Sudah 7 presiden Indonesia berhubungan dengan Palestina. Seluruh hubungan dilandasi kepentingan nasional yang dapat dibagi ke salah satu dari dua bentuk, material dan ideasi. Dalam hal Indonesia terhadap Palestina, maka kepentingan nasional Indonesia bercorak ideasi, yaitu pelaksanaan nilai yang telah dibakukan ke dalam mukadimah konstitusi Indonesia. (artikel bagian 6).
Berdasarkan mukadimah tersebut, Indonesia memandang Israel sebagai negara penjajah dan Palestina adalah bangsa terjajah. Karena terjajah maka Indonesia memiliki kepentingan nasional untuk membela bangsa tersebut melalui aneka tindak politik luar negeri Indonesia, baik terhadap seluruh negara di dunia pada umumnya, dan Palestina khususnya. Sebab itulah maka hingga saat ini Indonesia tidak pernah mengizinkan pembukaan konsulat diplomatik Israel di Indonesia, sementara justru Palestina lah yang memiliki perwakilan diplomatik di Jakarta.
Kepentingan nasional, menolak argumen kaum realis, tidak melulu dimonopoli oleh negara sebagai aktor. Negara harus benar-benar menyerap aspirasi dari masyarakatnya untuk kemudian diterjemahkan sebagai kepentingan nasional dan dimanifestasikan ke dalam sikap politik luar negeri. Sekali pemerintah Indonesia, siapapun mereka, berani membuka hubungan diplomatik dengan Israel maka perlawanan civil social Islam di Indonesia akan memaksa mereka untuk segera membatalkannya.
Sebelum 1945, saat Palestina berjuang mendirikan negara yang terancam pendudukan oleh para Yahudi diaspora, Indonesia tengah mengalami hal serupa, yaitu berupaya lepas dari penjajahan Belanda dan Jepang. Seorang pemuda Indonesia bernama Abdul Kahar Mudzakkir, yang tengah kuliah di Mesir aktif memperkenalkan Indonesia yang sedang berjuang untuk lepas dari penjajahan Belanda.[1] Aktivitas Mudzakkir lalu dikenal hingga tahun 1931 diminta Mufti Besar Palestina, Al-Hajj Amin al-Husayn mengikuti Muktamar Islam Internasional di Palestina sebagai wakil umat Islam dari Indonesia. [2]
Segera setelah Perdana Menteri Kuniaki Koiso menjanjikan kemerdekaan Indonesia pada 6 September 1944, Mufti Palestina Al-Hajj Amin al-Husayni menyiarkan ‘ucapan selamat’ melalui Radio Berlin berbahasa Arab (saat itu mufti mengungsi ke Jerman sejak awal Perang Dunia II) kepada Alam Islami bertepatan dengan ‘janji’ Jepang untuk memerdekakan Indonesia yang diutarakan PM Kuniaki Koiso di depan Sidang Teikoku Gikai. [3] Bahkan Mufti Palestina tersebut mengirim telegram kepada PM Koiso yang isinya memberi penghargaan atas janji mereka untuk memerdekakan Indonesia. [4]
Saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya 17 Agustus 1945 Palestina adalah salah satu bangsa yang langsung mengakui kemerdekaan Indonesia. Saat Indonesia terus didesak lewat aksi-aksi polisionil Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, Mufti Palestina bahkan mengunjungi Indonesia. Al-Husayni datang untuk mengekspresikan dukungan dan simpati rakyat Palestina bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. [5]
Sebagai ulama kharismatis, Amin al-Husayni aktif mempromosikan negara-negara Timur Tengah seperti Suriah, Iraq, Lebanon, Yaman, Arab Saudi, dan Afghanistan untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. [6] Tidak hanya dukungan politik, Palestina pun memberi bantuan material.
Misalnya seorang saudagar Palestina bernama Muhammad Ali Taher menyerahkan sejumlah besar uangnya di Bank Arabia untuk perjuangan bangsa Indonesia. [7] Taher menemui Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia, M. Zein Hassan, meminta bukti tanda terima sumbangannya dan berkata, “Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia.” [8] Dengan demikian sangat wajar apabila Indonesia memiliki kepentingan immaterial atas Palestina.
Apa yang dilakukan Palestina dibalas oleh Indonesia. Dukungan atas kemerdekaan Palestina tidak hanya ditunjukkan atas nama negara. Nahdlatul Ulama, salah satu ormas besar Islam di Indonesia, telah menggalang bantuan untuk Palestina seiring dengan Deklarasi Balfour yang kian mendekati perwujudannya (negara Israel). [9]
Saat Israel memproklamasikan negaranya secara sepihak tanggal 14 Mei 1948, pemerintah Indonesia tidak mengucapkan selamat dan memberi pengakuan. Saat Presiden Israel Chaim Weizmann dan perdana menterinya David Ben-Gurion mengirim telegram kepada Sukarno dan Hatta akhir 1949 atas pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia, Sukarno sebagai presiden tidak membalasnya, sementara Hatta sebagai Menteri Luar Negeri (mungkin dengan alasan etika) hanya membalas dengan ucapan terima kasih, tanpa memberi pengakuan serupa atas Israel. [10]
Lalu saat Menlu Israel Moshe Sharett bersurat pada Hatta bahwa ia ingin datang untuk misi baik ke Indonesia, Hatta menyarankan untuk menunda tanpa batas waktu definitif. [11] Kepentingan nasional yang melandasi sikap Hatta adalah kepentingan yang bersifat nilai, bahwa Israel adalah penjajah sama seperti Belanda, dan Palestina adalah bangsa terjajah seperti dulu pernah dialami Indonesia. Kepentingan nasional yang bersifat nilai ini mengatasi kepentingan nasional yang bersifat material.
Sikap pemerintahan Sukarno terhadap Israel tercium oleh pers Arab dan Pakistan pada bulan Juni 1952, dan ini informasi ini berasal dari kantor berita Antara. [12] Pers Arab dan Pakistan melaporkan bahwa pemerintah Indonesia “tidak akan mengakui Israel karena mayoritas penduduk Indonesia Muslim … dan Indonesia mempertimbangkan bantuan negara-negara Arab semasa perjuangan kemerdekaan.” [13] Sikap Indonesia ini dipertegas dengan penghentian pemberian visa masuk bagi warga negara Israel secara menyeluruh. [14]
Sukarno saat menggagas Konferensi Asia-Afrika tahun 1953, bersama Pakistan, menolak keras keikutsertaan Israel dalam konferensi tersebut karena Israel adalah bagian dari bangsa imperialis. [15] Lalu saat KAA diadakan tahun 1955 di Bandung di mana Yasser Arafat – pejuang kemerdekaan Palestina – hadir, Sukarno “menyatakan bahwa kolonialisme belum mati, hanya berubah bentuknya. Neokolonialisme itu ada berbagai penjuru bumi, seperti Vietnam, Palestina, Aljazair, dan seterusnya.” [16]
Tahun 1958, saat Indonesia tengah ada di penghujung penyisihan Piala Dunia dan hanya tinggal melawan Israel, Sukarno memerintahkan Tim Indonesia untuk tidak berlaga dengan tim Israel, karena bertanding dengan Israel sekalipun dalam ajang olahraga, sama saja dengan mengakui negara tersebut. [17]
Tahun 1962, saat Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games IV, pemerintah Indonesia tidak memberikan visa kepada kontingen Israel dan Taiwan (karena RRC mengklaim Taiwan sebagai provinsinya). Akibat dari tidak dikeluarkan visa terhadap kontingen Israel dan Taiwan, International Olympic Committee (IOC) menskors keanggotaan Indonesia tanpa batas waktu yang ditentukan. Sukarno segera memerintahkan Komite Olimpiade Indonesia keluar dari IOC pada Februari 1953 dan mengadakan Ganefo tahun 1963. [18] Pidato umum disampaikan Sukarno di aneka forum internasional pada tahun 1962 adalah “selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.” [19]
Palestina adalah satu-satunya negara peserta KAA 1955 di Bandung yang belum merdeka. [20] Sikap konsisten terhadap Palestina dilanjutkan oleh Presiden Soeharto, kendati dengan gaya berbeda, tidak meledak-ledak seperti Sukarno. Sikap Indonesia di awal era Orde Baru agak lebih lunak terhadap Israel, yang mungkin akibat Indonesia cukup bergantung pada Amerika Serikat (pendukung utama Israel). [21]
Kebijakan utama Soeharto adalah pemulihan ekonomi Indonesia dan sebab itu ia membuka pintu investasi selebar-lebarnya, terutama dari blok Barat (Kapitalis) yang rata-rata adalah negara sahabat Israel.
Saat terjadi Perang Enam Hari, di mana mayoritas negara Muslim mengecam perang tersebut (perang antara Mesir, Suriah dan Yordania versus Israel), sikap Indonesia cukup moderat. [22] Tahun 1970, lewat seorang pengusaha Israel Saul Eisenberg, dirintis jalur perdagangan Indonesia dengan Israel. Untuk tetap konsisten menyatakan sikap Indonesia atas Palestina, tahun 1972, Adam Malik (Menlu saat itu) diutus Soeharto ke sejumlah negara Timur Tengah dengan tujuan meyakinkan mereka bahwa Indonesia tetap mendukung perjuangan bangsa Palestina untuk merdeka. Soeharto, lewat Adam Malik, mempersilakan PLO Yasser Arafat untuk membuka kantor perwakilan di Jakarta. [23]
Tahun 1979, Indonesia membeli 28 pesawat tempur Douglas A-4 Skyhawk dan 11 helikopter dari Israel yang dilakukan secara rahasia oleh Jenderal Moerdani. [24] Selain militer, Indonesia pun membangun saluran telepon langsung dan pengiriman pos dengan Israel. [25] Tahun 1980 larangan pemberian visa perjalanan bagi warga Israel yang dulu diterapkan oleh Sukarno, dicabut diam-diam oleh Soeharto, demikian pula larangan untuk warga Indonesia berkunjung ke Israel. [26] Sebagai imbangan ketergantungan Soeharto atas Amerika Serikat, Indonesia tetap menjalankan kepentingan nasionalnya atas kemerdekaan Palestina.
