Islamophobia dan Dimensi Praksisnya

Ad Code

Islamophobia dan Dimensi Praksisnya

Konsep Islamophobia awalnya dipergunakan oleh para aktivis politik di Barat untuk menarik perhatian bagi retorika serta tindakan yang mereka tujukan, baik terhadap Islam maupun Muslim, di negara-negara demokrasi liberal Barat. [1] 

Referensi awal Islamophobia sebagai konsep adalah saat Runnymede Trust (sebuah NGO di Inggris) [2] mengeluarkan sebuah laporan berjudul “Islamophobia: A Challenge for Us All” pada tahun 1997. [3] Sebagai pelopor penggunaan konsep ini, Runnymede Trust mendefinisikan Islamophobia sebagai “a useful shorthand way of referring to dread or hatred of Islam – and, therefore, to fear or dislike all or most Muslims.” [4] 

Definisi Runnymede Trust ini kemudian mereka perbaiki sendiri tahun 2017 dengan mendefinisikan “Islamophobia is any distinction, exclusion, or restriction towards, or preference against, Muslims (or those perceived to be Muslims) that has the purpose or effecty of nullifrying or impairing the recognition, enjoyment or exercise, on an equal footing, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural or any other field of public life.”[5]

Sumber Foto: AFP

Di dunia akademis terjadi pula upaya pencarian definisi atas Islamophobia. Peter Gottschalk and Gabriel Greenberg (2008) mendefinisikannya sebagai “a social anxiety toward Islam dan Muslim cultures.” [6] Vincent Geisser (2003) mendefinisikannya sebagai “rejection of the religious referent .. the Muslim religion as an irreducible identity marker between ‘Us’ and ‘Them’.“ [7]  A. Sherman Lee, et.al. (2009) mendefinisikannya sebagai “fear of Muslims and the Islamic faith.” [8] José Pedro Zúquete (2008) mendefinisikannya sebagai “a widespread mindset and fear-laden discourse in which people make blanket judgments of Islam as the enemy, as the ‘other’, as a dangerous and unchanged, monolithic bloc that is the natural subject of well-deserved hostility from Westerners.” [9] 

Definisi lainnya dari Jörg Stolz (2005) “Islamophobia is a rejection of Islam, Muslim groups and Muslim individuals on the basis of prejudice and stereotypes. It may have emotional, cognitive, evaluative as well as action-oriented elements (e.g. discrimination, violence).” [10] Pada lain pihak, Eric Bleich mendefinisikan Islamophobia sebagai persepsi yang digeneralisasi terhadap seluruh Muslim dengan menyatakan Islamophobia sebagai “ indiscriminate negative attitudes or emotions directed at Islam or Muslims … terms like indiscriminate … cover instances where negative assessments are applied to all or most Muslims or aspects of Islam.” [11].

Bagi Bleich, perilaku indiscriminate dalam Islamophobia meliputi aneka perilaku dan emosi negatif seperti “aversion, jealousy, suspicion, disdain, anxiety, rejection, contempt, fear, disgust, anger, and hostility.” [12] Emosi dan perilaku tersebut dapat saja tertuju baik terhadap doktrin keagamaan (Islam) ataupun orang-orang yang mengikuti doktrin tersebut.

Selain definisi dari kalangan akademisi, terdapat pula upaya dari sejumlah anggota parlemen Inggris yang tergabung dalam The All Party Parliamentary Group (APPG) on Brittish Muslims. Mereka berupaya mencari definisi kerja dari konsep Islamophobia. [13] Setelah berkonsultasi dengan kalangan akademisi, pengacara, para pejabat lokal maupun nasional, organisasi-organisasi Muslim, para aktivis, pelaku kampanye, dan aneka komunitas lokal, APPG sampai pada kesimpulan bahwa  “Islamophobia is rooted in racism and is a type of racism that targets expressions of Muslimness or perceived Muslimness.” [14]  Dengan demikian Islamophobia secara politik merupakan stereotipe yang berakar pada sentimen rasisme. 


