Partisipasi Politik dan Terorisme

Ad Code

Partisipasi Politik dan Terorisme

Terorisme adalah salah satu bentuk partipasi politik menurut Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam buku mereka No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries.[1] Bagi Huntington dan Nelson, partisipasi politik adalah keterlibatan warganegara dalam mempengaruhi keputusan politik. Bagi keduanya, keterlibatan ini tidak melulu lewat cara-cara legal (misalnya Pemilu), melainkan pula ilegal yaitu terorisme.

Definisi Terorisme

Terorisme berakar dari kata latin terrere yang maknanya “membuat bergetar.” Praktek-praktek pemerintahan yang didasarkan atas teror ini sudah sangat lama umurnya. Tidak kurang dari Sargon (dari Akadia) membangun imperiumnya di atas teror, di mana teknik-teknik kekerasan brutal digunakan untuk memaksakan ketaatan dari musuh, rakyat ataupun lawan politiknya.[2] 

Mengenai apa itu terorisme, Gerard Chaliand and Arnaud Blin menyebutnya “terrorism is above all a tool or … a technique.” [3] Teknik teror setua usia perang dalam sejarah peradaban manusia. Namun, berkenaan dengan masalah politik, Chaliand and Blin menyatakan “like all political phenomena, terrorism is defined by the duality between professed ideas and their implementation. And, like all political phenomena, terrorism exists only in a cultural and historical context.”[4] Terdapat dualitas antara apa yang diyakini pelaku terorisme dengan pelaksanaan keyakinan tersebut. Juga bagi keduanya terorisme bisa berdireksi dua arah yaitu dari up to bottom (pemerintah kepada penduduk) atau bottom to up (penduduk kepada pemerintah).

Bagi Chaliand and Blind, tindak terorisme tidak berlangsung di ruang kosong. Ada tren-tren berbeda dalam terorisme. Misalnya, sejak 1848 tatkala Marx melancarkan manifesto partai komunis, Eropa didera terorisme yang dilakukan aktivis komunis untuk menjungkalkan monarki-monarki mereka. Namun, setelah komunis berkuasa di Rusia, anak buah Lenin dan Leon Trotsky (Leoba Bronstein) dalam Cheka melakukan teror atas penduduk Rusia menjelang peralihan kekuasaan dari Tsar Nicholas II ke kaum Menshevik lalu Bolshevik. Setelah Bolshevik berkuasa, anak buah Lenin dan Bronstein (Cheka) melakukan teror atas penduduk Rusia sendiri (teror Rusia ‘pendatang’ atas Rusia asli). Peristiwa ini dikenal sebagai klasifikasi state-sponsored terrorism mirip seperti Sargon dari Akadia masa lampau. Konteks historisnya adalah pemaksaan pergantian ideologi dan pemerintahan dari monarki borjuis ke diktatur-proletariat komunis.

Konteks historis lainnya perang-perang kemerdekaan antara negara terjajah versus penjajah 1900 hingga 1945. Kegiatan ini berkelindan dengan konteks kultural. Misalnya, kekerasan yang terjadi di Vietnam melawan penjajah Perancis. Vietnam secara kultural melakukan kegiatan yang diidentifikasi pihak Perancis sebagai terorisme. Namun, pihak Vietnam menyatakannya sebagai perjuangan kultural-politik membebaskan budaya dan posisi politik rakyat Vietnam dari penjajah Eropa mereka. 