Sikap Indonesia terhadap Palestina ditegaskan saat Palestine Liberation Organization (PLO) Yasser Arafat didirikan tahun 1984, Indonesia langsung memberikan dukungan. [27] Tanggal 25 Juli 1984, pemimpin (PLO) Yasser Arafat bertemu dengan Soeharto di Istana Merdeka Jakarta. Inti dari pertemuan tersebut adalah Indonesia mendukung penuh perjuangan rakyat Palestina memperoleh kemerdekaannya sebagai hal prinsipil dan secara politis sesuai dengan Pembukaan UUD 1945. [28]
Dukungan ini dikonkritkan saat Negara Palestina dideklarasikan di Aljazair pada tanggal 15 November 1988, dan Indonesia adalah negara pertama yang mengakui Negara Palestina tersebut. [29] Tidak hanya mengakui, Indonesia lalu mewujudkannya dalam tindakan konkrit tanggal 19 Oktober 1989 di Jakarta, di mana ditandatangani “Joint Communique opening diplomatic relations” antara Menlu Ali Alatas (Indonesia) dengan Farouq Kaddoumi (Menlu Palestina) dan setelah itu dibukalah Kedutaan Besar Palestina di Jakarta. [30]
Kepentingan nasional material Indonesia era Soeharto adalah pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan. Sebab itu, investasi sangat dibutuhkan untuk terlebih dahulu menguatkan kegiatan investasi di segala bidang dan mitra yang dipilih Soeharto adalah antitesis dari Sukarno, yaitu Barat-Kapitalis yang rata-rata pendukung Israel. Soeharto secara prinsip tetap berkepentingan terhadap kemerdekaan bangsa Palestina, tetapi menjalankannya secara lebih terselubung.
Tanggal 22 Oktober 1993, Soeharto melakukan pertemuan rahasia dengan PM Israel Yitzhak Rabin di Cendana, di mana Rabin mendesak Soeharto setelah AS mencoba menghentikan pasokan senjata mereka untuk Indonesia akibat lobi Yahudi di kalangan pengambil kebijakan AS. [31] Pertemuan lanjutan dilakukan tanggal 22 Oktober 1995) di acara peringatan 50 tahun berdirinya PBB di mana dimulai hubungan dagang dengan Israel. [32]
Sikap soft terhadap Israel pun terjadi saat delegasi Israel hadir dalam forum World Trade Organization (WTO) yang diadakan di Denpasar bulan Oktober 1993, dan dalih pemerintah Indonesia adalah, delegasi Israel tersebut diundang oleh WTO, bukan oleh pemerintah Indonesia. [33]
Pertemuan Soeharto dan Rabin ini dilanjutkan oleh pembicaraan Menlu Ali Alatas dan Menlu Israel Shimon Peres, lewat sebuah pertemuan informal di Konferensi Hak-hak Asasi Manusia PBB di Wina Austria tahun 1993 yang sama. [34]
Peres secara terus terang menyatakan keinginan Israel membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia, tetapi dijawab diplomatis oleh Alatas, hal tersebut baru bisa dibicarakan apabila pembicaraan perdamaian Israel-Palestina berjalan lancar. Pembicaraan tersebut bocor ke kalangan media, dan kemudian Ali Alatas dan Menhankam Edi Sudrajat sibuk membantahnya.
Pada September 1993 Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung menyangkal kabar bahwa militer Indonesia mendapat hibah alat kelengkapan tempur dari Israel. [35] Di bulan yang sama sejumlah wartawan senior Indonesia yang mengunjungi Tel Aviv (ibukota Israel) dan ini ditentang oleh sejumlah ormas Islam, selain itu ormas-ormas ini pun melarang pemutaran film Schlinder List di bioskop-bioskop Indonesia yang penuh berisikan propaganda Zionis. [36]
Sikap lebih soft terhadap Israel dapat dipandang sebagai upaya diplomatis Indonesia atas kepentingan nasionalnya yang dikenal dengan trilogi pembangunan. Soeharto menghadapi situasi yang pelik, pada satu sisi ia sangat bergantung pada dukungan negara-negara Barat, tetapi pada sisi lain sikap alamiah Indonesia yang terus mendukung kemerdekaan Palestina tetap harus berjalan. Sebab itulah, maka Indonesia mendukung PLO saat ia didirikan, dan mendukung proklamasi kemerdekaan Palestina oleh PLO kemudian.
Tanggal 29 November 1988, saat diadakan Peringatan Hari Solidaritas Internasional Bersama Rakyat Palestina, Soeharto menyampaikan pesan tertulis yang dibacakan Kepala Perwakilan RI di PBB, Nana Sutresna, “Keputusan Pemerintah RI dalam mengakui negara Palestina Merdeka sepenuhnya sejalan dengan dukungan konsisten Indonesia bagi perjuangan rakyat Palestina guna memperoleh hak sah mereka untuk menentukan nasib sendiri dan untuk mendirikan negara berdaulat dan merdeka di Palestina.” [37] Indonesia pun mengecam penindasan atas perlawanan sah rakyat Palestina atas pendudukan Israel yang tidak sah.
Dua tahun sebelumnya, tahun 1986, saat menjamu Raja Hussein dan Ratu Noor dari Kerajaan Yordania, Soeharto menyatakan “sejak semula, Indonesia secara konsekuen mendukung perjuangan bangsa Arab dan rakyat Palestina untuk mengembalikan seluruh wilayah Arab yang diduduki Israel sejak tahun 1967, dan hak-hak sah rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri.” [38]
Tahun 1993, Soeharto menerima kunjungan Presiden Palestina Yasser Arafat di Istana Negara. Saat itu kunjungan disikapi secara kontroversial, karena sebagian umat Islam Indonesia menyebut Yasser Arafat dengan julukan ‘Abu Ammar’ (penelikung lewat perundingan Khalifah Ali dan Muawiyah), karena bersedia meneken Perjanjian Oslo 13 September 1993 dengan Yitzhak Rabin (PM Israel). Bagi sebagian umat Islam, perjanjian tersebut menguntungkan Israel dan merugikan Palestina. [39]
Sikap protes terhadap Arafat dimotori oleh KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Islam) pimpinan Ahmad Sumargono. Tidak hanya di Jakarta, di Jawa Timur pun berkembang kritik atas kedatangan Arafat. “Perjanjian itu [Oslo] seperti melegalisir penjajahan” dalam mana pernyataan ini dikatakan oleh Wakil Ketua NU Pasuruan, K. H. Zakki Mubeid, dan perjanjian itu telah membuat sejumlah ulama Pasuruan gusar. [40]
Namun, tidak seluruh umat Islam Indonesia menentang sikap Arafat, Lukman Harun, Ketua Komite Solidaritas Islam Indonesia berpendapat berbeda. [41] Bagi Harun, yang juga tokoh Muhammadiyah, apabila terus dilakukan jalan perang maka Arab akan terus kalah melawan Israel karena melawan Israel berarti melawan Amerika Serikat.
Soeharto mengambil sikap sendiri, dan ini merupakan sikap resmi Republik Indonesia atas Palestina. Dalam sambutannya kepada Arafat, Soeharto tercatat menyatakan “kami menyambut baik prakarsa perdamaian yang kini dirintis oleh Yang Mulia.” [42] Soeharto saat bertemu Arafat berposisi sebagai Ketua Gerakan Non Blok, gerakan yang sesuai dengan pilihat politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia. Dalam kesempatan bertemu dengan Soeharto tersebut, kepada wartawan Arafat menyatakan bahwa ia ingin mendirikan negara Palestina yang demokratis, yang melindungi semua agama, sama seperti Pancasila di Indonesia. [43]
Soeharto mundur selaku presiden Indonesia 20 Mei 1998 digantikan B.J. Habibie yang kemudian memerintah kurang dari 1 tahun. Rekaman sikap Indonesia atas Palestina di era Habibie mungkin kurang banyak diliput akibat singkatnya masa kepemimpinan presiden ketiga ini yang dikepung oleh aneka krisis seperti jatuhnya nilai tukar rupiah, krisis Timor sebelah Timur, dan politik dalam negeri. [44]
Namun, di masa Habibie inilah keluar pernyataan dari Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad bahwa George Soros, investor Yahudi, sebagai aktor utama di balik krisis moneter Asia. [45] Pada sisi lain, Habibie tentu tidak akan berhenti mendukung sikap resmi Indonesia yang terus mendukung Negara Palestina pasca Perjanjian Oslo 1993 bahkan menguatkan kerjasama antar negara Islam untuk mendorong dukungan yang lebih kuat atas Palestina. Di masa singkat pemerintahannya Habibie tercatat menjalin kerja sama dengan Perdana Menteri Turki Necmetin Erbakan dalam meningkatkan kapasitas negara-negara Muslim agar menjadi negara yang kuat. [46]
Habibie dan Erbakan sepakat mendirikan organisasi bernama Developing 8 atau D-8, sebuah organisasi kerjasama pembangunan bidang ekonomi yang dianggotai negara-negara mayoritas Muslim seperti Bangladesh, Mesir, Indonesia, Iran, Malaysia, Nigeria, Pakistan, dan Turki. [47] D-8 dibentuk lewat Deklarasi Istanbul tanggal 15 Juni 1998. Tujuan dari D-8 adalah meningkatkan posisi tawar negara anggotanya dalam ekonomi global, diversifikasi, dan peningkatan partisipasi dalam pengambilan keputusan internasional. Hal yang disayangkan adalah cukup singkatnya masa pemerintahan ‘transisi’ Habibie sehingga apa yang diperbuat Indonesia atas Palestina di bawah kepemimpinan kurang tampak.