Hardliners Islamophobia di Eropa dan Amerika Serikat

Tentu saja tidak semua warga di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat (AS) [15] mendukung retorika politik Islamophobia. [16] Banyak warga negara di kedua kawasan yang bersikap simpatik terhadap Islam dan Muslim. Bahkan konversi agama dari non Islam ke Islam di kedua kawasan tersebut cenderung meningkat. 

Paparan ini hanya hendak memberi deskripsi yang jauh dari mencukupi mengenai gerakan politik “far-right“ di Eropa dan Amerika Serikat yang sesungguhnya relatif minor. Namun, karena militansinya, maka gaung politik yang mereka artikulasikan menggema lebih besar dari posisi faktualnya. Selain Islamophobia, isu-isu politik lain yang mereka bawakan adalah anti-imigrasi, dan anti Uni Eropa. Project gerakan mereka juga beragam, berkisar dari yang menggunakan gaya jalanan atau ekstremis hingga keanggotaan di dalam parlemen. Sebagai gerakan politik, Islamophobia sekurangnya telah meliputi dan membangun jaringan di dan antar negara seperti Inggris, Perancis, Jerman, Swedia, Belanda, Austria, Denmark, dan Italia. 

Sebab-sebab menguatnya Islamophobia di Barat (Eropa dan Amerika Serikat) sebagai suatu realitas dapat ditelusuri atas tiga faktor kontekstual, yang meliputi: [17] 

  1. Tingginya proporsi pengungsi dan para pencari suaka Muslim, dan tentu saja ini termasuk imigran sukarela dari negara-negara mayoritas Muslim ke Barat. 
  2. Adanya pandangan skeptis, sekuler, dan agnostik terhadap agama yang tercermin secara implisit, dan terkadang diungkapkan secara eksplisit, di media massa Barat.  
  3. Kebijakan luar negeri negara-negara Barat dalam kaitannya dengan berbagai situasi konflik di seluruh dunia. Ada persepsi luas di dunia Muslim bahwa Perang Melawan Teror sebenarnya adalah perang melawan Islam.

Dari ketiga faktor tersebut Barat kini membayangkan mereka ada dalam posisi bertahan-menyerang. Terjadi problem eksistensi di dalam masyarakat Barat menghadapi berkembangnya jumlah imigran Muslim atau penduduk ‘asli’ mereka yang berkonversi ke dalam Islam. Dalam masalah eksistensial ini, terjadi mekanisme dominasi-submisi. Dominasi Barat sedang dipertanyakan akibat mulai banyaknya resources (ekonomi, politik, gagasan) yang lambat-laun berada di kaum Muslim. Sementara mereka mempersepsi, kendati kaum Muslim telah menjadi  warga resmi di negara “Barat”, sebagai ‘others.’ Nilai-nilai, cara hidup, cara pandang dunia, dari para ‘others’ ini berbeda dengan mereka. Akibatnya, untuk mempertahankan dominasi dan mempertahankan eksistensi kelompok, Barat melancarkan Islamophobia sebagai upaya perlawanan. 

INGGRIS. Tahun 2009 di Inggris berdiri English Defense League (EDL) dan memiliki 100.000 anggota. Aktivitas EDL ini kemudian mengalami spins offs ke seluruh Eropa. Metode gerakan EDL umumnya bersifat violent street protests dengan mengartikulasikan aneka retorika anti Muslim. Tokoh EDL adalah Alan Wake yang memiliki website “4 Freedoms” yang bahkan menyatakan bahwa “some pro-Muslim liberals should be ‘executed or tortured to death.” Islamophobia EDL sebab itu tidak hanya ditujukan pada kaum Muslim, tetapi orang-orang Barat sendiri yang mereka nilai bersikap “pro” terhadap Muslim. 

EDL berpengaruh terhadap aneka organisasi seperti: Scottish Defense League (SDL, pembentukannya terinspirasi oleh EDL); Hooligan Firms (HF, suatu kelompok yang terafiliasi dengan kekerasan sepakbola,  berpartisipasi dalam kegiatan protes EDL yang pertama, menyerukan diakhirinya proses Islamisasi atas Inggris); British National Party (BNP, kerap anggota BNP terlihat dalam aneka acara EDL, tetapi pada kelanjutannya pimpinan EDL tidak mau diasosiasikan dengan BNP); UK Independence Party (UKIP, tahun 2011/2012 memiliki 11 kursi di Parlemen Uni Eropa serta 2 kursi di House of Lords, UKIP bertujuan melepaskan Inggris dari Uni Eropa). 

