Ad Code

Abangan 3 Sub Budaya Mojokuto Clifford Geertz 1

Abangan mewakili tekanan atas aneka aspek yang bersifat animistik sinkretisme Jawa dan secara luas berhubungan dengan elemen petani di dalam populasi. Santri mewakili tekanan atas aneka aspek yang bersifat Islam dari sinkretisme dan umumnya berhubungan dengan elemen pedagang (juga termasuk aneka elemen di dalam petani). Priyani menekankan pada aspek Hinduis dan berhubungan dengan elemen birokratik. Ketiganya, menurut Geertz, adalah subtradisi utama masyarakat Jawa. 

Dalam penelitian di “Mojokuto” (sebutan Mojokuto adalah bukan nama wilayah sebenarnya) Geertz penelitian Geertz ditopang oleh dana dari Center for International Studies (CIS) sayap dari Massachussetts Institute of Technology (MIT). Dana tersebut bersumber dari Ford Foundation. Terhadap aliran dana ini Geertz berterima kasih kepada Dr. Douglas L. Oliver (inisiator penelitian), Dr. Max Millikan (direktur CIS), dan Mr. Richard Hatch (direktur publikasi).  Untuk orang-orang Indonesia, Geertz mengucapkan terima kasih pada Mr. Suwanto atase kebudayaan di Kedubes Indonesia, Prof. Sardjito presiden Universitas Gadjah Mada, Mr. Abdur Rachman Sekretaris Kabupaten Kediri, dan RM Soemomihardjo pejabat kecamatan “Mojokuto.” Dengan demikian, Mojokuto kemungkinan besar berlokasi di salah satu kecamatan atau kelurahan di wilayah Kediri, Jawa Timur. 

Tulisan ini coba mengisahkan apa yang ditulis Geertz di dalam The Religion of Java. Artikel dibagi ke dalam tiga seri yaitu Abangan, Santri, dan Priyayi. Di masing-masingnya hanya akan diurai garis besar temuan Geertz di ‘Mojokuto’ tersebut. 

Abangan

Slametan. Salah satu tradisi varian Abangan adalah slametan. Slametan mensimbolkan kesatuan mistik dan sosial para partisipan yang ikut serta di kegiatan tersebut. Di Mojokuto slametan membentuk sejenis penggabungan universal yang mampu mencocokkan aneka aspek kehidupan sosial dan pengalaman individual. Fungsinya untuk meminimalisasi ketidakmenentuan, ketegangan, dan konflik. Slametan umumnya diselenggarakan dalam peristiwa-peristiwa penting dalam siklus hidup individu maupun kelompok. 


Sumber Foto:
http://narasi.online/asal-usul-kaum-abangan/

Misalnya kelahiran, pernikahan, persihiran, kematian, perpindahan rumah, mimpi buruk, panen, pergantian nama, pembukaan pabrik, sakit, menambah perlindungan arwah bagi desa, sirkumsisi (sunat), dan memulai pertemuan politik. Bagi kaum abangan, manakala slametan diselenggarakan maka makhluk yang tak kasat mata ikut bergabung dan duduk bersama mereka di dalam acara. Juga, mereka ikut serta memakan dan meminum hidangan yang tersedia. Sebab itulah dalam konteks slametan yang menjadi inti adalah makanan dan minuman yang dihadangkan, bukan aneka doa yang dilakukan. 

Kepercayaan atas Arwah

Bagi kalangan Abangan, ada tiga kategori arwah yaitu memedi, lelembut, dan tuyul. Memedi biasanya suka membuat marah atau menakut-nakuti manusia. Memedi laki-laki disebut genderuwo sementara memedi perempuan disebut wewe. Memedi dan wewe saling berkawin sehingga kerap wewe muncul dalam posisi menggendong anak. Memedi biasanya beraktivitas di waktu malam atau tempat-tempat yang sepi. 

Lelembut bertolak belakang dengan memedi. Lelembut bisa membuat manusia sakit ataupun gila. Lelembut memasuki tubuh seseorang dan jika orang tersebut tidak mendapat pengobatan oleh dukun ia akan dapat saja mati. Dokter berpendidikan Barat tidak bisa mengobati orang yang telah dimasuki lelembut. 

Tuyul adalah ruh anak kecil yaitu “anak kecil yang bukan manusia.” Tuyul terlihat seperti seorang anak, tetapi mereka bukanlah manusia melainkan arwah anak kecil. Tuyul tidak membuat marah atau menakuti manusia, juga tidak membuat mereka sakit. Sebaliknya, tuyul kerap disukai oleh manusia karena dapat membantu mereka untuk menjadi kaya. 