Sejak 1980-an merebak konteks lainnya yaitu agama. Awalnya sudah ada di Palestina (lewat Fattah) yang coba melepaskan diri dari penjajahan Israel, yang awalnya berkonteks sekular lalu bermetamorfosis menjadi bermuatan relijius. Hal ini merembet ke perang Arab-Israel di mana dipersepsi secara kultural Barat versus Islam, dengan kembali dikembangkannya tema-tema Perang Salib. Juga terorisme yang berkembang pasca pendudukan Afghanistan oleh Uni Soviet, perang Iran-Iraq, Perang Iraq 2003, dan hingga kini yang masih berlangsung gerakan-gerakan Hamas dan Hizbullah. Bagi orang-orang Israel, Hamas dan Hizbullah adalah teroris. Namun, bagi kedua kelompok tersebut, Israel adalah teroris yang sesungguhnya. Sama seperti tahun 1940-an, Fattah dianggap teroris oleh Irgun-Israel sementara justru Fattah yang menganggap Irgun sebagai kelompok teroris Yahudi.

Perlu pula diketahui bahwa ternyata tidak ada definisi baku mengenai konsep terorisme . Namun, sebuah upaya dilakukan Alex Schmid and Albert Jongman dari Universitas Leiden atas 109 karya ilmiah para ahli tentang terorisme. Hasilnya adalah sebagai berikut: [5]
  • Terdapat 85% definisi yang menyebut elemen kekerasan
  • Terdapat 65% definisi yang menyebut tujuan politik
  • Terdapat 51% definisi yang lakukan penekanan atas elemen memunculkan rasa takut
  • Terdapat 21% definisi yang memilih atau tidak memilih sasaran
  • Terdapat 17,5% yang memasukkan pengorbanan sipil, noncombatant, netral, dan outsider.

Dari aneka definisi terorisme yang berkembang, Ariel Merari menarik adanya tiga elemen yang hampir terdapat di aneka definisi mengenai terorisme yaitu : "(1) the use of violence; (2) political objectives; and (3) the intention of sowing fear in a target population.” [6] Definisi teroris selalu berkaitan dengan penggunaan kekerasan, tujuan politik, dan upaya sengaja memuncul rasa takut terhadap populasi yang menjadi target operasi terorisme.

Sama seperti Chaliand and Blin juga Merari, Harvey W. Kushner pun menyatakan sulit mendefinisikan terorisme karena ia dimaknasi secara berbeda oleh orang dengan latar belakang yang pula berbeda. [7] Bagi NICA Belanda, aksi Moh. Toha dalam Bandung Lautan Api bisa disebut sebagai partisipasi politik berbentuk terorisme. Namun, bagi pejuang kemerdekaan Indonesia, akhis Toha tersebut adalah heroik yaitu agar NICA Belanda tidak bisa memanfaatkan fasilitas milik orang Bandung sekaligus mengangkat harga diri bangsa.

Seperti telah disebut, menurut Huntington dan Nelson, terorisme bersangkutan dengan masalah partisipasi politik, yaitu keterlibatan dalam politik untuk mengubah kebijakan. Dengan demikian, definisi Kushner tentang terorisme pun selaras dengan persangkutan atas masalah politik ini. Sebab itu, Kushner mendefinisikan terorisme sebagai “ … most definition of terrorism hinge on three factors: the method (violence), the target (civilian or government), and the purpose (to instill fearand force political or social change).” Perhatikan defisini Kushner ini.

Terorisme bisa diartikan sebaga cara (the method) yang bersangkutan dengan hal kekerasan. Lalu, ia melibatkan the target atau sasaran dari kekerasan tersebut. Target dapat berupa kalangan sipil atau pemerintahan. Terakhir, terdapat tujuan dari cara kekerasan kepada kalangan sipil maupun pemerintah, yaitu baik untuk menciptakan rasa ketakutan ataupun memaksakan perubahan sosial dan atau politik. Dengan demikian, terorisme selalu melibatkan relasi kekuasaan di dalam negara. Terorisme bukan tindakan serampangan dari orang-orang gila, melainkan direncanakan secara metodis dengan tujuan-tujuan yang jelas terukur. Para perencana dalam aksi terorisme bukan orang bisa, melainkan kerap mereka berkategori kalangan cerdas, intelektual, dan punya ideologi politik kuat.