SWEDIA. Karakter gerakan Islamophobia di Swedia bercorak nasionalis, partai anti-imigran dengan akar fasisme. Partai dengan karakter tersebut sejak 2010 telah masuk parlemen Swedia. Alan Wake (tokoh EDL Inggris) pernah menjadi penasehat kaum Demokrat Swedia. Wake juga sempat berbicara dalam konferensi mereka bulan September 2009 yang isinya berkisar tentang the threat of Islamization pada bulan September 2009. 

DENMARK. Organisasi bernuansa Islamophobia di Denmark adalah Danish People’s Party (DPP). Partai ini masuk ke dalam tiga besar partai di parlemen Denmark. Corak gerakannya anti Islam dan mendorong pengetatan aturan atas masalah imigrasi. Pada tahun 2010, DPP sempat mengorganisir sebuah konferensi guna melawan proses Islamisasi atas Eropa. Mereka bekerja sama dengan Kaum Demokrat Swedia dan The Northern League (NL, Italia).

ITALIA. Di Italia terdapat sebuah partai politik bernama The Northern League (NL). Salah satu tokoh partai ini bernama Umberto Bossi yang sengaja menyebut kaum imigran sebagai “bingo bongos.” NL sekurangnya menguasai 84 kursi dari 945 kursi dalam parlemen Italia. Pada tahun 2011, Deputi Urusan Eropa NL bernama Mario Borghezio sempat bepergian dengan Marine Le Pen (dari The National Front atau NF asal Perancis). Borghezio juga pada tahun 2008 sempat bergabung dengan kelompok think tank yang membiakkan pemikiran xenophobia bernama Club de l’Horloge di Paris dengan para anggota NF Perancis dan FPO (Austria).  

BELANDA. Terdapat organisasi bernama Dutch Defense League (DDL) yang bubar tahun 2011. DDL menyuarakan sikap penentangan atas menyebarnya hukum Syariah di Belanda. Selain DDL, di negara ini juga terdapat Party for Freedom, sebuah partai politik yang periode 2011/2012 menguasai 24 kursi di parlemen Belanda (partai tiga besar). Party of Freedom berupaya membandingkan Mein Kampf dengan Al Qur’an. Partai ini juga bertujuan melarang masuknya imigran Arab dan mengusir mereka dari Belanda. Salah satu tokoh partai ini adalah Geer Wilders. EDL (Inggris) dan sebuah organisasi dari Jerman (BPE) pernah menjalin kerjasama dalam sebuah demonstrasi di  kedutaan besar Belanda di Berlin (Jerman) untuk mendukung Geert Wilders. 

AUSTRIA. Sebuah partai politik di Austria yang beroposisi terhadap Islam dan kaum imigran adalah Freedom Party (FPO). FPO sendiri merupakan partai ketiga terbesar di Austria. Pimpinan FPO adalah Heinz-Christian Strache yang mendeskripsikan wanita yang menggunakan busana Muslimah sebagai “female ninjas.” 

JERMAN. Di Jerman terdapat sebuah organisasi bernama Pax Erupoa Citizen’s Movement (BPE). Aspirasi utama BPE adalah menciptakan Eropa yang didasarkan atas tradisi-tradisi Yudeo-Kristen. 

PERANCIS. Sebuah partai kanan di Perancis adalah The National Front (NF). Tokoh NF adalah Marine Le Pen. Le Pen mengomparasikan bahwa hidup bersama kaum Muslim di Perancis sama dengan hidup di bawah pendudukan Nazi. Le Pen bersama Strache (dari FPO Austria) pernah melakukan konferensi pers bersama  di Parlemen Eropa untuk mendirikan partai bersama. 

