri RI, “Isu Palestina” 26 Maret 2019 diakses dari https://kemlu.go.id/portal/id/read/23/halaman_list_lainnya/isu-palestina tanggal 30 Maret 2020.
[85] Arbi Sumandoyo, “Lobi Israel di Indonesia” 11 Januari 2017 diakses dari https://tirto.id/lobi-israel-di-indonesia-cgfr tanggal 30 Maret 2020.
[86] ibid.
[87] ibid.
[88] ibid., Lihat juga Aryo Putranto Saptohutomo, “Orde Baru yang Mulai Main Mata dengan Israel” 21 Juni 2012 diakses dari https://www.merdeka.com/dunia/orde-baru-yang-mulai-main-mata-dengan-israel.html tanggal 30 Maret 2020.
[89] Aryo Putranto Saptohutomo, “Orde Baru ... op.cit. Tentu saja negara-negara mengecam tindakan Indonesia ini, tetapi Soeharto tetap meyakinkan mereka bahwa Indonesia tetap mendukung perjuangan rakyat Palestina.
[90] ibid.
[91] Muh. Novan Prasetya dan Aulia Srifauzi, “Diplomasi Politik Indonesia terhadap Kemerdekaan Palestina” (Jurnal PIR Vol. 2 No. 2 Februari 2018) h. 189 (179-193).
[92] Reportase Antara, “Perjuangan Indonesia untuk Palestina” 8 Maret 2016. Diakses di http://www.harnas.co/2016/03/08/perjuangan-indonesia-untuk-palestina tanggal 30 Maret 2020.
[93] Kementerian Luar Negeri, “Indonesia-Palestine” Diakses dari https://kemlu.go.id/amman/en/pages/indonesia-palestine/2415/etc-menu tanggal 30 Maret 2020.
[94] ibid.
[95] Arbi Sumandoyo, “Lobi Israel … , op.cit.
[96] ibid.
[97] DPR-RI, Analisis Kebijakan Luar Negeri Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2000) (Jakarta: Sekjen DPR-RI, 2001) h. 182.
[98] Aryo Putranto Saptohutomo, “Orde Baru ... op.cit.
[99] ibid.
[100] ibid.
[101] Makmun Hidayat, ed., “Pak Harto dan Dukungan Kemerdekaan Negara Palestina” 17 Desember 2017 diakses dari https://www.cendananews.com/2017/12/pak-harto-dan-dukungan-kemerdekaan-negara-palestina.html tanggal 30 Maret 2020.
[102] Ramadhan Fadillah, “Kisah Pak Harto Tegaskan Palestina Merdeka di Depan Raja Hussein” 10 Juli 2017. Diakses dari https://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-pak-harto-tegaskan-palestina-merdeka-di-depan-raja-hussein.html tanggal 30 Maret 2020.
[103] Putut Trihusodo, et.al., “Menyambut Arafat dengan Demo dan Qunut Nazilah” 2 Oktober 1993. Diakses dari https://majalah.tempo.co/read/nasional/4536/menyambut-arafat-dengan-demo-dan-qunut-nazilah? Tanggal 30 Maret 2020.
[104] ibid.
[105] ibid.
[106] ibid.
[107] ibid.
[108] M. Muttaqien, “Domestic Politics ... op.cit., p. 67 (547-72)
[109] ibid.
[110] Deden Mauli Darajat, “Habibie dan Erbakan” 9 Mei 2014. Diakses dari https://republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/14/05/09/n5a84v-habibie-dan-erbakan tanggal 30 Maret 2020.
[111] ibid.
[112] Arbi Sumandoyo, “Lobi Israel … , op.cit.
[113] Muhammad Ibrahim Hamdani, “Peran KH Abdurrahman Wahid dalam Misi Perdamaian Israel-Palestina” 28 Maret 2015. Diakses dari https://www.kompasiana.com/muhammadibrahimhamdani/5520d49b8133110f7719f7e1/peran-kh-abdurrahman-wahid-dalam-misi-perdamaian-israelpalestina tanggal 30 Maret 2020.
[114] Nahladul Ulama, “Gus Dur: Israel Mestinya Berlaku Adil” 5 Januari 2009. Diakses dari https://www.nu.or.id/post/read/15427/gus-dur-israel-mestinya-berlaku-adil tanggal 30 Maret 2020.
