Mengapa Jumlah Provinsi Indonesia Bertambah

Ad Code

Mengapa Jumlah Provinsi Indonesia Bertambah

Pasca transisi politik 1998 Indonesia hingga tahun 2020 memiliki 8 provinsi baru. Provinsi tersebut adalah pemekaran dari sejumlah provinsi yang sudah ada. Studi pemekaran daerah ada dalam arus besar wacana desentralisasi pemerintahan Indonesia. 

Perumusan masalah artikel ini adalah terdapat sejumlah argumentasi yang berbeda mengenai 8 provinsi baru yang terbentuk yaitu Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka-Belitung, Banten, Kalimantan Utara, Sulawesi Barat, Papua Barat, Gorontalo, dan Maluku Utara. 

Landasan teori menggunakan pendapat Jean-Paul Faguet, et.al. mengenai desentralisasi dan Gabriel Ferrazzi mengenai territorial reform. Kesimpulan mengungkap bahwa terdapat argumentasi pemekaran provinsi yaitu dimensi etnisitas, kondisi geografis, masalah agama, historisitas, dan upaya pemekaran yang bervariasi dari yang top to bottom hingga bottom to up. Implikasi teori adalah bahwa territorial reform pada ke-8 provinsi berkategori proliferation dan sebab itu dapat digunakan untuk menganalisis pemekaran provinsi di Indonesia.

Indonesia Setelah Transisi Politik 1998

Setelah transisi politik 1998 jumlah daerah administrasi di Indonesia cenderung meningkat, baik level provinsi maupun kabupaten/ kota. Di level provinsi, kendati berkurang dengan disintegrasi Timor Timur, jumlah provinsi bertambah dari 27 menjadi 34, kabupaten 416 dan kota 98 (total 514, Lampiran Permendagri: 137/ 2020). Mengingat pada luas dan variasi wilayah Indonesia maka pemekaran daerah merupakan suatu hal yang sulit dihindari. Lingkungan ekologis Indonesia sangat bervariasi yaitu daratan, lautan, pegunungan, wilayah perbatasan (remote area) dan wilayah-wilayah yang masih terisolasi. Tujuan umum dari dimekarkannya daerah adalah membagi daerah konsentrasi “besar” menjadi konsentrasi-konsentrasi yang lebih “kecil” agar lebih mudah dimanajemen.

Berbeda dengan wilayah kecamatan, kelurahan, dan desa yang merupakan lingkup kekuasaan birokratis maka provinsi dan kabupaten/kota sifatnya lebih politik. Ini mengingat gubernur, bupati, dan walikota dipilih lewat pemilu langsung sejak tahun 2004. Sebab itu menarik untuk dikaji alasan-alasan pembentukan sejumlah provinsi baru pasca 1998 di Indonesia ini.

Terdapat 8 provinsi baru yang dibentuk setelah 1998 yaitu Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Banten, Kalimantan Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Papua Barat. Ke-8 provinsi tersebut memiliki alasan pembentukan khas masing-masing. Alasan pembentukan provinsi Papua Barat akan berbeda dengan pembentukan Gorontalo dan Maluku Utara. Juga, alasan pembentukan provinsi Kalimantan Utara akan berbeda dengan pembentukan provinsi Banten. Perbedaan alasan ini diyakini akan memberikan suatu pola tertentu mengenai motivasi pemekaran daerah di Indonesia. Tentu saja hal pemekaran provinsi akan berbeda dengan hal pemekaran kabupaten/ kota yang untuk itu diperlukan suatu kajian tersendiri. Sebab itu hal pokok yang akan dikaji oleh artikel ini adalah alasan pembentukan 8 provinsi baru di Indonesia.

Gambar diambil dari:
https://www.canvas.co.com/creations/6022


Secara teoretis kajian mengenai pemekaran daerah ada dalam tema besar desentr alisasi. Desentralisasi ini dikaitkan dengan integrasi politik wilayah di dalam suatu negara. Argumennya adalah bahwa desentralisasi mendorong mitigasi konflik dengan mendorong pemerintah lebih dekat pada rakyatnya (Faguet, et.al, 2015: 135-6).

Selain itu desentralisasi pun mendorong para pemimpin subnasional dari aneka segmen untuk terepresentasikan di dalam pemerintahan daer ah. Sebab itu “where divisions are defined territorially, decentralization is said to promote the formation of multiple but complementary identities where citizens can simultaneously carry an ethnic identity and identify with the polity as a wholeDecentralization can thereby act as a pressure valve for nationalist aspirations” (Faguet, et.al., 2015: 136). Sulit dipungkiri bahwa pemekaran provinsi di Indonesia datang setelah transisi politik 1998 dengan mana kebebasan berpendapat menjadi diakui sebagai bukan sebuah pelanggaran hukum. Sebab itu kehendak sejumlah daerah untuk berdiri sebagai provinsi mandiri erat kaitannya dengan penyaluran aspirasi warga negara, kendati tentu saja peran elit lokal dalam nomena ini cukup besar.