AMERIKA SERIKAT (AS). Di Amerika Serikat, gerakan Islamophobia bertipikal tiga jenis yaitu Inner Core, Outer Core, dan Of Concern. [18] Inner Core adalah individu atau kelompok yang tujuan utamanya adalah mempromosikan prasangka atau kebencian terhadap Islam dan Muslim juga yang karya-karyanya secara teratur menunjukkan tema-tema Islamofobia. Outer Core adalah individu atau kelompok yang tujuan utamanya tampaknya tidak termasuk ke dalam mempromosikan prasangka atau kebencian terhadap Islam dan kaum Muslim, tetapi karya-karya mereka secara teratur menunjukkan atau mendukung tema-tema Islamofobia. Of Concern adalah individu atau kelompok yang telah menggunakan tema-tema Islamofobia atau mendukung Islamofobia di Amerika, tetapi yang karyanya tidak secara teratur menunjukkan atau mendukung tema-tema Islamofobia. Kategorisasi organisasi juga didasarkan atas aliran pendanaan dari masing-masing organisasi tersebut. 

Inner Core di AS terdiri atas 37 organisasi dengan konsentrasi gerakan berbeda-beda. [19] Ke-28 organisasi yang beroperasi di tingkat nasional-internasional adalah: ACT! For America, American Freedom Defense Initiative, American Freedom Law Center, American Public Policy Alliance, American-Islamic Forum for Democracy, Atlas Shrugs, Bare Naked Islam, Center for Security Policy, Center for the Study of Political Islam, Christian Action Network, David Horowitz Freedom Center, Dove World Outreach Center, Former Muslims United, Forum for Middle East Understanding, Gates of Vienna, Investigative Project on Terrorism, Jihad Watch, Middle East Forum, Middle East Media Research Insitute, Militant Islam Monitor, SAE Productions, Society of Americans for National Existence, Stop the Islamization of Nations, Strategic Engagement Group, The Clarion Fund, dan The Shoebat Foundation. 

Sementara itu, ke-9 organisasi Inner Core beroperasi di level negara bagian AS, yang terdiri atas: Americans Agains Hate (Florida), Bay People (New York), Citizens for National Security (Florida), Concerned American Citizens (California), Concerned Citizens for the First Amendment (California), Counter Terrorism Operations Center (Florida), Debbieshlussel.com (Michigan), Florida Family Association (Florida), dan Tennessee Freedom Coalition (Tennessee). 

Untuk kategori Outer Core identifikasi kegiatan pun serupa yaitu di level nasional-internasional maupun lingkup negara bagian. Terdapat sekitar 32 organisasi dalam kategori ini. Dari 32 tersebut, 27 bergerak di level nasional-internasional yang terdiri atas: American Center for Law and Justice, American Family Association, American Islamic Leadership Coalition, Anchorage foundation / William Rosenwald Family Fund, Family Security Matters, Becker Foundations, Christian Broadcasting Network, Donors Capital Fund, Eagle Forum, Endowment for Middle East Truth, Exreme Terrorism Consulting, Fairbrook Foundation, Fox News, Liberty Counsel, Lynde and Harry Bradley Foundation, National Review, Richard Mellon Scaife Foundations, Russell Berrie Foundation, Security Solutions International, Traditional Values Coalition, The Family Leader, The Mark Levin Show, The Oak Initiative, The Rush Limbaugh Show, The Savage Nation, Washington Times, dan Worldnet Daily. Sementara itu 5 organisasi Outer Core yang berlingkup negara bagian adalah: Carroll County Republican Party (Tennessee), Grace Baptist Church (Tennessee), Rutherford Reader (Tennessee), Stewart County Republican Party (Tennessee), dan Williamson County Republican Party (Tennessee). 

Organisasi-organisasi yang mempromosikan atau mendukung Islamophobia tentu saja saling terkoneksi satu dengan lainnya. Saylor menulis misalnya Daniel Pipes dengan Middle East Forum (MEF) nya adalah komponen yang paling diakui dalam konteks gerakan ini. MEF misalnya memberikan dana sebesar 1,242 juta dollar kepada Investigative Project on Terrorism yang dikepalai Steve Emerson antara tahun 2009-2011. Juga di periode yang sama, MEF memberikan dana sebesar 450 ribu dollar kepada Middle East Media Research Institute (MEMRI) yang dikepalai Yigal Carmon. 