Setelah Habibie dihentikan dari jabatan presiden oleh Sidang Istimewa MPR, Abdurrahman Wahid terpilih menggantikannya. Langkah kontroversial Wahid adalah terang-terangan mencabut surat larangan dagang dengan Israel. [48] Era Wahid ditandai dualisme dalam perjuangan Palestina: Negara Palestina resmi dan kelompok perlawanan Hamas. Pada sisi lain, Wahid mengambil posisi kooperatif-kritis atas faksi Zionis di Israel. [49]
Wahid mengecam agresi militer yang dilancarkan Israel ke Palestina sebagai tindakan yang tidak didasari rasa keadilan. [50] Lebih lanjut, Wahid menyatakan bahwa “beberapa waktu lalu saya katakan kepada ribuan warga Yahudi Amerika Serikat di Los Angeles, jika pemerintah Israel ingin diakui sebagai negara yang berdaulat, mestinya Israel juga harus mengakui Palestina sebagai negara yang merdeka.” [51] Wahid melanjutkan kendati Israel mampu menduduki Palestina, banyak faksi-faksi yang akan mempertahankan kehormatan tanah Palestina apapun resiko yang mungkin diterima oleh aneka faksi tersebut. Wahid juga menyinggung posisi Hamas, yang walaupun kecil tetapi mereka tidak akan tinggal diam tanahnya terus dijajah oleh Israel. [52]
Sikap resmi Indonesia di masa Wahid terbilang unik dan seperti ‘ke sana’ dan ‘ke mari’ sesuai dengan gaya Wahid yang bertipikal citizen leader bukan managerial. Wahid terbiasa bebas mengemukakan pendapat sesuai kapasitas intelektualnya yang tidak bisa langsung dipahami oleh publik, terutama kelompok Islam garis keras di Indonesia. Surat kabar Haaretz yang terbit di Israel menjuluki Wahid sebagai a friend of Israel in the Islamic World. [53]
Di masa Soeharto, Wahid pernah diundang PM Israel Yitzhak Rabin untuk menyaksikan penandatangan perjanjian damai Israel – Palestina di Yordania. [54] Wahid menjalin kontak dengan Yahudi, Arab, Kristen, dan Islam di Palestina, kemudian menyimpulkan mereka semua ingin damai. Tidak berhenti di situ, Wahid kemudian teribat sebagai pendiri dan anggota Yayasan Shimon Peres (Shimon Peres Foundation), dan mengenai ini, Wimar Witoelar juru bicara Wahid menjelaskan, Yayasan tersebut didirikan untuk menciptakan perdamaian di dunia, dan itulah yang menyebabkan Wahid bersedia menjadi anggotanya sebelum menjadi presiden Indonesia. [55] Inilah yang melatbelakangi pernyataan kontroversial Wahid bahwa Indonesia berencana membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Argumentasi Wahid adalah bagaimana mungkin Indonesia bisa menekan Israel kalau tidak ada hubungan diplomatik antar kedua negara. Dengan adanya hubungan diplomatiknya maka Wahid merencanakan dua hal: Pertama, Wahid ingin memastikan kapitalis Yahudi yaitu George Soros tidak mengacaukan pasar modal; Kedua, ingin meningkatkan posisi tawar Indonesia di Timur Tengah, sebab selama ini Timur Tengah tidak pernah membantu Indonesia menghadapi krisis [akibat ulah Soros]. [56] Selain itu, seperti diakui oleh Alwi Shihab (Menlu era Wahid), Amerika Serikat terus menekan Indonesia untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. [57]
Seperti diketahui, Israel telah memiliki hubungan diplomatik resmi dengan negara-negara seperti Turki, Arab Saudi, Yordania, dan Mesir. Wahid mencabut SK Menteri Perdagangan Nomor 102/SK/VIII/1967 yang melarang hubungan dagang dengan Israel lewat SK Nomor 26/MPP/Kep/II/2000 yang ditandatangani Jusuf Kalla (saat itu menjabat Menteri Perdagangan) tanggal 1 Februari 2000. Dengan dicabutnya surat tahun 1967, maka perdagangan Indonesia-Israel menjadi legal.
Alasan lain dari rencana pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel adalah untuk membantu pemulihan ekonomi Indonesia yang masih terpuruk, yang dengan pertimbangan tersebut, Indonesia di era Wahid memerlukan aliran modal dari luar negeri baik investasi langsung maupun portofolio. [58] Para pemodal besar tentu saja dikuasai oleh bankir Internasional keturunan Yahudi. Alwi Shihab menghitung bahwa pendapatan per kapita Israel US$ 16.824 dengan PDB US$ 19,2 milyar, dan ini potensial untuk produk ekspor Indonesia. [59]
Wahid lalu melakukan pertemuan dengan George Soros (yang dikecam Mahathir Mohammad sebagai dalang krisis moneter Asia 1997) pialang saham Yahudi dalam Konperensi Tingkat Tinggi Milenium PBB. Pertemuan tersebut berlangsung tertutup karena akan memunculkan reaksi keras dari umat Islam apabila diketahui luas. Namun, semua aktivitas Wahid ini kemudian menyebarluas dan memunculkan kekecewaan di kalangan umat Islam Indonesia dan justru mengakibatkan instabilitas politik dalam negeri.
Logika seputar akan diuntungkannya Indonesia dalam hubungan dagang dengan Israel setelah dibuka hubungan diplomatik dibantah oleh Suroso Imam Zadjuli, ekonom Universitas Airlangga. [60] Hubungan dagang dan politik dengan Israel keduanya akan merugikan Indonesia. Kepiawaian ekonomi Yahudi akan membuat mereka justru lebih leluasa menjajah ekonomi Indonesia, terlebih mereka sudah mengincar industri-industri strategis seperti semen, listrik, dan penerbangan. [61]
Dari sisi politik tentu saja, Indonesia akan dinilai sebagai negara yang tidak tahu membalas budi pada Palestina, yang bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka, Palestina sudah mendukung pernyataan PM Koiso tentang rencana Jepang memerdekakan Indonesia. Bahkan, Palestina pula yang giat mengkampanyekan agar negara-negara Timur Tengah yang berdaulat untuk memberi pengakuan atas kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, logika ekonomi yang digunakan Wahid sangat berbahaya. Seperti telah ditulis oleh Eustace Mullins, bahwa ekonomi Yahudi Ashkenazi sifatnya parasitis. [62]
Argumentasi dan rencana Wahid tentu saja tidak bisa diterima mayoritas umat Islam Indonesia. Pernyataan Wahid kemudian malah berbalik menyerang dirinya sendiri dan akhirnya hingga akhir jabatannya, pembukaan hubungan diplomatik tidak terjadi. Saat menjadi presiden, Wahid bertemu dengan Presiden Palestina Yasser Arafat di Jakarta, Wahid menyatakan selaku kepala negara ia menegaskan bahwa “Indonesia terikat kepada keputusan yang dulu, yaitu hak untuk mencapai perdamaian di Palestina, terserah pada orang-orang Palestina itu sendiri … bukan saya mendukung, tetapi hal itu akan ditentukan oleh keputusan negara-negara Organisasi Konperensi Islam (OKI) dan resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa.” [63] Dengan demikian Wahid menekankan bahwa persoalan Palestina adalah persoalan dunia, baik itu yang diwadahi oleh negara-negara anggota OKI maupun aneka resolusi PBB.
Sikap ambigu Indonesia di bawah Wahid atas Palestina pun terjadi saat konferensi International Parliamentary Union (IPU) di Jakarta. Jakarta menyatakan akan bersikap netral terhadap perkembangan yang terjadi di Timur Tengah, dan pernyataan ini mengecewakan delegasi Palestina. Sikap Indonesia kali ini tidak sejalan dengan apa yang sudah diambil Indonesia selama masa Sukarno, Soeharto, dan Habibie. Pernyataan kekecewaan delegasi Palestina disikapi lewat permintaan Alwi Shihab (Menlu Indonesia) untuk menarik Duta Besar Palestina Ribbi Yawad dari Indonesia karena dinilai gagal memberikan pengertian pada para delegasi Palestina tersebut. Namun, akhirnya melalui serangkaian dialog penarikan duta besar tidak dilakukan. [64]
Sesungguhnya aneka upaya pembukaan hubungan diplomatik bukan terjadi di era Wahid. Di era Soeharto pun upaya serupa kerap kali terjadi, terlebih di era Orde Baru ketergantungan Indonesia pada Amerika Serikat begitu besar. Di era Soeharto memang tidak terjadi hubungan diplomatik resmi dengan Israel, tetapi hubungan dagang dan perjalanan warga kedua negara berlangsung. Perbedaannya adalah, Wahid berupaya untuk secara resmi dan terang-terangan hendak membuka hubungan diplomatik tersebut dan inilah blunder politik luar negerinya karena tidak sejalan dengan Mukadimah UUD 1945 “ … bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan …”
Setelah Wahid dihentikan di tengah jalan oleh MPR, Megawati Soekarnoputri duduk sebagai presiden dengan Hamzah Haz sebagai wakil presiden. Pada masa presiden Megawati, dukungan kepada Palestina kembali dipertegas, misalnya seperti diungkap oleh Menlu Hasan Wirajuda dalam Sidang Darurat OKI, 10 Desember 2001. [65]
Saat terjadi pengepungan terhadap kantor pemimpin Palestina Yasser Arafat di Ramallah, Megawati bereaksi secara tegas, yaitu melalui Wakil Presiden Hamzah Haz untuk melayangkan undangan kepada Yasser Arafat untuk berkunjung ke Indonesia. [66] Undangan Megawati tersebut dipuji oleh pengamat politik Fachry Ali sebagai keputusan cerdas, yaitu sebagai terobosan politik dan diplomatik sekaligus. Sikap Megawati yang mengundang Arafat terang-terangan berseberangan dengan Amerika Serikat yang justru terang-terangan mendukung pengepungan pasukan Israel atas kantor Arafat. Bahkan Majelis Ulama Indonesia merujuk pada Fatwa Al-Azhar tahun 1968 bahwa “memerangi Israel adalah fardu ‘ain bagi umat Islam. [67]
Dalam Special Bulletin on the Commemoration of the International Day of Solidarity with the Palestinian People 2002 Megawati menyatakan sejumlah hal mengenai sikap Indonesia atas Palestina. Megawati kembali menegaskan sikap pemerintah dan rakyat Indonesia, seputar kebulatan tekad bangsa Indonesia akan selalu bersama dengan perjuangan rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri dan mendirikan negara berdaulat di tanah mereka sendiri, dengan Yerusalem sebagai ibukotanya.