Pemekaran daerah adalah sebuah territorial reform yaitu “manajemen penyusunan tingkatan atau besaran (size/number) unit pemerintahan daerah sesuai dengan tujuan administrasi dan politik” (Tryatmoko, 2010: 40-1). Ada tiga bentuk territorial reform yaitu pemekaran daerah  (proliferation) yang merupakan pilihan negara-negara berkembang, penggabungan (amalgamation) yang merupakan pilihan negara-negara maju, dan campuran antara proliferation dan amalgamation (Tryatmoko, 2010: 41). Dalam konteks pemekaran provinsi di Indonesia maka jenis territorial reform yang dianut adalah proliferation. Pilihan ini didasarkan atas upaya melakukan kejarakdekatan geografi sehingga warganegara di daerah tersebut lebih terurus dan pemerintah lokalnya lebih fokus dalam melakukan pengelolaan wilayah. Alasan teoretis ini yang merupakan asumsi utama dalam memecahkan persoalan munculnya ke8 provinsi baru di Indonesia.

Munculnya Bangka Belitung

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dilegalisasi lewat Undang-undang Nomor 27 tahun 2000 pada tanggal 4 Desember 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid (UU No. 27/ 2000). Provinsi ini adalah lepasan dari Sumatera Selatan, di mana kepulauan Bangka Belitung dinilai sudah semakin maju dan adanya aspirasi dalam masyarakat kedua pulau besar di Sumatera Selatan tersebut. Saat pertama kali dibentuk provinsi ini terdiri atas Kabupaten Bangka, Kabupaten Belitung, dan Kota Pangkal Pinang. Batas-batas wilayahnya adalah sebelah utara denga Laut Natuna, sebelah timur dengan Selat Karimata, sebelah selatan dengan Laut Jawa, dan sebelah barat dengan Selat Bangka. Luas wilayah provinsi ini adalah 16.424,06 kilometer persegi dengan penduduk (2019) sebesar 1.379.767 jiwa.

Kepulauan Bangka Belitung memiliki sumber daya yang diyakini para inisiator pembentukannya dapat dijadikan sumber mandiri pembangunan wilayah mereka, terutama timah (Kavin, 2017: 76). Namun, besarnya timah provinsi ini belum berdampak pada kesejahteraan warganegara Indonesia di sana, karena sekurangnya hingga Maret 2013 tingkat kemiskinan penduduknya malah naik 6,68% (Kavin, 2017: 77). Masalah di sana adalah “klasik” yaitu banyak beroperasinya penambangan liar oleh oknum karena 70% timah Bangka-Belitung dioperasikan oleh smelter swasta (Kavin, 2017: 77). Bangka-Belitung juga unik karena etnis Tionghoa cukup besar di sana yaitu 11,54%, kendati Melayu tetap terbesar yaitu 71,89% (Kavin, 2017: 86).

Kalvin menyimpulkan bahwa munculnya Kepulauan Bangka Belitung sebagai provinsi mandiri adalah kelindan antara aspek politik (aspirasi rakyat daerah), timah, dan etnis Tionghoa. Indikasi dari hal ini adalah, pengusaha timah selalu andil di dalam bursa-bursa pemilihan kepala daerah dan anggota legislatif. Kehadiran mereka ini tidak hanya di belakang layar, melainkan pula di panggung pentas politik lokal (Kavin, 2017: 91).

Aspirasi politik, etnis Tionghoa, dan timah dalam pembentukan provinsi ini pun dilansir dalam penelitian Sya, et.al. (Sya, Marta, dan Sadono, 2019: 153-68). Namun, Sya, et.al. menanggapi secara positif bahwa “sangat jarang konflik ditemui antara etnis Tionghoa dan Melayu … telah dibuktikan pada saat pecahnya kerusuhan Mei di Jakarta …penduduk etnis Tionghoa di Bangka benar-benar terlindungi” (Sya, Marta, dan Sadono, 2019: 154). Secara historis etnis Tionghoa di Bangka Belitung datang untuk menambang timah untuk kemudian menetap dan berasimilasi dengan etnis Melayu di sana.