Aliran dana dari MEF juga mengalir kepada Frank Gaffney (Center for Security Policy) sebesar 60 ribu dollar tahun 2009, The Committee for Accuracy on Middle East Reporting (CAMERA) sebesar 70 ribu dollar, David Horowitz (Freedom Center), Robert Spencer (Jihad Watch), serta Zuhdi Jasser (American Islamic Forum for Democracy) sebesar 10 ribu tahun 2010. Selain kepada kelompok berkategori Inncer Core, dana dari MEF juga mengalir kepada Outer Core seperti Endowment for Middle East Truth yang pernah menerima dana 75 ribu dollar dari MEF pada tahun 2010. [20] 

David Horowitz melalui Freedom Center juga berkolaborasi dengan Pamela Geller dan Robert Spencer. Baik Geller maupun Spencer adalah anggota board of director dari Jihad Watch. Jihad Watch juga terinterkoneksi dengan Freedom Center. Geller dan Spencer juga tergabung dalam organisasi lain yaitu The American Freedom Defense Initiative, dengan mana organisasi ini pun pernah menerima dana 70.933 dollar dari Jihat Watch. Geller dan Spencer juga terjalin dalam koneksi lebih luas Inner Core yaitu American Freedom Defense Initiative, Atlas Shrugs (blog milik Geller), David Horowitz dari Freedom Center, Jihad Watch, dan Stop the Islamization of Nations. 

Selain Geller dan Spencer, sejumlah nama lain yaitu Nina Cunningham (anggota board Center for Security Policy, Freedom Center, Clarion Fund, dan Endowment for Middle East Truth), Claire Lopez (Clarion Fund, Center for Security Policy), Ashraf Ramelah (kontributor pada Family Security Matters yang disponsori Center for Security Policy), David Steinmann (MEF, Center for Security Policy, CAMERA, dan William Rosenwald Family Fund). William Rosenwald Fund telah mengkontribusikan dana sebesar 2.818.229 kepada aneka organisasi yang berkarakter Islamophobia. [21] 


Islamophobia di Negara Mayoritas Muslim

Mengapa Islamophobia juga dapat muncul di negara mayoritas Muslim dapat dijelaskan melalui masih berlakunya empat epistemologi. Epistemologi pertama, adalah dengan memahami Barat bukan sebagai teritori melainkan power. [22] 

Dari epistemologi ini maka Islamophobia merupakan kelanjutan dari struktur rasialisasi global yang berlaku saat ini. Rasialisasi umumnya adalah konsep yang merujuk pada aspek biologi (ras), tetapi dalam konteks Islamophobia, konsep biologi tersebut dipertukarkan dengan konsep “budaya” ataupun “agama.” 

Dengan demikian, Islamophobia adalah “rasialisasi” yang didasarkan atas aneka kebiasaan yang dilakukan kaum Muslim yang bersumberkan ajaran agamanya. Didalam epistemologi pertama ini terkandung konsep epistemic racism yang merupakan bentuk “rasisme tersembunyi” yaitu suatu tradisi pikir bahwa “Barat” merupakan satu-satunya tradisi pemikiran yang memiliki legitimasi. 

Epistemic racism kemudian membawa pada munculnya persepsi bahwa pengetahuan, nilai dan cara hidup yang terkandung dalam peradaban Islam dinyatakan sebagai partikular, provinsialis, subyektif, tidak demokratis, irasional, dan tidak universal. [23] Dengan demikian, hanya “Barat” yang berhak memproduksi pengetahuan dan memiliki akses pada aneka masalah seperti “universalitas”, “rasionalitas”, dan “kebenaran.” Inti dari epistemologi pertama ini adalah, Islamophobia adalah suatu fenomena yang selalu berhubungan dengan konteks politik global.

Epistemologi kedua berhubungan dengan epistemologi pertama, yaitu terjadinya reproduksi pemikiran “Barat” kepada para elit politik di negara-negara mayoritas Islam. Reproduksi ini mendorong para elit Muslim untuk berpikir tata cara bernegara menurut model Barat. 