Thomas M. Magstadt mendefinisikan terorisme sebagai “... politically or ideologically motivated violence aimed at public officials, business elites, and civilian populations designed to sow fear and dissension, destabilize societies, undermine established authority, induce policy changes, or even overthrow the existing government.” [8] Bagi Magstadt terorisme berkenaan dengan kekerasan yang bermotif ideologi dan politik. Kekerasan tersebut ditujukan baik pada pejabat publik, elit bisnis, ataupun populasi yang terdiri atas kaum sipil. Tindak kekerasan tersebut sengaja dirancang untuk menciptakan rasa takut dan keresahan, membuat masyarakat mengalami instabilitas, mengurangi wibawa otoritas pemegang kekuasaan, mengupayakan perubahan kebijakan, atau bahkan menjungkalkan pemerintahan yang ada.

Definisi terorisme lain yang lebih sederhana (seperti merangkum) diajukan oleh Ariel Merari … yaitu “the threat of use of violence on non-combatant populations or property with the express goal of creating or exploiting fear in a larger audience for political or ideological reasons.” [9] Terorisme berkaitan dengan ancaman menggunakan kekerasan atas properti dan populasi yang tak berperang dengan tujuan menciptakan juga mengeksploitasi rasa takut audiens yang lebih besar dengan alasan politik maupun ideologi. Akibatnya, di dalam terorisme terkandung makna kekerasan politik (political violence). Kekerasan politik adalah penggunaan ancaman atau kekerasan untuk mencapai tujuan politik.

Klasifikasi Terorisme

Sebelumnya, dalam mendefinisikan tindak terorisme Merari membuka ruang para aktor. Para aktor terorisme cukup rumit karena ia bisa berasal dari kelompok sipil, warganegara asing, bahkan yang disponsori negara. Sebab dalam klasifikasi terorisme dikenal adanya 4 domain aktor yaitu State Terrorism, International Terrorism, Domestic Terrorism, dan Transnational Terrorism. [9]

Terorisme negara adalah terorisme internasional yang disponsori negara. Terorisme internasional melibatkan pemerintah, warganegara, dan kepentingan dari lebih satu negara, yang awalnya bergerak di satu negara tetapi membesar hingga level internasional baik disponsori negara ataupun tidak. Terorisme domestik adalah bentuk terorisme yang dipraktekkan oleh satu atau sejumlah komunitas warganegara tanpa hubungan apapun dengan pemerintah. Terorisme transnasional ada manakala kelompok teroris di sejumlah negara bekerja sama atau tatkala sebuah kelompok teroris beraksi di sejumlah negara.



Partisipasi politik yang dibicarakan oleh Huntington dan Nelson kemungkinan besar di masalah terorisme domestik karena cakupannya adalah di sebuah sistem politik saja. Namun, di masa-masa kemudian, tulisan Huntington banyak melebar ke klasifikasi terorisme lainnya.

Psikologi Terorisme

Magstadt menyampaikan bahasan menarik seputar aspek internal dan eksternal political efficacy yang menjadi dasar tindak partisipasi politik, tentu dalam hal terorisme. Ia menyebutnya sebagai psikologi terorisme. [10]. Psikologi ini menyebar relatif merata di hampir semua pelaku tindak partisipasi politik jenis ini, yang meliputi:
  • Terlampau menyederhanakan aneka masalah. Pelaku Teroris memandang masalah dari aspek hitam dan putih, tidak tertarik dalam perdebatan, punya fantasi atas perang, dan membayangkan bahwa rakyat semua mendukung mereka.
  • Frustrasi, yaitu pelaku merasa masyarakat mencurangi mereka, kehidupan itu tidak adil, dan hanya jalan pintas yang bisa menyelesaikan masalah.
  • Cenderung mengambil risiko, dan ini akibat karakter pelaku menyukai petualangan dan mudah terbosankan.
  • Merasa benar diri, yang dinyatakan dalam sikap tegas posisi “benar” mereka, dogmatisme, dan intoleransi atas pandangan berbeda.
  • Utopianisme, yaitu merasa yakin bahwa “surga di bumi” dekat sekali di ufuk, dan yang menghalangi adalah tertib masyarakat korup dan opersif.
  • Isolasi sosial, dan ini tampak pada para pelaku yang umumnya sendiri atau merasa sendirian, keluarga dekatnya hanyalan sel teroris mereka.
  • Kebutuhan untuk diperhatikan, dengan mana pelaku terorisme saling berbagi kebutuhan untuk dianggap penting juga mendapat perhatian media.
  • Rasa dingin, dengan mana pelaku teroris melakukan tindakan yang berakibat kematian orang lain hampir tanpa rasa sesal.