Sejak 1956 wilayah ini ingin mandiri lepas dari Sumatera Selatan karena apabila tidak demikian, wilayah ini tidak akan mengalami perubahan. Warga Bangka Belitung menyatakan di sektor pariwisata, keuntungan Bangka Belitung lebih banyak diserap provinsi (Sumatera Selatan) ketimbang kembali digulirkan ke rakyat Bangka Belitung ((Sya, Marta, dan Sadono, 2019: 162). Basis sosiologis pembentukan provinsi ini adalah Dekralasi Tanjung Kelayang, yaitu kehendak rakyak Bangka Belitung untuk mendirikan provinsi mandiri, dan ini dilanjutkan oleh pembentukan forum-forum seperti Presidium Perjuangan Peningkatan Provinsi Bangka Belitung (Sya, Marta, dan Sadono, 2019: 162).

Perjuangan para tokoh ini pun dilanjutkan setelah transisi politik 1998, yaitu generasi ketiga, yang terdiri atas Johan Murod, Eddy Jang, dan Agus Adaw yang berdiskusi dengan Amung Tjandra (senior, generasi kedua). Gener asi kedua ini mendiseminasi pentingnya pembentukan provinsi baru kepada rakyat Bangka Belitung yang muaranya adalah rapat umum pembangunan Provinsi Bangka Belitung dengan salam Fan Ngin Thong Ngin Jit Jong yang ditandatangani H. Romawi Latief (wakil generasi pertama, 1956), Amung Tjandra (wakil generasi kedua, 1970), dan Johan Murod serta Agus Adawa dalam mana mereka ini termasuk generasi ketiga yang bergerak tahun 2000 (Sya, Marta, dan Sadono, 2019: 164). Hasil dari rapat umum ini adalah pada 21 November 2000 naskah undang-undang provinsi baru tersebut tersusun dan diratifikasi menjadi undang-undang nomor 27 sekaligus menjadikan Kepulauan Bangka Belitung sebagai provinsi ke-31 Republik Indonesia.

Munculnya Kepulauan Riau

Provinsi Kepulauan Riau ditetapkan lewat Undang-undang Nomor 25 tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau yang diundangkan tanggal 25 Oktober 2002 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri ( UU No. 25/ 2002). Provinsi ini adalah lepasan dari Provinsi Riau yang bercorak daratan, sementara provinsi baru bercorak maritim. 

Saat pertama kali dibentuk, provinsi ini terdiri atas 3 kabupaten (Kepulauan Riau, Karimun, dan Natuna) dan 2 kota, yaitu Batam dan Tanjung Pinang. Batas wilayah provinsi ini sebelah utara Laut Cina Selatan, sebelas timur dengan Negara Malaysia dan Provinsi Kalimantan Barat, sebelah selatan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi, serta sebelah barat dengan Negara Singapura, Malaysia, dan Provinsi Riau.

Cikal-bakal Provinsi Kepulauan Riau adalah Kabupaten Kepulauan Riau di Sumatera Selatan. Kabupaten ini telah mengalami pemekaran tahun 1999 menjadi Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, dan Kota Batam (Arianto, Suradji, Adhayanto, dan Prastya, 2015: 333-40). Kepulauan Riau adalah provinsi dengan geliat pemekaran yang cukup tinggi mengingat geostrategisnya di lingkup pusat perdagangan Asia sebelah selatan yaitu Singapura, Malaysia, Indonesia, dan Laut Tiongkok Selatan. Faktor konsentrasi pembangunan kelihatannya paling masuk akal untuk menganalisis lepasnya Kepulauan Riau dari Riau ini.

Awalnya, Riau adalah sebuah provinsi dengan luas 95.225,38 kilometer persegi, dengan dua konsentrasi wilayah: daratan dan lautan. Total jumlah pulau besar, menengah, dan kecil yang dikelola adalah 2547 buah, dan mayoritas pulau-pulau tersebut ada di provinsi yang saat ini menjadi daerah otonom sendiri (2408), yang telah berpenghuni 385, dengan 19 pulau merupakan pulau ter depan yang berbatasan langsung dengan negara lain (kemlu.go.id,).

Sebab itu pembentukan wilayah ini menjadi provinsi mandiri adalah punya signifikansi kuat, terkhusus untuk konsentrasi pembangunan wilayahnya, dengan sumber daya alam berupa batu granit (total cadangan mencapai 858.384.000 metrik ton), pasir (total cadangan mencapai 39.826.400 metrik ton), timah (total cadangan mencapai 11.560.500 metrik ton), bauksit (total cadangan mencapai 15.880.000 metrik ton), dan bijih besi (Arianto, Suradji, Adhayanto, dan Prastya, 2015: 334).