Siklus Slametan

Slametan dapat dibagi ke dalam empat jenis. Pertama, yang berpusat pada krisis kehidupan seperti kelahiran, sirkumsisi, pernikahan, dan kematian. Kedua, yang diasosiasikan dengan kalender perayaan agama Islam seperti kelahiran Nabi Muhammad, hari terakhir bulan puasa Ramadhan, hari raya Kurban, dan sejenisnya. Ketiga, yang berkenaan dengan integrasi sosial suatu desa, seperti bersih desa untuk membersihkan desa dari arwah-arwah jahat. Keempat, hal-hal yang bersifat tidak rutin seperti hendak menempuh perjalanan ke tempat yang jauh, perpindahan tempat tinggal, pemberian nama pada seseoarng, sakit, kesihirian, dan sejenisnya.  

Contoh Siklus Slametan: Kelahiran

Artikel ini hanya akan memberikan satu contoh kasus slametan dalam siklus kehidupan yaitu kelahiran. Terdapat empat slametan utama dalam siklus kelahiran yaitu tingkeban, babaran atau brokokan, pasaran, dan pitonan. Selain empat yang utama, terdapat pula tiga lainnya yaitu telonan, selapanan, dan taunan. 

Tingkeban adalah slametan yang diadakan setelah usia kehamilan mencapai masa tujuh bulan. Tingkeban diadakan bagi anak pertama, baik bagi ayah, ibu, atau keduanya. Babaran atau brokokan adalah peristiwa kelahiran bayi. Pasaran adalah slametan yang diadakan lima hari setelah babaran atau brokokan. Pitonan adalah slametan yang diadakan tujuh bulan setelah kelahiran bayi. Slametan tambahan adalah telonan yaitu diselenggarakan menandai tiga bulan usia kandungan. Selapanan adalah slametan yang diadakan satu bulan setelah kelahiran bayi. Taunan adalah slametan yang diadakan setelah usia bayi mencapai satu tahun. 

Dalam mengadakan slametan kalangan Abangan menghitungnya bukan menurut kalender Masehi Barat melainkan bulan Jawa yang terdiri atas tiga puluh lima hari. Bulan tersebut mereka kombinasikan dengan minggu yang terdiri atas lima hari pasar yaitu Legi, Paing, Pon, Wage, dan Kliwon dengan tujuh hari seminggu menurut kaum Barat dan Islam yaitu Minggu, Senen, Selasa, Rebo, Kemis, Jumuwat, dan Setu. Sebagaimana tujuh dikalikan lima adalah tiga puluh lima, maka terdapat tiga puluh lima hari yang terpisah misalnya minggu-legi, senen-paing, jumuwat-legi, setu-paing atau setu-kliwon. Bentuk siklus inilah yang kemudian membentuk “bulan.” Berbeda dengan kalender Barat dan Islam, kalender Abangan sifatnya tidak fix atau absolut. Kalender hari sebulan mereka sekadar merupakan panjangnya waktu antara satu hari dengan kemunculan tiga puluh lima hari selanjutnya. Misalnya hitungan satu bulan dari hari senen-paing sebagai patokan, secara kombinasi dihitung tiga puluh lima dengan kombinasinya dan itulah jangka waktu satu bulan. 

Itulah makanya apabila seorang Jawa ditanya kapan ia lahir, maka ia akan menjawab setu-paing. Kesulitan baginya adalah ia tidak tahu bulan ataupun tahun “setu-paing” tersebut, tetapi tentu ia tidak terlalu peduli. Jika ia lahir jumuwat-legi maka selapanan-nya (ulang tahun kelahiran satu bulan) adalah jumuwat-legi bulan depan (setelah melalui tiga puluh lima hari). Pitonan (ulang tahun kelahiran ketujuh bulan) diadakan pada jumuwat-legi yang ketujuh setelah hari lahirnya.  

Slametan menurut Kalender

Kaum Abangan juga mengadakan slametan di tanggal-tanggal tertentu. Misalnya saja adalah 1 Sura, yang lebih merupakan hari suci Buddha ketimbang Islam. Tanggal 1 Sura biasanya hanya dirayakan oleh mereka yang secara sadar bersikap anti Islam. Sejumlah sekte anti Islam pasca perang kemerdekaan mengkhotbahkan perlunya orang Jawa kembali pada budaya Jawa yang ‘asli’, yaitu budaya sebelum masuknya Islam. Bahkan ada pula individu anti Islam yang berpuasa justru di bulan Sura ketimbang bulan Pasa. 