Reproduksi ini dapat saja terjadi di negara-negara mayoritas Muslim baik yang dahulunya mengalami kolonialisasi oleh Barat (Indonesia, Mesir, Pakistan, Aljazair) ataupun yang tidak pernah dijajah tetapi melakukan “self Westernized” seperti Turki dan Iran (sebelum Revolusi 1979). 

Dampak dari epistemologi kedua ini adalah muncul suatu a priori bahwa peraturan bernuansa Islam selalu akan tertuju pada masalah identitas dan sebab itu  merupakan ancaman bagi negara mayoritas Muslim yang terlanjur dibangun dengan model Barat. Apa yang terjadi atas para elit politik Islam tersebut tidak dapat dinilai sebagai kesalahan ataupun kekeliruan. Hal tersebut merupakan proses wajar yang muncul akibat di masa lalu telah terjadi perusakan atas aneka struktur normatif Islam melalui proses kolonialisasi Barat. Elit-elit di negara-negara post-kolonial ini secara otomatis beralih pada model negara-bangsa a la Eropa. [24] 

Pembangunan negara-bangsa oleh para elit Islam dalam mereformasi aparatus politik, ekonomi, dan militer melibatkan aneka prinsip moral yang hadir melalui konsep besar modernitas Barat. Dengan demikian terjadi introjeksi nilai modernitas kepada para elit dan menginternalisasikannya sebagai nilai “genuine” Islam sendiri. 

Epistemologi ketiga adalah bagaimana Islamophobia merupakan suatu mekanisme, yang sedemikian rupa memandulkan upaya agar identitas politik kaum Muslim berkesempatan untuk eksis. Implikasi dari epistemologi ini adalah tiadanya ruang baik secara politik maupun epistemologi bagi kaum Muslim yang hendak menunjukkan identitasnya. 

Implikasi lain dari epistemologi ini berkaitan dengan epistemologi yang pertama, bahwa apabila konsep-konsep Islam dke dalam epistemologi Barat akan mendorong destabilitas atas orde kolonial yang masih diakui di negara-negara mayoritas Muslim. 

Epistemologi keempat adalah self-orientalization. Self-orientalization adalah suatu cara berpikir orang-orang non Barat guna memahami dunia dengan menggunakan pemahaman Barat. 

Epistemologi ini juga bahkan dilakukan oleh elit Islam politik ataupun teolog Muslim yang dalam upayanya membawa Islam ke ranah politik, ternyata justru mereproduksi dominasi Barat. Reproduksi tersebut dilakukan misalnya dengan upaya mereka mengimitasi tradisi pikir Barat sehingga hasil kerja-kerja politiknya mengkonfirmasi refleksi pola-pola pemikiran Barat. 


Delapan Fitur Utama Islamophobia

Todd H. Green akademisi yang fokus dalam aneka analisis mengenai Islamophobia mengurai delapan fitur yang melandasi tumbuhnya persepsi Islamophobia, yang terutama diakibatkan closed views (pandangan tertutup) publik Barat. [25]   

Pertama, Islam dianggap monolitik dan statis. Islam tidak memiliki keragaman dan perbedaan dan ketidaksepakatan internal para penganutnya. Dengan kata lain, fitur ini menganggap bahwa semua Muslim pada dasarnya sama karena memegang pandangan dunia dan ideologi yang seragam. Implikasi pandangan ini adalah jika ada peristiwa kekerasan yang dilakukan seorang atau sekelompok Muslim, maka secara otomatis akan digeneralisasi bahwa semua Muslim adalah seperti itu.

Kedua, Islam dianggap sesuatu yang terpisah dan lain. Fitur ini didasarkan gagasan bahwa Islam tidak saling berbagi nilai-nilai inti seperti ditemukan dalam agama-agama lain, khususnya Yudaisme dan Kekristenan, ataupun budaya Barat. Dalam fitur ini juga termasuk anggapan bahwa nilai-nilai Barat seperti keragaman agama atau kemerdekaan beragama tidak memiliki tempat di dalam Islam. Kasus pembangunan menara masjid di Swiss tahun 2009 yang dipersoalkan Swiss People’s Party mendeskripsikan ini. Ulrich Schluer (anggota partai tersebut) saat ditanya mengapa masjid tidak boleh membangun menara sementara gereja boleh, menanggapi dengan pernyataan pertanyaan invalid karena mewakili 2 agama berbeda. “Saya pikir Kekristenan adalah perilaku kemerdekaan, pengakuan atas sesuatu yang berbeda, toleransi. Islam tidak ada hubungannya dengan itu semua.”