Selain pembenaran geografis, pembentukan provinsi ini t idak lepas dari peran Badan Perjuangan Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (BP3KR) yang diketuai Husrin Hood, dan artinya adalah masalah politik. Saputra misalnya mempersamakan terbentuknya provinsi ini dengan wacana pembentukan Provinsi Cirebon yaitu rasa kesukuan dan variasi kultur sosial (Saputra, 2008: 74). Secara geografis, tak terbantah, bahwa Kepulauan Riau adalah 7 wilayah maritim, tetapi ada pula masalah etnisitas di sana, yaitu mayoritas warganegara Kepulauan Riau adalah etnik Melayu sementara di provinsi induk (Riau) terutama di Pekanbaru (ibukotanya) didominasi etnik Minang.

Pembentukan provinsi Kepulauan Riau diawali dengan pemekaran Kabupaten Natuna (dari Kabupaten Kepulauan Riau) lewat Undang-undang Nomor 53 tahun 1999 dan ini merupakan langkah positif untuk memperpendek rentang kendali akibat terlalu luasnya Kabupaten Kepulauan Riau. Wacana terus bergulir sehingga pasca pembentukan Kabupaten Natuna, kembali muncul hasrat membentuk provinsi mandiri, lepas dari Riau. Di Natuna, elemen masyarakat terpecah antara masyarakat Pulau Bunguran (Pulau Natuna Besar) yang dimobilisasi oleh pemerintah daerah dan DPRD setempat yang menolak pembentukan versus masyarakat gugusan Kepulauan Anambas yang dimobilisasi Badan Pekerja Pembentukan Provinsi Kepulauan Natuna yang mendukung pembentukan provinsi baru (Saputra, 2008: 77).

Secara rasional, pembentukan Kabupaten Natuna (sebelum provinsi Kepri) adalah mempercepat isolasi wilayah ini. Kedua elemen masyarakat yang berseteru saling adu unjuk rasa ke Jakarta, dan akhirnya BP3KR yang menang dengan keluarnya UU No. 25/ 2002. Namun, awalnya Kabupaten Natuna menolak gabung ke Kepri, melainkan tetap berafiliasi dengan Riau atau membentuk provinsi sendiri, yang dikemas dalam seminar bertajuk Menuju Provinsi Natuna-Anambas tanggal 24 November 2002 di Pekanbaru. Alasan Kabupaten Natuna menolak gabung dengan provinsi baru adalah adanya potensi kehilangan pendapatan dari gas bumi sebesar 112 milyar, sementara sebagai kabupaten baru (terbentuk 1999) Natuna sangat memutuhkan uang ini untuk melakukan pembangunan (Saputra, 2008: 77).

Analisis lain yang bernuansa etnisitas mengenai pembentukan Provinsi Kepri dilancarkan oleh Carole Faucher (Erb, Sulistiyanto, dan Faucher, 2005: 132-48). Faucher menyatakan bahwa “one of the original motives supposedly behind the Kepri Province project was the creation of a Malay province” (Erb, Sulistiyanto, dan Faucher, 2005: 135). Inisiatif pembentukan provinsi baru ini mendapat dukungan kuat dari mayoritas etnis Melayu, terutama yang merupakan keturunan elit dari kerajaan Riau-Lingga, yang bertolak-belakang dengan motif yang lebih egaliter dari BP3KR pimpinan Husrin Hood. Kelompok bangsawan ini kemudian tersingkir dalam proses perjuangan yang dilakukan oleh BP3KR tersebut, kendati di kelompok yang lebih egaliter ini tetap saja dimensi etnisitas cukup menonjol. Dimensi etnisitas ini kemudian berkelindan dengan faktor-faktor geostrategis kepulauan ini kemudian mendorong terbentuknya provinsi Kepri.

Munculnya Banten

Pembentukan Provinsi Banten dikukuhkan lewat Undang-undang Nomor 23 tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten yang ditandatangani oleh Presiden Abdurrahman Wahid (UU No. 23/ 2000). Saat pertama kali dibentuk, provinsi ini terdiri atas 4 kabupaten (Serang, Pandeglang, Lebak, dan Tangerang) serta 2 kota yaitu Tangerang dan Cilegon.