Tanggal lainnya adalah 10 Sura, yang – menurut cerita - dimaksudkan untuk menghormati cucu Nabi Muhammad yaitu Hasan dan Husayn. Slametan ini dimaksudkan untuk dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saat beliau berjuang melawan kaum kafir. Hasan dan Husayn dikisahkan membawa beras ke sungai untuk mencucinya. Namun, kuda-kuda musuh tiba-tiba datang dan menendang beras tersebut masuk ke dalam air. Kedua cucu Nabi tersebut lalu kedua anak laki-laki itu menangis dan kemudian mengambil beras itu dan menemukannya bercampur pasir dan kerikil, tetapi mereka tetap membuat bubur darinya. Sebab itu slametan 10 Sura selalu ditandai oleh adanya dua mangkuk bubur. Satu mangkuk dengan kerikil dan pasir di dalamnya untuk merepresentasikan apa yang dimakan oleh kedua cucu tersebut. Satu lainnya dengan kacang dan potongan singkong goreng yang melambangkan kekotoran, yang para peserta slametan makan. 

Slametan lainnya adalah 12 Mulud yaitu hari yang menurut kesepakatan adalah hari lahir dan wafatnya Nabi Muhammad. Perayaan 12 Mulud disebut Muludan. Slametan ini ditandai dengan ayam utuh (bagian dalamnya dikeluarkan, dibersihkan, dan diganti, dan ayam kemudian diikat), dan bagian utamanya disajikan terutama untuk Nabi. Muludan adalah slametan yang paling rutin dilaksanakan.

Menjelang bulan puasa, biasanya diadakan slametan 29 Ruwah. Permulaan bulan Puasa yang disebut Megengan (asal katanya pegeng, atau menyapih). Slametan ini tidak jarang dilakukan oleh semua orang yang setidaknya salah satu orang tuanya telah meninggal dunia. Slametan ini ditandai adanya kue panekuk terbuat dari tepung beras yang disebut apem, yang merupakan makanan Jawa yang menyimbolkan kematian. Sesaat sebelum slametan diadakan, orang-orang biasanya pergi ke kuburan untuk menaburkan bunga di pusara orang tua yang meeka. Orang tua yang telah meninggal lalu hadir di acara slametan untuk memakan bau makanan. Peserta juga mandi untuk menyucikan diri sebelum Puasa. Megengan dilakukan tepat sebelum (bukan setelah) matahari terbenam, yang menandai siang hari sah terakhir diperbolehkan makan sebelum Puasa.

Dukun

Dukun memegang posisi penting dalam masyarakat Abangan. Dukun ini sangat banyak macamnya. Ada dukun bayi, dukun pijat, dukun prewangan (medium, paranormal), dukun temanten (pernikahan), dukun calak (sunat), dukun wiwit (panen), dukun petungan (ahli masalah angka), dukun sihir (santet), dukun susuk (spesialis pemasangan jarum emas ke dalam kulit), dukun japa (penyembuh yang mengandalkan mantera), dukun jampi (penyembuh yang menggunakan herbal dan pengobatan tradisional lain), dukun siwer (ahli mencegah ketidakberuntungan alam, misalnya mencegah hujan), dukun tiban (penyembuh yang kekuatannya sementara akibat hasil masuknya arwah). Dalam saja seseorang merupakan multi dukun. Seorang lelaki bisa saja sekaligus menguasai aneka profesi dukun, kecuali dukun bayi karena biasanya diposisikan perempuan. 

Kaum Santri, Abangan, dan Priyayi punya dukun dengan ciri masing-masing. Dukun Priyayi cenderung menerapkan disiplin asketik seperti puasa panjang dan meditasi melek malam hari. Mereka mengklaim kekuatannya bersifat spiritual. Dukun kaum Santri umumnya menyitir ayat-ayat kitab suci, menuliskan ayat di kertas untuk kemudian dikunyah dan ditelan. Kaum Santri mengklaim pengobatan yang dilakukan didasarkan pengetahuan medis ilmiah yang telah ditemukan jauh sebelum orang Barat menemukannya. Dukun Abangan cenderung menekankan pada teknik-teknik rinci seperti jimat, mantera, herbal, dan sejenisnya. Umumnya para dukun Priyayi, Santri, dan Abangan saling berbagi sebagian ciri satu dengan lainnya. 

Kultus Abangan Moderen

Secara khusus Geertz menulis tentang Permai sebagai salah satu kultus Abangan modern. Moderen didefinisikannya sebagai kontras dengan kuno. Kuno berkaitan dengan tradisi turun-temurun. Mereka yang kuno menganggap apa yang modern sebagai godaan yang dianggap delusi. Sebaliknya orang modern menganggap yang kuno sebagai tertinggal oleh zaman, kemajuan, dan tradisi-tradisi yang baru berkembang. 