Ketiga, Islam itu inferior. Fitur ini menyatakan bahwa Islam tidak hanya berbeda tetapi juga inferior terhadap Barat. Islam juga barbar, irasional, dan seksis, jika diperbandingkan dengan Barat yang beradab, tercerahkan, dan menerapkan kesetaraan gender. Fitur ini juga menyatakan bahwa Islam tidak kompatibel dengan prinsip-prinsip kebebasan yang merupakan jantung warisan Pencerahan. 

Keempat, Islam adalah musuh. Fitur ini menganggap bahwa Islam memiliki sifat permusuhan, kekeras, dan agresif. Islam adalah agama yang mendasarkan diri pada penaklukan dan sebab itu “benturan peradaban” antara Islam dan Barat tidak terelakan. The Clash of Civilization yang ditulis Samuel Huntington tahun 1990-an merupakan dasar atas hal ini. 

Kelima, Islam itu manipulatif. Terdapat asumsi bahwa kaum Muslim menjadi obyek kecurigaan karena mereka dipandang  sebagai penyimpang, bersandar kepada agama mereka untuk membawa keuntungan politik dan militer. Kasus creeping Sharia di Amerika Serikat tahun 2010 menguatkan fitur ini. Terjadi gelombang pembuatan legislasi yang berupaya melarang berlakukan hukum Islam dari setiap negara bagian. Pendukung gerakan ini ini berdalih bahwa kaum Muslim hendak mengambil keuntungan dari jaminan kebebasan beragama yang terdapat dalam First Amendment. Pengambilan keuntungan tersebut digunakan untuk menyebarkan keyakinan dan meningkatkan jumlah dan pengaruh Islam di AS. 

Keenam, dibenarkan untuk melakukan diskriminasi atas orang Islam. Fitur ini dipicu oleh kerap overlaping-nya dua sentimen, yaitu anti Muslim dan anti Asia. Dalam kasus lain juga terjadi overlaping antara sentimen anti Muslim dan anti Arab. Tatkala ada Muslim yang terlibat maka aneka praktek rasis dan prejudis kerap dibiarkan untuk berlangsung. 

Ketujuh, kritik Muslim atas Barat adalah invalid. Politisi, pimpinan agama, dan jurnalis Barat secara bebas dapat mengkritisi keyakinan dan praktek ajaran Islam. Namun, kaum Muslim tidak mendapat kesempatan setara untuk mengkritik nilai-nilai maupun praktek-praktek Barat. Kendati di bangsa-bangsa Barat kebebasan berbicara diakui, tetapi ada sejumlah pembatasan, misalnya tidak boleh mempertanyakan atau menyangkal peristiwa Holocaust. Namun, ketika kaum Muslim mengkritisi aneka pernyataan yang tidak menghormati ajaran, figur, ataupun praktik Islam, pandangan mereka kerap ditolak mentah-mentah. 

Kedelapan, wacana anti Muslim adalah alamiah. Wacana anti-Muslim begitu meresap sehingga bahkan beberapa tokoh publik yang dengan gigih memperjuangkan toleransi dan persamaan hak bagi semua warga negara mungkin sedikit atau tidak sama sekali mengungkapkan keprihatinan atas diskriminasi yang dihadapi oleh umat Islam di tengah-tengah mereka. Pernyataan atau pandangan berprasangka tentang Muslim tidak dianggap sebagai sebuah fanatisme bahkan dianggap normal.


Catatan Kaki

[1] Eric Bleich. Defining and Researching Islamophobia. 2012. Review of Middle East Studies, Vol. 46, No. 2 (Winter), pp. 180-189, p. 180.  