[115] Nahladul Ulama, “Gus Dur: Israel Mestinya …, op.cit.
[116] ibid.
[117] Mawa Kresna, “Gus Dur: ‘Sobat Israel dari Dunia Islam’” 19 Juni 2018. Diakses dari https://tirto.id/gus-dur-sobat-israel-dari-dunia-islam-cMvf tanggal 30 Maret 2020.
[118] ibid.
[119] A. Adib Hambali, “Jejak Jejak Gus Dur dalam Misi Damai Israel-Palestina” 11 Juni 2018. Diakses dari https://detakpos.com/politik/jejak-jejak-gus-dur-dalam-misi-damai-israel-palestina/ tanggal 30 Maret 2020.
[120] Mawa Kresna, “Gus Dur: ‘Sobat …, op.cit
[121] DPR-RI, Analisis …., op.cit., h. 184
[122] ibid., h. 184.
[123] ibid.
[124] ibid., h. 186.
[125] ibid.
[126] Eustace Mullins, The Biological … op.cit.
[127] A. Adib Hambali, “Jejak Jejak Gus Dur … op.cit.
[128] DPR-RI, Analisis … op.cit. h. 188.
[129] M. Hamdan Basyar, “Hubungan Israel-Palestina dan Masa Depan Perdamaian Timur Tengah Pasca Yasser Arafat” (Global Vol. 7 No. 2 Mei 2005) H. 66. (58-71).
[130] Hidayat Tantan, et.al., “Amerika-Israel Panen Kutukan” diakses dari http://arsip.gatra.com/2002-04-11/majalah/artikel.php?pil=23&id=40120 tanggal 31 Maret 2020.
[131] Ibid.
[132] United Nations, Special Bulletin on the Commemoration of the International Day of Solidarity with the Palestinian People, 2002.
[133] Ziyad Falahi, “Signifikansi Diplomasi Islam Moderat Era Susilo Bambang Yudhoyono dalam Merespon Keamanan Timur Tengah” (Andalas Journal of International Studies, Volume 2 No. 1 May Tahun 2013) h. 33 (32-52)
[134] ibid.
[135] ibid. h. 39.
[136] Kementerian Sekretarian Negara RI, “Presiden SBY: Indonesia Mendukung Penuh Palestina” Senin, 22 Oktober 2007. Diakses dari https://www.setneg.go.id/baca/index/presiden_sby_indonesia_mendukung_penuh_palestina tanggal 31 Maret 2020.
[137] M. Riza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah: Kebijakan AS dan Israel atas Negara-negara Muslim (Bandung: Mizan, 2007) h.. 352-3. Selain Mahmoud Abbas, terdapat kandidat kuat Presiden Palestina yaitu Marwan Barghouti yang masih muda yaitu 45 tahun, tetapi berada dalam penjara Israel. Namun Barghouti mundur dari pencalonan demi kepentingan nasional.
[138] Arbi Sumandoyo, “Perdagangan Indonesia-Israel: Jalin Hubungan Bebaskan Palestina” 21 September 2015. Diakses dari https://www.merdeka.com/khas/jalin-hubungan-bebaskan-palestina-perdagangan-indonesia-israel.html tanggal 31 Maret 2020.
[139] ibid.
[140] ibid.
[141] Abu Nisrina, “Soekarno Pro Palestina, Anti Israel” 2 Juli 2016. Diakses dari https://satuislam.org/soekarno-pro-palestina-anti-israel/ tanggal 31 Maret 2020.
[142] ibid.
[143] Sigit Purnomo, “Mahmoud Abbas bertemu SBY” 29 Mei 2010. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2010/05/100529_ababsby tanggal 31 Maret 2020.
[144] Imam Nawawi, “Sejarah Nalar Diplomasi Politik Indonesia di Kawasan Timur Tengah” (Millati, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018) h.97 (73 – 101).
[145] Arbi Sumandoyo, “Kongsi Indonesia-Israel: Senang Berdagang dengan Israel” 11 Januari 2017. Diakses dari https://tirto.id/senang-berdagang-dengan-israel-cgfq tanggal 31 Maret 2020.