Konsep ‘kuno’ dan ‘modern’ membangun karakteristik khusus baik di kalangan Santri, Abangan, dan Priyayi. Di kalangan Abangan, modernitas ditandai oleh hadirnya sekte politico-relijius. Sekte ini bernama Permai, yang menggabungkan antara keyakinan agama Jawa berkelindan dengan unsur nasionalistik yang menerapkan Marxisme. Inilah yang mendorong banyak kaum Abangan tidak terlampau asing dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Di dalam gerakan komunis, kaum Abangan tetap bisa mempraktekkan agama Jawa mereka kendati bias Islam tetap ada di dalamnya. Permai adalah sekte yang mendorong upaya merelevansikan keyakinan kaum Abangan dalam memperkuat gerakan politik mereka. 

Permai pernah menjadi partai politik dengan anggota di parlemen. Bagi pengikutnya, Permai merepresentasikan tiga hal. Pertama, kultus penyembuhan yang kuat. Kedua, seperangkat keyakinan esoterik yang berpola pada kaum Abangan tetapi dengan hanya membuka rahasia pada mereka yang telah diinisiasi. Ketiga, organisasi anti Islam yang dikomposisikan oleh pekerja perkotaan, mereka yang bekerja atau menganggur, kaum radikal miskin, serta pegawai negara masa lampau dan kini. 

Bagi para anggotanya, Permai didasarkan “ilmu pengetahuan asli yang bersifat murni” yang didasarkan keyakinan Jawa “orisinil” sebelum diganggu oleh pengaruh Hindu dan Islam. Seorang pengikut Permai menyatakan bahwa orang Barat punya milik mereka sendiri, orang Islam juga, dan demikian halnya, mereka sendiri pun punya keyakinan sendiri. Masalahnya, menurut pengikut tersebut, orang Indonesia selalu mencoba untuk menjadi orang Hindu atau Arab, atau Belanda, ketimbang menjadi orang Indonesia sendiri. 

Kendati bersikap anti Hindu dan Islam, praktek-praktek Permai banyak dipengaruhi tradisi India, sementara oposisi mereka terhadap Islam cukup tangguh. Bagi pengikut Permai, terdapat dua jenis Islam di Indonesia yaitu Islam Arab yang bersifat asing dan Islam lugu. Islam lugu adalah agama asli di Indonesia, sementara lainnya (Islam Arab) bersifat impor (dari luar). Kaum Islam Jawa hanya berdoa (atau bersembahyang) di setiap saat. Mereka bisa saja melakukannya 40 kali sehari atau sama sekali tidak bersembahyang. Sembahnya 40 kali atau tidak sama sekali ini bergantung pada situasi. Saat Islam lugu bersembahyang maka tidak ada satu orang pun yang bisa melihatnya. 

Bagi anggota Permai, jika seseorang maka sementara orang lain di luar kelaparan maka mereka harus menyerahkan sebagian makanannya pada mereka. Ziarah ke tanah suci mereka anggap sebagai tidak perlu. Pergi ke Mekah dianggap sebagai bepergian biasa, untuk mengenal orang lain, dan memperoleh pengalaman. Para peziarah ke tanah suci oleh mereka dianggap korban plot kolonialis. Menurut mereka, Mekah dimiliki oleh Inggris, dan Belanda, ada di bawah pengaruh Inggris. Belanda lalu menipu orang Jawa agar pergi ke sana lalu membuang uang mereka di tempat jauh. Bagi mereka biaya ke tanah suci adalah mahal sehingga mereka (Inggris) menjadi kaya. Anggota Permai tersebut juga menceritakan ada haji yang masuk menjadi anggota Permai. Mereka ini diperbolehkan tetapi harus menanggalkan sorban dan kembali menjadi orang Jawa.

Kisah Sabdo Palon dan Noyogenggong serta serat Gatholoco mungkin cukup populer. Pandangan-pandangan kaum Abangan mirip dengan apa yang diceritakan dalam aneka kisah di atas. Masalah kaum Abangan adalah masalah eksistensi. Sebagai kelompok mereka berusaha untuk bertahan hidup di tengah terpaan aneka budaya yang menjadi dominan di sekeliling mereka. Persoalan-persoalan ini pula kemudian terjadi di kelompok yang akan dibahas kemudian, Santri. 


... mengenai Santri klik link berikut:

... mengenai Priyayi klik link berikut:

Sumber Bacaan

Clifford Geertz, The Religion of Java. London: The Free Press, 1960, pp. 1 – 118.. 

Reactions

Posting Komentar

0 Komentar