Penutup

Demikian sekelumit artikel mengenai terorisme sebagai tindak partisipasi politik. Bahwa terorisme tidak bergerak di ruang kosong sosial dan politik. Terorisme adalah suatu kegiatan partisipasi politik yang punya raison d’etre nya yang khas. Penangkapan para pelaku terorisme tidak pernah bisa memadamkan aksi-aksi susulan di kemudian hari. Hal yang perlu diperhatikan adalah perhatian pada ruang sosial dan politik.

Akar dari terorisme adalah tidak meratanya distribusi nilai di tengah suatu (atau sejumlah) masyarakat, baik di satu negara maupun dunia internasional. David Easton menyebutkan bahwa politik berkenaan dengan proses pengalokasian nilai secara otoritatif. Nilai-nilai tersebut adalah kekuasaan, pendidikan dan informasi, kesejahteraan, kesehatan, keterampilan, kasih sayang, kejujuran dan keadilan, kewibawaan, dan tentu saja keagamaan. Negara (melalui pemerintah) wajib mendistribusikannya secara merata ke tengah masyarakat. Ini bukan hanya di dalam negara saja, melainkan dalam era noosfer (keterkaitan pikiran secara global) saat ini harus tercipta secara internasional. Jika ada satu region di bumi ini yang masih mengalami ketimpangan dalam hal alokasi nilai-nilai tersebut, maka terorisme mungkin terus tumbuh. Sama seperti komunisme dahulu memiliki nilai jual tinggi di basis-basis daerah miskin dan timpang ekonominya.


Catatan Kaki

[1] Seta Basri, “Pengertian Partisipasi Politik dan Bentuk-bentuk Partisipasi Politik” [web blog] Seta Basri Menulis Terus, 14 Februari 2009. Diakses pada https://www.setabasri.com/2009/02/partisipasi-politik.html tanggal 15 Maret 2021.
[2] Gerard Chaliand and Arnaud Blin, eds. History of Terrorism: From Antiquity to Al Qaeda (Berkeley: University of California Press) p. vii.
[3] ibid., p. 5-6.
[4] ibid., p. 6.
[5] Ariel Merari, “Terrorism as a Strategy of Insurgency“ dalam Gerard Chaliand and Arnaud Blin, eds., History …, op.cit., p. 13-4.
[6] ibid., p. 14.
[7] Harvey W. Kushner, Encyclopedia of Terrorism (Thousand Oak: Sage Publications, 2003) p. 360-4.
[8] Thomas M. Magstadt, Understanding Politics: Ideas, Institutions & Issues (Belmont: Wadsworth, 2013) p. 422.
[9] Craig Stapley, “Terrorist: Its Goals, Targets, and Strategies” dalam Adam B. Lowther and Beverly Lindsay, eds. Terrorism’s: Unanswered Questions (Westport, Connecticut – London: Praeger Security International, 2009) p. 16.
[9] Thomas M. Magstadt, Undertanding …, op.cit., p. 433-5. Gambar dan pengertian diambil dari sumber sama.
[10] ibid.., p. 445-6.

Tags

terorisme adalah salah satu bentuk partipasi politik menurut Samuel P. Huntington dan Joan Nelson,apakah terorisme juga partisipasi politik
Reactions

Posting Komentar

0 Komentar