[146] Sabrina Asril, “Pertemuan Presiden SBY dan PM Palestina Hasilkan Tiga Nota Kesepahaman” 1 Maret 2014. Diakses dari https://otomotif.kompas.com/read/2014/03/01/0712354/Pertemuan.Presiden.SBY.dan.PM.Palestina.Hasilkan.Tiga.Nota.Kesepahaman tanggal 31 Maret 2020.
[147] Kementerian Luar Negeri RI, “Kerjasama Regional: Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC)” 8 April 2019. Diakses dari https://kemlu.go.id/portal/id/read/164/halaman_list_lainnya/asia-pacific-economic-cooperation-apec tanggal 31 Maret 2020.
[148] ibid.
[149] Sabrina Asril, “Jokowi: Penjajahan di Palestina Harus Segera diakhiri” 21 April 2015. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2015/04/21/12365401/Jokowi.Penjajahan.di.Palestina.Harus.Segera.Diakhiri. tanggal 31 Maret 2020.
[150] Laksono Hari Wiwoho, ed., “Jokowi Apresiasi Rencana Peresmian RS Indonesia di Palestina” 17 Juni 2015. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2015/06/17/16161191/Jokowi.Apresiasi.Rencana.Peresmian.RS.Indonesia.di.Palestina tanggal 31 Maret 2020.
[151] Kementerian Luar Negeri RI, “Indonesia-Palestine” diakses dari https://kemlu.go.id/amman/id/pages/indonesia-palestine/2415/etc-menu tanggal 31 Maret 2020.
[152] Andylala Waluyo, “Meski Ditolak Israel, Indonesia Resmi Dirikan Konsulat Kehormatan RI untuk Palestina” 15 Maret 2016. Diakses dari https://www.voaindonesia.com/a/meski-ditolak-israel-indonesia-resmi-dirikan-konsulat-kehormatan-ri-untuk-palestina/3237181.html tanggal 31 Maret 2020.
[153] VoaIndonesia, “Israel Tolak Izinkan Menlu Retno Marsudi ke Tepi Barat” 14 Maret 2016. Diakses dari https://www.voaindonesia.com/a/israel-tolak-izinkan-retno-marsudi-ke-tepi-barat-/3234629.html tanggal 31 Maret 2020.
[154] Andylala Waluyo, “Meski Ditolak Israel …, op.cit.
[155] Natalia Santi, “Dubes RI: Indonesia Tak Mungkin Buka Kedutaan di Palestina” 8 Desember 2017. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/internasional/20171208114501-120-261023/dubes-ri-indonesia-tak-mungkin-buka-kedutaan-di-palestina tanggal 31 Maret 2020.
[156] Kementerian Luar Negeri RI, “Konhor RI di Ramallah, Palestina”. Diakses dari https://kemlu.go.id/amman/id/pages/konhor_ri_di_ramallah__palestina/35/etc-menu tanggal 31 Maret 2020.
[157] Jerome Wirawan, “Dampak Resolusi dan Dekralasi Jakarta di KKT OKI Diragukan” 7 Maret 2016. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160306_indonesia_ktt_oki_dampak tanggal 31 Maret 2020.
[158] BBC, “Parlemen Perancis Akui Negara Palestina” 2 Desember 2014. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2014/12/141202_prancis_palestina tanggal 31 Maret 2020. Selasa, 2 Desember 2014, Parlemen Perancis dengan suara mayoritas meminta pemerintah Perancis mengakui negara Palestina. Komposisi suara adalah 339 anggota parlemen Perancis setuju dan 151 menentang. Kendati tidak mengikat, pemungutan suara tersebut adalah dukungan simbolis dari negara non Muslim dan Eropa atas kemerdekaan Palestina mengingat Perancis adalah anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Selain Perancis, negara Eropa lain yang sejalan dengan Perancis adalah Inggris, Spanyol, dan Swedia. Israel seperti biasa, memfitnah dengan menyatakan dukungan negara-negara Eropa hanya akan membuat Otoritas Palestina menghindari perundingan damai.
[159] Muhammad Ali, “4 Ketegasan Jokowi Dukung Kemerdekaan Palestina” 7 Desember 2017. Diakses dari https://www.liputan6.com/news/read/3187861/4-ketegasan-jokowi-dukung-kemerdekaan-palestina tanggal 31 Maret 2020.