Indonesia juga mengecam perusakan atas sejumlah instansi mendasar Otoritas Palestina yang dirusak dan dihancurkan oleh operasi militer Israel, dan ini memperburuk penderitaan rakyat Palestina. Indonesia menghendaki pelaksanaan Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1397 yang menegaskan batas-batas yang sudah ditentukan di dalam resolusi tersebut. Indonesia ingin agar pendudukan Israel di wilayah yang menjadi hak Palestina diakhiri. Pernyataan Megawati diakhiri dengan dukungan penuh atas kebebasan dan kemerdekaan rakyat Palestina. Hanya dengan pemberian kebebasan dan kemerdekaan itulah maka perdamaian di region konflik bisa diakhiri. [68]
Sikap Indonesia atas Palestina berlanjut di masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Masa jabatan SBY ini cukup panjang yaitu 10 tahun. Dalam masa awal periode pertama jabatan, SBY menyatakan filosofi politik luar negerinya yaitu navigating a turbulenced ocean dalam menghadapi konteks internasional, dan sebab itu Indonesia akan menunjukkan sikap moderat. [69] Unilateralisme Amerika Serikat begitu ‘ganas’ di era SBY dan hal beralasan bahwa dalam memajukan kepentingan nasional Indonesia memilih sikap moderat. SBY menekankan “bukan kita yang jadi antek asing, tapi terbalik, justru semua dapat jadi antek kita.” [70] Politik SBY agak mirip dengan Soeharto, yang bagi kalangan garis keras kerap disebut mendua. Sebagai contoh, SBY mengecam keras agresi Israel di Jalur Gaza, tetapi mau menerima bantuan Israel di saat terjadi Tsunami Aceh. [71]
Pada tahun 2007, SBY menyatakan “rakyat dan pemerintah Indonesia mendukung penuh perjuangan bangsa Palestina untuk menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, hidup dalam kedamaian dan mendapatkan dukungan dari masyarakat Internasional.” [72] Sebagai wujud nyata dukungan, pemerintah Indonesia pendidikan dan pelatihan para diplomat Palestina, para mahasiswa dan pelajar, dan juga angkatan kepolisian.
Selain pendidikan pelatihan, Indonesia juga mengirimkan bantuan kemanusiaan. Saat periode pertama SBY memerintah, kepemimpinan Palestina telah berpindah dari Yasser Arafat yang wafat 11 November 2004 dan kemudian digantikan Mahmoud Abbas, yang terpilih lewat Pemilu Demokratis Palestina 9 Januari 2005 kendati diboikot oleh dua kelompok garis keras Palestina: Hamas dan Jihad Islam. [73] Abbas kurang mengakar di masyarakat bawah Palestina ketimbang Barghouti, dan Abbas lebih disukai Israel dan Amerika Serikat.
Namun, seperti melanjutkan double-standard atas nama kepentingan nasional yang sifatnya material, Indonesia di era SBY pun terus menjalin hubungan dagang dengan Israel. Tahun 2008 adalah puncak hubungan dagang Indonesia-Israel dengan nilai ekspor Indonesia ke Israel mencapai US$ 200 juta, 90% dengan batubara sebagai komoditas utamanya. [74]
Logika yang melandasi rezim SBY ini serupa dengan apa yang pernah diargumentasikan Wahid, presiden RI sebelumnya, bahwa hubungan dengan Israel dapat dimanfaatkan untuk menekan Israel untuk mengakui Palestina merdeka. Namun, logika ini bukan disampaikan oleh SBY melainkan mantan petinggi diplomatik Israel untuk kawasan Asia Tenggara. [75] “Indonesia punya pengaruh kuat untuk mendamaikan konflik Jalur Gaza, tapi dengan syarat harus membuka diri guna bekerja sama dengan Israel, lanjut mantan petinggi Israel tersebut.” [76]
Israel seperti memanfaatkan kepentingan nasional ideasi Indonesia atas Palestina agar Indonesia mau masuk ‘gurita’ ekonomi Israel atas dasar kepentingan yang bersifat material. Namun, sepanjang masa pemerintahan SBY dalam kurun 10 tahun hubungan diplomatik resmi Indonesia-Israel tidak pernah mewujud.
Selama konflik Gaza 2008-2009, SBY menyatakan “pemerintah Indonesia tetap konsisten mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk mempertahankan hak dan kedaulatannya.” [77] Selanjutnya, setelah terjadi bentrokan Armada Gaza pada 31 Mei 2010, SBY mengutuk tindakan Israel dan Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu (Marty Natalegawa) juga turut mengutuk dan menyatakan bahwa blokade Israel di Gaza merupakan pelanggaran hukum internasional. Juga, dalam konflik Gaza 2014, pemerintah Indonesia mengutuk agresi militer Israel di Gaza karena dapat merusak kondisi menuju terciptanya perdamaian antara Palestina-Israel. [78]
Pada tanggal 29 Mei 2010, Presiden Abbas datang menemui SBY di Istana Negara. SBY kembali menekankan dukungan Indonesia atas kemerdekaan Palestina dan merealisasi bantuan kepada Palestina senilai 20 milyar rupiah untuk pendirian rumah sakit Palestina di Jalur Gaza. [79] Solusi yang ditawarkan SBY pada Abbas adalah solusi 2 negara: Palestina dan Israel. Tanggal 23 – 27 Mei 2011 diadakan pertemuan tingkat menteri Gerakan Non-Blok (GNB) di Bali, Indonesia. Negara-negara GNB kembali memperkuat komitmen mereka terhadap perjuangan rakyat Palestina, khususnya rekonsiliasi antarfaksi Palestina (Fattah, Hamas, dan Jihad Islam) demi menuntaskan isu Palestina. Atas gagasan Indonesia disepakati rencana aksi NAM Ministerial Committee untuk menggalang suara terhadap pengakuan Palestina sebagai anggota PBB. [80]
Namun, SBY sambil terus melaksanakan kepentingan nasional yang bersifat ideasi, juga menerapkan kepentingan nasional yang bersifat material dengan Israel. Tahun 2008 adalah periode puncak volume dagang Indonesia-Israel dengan total nilai US$ 900 juta, dengan nilai ekspor Indonesia ke Israel sebesar US$ 800 juta dan impor US$ 100 juta. Indonesia tentu saja mengalami surplus perdagangan dengan Israel, tetapi Israel menyedot sumber daya alam tak bisa diperbarui (batubara) sebagai komoditas utama ekspor Indonesia ke Israel. Indonesia bukan satu-satunya negara Asia yang melakukan perdagangan dengan Israel karena Malaysia, Turkmenistan, Uzbekistan, Yordania, Kazakstan, juga melakukannya.
Tahun 2011, total perdagangan Indonesia-Israel US$ 170,62 juta, dengan nilai ekspor US$ 159,61 juta dan impor US$ 11,01 juta. Sekali lagi di era SBY, Indonesia mengeruk surplus perdagangan dengan Israel. Di penghujung masa jabatan SBY, volume perdagangan Indonesia-Israel menurun jadi US$ 152,77 juta. Namun tahun 2015, saat Jusuf Kalla menjadi wakil presiden, tokoh yang meneken pencabutan larangan perdagangan dengan Israel 1967 pada tahun 2001, volume dagang Indonesia-Israel kembali menaik ke angka US$ 194,43 juta dengan US$ 116,70 juta ekspor dan US$ 77,73 juta. [81]
Perlu diperhatikan volume di tahun 2015 ini, bahwa Israel semakin memperkecil defisit perdagangan mereka dengan Indonesia, bahkan tanpa hubungan diplomatik sekalipun. Di sinilah bukti bahwa berjangkitnya ‘parasitisme’ dagang dengan para pengusaha Yahudi sedikit demi sedikit memperoleh kenyataannya.
Pada sisi lain, di penghujung masa kepemimpinannya, SBY kembali mengajukan kepentingan nasional ideasi Indonesia atas Palestina. [82] Saat bertemu Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah (pengganti Mahmoud Abbas) di Istana Negara 28 Februari 2014, Indonesia menandatangani 3 nota kesepahaman dengan Palestina yaitu di bidang pendidikan, politik, dan ekonomi.