[2]Runnymede Trust berdiri tahun 1968 saat terjadi aneka gejolak sosial di Eropa dan Amerika Serikat. Tujuan badan ini adalah memberi nasehat kepada pemerintah Inggris untuk masalah hubungan antar ras. Tahun 1996 badan ini mendirikan komisi bernama Commission on British Muslims and Islamophobia. Tujuan komisi ini menganalisis aneka pengalaman diskriminasi dari kaum Muslim Inggris serta membuat rekomendasi kebijakan kepada pemerintah guna to combat diskriminasi tersebut. Studi Runnymede Trust merupakan referensi utama analisis lanjutan atas Islamophobia baik di Eropa maupun Amerika Serikat. Todd H. Green. The Fear of Islam: An Introduction to Islamophobia in the West. Minneapolis: Fortress Press, 2015, p. 10-11.  

[3] Eric Bleich, Defining ..., op.cit., p. 181. Sejak 1997, konsep Islamophobia secara teratur dipergunakan, baik oleh media, warga negara, serta aneka NGO di Inggris, Perancis, serta Amerika Serikat.   

[4] All Party Parliamentary Group on British Muslims, Islamophobia Defined. Report on the inquiry into A working definition of Islamophobia / anti-Muslim hatred, TT, p. 23.

[5] All Party Parliementary Group on British Muslims, p. 25. 

[6] Peter Gottschalk and Gabriel Greenberg seperti dikutip Eric Bleich, p. 181. 

[7]  Vincent Geisser seperti dikutip Eric Bleich, p. 181. 

[8]  A. Sherman Lee, et.al. seperti dikutip Eric Bleich, p. 181. 

[9]  José Pedro Zúquete Eric Bleich, p. 181. 

[10]  Jörg Stolz Eric Bleich, p. 181. 

[11]  Eric Bleich, Defining …, op.cit., p. 182. 

[12]  ibid. 

[13]  The All Party Parliamentary Group on British Muslim didirikan pada tahun 2017. Kelompok yang terdiri atas para anggota parlemen lintas partai dalam parlemen Inggris ini diketuai oleh Anna Soubry dan Wes Streeting. Asosiasi ini didirikan guna menyoroti aspirasi dan tantangan yang tengah dihadapi kaum Muslim Inggris; untuk memberi penghargaan atas aneka kontribusi yang diberikan komunitas-komunitas Muslim kepada Inggris, serta untuk menyelidiki aneka prasangka, diskriminasi dan kebencian terhadap kaum Muslim di Inggris.

[14] All Party Parliamentary Group on British Muslims, Islamophobia Defined. Report on the inquiry into A working definition of Islamophobia / anti-Muslim hatred, Tanpa Tahun, p. 11. 

[15] Paparan ini didasarkan pada Taylor Hom, et.al. Anatomy of Islamophobia. 2011/2012. World Policy Journal. Vol. 28, No. 4 (Winter), pp. 14-15. Tentu saja paparan ini sangat tidak lengkap, tetapi dimaksudkan untuk sekadar mengggambarkan keluasan jaringan Islamophobia di Eropa.  

[16] Artikel saya ini tidak akan membahasnya. 

[17] Ihsan Yilmaz, “The Nature of Islamophobia: Some Key Features” dalam Douglas Pratt and Rachel Woods, eds., Fear of Muslims: International Perspectives of Islamophobia. Switzerland: Springer International Publishing, 2016., p. 24. 

[18] Corey Saylor. The U.S. Islamophobia Network: Its Funding and Impact. 2014. Islamophobia Studies Journal. Volume 2, No. 1, Spring , pp. 99-xx., p. 101. 

[19] ibid., p. 101-103. 

[20] ibid., p. 103-104. 

[21] ibid., p. 105. 

[22]  Enes Bayrakh, Farid Hafez and Leonard Faytre. “Making Sense of Islamophobia in Muslim Societies.” Dalam Enes Bayrach and Farid Hafez, eds. Islamophobia in Muslim Majority Societies. London and New York: Routledge, 2019., p. 1-6.

[23] ibid.,p. 8. 

[24] ibid.,p. 9. 

[25] Todd H. Green, The Fear of Islam …, op.cit., pp. 12-18. 

Reactions

Posting Komentar

0 Komentar