[160] Esthi Maharani, “Indonesia Bantu UNRWA Tutupi Kekurangan Dana untuk Palestina” 27 September 2018. Diakses dari https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/18/09/27/pfp3pm335-indonesia-bantu-unrwa-tutupi-kekurangan-dana-untuk-palestina tanggal 31 Maret 2020.
[161] Hendra Maujana Saragih, “Kebijakan Luar Negeri Indonesia dalam Mendukung Palestina sebagai Negara Merdeka pada Masa Pemerintahan Joko Widodo” (Fokus: Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol. 3, No. 2, 2018) h. 144. (133-146)
[162] Kementerian Luar Negeri RI, “Keanggotaan Indonesia pada DK PBB” 8 April 2019. Diakses dari
[163] Fergi Nadira & Nur Aini, “Kegiatan Indonesia 3 Bulan Jadi Anggota Tidak Tetap DK PBB” 30 Maret 2019. Diakses dari https://www.republika.co.id/berita/internasional/asia/19/03/30/pp5q1k382-kegiatan-indonesia-3-bulan-jadi-anggota-tidak-tetap-dk-pbb tanggal 31 Maret 2020.
[164] ibid.
[165] CNN Indonesia, “OKI Tolak Proposal Donald Trump Soal Perdamaian Timur Tengah” 3 Februari 2020. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200203231723-120-471342/oki-tolak-proposal-donald-trump-soal-perdamaian-timur-tengah tanggal 31 Maret 2020.
[166] Sumber peta CNBCIndonesia “Ini Isi Proposal Damai Trump-Israel Buat Negara Palestina” 29 Januari 2020. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20200129124657-4-133621/ini-isi-proposal-damai-trump-israel-buat-negara-palestina# tanggal 31 Maret 2020.
[167] CNBCIndonesia “Ini Isi Proposal …, op.cit.
[168] Shelma Rachmahyanti, ed., “Kecam Rencana Israel, Indonesia-Tunisia Edarkan Draft Resolusi PBB” 5 Februari 2020. Diakses dari https://www.wartaekonomi.co.id/read270253/kecam-rencana-israel-indonesia-tunisia-edarkan-draf-resolusi-pbb tanggal 1 April 2020.
[169] Abdul Manan, “Proposal Perdamaian Pemicu Perpecahan” 8 Februari 2020. Diakses dari https://majalah.tempo.co/read/internasional/159618/proposal-perdamaian-palestina-israel-usul-trump-ditolak-di-mana-mana? Tanggal 1 April 2020.
[170] SuaraMerdeka.com, “Indonesia Ajukan Resolusi Tolak Usulan Damai Trump” 6 Februari 2020. Diakses dari https://www.suaramerdeka.com/arsip/216413-indonesia-ajukan-resolusi-tolak-usulan-damai-trump tanggal 1 April 2020.
[171] CNNIndonesia, “Uni Eropa Tetap Tolak Usul Damai Palestina-Israel Versi Trump” 5 Februari 2020. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200205185115-134-472001/uni-eropa-tetap-tolak-usul-damai-palestina-israel-versi-trump tanggal 1 April 2020.
[172] Eva Marieza, “RI dan Tunisia di Balik Pertemuan Khusus DK PBB dengan Presiden Palestina” 12 Februari 2020. Diakses dari https://www.voaindonesia.com/a/ri-dan-tunisia-di-balik-pertemuan-khusus-dk-pbb-dengan-presiden-palestina/5284880.html tanggal 1 April 2020. Pertemuan khusus ini merupakan pelaksanaan tingkat Menteri Liga Arab dan OKI.
[173] Nur Aini, red., “Rancangan Resolusi DK PBB Tekankan Kepentingan Palestina” 12 Februari 2020. Diakses dari https://republika.co.id/berita/q5kt3m382/rancangan-resolusi-dk-pbb-tekankan-kepentingan-palestina tanggal 1 April 2020.
[174] CNNIndonesia, “Resolusi DK PBB Usulan RI Soal Palestina Terancam Veto AS” 11 Februari 2020. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200211111015-134-473517/resolusi-dk-pbb-usulan-ri-soal-palestina-terancam-veto-as tanggal 1 April 2020.
Reactions

Posting Komentar

0 Komentar