Di bidang politik, SBY menekankan komitmen dan langkah praktis Indonesia untuk mewujudkan Palestina merdeka, yaitu sebagai negara peninjau di PBB dan masuk menjadi anggota UNESCO, tetapi harus ditempuh dengan two states solution. Di bidang ekonomi, Indonesia (termasuk wisata) Indonesia akan mengaktifkan joint-business council Indonesia-Palestina di bidang gas dan sumber daya alam lainnya. Dalam hal pariwisata Indonesia punya 40 ribu lebih WNI yang berwisata religi ke Palestina. Di bidang pendidikan, Indonesia membuka pintu sebesar-besarnya bagi mahasiswa Palestina yang ingin belajar di Indonesia yang kini jumlahnya sudah ribuan.
Periode SBY pun memberi fundasi yang lebih kuat bagi kepentingan nasional Indonesia atas Palestina yaitu mendekati Liga Arab, organisasi yang didirikan 22 Maret 1945 beranggotakan 22 negara. Liga Arab telah berjasa dalam memberi pengakuan awal atas kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, dan secara strategis Liga Arab memberi ruang lebih besar bagi Indonesia untuk mengupayakan kepentingan nasional Indonesia di forum-forum internasional dengan mana Indonesia punya kesamaan posisi dengan aneka negara Liga Arab. [83] Hasil dari lobi pemerintah SBY adalah, Indonesia mendapat status Accredited Ambassador to Arab League yang dengannya Indonesia dapat menghadiri beberapa pertemuan Liga Arab serta memiliki peluang besar mendapat informasi terkini mengenai perkembangan organisasi tersebut.
Langkah lain SBY yang strategis demi memajukan kepentingan nasionalnya atas Palestina adalah pembaruan solidaritas negara-negara yang tergabung dan mengadakan Konperensi Asia Afrika 22 – 23 April 2005 di Jakarta. Pertemuan yang dihadiri 106 negara (54 negara Asia dan 52 negara Afrika) melahirkan New Asian African Strategic Partnership Plan of Action (NAASP). Indonesia kemudian menjadi tuan rumah NAASP dalam momen Ministerial Conference on Capacity Building for Palestine tahun 2008 yang dihadiri 218 peserta dari 56 negara dan 3 organisasi internasional tanggal 14 – 15 Juli 2008. Kesepakatan yang lahir adalah NAASP berkomitmen memberikan bantuan program pembangunan kapasitas bagi 10 ribu warga Palestina dalam kurun 5 tahun (2008 – 2013) dan SBY sendiri langsung mengajukan komitmen bantuan Indonesia untuk 1.000 orang Palestina. [84] Hingga Mei 2013, Indonesia telah memberikan pelatihan pengembangan kapasitas terhadap 1.246 warga Palestina.
Secara umum, garis yang ditempuh SBY mirip dengan garis yang ditempuh Soeharto dalam komitmen kepentingan nasional untuk kemerdekaan Palestina. Setelah SBY digantikan Joko Widodo (Jokowi) pola soft SBY sedikit agak berubah. Jokowi yang diimbangi oleh Wapres Jusuf Kalla, relatif lebih lantang dalam menyuarakan kepentingan nasional Indonesia atas Palestina.
Saat bertemu pertama kali dengan PM Palestina Rami Hamdallah, Jokowi menyatakan bahwa “Palestina adalah satu-satunya negara yang masih dalam penjajahan … penjajahan di Palestina harus segera diakhiri.” [85] Namun, pernyataan cukup keras ini membentur realitas politik, dukungan atas Jokowi amat lemah. Ia amat bergantung pada PDIP, partai yang kerap diasosiasikan ‘jauh’ dari Islam. Juga, wakilnya adalah orang yang menandatangani surat pencabutan larangan dagang dengan Israel di era Abdurrahman Wahid. Kendati demikian, dalam pertemuan dengan Hamdallah, Jokowi menjanjikan pembukaan konsulat Indonesia di Ramallah. Saat Jokowi bertemu Hamdallah, Palestina sudah diakui sebagai anggota tidak tetap PBB.
Langkah konkrit dukungan Indonesia adalah dukungan resmi pemerintah atas dibangunnya rumah sakit di Gaza, Palestina yang diprakarsai civil society bernama MER-C (Medical Emergency Rescue Committee). [86] Rumah sakit tersebut dibangun di lahan seluas 16.261 meter persegi dan dikhususkan untuk pembedahan dan pelayanan traumalogi masyarakat Palestina. Selain rumah sakit, Indonesia berencana membangun Konsulat Kehormatan di Ramallah dan pembangunan Indonesia Cardiac Centre di RS Al-Syifa di Gaza. Presiden mengemukakan bahwa rumah sakit yang dibangun di Gaza didanai sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia, bukan pemerintah.
Salah satu wujud signifikan dukungan Indonesia atas kepentingan nasional ideasinya atas Palestina adalah peresmian Konsulat Kehormatan RI untuk Palestina di Ramallah tanggal 13 Maret 2016. [87] Namun, peresmian tersebut tidak bisa dilakukan di Ramallah (Palestina) melainkan di Kedutaan Besar Indonesia di Amman, Yordania. Ini akibat pemerintah Israel melarang kedatangan Menlu Indonesia (Retno Marsudi) untuk melakukan peresmian konsulat tersebut di Ramallah. [88]
Secara tegas Menlu Retno Marsudi menyatakan bahwa pendirian Konsulat Kehormatan RI di Ramallah bukan urusan Israel. Larangan masuk atas Menlu Retno Marsudi akibat ia menolak bertemu dengan pejabat Israel di Yerusalem, dan akibat penolakannya tersebut, Israel memutuskan tidak memberi visa pada Menlu Retno untuk masuk ke Ramallah.
Sebelumnya, pada Konperensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Organisasi Konperensi Islam tanggal 6 – 7 Maret 2016, lahir komitmen bersama (Resolusi dan Deklarasi Jakarta) mendukung Al-Quds Al-Syarif (Kota Suci Yerusalem) berupa bantuan finansial bagi Al-Quds Fund.
Dalam KTT tersebut Jokowi menyerukan negara-negara anggota OKI untuk melakukan pemboikotan produk-produk Israel yang berasal dari wilayah-wilayah pendudukan mereka di Palestina. [89] Hubungan Indonesia-Palestina sejak 2004 hingga 2015 ditandai oleh tren menaik sebesar 300%. Kerja sama bidang ekonomi adalah salah bidang utama yang harus dijalankan oleh Konsulat Kehormatan RI di Ramallah yang dipimpin oleh Maha Abu Shusha, warga Palestina, yang ditunjuk oleh Indonesia untuk menjadi konsul kehormatan Indonesia untuk Palestina. [90]
Pembukaan konsulat kehormatan Indonesia di Ramallah adalah upaya merayap untuk memancing negara-negara lain melakukan hal serupa, tetapi ternyata kenyataan tidak terlalu menggembirakan. Israel malah melobi Amerika Serikat untuk mendukung mereka memindahkan ibukota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem (Al-Quds) yang selama ini menjadi icon bagi Palestina.
Ramallah adalah ibukota administratif Palestina tetapi saat ini ada di bawah pendudukan (atau tepatnya, dijajah) oleh Israel. Israel seolah memancing Indonesia untuk membuka hubungan diplomatik dengan mereka, karena pembukaan kedutaan besar hanya dimungkinkan apabila Palestina sudah merdeka dan diakui Israel. Indonesia menolak untuk mengakui negara Israel apabila Israel tidak mengakui kemerdekaan Palestina, seperti dikatakan oleh Andy Rachmianto (Dubes RI untuk Yordania dan Palestina). [91]
Terlepas dari hal lain, Konsulat Kehormatan Indonesia sudah berdiri di Ramallah, dengan tugas: (1) Memberikan pelayanan dan perlindungan kepada Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia; (2) Meningkatkan hubungan dan kerja sama ekonomi dan sosial-budaya; (3) Mempromosikan ekonomi, perdagangan, pariwisata, dan investasi Indonesia; (4) Promosikan seni dan budaya Indonesia; dan (5) Pengawasan dan pelaporan. [92]
Indonesia tidak bisa sendiri dalam mengambil langkah tegas terhadap penghapusan penjajahan Palestina oleh Israel, kendati apa yang disepakati dalam KTT OKI cukup tegas. Hal ini diungkap oleh Smith Alhadar, pengamat Timur Tengah dari The Indonesian Society for Middle East Studies. [93] Alhadar realistis dengan mengungkap bahwa di dalam OKI sendiri terdapat perseteruan internal yaitu antara Arab Saudi dan Turki pada satu sisi dengan Iran di sisi lain. Alhadar mencontohkan proposal Perancis yang memberi ultimatum kepada Israel, apabila solusi dua negara tidak diwujudkan Israel, maka Perancis akan mengakui kemerdekaan Palestina. [94]
Dukungan atas kemerdekaan Palestina tidak pernah lepas dari kepentingan nasional Indonesia. Saat dahulu Donald Trump mengeluarkan pernyataan di acara Diplomatic Reception Room Gedung Putih, yang menyatakan bahwa Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, Indonesia menyatakan “ … mengecam keras pengakuan sepihak AS terhadap Yerusalem sebagai ibukota Israel dan meminta AS mempertimbangkan kembali keputusan tersebut.” [95]
Bagi Jokowi, permasalahan Yerusalem tidak bisa dilepaskan dari kemerdekaan Palestina. Dalam kasus pembatasan beribadah di Masjid al-Aqsa Juli 2017, Indonesia mengusulkan proteksi internasional di kompleks al-Aqsa. Apa yang diungkap Jokowi ini kembali bergema dalam KTT Negara OKI yang dilangsungkan di Istanbul lewat pernyataan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bahwa Yerusalem adalah milik Palestina dan menyerukan lembaga internasional melakukan intervensi atas dukungan sepihak AS atas pemindahan ibukota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Salah satu badan dunia yang penting bagi rakyat Palestina adalah Badan Bantuan dan Pembangunan PBB untuk Palestina atau UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East ). Badan ini mengurusi sekitar 5,3 juta pengungsi Palestina di sejumlah wilayah. [96] Pada tahun 2018 badan ini mengalami defisit anggaran sebesar US$ 440 juta sehingga menyulitkan badan tersebut membantu para pengungsi Palestina.
Anggaran UNRWA ada yang berasal dari PBB, tetapi mayoritas berasal dari kontribusi sukarela dari negara-negara anggota. Indonesia adalah salah satu negara anggota, yang kemudian menggalang dana dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), dana pemerintah, dan para filantropis Indonesia. Amerika Serikat pada September 2018 memutuskan menghentikan segala bantuan untuk UNRWA sebesar US$ 200 juta untuk dia alihkan ke tempat lain. Tidak hanya untuk UNRWA, Indonesia pun terancam dicabut bantuan ekonominya karena Presiden Trump mengancam negara mana pun yang menolak untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel akan dianggapnya menantang dirinya secara pribadi. [97]
Indonesia di era Jokowi mendapat kesempatan sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB selama 2 tahun, terhitung sejak 1 Januari 2019 – 31 Desember 2020 (bersama Jerman, Afrika Selatan, Belgia, dan Republik Indonesia). Sebelumnya Indonesia sudah 3 kali menjadi anggota tidak tetap dewan tersebut (1974-1975, 1995-1996, dan 2007-2008).
Dalam kesempatan tersebut, Indonesia menetapkan 4 isu prioritas dan 1 isu perhatian khusus. Satu-satunya isu perhatian khusus adalah Palestina. [98] Pada tanggal 21 – 25 Januari 2019, Menlu Retno Marsudi menghadiri Sidang Resmi DK-PBB yang membahas isu Timur Tengah dan Indonesia fokus pada persoalan Palestina. [99] Sikap resmi Indonesia dalam DK-PBB adalah two state solution sebagai opsi paling rasional. Sikap ini dilanjutkan pada 5 Maret 2019 saan Menlu RI mengunjungi Amman, Yordania untuk membuka pelatihan peningkatan kapasitas kewirausahaan bagi perempuan untuk Palestina. [100]
Namun, usaha Indonesia ini, seperti telah dapat diprediksi, akan dihalangi oleh kekuatan besar: Amerika Serikat. Donald Trump mengajukan usulan perdamaian Palestina-Israel tanggal 28 Januari 2020, yang disambut positif Arab Saudi yang menganggapnya sebagai dasar pembicaraan 4 mata antara Palestina-Israel (seraya tetap mendukung Palestina) dan Uni Emirat Arab. [101] Pada sisi lain, proposal tersebut memicu kegusaran Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas dan meminta DK-PBB menolak usulan perdamaian tersebut. Usulan Trump adalah pembagian wilayah Palestina dan Israel yang dapat dilihat dalam peta berikut: [102]
Peta usulan Trump di atas mirip dengan peta Israel setelah perang 1948. Dalam usulan Trump, hubungan Gaza dengan Tepi Barat bukan dihubungkan oleh jalan milik Palestina melainkan akses jalan yang dimiliki Israel. Dengan demikian, Tepi Barat benar-benar dipisahkan dari Gaza, dua wilayah utama Palestina. Juga akses pelabuhan bagi Palestina akan berada di wilayah Israel, yang apabila hendak didistribusikan ke Gaza dan Tepi Barat harus melalui seluruh wilayah Israel.
Selain itu, poin-poin ‘damai’ versi Trump adalah: (1) Israel tetap memiliki 20% wilayah Tepi Barat dan kehilangan sejumlah kecil tanah di gurun Negev dekat perbatasan Gaza-Mesir; (2) Ibukota Palestina adalah Yerusalem Timur, di utara dan tiur yang ada di luar batas keamanan Israel yaitu Kafr Akab, Abu Dis dan setengah Shuafat, sementara Yerusalem secara umum adalah ibukota Israel; (3) Israel mempertahankan Lembah Yordan dan semua pemukiman Israel di Tepi Barat seluas mungkin, mencakup 15 pemukiman terisolasi, yang nantinya akan menjadi bagian dari negara Palestina; (4) Israel mengendalikan keamanan dari Sungai Yordan sampai Laut Mediterania, Israel Defense Force tidak diharuskan meninggalkan Tepi Barat, dan tidak ada perubahan pendekatan Israel ke Yudea dan Samaria; (5) Palestina tidak akan diakui sebagai negara independen secara langsung, dan baru akan akan diberikan 4 tahun ke depan dengan syarat-syarat: berhenti mendanai Hamas dan Jihad Islam, menghentikan korupsi, menghormati HAM, kebebasan beragama, dan kebebasan pers; (6) Sejumlah pengungsi Palestina akan diizinkan masuk ke Palestina, tetapi tidak seorang pun diizinkan masuk ke Israel; dan (7) Terbuka kemungkinan Israel akan menukar daerah triangle dengan negara Palestina di masa depan yaitu Kafr Kara, Baka al-Gharbiya, atau Umm el-Fahm, dan perbatasan Israel akan digambar ulang sehingga komunitas triangle menjadi bagian dari negara Palestina. [103] Adapun proposal Trump itu merupakan hasil dari 3 tahun upaya penasehat senior Gedung Putih. [104]
Penasihat senior Gedung Putih yang selama 3 tahun menggodok proposal Trump terdiri atas 3 orang, dan ketiganya tidaklah ‘senior’ dalam arti obyektif dan memahami permasalahan sehingga dikecam Indonesia, Tunisia, Liga Arab, negara-negara OKI, bahkan Uni Eropa. Ketiganya adalah Jared Kushner, David Friedman, dan Jason Greenblatt. [105]
Jared Kushner adalah menantu Trump yang beragama Yahudi Ortodoks yang tidak punya pengalaman politik atau diplomatik sebelumnya tetapi punya koneksi langsung ke Israel. Kushner dan Friedman, lewat badan amal keluarga, telah lama menyumbang ke pemukiman Bet I di Ramallah. Sementara Greenblatt belajar di yeshiva, sekolah Yahudi yang khusus mempelajari teks agama tradisional tahun 1980-an di dekat Yerusalem. Trump pun menyampaikan proposal ‘perdamaiannya’ ditemani oleh Benyamin Netanyahu di Gedung Putih. Negara lain yang turut menghadiri adalah Oman, Bahrain, dan Uni Emirat Arab.
Indonesia dalam pertemuan khusus tingkat menteri Organisasi Konperensi Islam (OKI) di Jeddah 3 Februari 2020 menyatakan penolakan terhadap usulan damai Trump, melalui Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar dan mendesak negara-negara OKI untuk tetap bersatu mendukung Palestina. [106] Uni Eropa pun menyatakan sikap menolak ‘peta’ Trump lewat pernyataan Kepala Hubungan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell bahwa “usulan AS menyimpang jauh dari kesepakatan internasional … sejumlah masalah penting harus diselesaikan kedua belah pihak … yang terkait dengan perbatasan, status Yerusalem, keamanan hingga status pengungsi.” [107] Sebagai reaksi atas peta ‘sepihak’ Trump, DK-PBB yang dimotori Indonesia dan Tunisia memprakarsai pertemuan khusus DK-PBB dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang diadakan di New York 11 Februari 2020. [108] Pertemuan itu juga dihadiri Sekjen PBB Antonio Guterres dan Sekjen Liga Arab Ahmed Aboul Gheit. Abbas menyebut peta versi Trump sebagai ‘keju Swiss’ yaitu sejenis keju yang berlubang-lubang. Abbas menyatakan keinginannya agar kuartet “Timur Tengah” dihidupkan kembali dalam penyelesaian masalah Palestina-Israel yaitu AS, Russia, Uni Eropa, dan PBB.
Namun, inisiatif Indonesia dan Tunisia yang merancang draft resolusi penolakan terhadap proposal ‘perdamaian’ Trump tetap mempertimbangkan sikap Palestina. Isi draft resolusi yang dimotori Indonesia dan Tunisia menekankan pada “ … ilegalitas anekasasi bagian mana pun” dari wilayah Palestina yang diduduki dan “mengecam pernyataan baru-baru ini yang menyerukan aneksasi oleh Israel” dari wilayah Palestina. Draft itu juga sangat menyesalkan bahwa rencana Trump melanggar hukum internasional dan resolusi PBB. Wakil Tetap RI untuk PBB Dian Triansyah Djani menyatakan bahwa pihak Palestina masih memerlukan waktu untuk konsultasi lebih jauh lagi dan menyatakan bahwa “draft bukan dokumen yang sudah dibahas atau divoting atau untuk diambil keputusan.” [109]
Draft resolusi tersebut disikapi secara personal oleh Trump, bahwa setiap negara yang menentang proposalnya adalah musuh pribadi bagi dirinya. Padahal, proposal Trump secara signifikan ingin menghapus Kesepakatan 1967 menjadi dasar perdamaian dan gagasan Indonesia bahwa pemukiman Yahudi di Tepi Barat sejak 1967 adalah ilegal. [110] Terbukti, Palestina kemudian batal melanjutkan permintaan mereka agar DK PBB menggelar jajak pendapat untuk menolak proposal perdamaian dengan Israel yang digagas Donald Trump.
Tidak lama kemudian dunia disibukkan oleh isu wabah.
… bersambung ke artikel bagian 7:
... artikel sebelumnya:
Catatan Kaki
1. Lukman Hakiem, “Hubungan Bersejarah Indonesia dan Palestina” Kamis, 27 Juli 2017. Diakses dari https://republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/07/27/otq3po385-hubungan-bersejarah-indonesia-dan-palestina tanggal 30 Maret 2020.
2. ibid.
3. Adara, “Peran Palestina terhadap Kemerdekaan Indonesia” diakses dari https://adararelief.com/peran-palestina-terhadap-kemerdekaan-ri/ tangal 30 Maret 2020.
4. Lukman Hakiem, “Hubungan …,” op.cit.
5. Kementerian Luar Negeri RI, “Important Milestone in the History of Indonesian Diplomacy” March 31st 2019. Akses di https://kemlu.go.id/portal/en/read/47/tentang_kami/important-moments-in-the-history-of-indonesian-diplomacy tanggal 28 Maret 2020.
6. Adara, “Peran …” op.cit.
7. ibid.
8. ibid.
9. Windi Dermawan, “Kemerdekaan & Palestina” (Pikiran Rakyat, Selasa, 21 Agustus 2018).
10. M. Muttaqien, “Domestic Politics and Indonesia’s Foreign Policy on the Arab-Israeli Conflict” (Global & Strategies, Th. 7, No.1, Januari – Juni 2013) p. 61. (57-72)
11. M. Muttaqien, “Domestic Politics ... loc.cit.
12. Nasih Nasrullah, “Begini Sikap Tegas Sukarno terhadap Zionis Israel” diakses dari https://republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/16/01/06/o0j365320-begini-sikap-tegas-sukarno-terhadap-zionis-israel tanggal 30 Maret 2020.
13. ibid.
14. ibid.
15. M. F. Mukthi, “Sukarno dan Palestina” diakses dari https://historia.id/politik/articles/sukarno-dan-palestina-Dw5OP tanggal 30 Maret 2020.
16. ibid.
17. ibid.
18. ibid.
19. Ramadhan Fadillah, “Membandingkan Presiden Sukarno & Jokowi Memperjuangkan Palestina” diakses dari https://www.merdeka.com/khas/membandingkan-presiden-soekarno-jokowi-memperjuangkan-palestina.html tanggal 30 Maret 2020.
20. Kementerian Luar Negeri RI, “Isu Palestina” 26 Maret 2019 diakses dari https://kemlu.go.id/portal/id/read/23/halaman_list_lainnya/isu-palestina tanggal 30 Maret 2020.
21. Arbi Sumandoyo, “Lobi Israel di Indonesia” 11 Januari 2017 diakses dari https://tirto.id/lobi-israel-di-indonesia-cgfr tanggal 30 Maret 2020.
22. ibid.
23. ibid.
24. ibid., Lihat juga Aryo Putranto Saptohutomo, “Orde Baru yang Mulai Main Mata dengan Israel” 21 Juni 2012 diakses dari https://www.merdeka.com/dunia/orde-baru-yang-mulai-main-mata-dengan-israel.html tanggal 30 Maret 2020.
25. Aryo Putranto Saptohutomo, “Orde Baru ... op.cit. Tentu saja negara-negara mengecam tindakan Indonesia ini, tetapi Soeharto tetap meyakinkan mereka bahwa Indonesia tetap mendukung perjuangan rakyat Palestina.
26. ibid.
27. Muh. Novan Prasetya dan Aulia Srifauzi, “Diplomasi Politik Indonesia terhadap Kemerdekaan Palestina” (Jurnal PIR Vol. 2 No. 2 Februari 2018) h. 189 (179-193).
28. Reportase Antara, “Perjuangan Indonesia untuk Palestina” 8 Maret 2016. Diakses di http://www.harnas.co/2016/03/08/perjuangan-indonesia-untuk-palestina tanggal 30 Maret 2020.
29. Kementerian Luar Negeri, “Indonesia-Palestine” Diakses dari https://kemlu.go.id/amman/en/pages/indonesia-palestine/2415/etc-menu tanggal 30 Maret 2020.
30. ibid.
31. Arbi Sumandoyo, “Lobi Israel … ,op.cit.
32. ibid.
33. DPR-RI, Analisis Kebijakan Luar Negeri Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2000) (Jakarta: Sekjen DPR-RI, 2001) h. 182.
34. Aryo Putranto Saptohutomo, “Orde Baru ... op.cit.
35. ibid.
36. ibid.
37. Makmun Hidayat, ed., “Pak Harto dan Dukungan Kemerdekaan Negara Palestina” 17 Desember 2017 diakses dari https://www.cendananews.com/2017/12/pak-harto-dan-dukungan-kemerdekaan-negara-palestina.html tanggal 30 Maret 2020.
38. Ramadhan Fadillah, “Kisah Pak Harto Tegaskan Palestina Merdeka di Depan Raja Hussein” 10 Juli 2017. Diakses dari https://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-pak-harto-tegaskan-palestina-merdeka-di-depan-raja-hussein.html tanggal 30 Maret 2020.
39. Putut Trihusodo, et.al., “Menyambut Arafat dengan Demo dan Qunut Nazilah” 2 Oktober 1993. Diakses dari https://majalah.tempo.co/read/nasional/4536/menyambut-arafat-dengan-demo-dan-qunut-nazilah? Tanggal 30 Maret 2020.
40. ibid.
41. ibid.
42. ibid.
43. ibid.
44. M. Muttaqien, “Domestic Politics ... op.cit., p. 67 (547-72)
45. ibid.
46. Deden Mauli Darajat, “Habibie dan Erbakan” 9 Mei 2014. Diakses dari https://republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/14/05/09/n5a84v-habibie-dan-erbakan tanggal 30 Maret 2020.
47. ibid.
48. Arbi Sumandoyo, “Lobi Israel … , op.cit.
49. Muhammad Ibrahim Hamdani, “Peran KH Abdurrahman Wahid dalam Misi Perdamaian Israel-Palestina” 28 Maret 2015. Diakses dari https://www.kompasiana.com/muhammadibrahimhamdani/5520d49b8133110f7719f7e1/peran-kh-abdurrahman-wahid-dalam-misi-perdamaian-israelpalestina tanggal 30 Maret 2020.
50. Nahladul Ulama, “Gus Dur: Israel Mestinya Berlaku Adil” 5 Januari 2009. Diakses dari https://www.nu.or.id/post/read/15427/gus-dur-israel-mestinya-berlaku-adil tanggal 30 Maret 2020.
51. Nahladul Ulama, “Gus Dur: Israel Mestinya …, op.cit.
52. ibid.
53. Mawa Kresna, “Gus Dur: ‘Sobat Israel dari Dunia Islam’” 19 Juni 2018. Diakses dari https://tirto.id/gus-dur-sobat-israel-dari-dunia-islam-cMvf tanggal 30 Maret 2020.
54. ibid.
55. A. Adib Hambali, “Jejak Jejak Gus Dur dalam Misi Damai Israel-Palestina” 11 Juni 2018. Diakses dari https://detakpos.com/politik/jejak-jejak-gus-dur-dalam-misi-damai-israel-palestina/ tanggal 30 Maret 2020.
56. Mawa Kresna, “Gus Dur: ‘Sobat …, op.cit.
57. DPR-RI, Analisis …., op.cit., h. 184
58. ibid., h. 184.
59. ibid.
60. ibid., h. 186.
61. ibid.
62. Eustace Mullins, The Biological … op.cit.
63. A. Adib Hambali, “Jejak Jejak Gus Dur … op.cit.
64. DPR-RI, Analisis … op.cit. h. 188.
65. M. Hamdan Basyar, “Hubungan Israel-Palestina dan Masa Depan Perdamaian Timur Tengah Pasca Yasser Arafat” (Global Vol. 7 No. 2 Mei 2005) H. 66. (58-71).
66. Hidayat Tantan, et.al., “Amerika-Israel Panen Kutukan” diakses dari http://arsip.gatra.com/2002-04-11/majalah/artikel.php?pil=23&id=40120 tanggal 31 Maret 2020.
67. ibid.
68. United Nations, Special Bulletin on the Commemoration of the International Day of Solidarity with the Palestinian People, 2002.
69. Ziyad Falahi, “Signifikansi Diplomasi Islam Moderat Era Susilo Bambang Yudhoyono dalam Merespon Keamanan Timur Tengah” (Andalas Journal of International Studies, Volume 2 No. 1 May Tahun 2013) h. 33 (32-52)
70. ibid.
71. ibid. h. 39.
72. Kementerian Sekretarian Negara RI, “Presiden SBY: Indonesia Mendukung Penuh Palestina” Senin, 22 Oktober 2007. Diakses dari https://www.setneg.go.id/baca/index/presiden_sby_indonesia_mendukung_penuh_palestina tanggal 31 Maret 2020.
73. M. Riza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah: Kebijakan AS dan Israel atas Negara-negara Muslim (Bandung: Mizan, 2007) h.. 352-3. Selain Mahmoud Abbas, terdapat kandidat kuat Presiden Palestina yaitu Marwan Barghouti yang masih muda yaitu 45 tahun, tetapi berada dalam penjara Israel. Namun Barghouti mundur dari pencalonan demi kepentingan nasional.
74. Arbi Sumandoyo, “Perdagangan Indonesia-Israel: Jalin Hubungan Bebaskan Palestina” 21 September 2015. Diakses dari https://www.merdeka.com/khas/jalin-hubungan-bebaskan-palestina-perdagangan-indonesia-israel.html tanggal 31 Maret 2020.
75. ibid.
76. ibid.
77. Abu Nisrina, “Soekarno Pro Palestina, Anti Israel” 2 Juli 2016. Diakses dari https://satuislam.org/soekarno-pro-palestina-anti-israel/ tanggal 31 Maret 2020.
78. ibid.
79. Sigit Purnomo, “Mahmoud Abbas bertemu SBY” 29 Mei 2010. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2010/05/100529_ababsby tanggal 31 Maret 2020.
80. Imam Nawawi, “Sejarah Nalar Diplomasi Politik Indonesia di Kawasan Timur Tengah” (Millati, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018) h.97 (73 – 101).
81. Arbi Sumandoyo, “Kongsi Indonesia-Israel: Senang Berdagang dengan Israel” 11 Januari 2017. Diakses dari https://tirto.id/senang-berdagang-dengan-israel-cgfq tanggal 31 Maret 2020.
82. Sabrina Asril, “Pertemuan Presiden SBY dan PM Palestina Hasilkan Tiga Nota Kesepahaman” 1 Maret 2014. Diakses dari https://otomotif.kompas.com/read/2014/03/01/0712354/Pertemuan.Presiden.SBY.dan.PM.Palestina.Hasilkan.Tiga.Nota.Kesepahaman tanggal 31 Maret 2020.
83. Kementerian Luar Negeri RI, “Kerjasama Regional: Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC)” 8 April 2019. Diakses dari https://kemlu.go.id/portal/id/read/164/halaman_list_lainnya/asia-pacific-economic-cooperation-apec tanggal 31 Maret 2020.
84. ibid.
85. Sabrina Asril, “Jokowi: Penjajahan di Palestina Harus Segera diakhiri” 21 April 2015. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2015/04/21/12365401/Jokowi.Penjajahan.di.Palestina.Harus.Segera.Diakhiri. tanggal 31 Maret 2020.
86. Laksono Hari Wiwoho, ed., “Jokowi Apresiasi Rencana Peresmian RS Indonesia di Palestina” 17 Juni 2015. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2015/06/17/16161191/Jokowi.Apresiasi.Rencana.Peresmian.RS.Indonesia.di.Palestina tanggal 31 Maret 2020.
87. Kementerian Luar Negeri RI, “Indonesia-Palestine” diakses dari https://kemlu.go.id/amman/id/pages/indonesia-palestine/2415/etc-menu tanggal 31 Maret 2020.
88. Andylala Waluyo, “Meski Ditolak Israel, Indonesia Resmi Dirikan Konsulat Kehormatan RI untuk Palestina” 15 Maret 2016. Diakses dari https://www.voaindonesia.com/a/meski-ditolak-israel-indonesia-resmi-dirikan-konsulat-kehormatan-ri-untuk-palestina/3237181.html tanggal 31 Maret 2020.
89. VoaIndonesia, “Israel Tolak Izinkan Menlu Retno Marsudi ke Tepi Barat” 14 Maret 2016. Diakses dari https://www.voaindonesia.com/a/israel-tolak-izinkan-retno-marsudi-ke-tepi-barat-/3234629.html tanggal 31 Maret 2020.
90. Andylala Waluyo, “Meski Ditolak Israel …, op.cit.
91. Natalia Santi, “Dubes RI: Indonesia Tak Mungkin Buka Kedutaan di Palestina” 8 Desember 2017. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/internasional/20171208114501-120-261023/dubes-ri-indonesia-tak-mungkin-buka-kedutaan-di-palestina tanggal 31 Maret 2020.
92. Kementerian Luar Negeri RI, “Konhor RI di Ramallah, Palestina”. Diakses dari https://kemlu.go.id/amman/id/pages/konhor_ri_di_ramallah__palestina/35/etc-menu tanggal 31 Maret 2020.
93. Jerome Wirawan, “Dampak Resolusi dan Dekralasi Jakarta di KKT OKI Diragukan” 7 Maret 2016. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160306_indonesia_ktt_oki_dampak tanggal 31 Maret 2020.
94. BBC, “Parlemen Perancis Akui Negara Palestina” 2 Desember 2014. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2014/12/141202_prancis_palestina tanggal 31 Maret 2020. Selasa, 2 Desember 2014, Parlemen Perancis dengan suara mayoritas meminta pemerintah Perancis mengakui negara Palestina. Komposisi suara adalah 339 anggota parlemen Perancis setuju dan 151 menentang. Kendati tidak mengikat, pemungutan suara tersebut adalah dukungan simbolis dari negara non Muslim dan Eropa atas kemerdekaan Palestina mengingat Perancis adalah anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Selain Perancis, negara Eropa lain yang sejalan dengan Perancis adalah Inggris, Spanyol, dan Swedia. Israel seperti biasa, memfitnah dengan menyatakan dukungan negara-negara Eropa hanya akan membuat Otoritas Palestina menghindari perundingan damai.
95. Muhammad Ali, “4 Ketegasan Jokowi Dukung Kemerdekaan Palestina” 7 Desember 2017. Diakses dari https://www.liputan6.com/news/read/3187861/4-ketegasan-jokowi-dukung-kemerdekaan-palestina tanggal 31 Maret 2020.
96. Esthi Maharani, “Indonesia Bantu UNRWA Tutupi Kekurangan Dana untuk Palestina” 27 September 2018. Diakses dari https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/18/09/27/pfp3pm335-indonesia-bantu-unrwa-tutupi-kekurangan-dana-untuk-palestina tanggal 31 Maret 2020.
97. Hendra Maujana Saragih, “Kebijakan Luar Negeri Indonesia dalam Mendukung Palestina sebagai Negara Merdeka pada Masa Pemerintahan Joko Widodo” (Fokus: Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol. 3, No. 2, 2018) h. 144. (133-146)
98. Kementerian Luar Negeri RI, “Keanggotaan Indonesia pada DK PBB” 8 April 2019. Diakses dari
99. Fergi Nadira & Nur Aini, “Kegiatan Indonesia 3 Bulan Jadi Anggota Tidak Tetap DK PBB” 30 Maret 2019. Diakses dari https://www.republika.co.id/berita/internasional/asia/19/03/30/pp5q1k382-kegiatan-indonesia-3-bulan-jadi-anggota-tidak-tetap-dk-pbb tanggal 31 Maret 2020.
100. ibid.
101. CNN Indonesia, “OKI Tolak Proposal Donald Trump Soal Perdamaian Timur Tengah” 3 Februari 2020. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200203231723-120-471342/oki-tolak-proposal-donald-trump-soal-perdamaian-timur-tengah tanggal 31 Maret 2020.
102. Sumber peta CNBCIndonesia “Ini Isi Proposal Damai Trump-Israel Buat Negara Palestina” 29 Januari 2020. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20200129124657-4-133621/ini-isi-proposal-damai-trump-israel-buat-negara-palestina# tanggal 31 Maret 2020.
103. CNBCIndonesia “Ini Isi Proposal …, op.cit.
104. Shelma Rachmahyanti, ed., “Kecam Rencana Israel, Indonesia-Tunisia Edarkan Draft Resolusi PBB” 5 Februari 2020. Diakses dari https://www.wartaekonomi.co.id/read270253/kecam-rencana-israel-indonesia-tunisia-edarkan-draf-resolusi-pbb tanggal 1 April 2020.
105. Abdul Manan, “Proposal Perdamaian Pemicu Perpecahan” 8 Februari 2020. Diakses dari https://majalah.tempo.co/read/internasional/159618/proposal-perdamaian-palestina-israel-usul-trump-ditolak-di-mana-mana? Tanggal 1 April 2020.
106. SuaraMerdeka.com, “Indonesia Ajukan Resolusi Tolak Usulan Damai Trump” 6 Februari 2020. Diakses dari https://www.suaramerdeka.com/arsip/216413-indonesia-ajukan-resolusi-tolak-usulan-damai-trump tanggal 1 April 2020.
107. CNNIndonesia, “Uni Eropa Tetap Tolak Usul Damai Palestina-Israel Versi Trump” 5 Februari 2020. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200205185115-134-472001/uni-eropa-tetap-tolak-usul-damai-palestina-israel-versi-trump tanggal 1 April 2020.
108. Eva Marieza, “RI dan Tunisia di Balik Pertemuan Khusus DK PBB dengan Presiden Palestina” 12 Februari 2020. Diakses dari https://www.voaindonesia.com/a/ri-dan-tunisia-di-balik-pertemuan-khusus-dk-pbb-dengan-presiden-palestina/5284880.html tanggal 1 April 2020. Pertemuan khusus ini merupakan pelaksanaan tingkat Menteri Liga Arab dan OKI.
109. Nur Aini, red., “Rancangan Resolusi DK PBB Tekankan Kepentingan Palestina” 12 Februari 2020. Diakses dari https://republika.co.id/berita/q5kt3m382/rancangan-resolusi-dk-pbb-tekankan-kepentingan-palestina tanggal 1 April 2020.
110. CNNIndonesia, “Resolusi DK PBB Usulan RI Soal Palestina Terancam Veto AS” 11 Februari 2020. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200211111015-134-473517/resolusi-dk-pbb-usulan-ri-soal-palestina-terancam-veto-as tanggal 1 April 2020.
0 Komentar
Anonim pun dapat berkomentar. Namun, tentu saja dengan akun pun sangat dipersilakan. Jika sudah klik Publikasikan. Juga pemirsa boleh bersoal/sharing tanggapan. Komentar pemirsa tentu tidak berisi kata atau link yang merujuk pada p*rn*grafi, jud*, *ogel, kekerasan, atau sejenisnya. Terima kasih.