Provinsi ini sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur denga DKI Jakarta dan Jawa Barat, sebelah selatan dengan Samudera Hindia, dan sebelah barat dengan Selat Sunda. Sejak niatan awal dibentuk, terjadi perbedaan pandangan antara pihak Jawa Barat yang menganggap Banten tidak layak menjadi provinsi sendiri dan elit Banten yang menyatakan sebaliknya, layak (Roham, 2018: 92). Dengan demikian, menurut Rohmah, pembentukan provinsi ini adalah buah dari konflik elit antara yang pro terdiri atas elit-elit informal Banten, anggota partai politik maupun DPRD kabupaten/kota Banten, dengan pihak yang kontra terdiri atas gubernur Jawa Barat dan DPRD Jawa Barat. Apabila disederhanakan adalah versus antara elit Banten melawan elit Jawa Barat.

Elit Jawa Barat terdiri atas sesepuh Siliwangi, kalangan militer, dan tokoh masyar akat Sunda menghendaki Jawa Barat (yang ter masuk Banten) tetap dipertahankan keutuhannya. Partai Golkar termasuk partai politik yang mendukung berdirinya Provinsi Banten, sebagai kepentingan pragmatis mencari suara di wilayah Banten.

Sama seperti kasus Kepri, dalam kasus Banten faktor sosiologis juga ikut menentukan yaitu adanya perbedaan antara urang Sunda dengan urang Banten (Rohmah, 2018: 98). Masalah ini berhembus akibat adanya semacam diskriminasi jabatan publik antara kedua etnis tersebut, yang diajukan oleh adanya dominasi kalangan Priyangan terhadap Banten. Jabatan-jabatan puncak selalu diduduki oleh kalangan Priyangan sementara Banten dilapis-lapis bawahnya. Juga dari faktor sejarah yaitu Banten pernah menjadi kerajaan mandiri, lepas dari Kerajaan Sunda, kendati dari sudut pandang Jawa Barat, kerajaan Banten adalah kelanjutan dari Kerajaan Sunda: Banten tidak berkonotasi etnik melainkan hanya teritorial saja. Secara struktural, Banten merasa mengalami kemiskinan struktural dengan mana pembangunan ekonomi di wilayah Banten dianggap lebih terbelakang ketimbang aneka wilayah lain di Jawa Barat (Rohmah, 2018: 99).

Cara pandang lain berdirinya Provinsi Banten diajukan Yaya Mulyana yang diajukannya sebelum provinsi ini secara resmi dikukuhkan oleh undang-undang (Mulyana, 2001: 61-90). Dalam analisisnya mengenai gerakan sosial masyarakat Banten, Mulyana menyebut bahwa “keinginan masyarakat Banten untuk mempunyai otonomi pemerintahan sendiri bukan hanya mengikuti euforia kebebasan yang didorong oleh gerakan reformasi yang bersifat emosional semata, melainkan aspirasi ini telah bergulir sejak lama dan berdasarkan pertimbangan yang rasional” (Mulyana, 2001: 86). Mirip dengan provinsi Bangka Belitung, hasrat Banten untuk mandiri sekurangnya telah dilakukan sejak 1953 dan mengalami pasang surut.

Mulyanan bahkan menyebut bahwa berdirinya Provinsi Banten adalah Kebangkitan Banten kedua, setelah yang pertama terjadi dalam fase transisi Hinduisme ke Islamisme zaman kesultanan Banten. Alasan Banten menjadi provinsi mandiri adalah kompleks, meliputi alasan sosio-kultural, historis, ekonomi, politik, dan teknis, dan berdirinya Banten sebagai provinsi mandiri, lepas dari Jawa Barat, adalah suatu prasyarat untuk kemajuan Banten. Menyitir pendapat H. Chasan Shochib, Mulyana menulis bahwa “masyarakat Banten [setelah berdirinya provinsi] seperti baru meraih “kemerdekaan” kembali setelah sekian lama sejak jatuhnya kesultanan Banten terus menerus terpuruk dalam berbagai periode penjajahan baik oleh Belanda, Jepang, maupuan “penjajahan” Priangan” (Mulyana, 2001: 87).

Munculnya Kalimantan Utara

Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) berdiri secar a resmi lewat Undang-undang Nomor 20 tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara tanggal 16 November 2012 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (UU No. 20/ 2012). 

Saat pertama kali dibentuk, provinsi ini terdiri atas 4 kabupaten (Bulungan, Malinau, Nunukan, dan Tana Tidung) serta 1 kota (Tarakan). Sebelah utara berbatasan dengan negara bagian Sabah Malaysia, sebelah timur dengan Laut Sulawesi, sebelah selatan dengan sejumlah kabupaten di Kalimantan Timur (Kutai Barat, Kutai Timur, Kutai Kertanegara, dan Berau) dan sebelah barat dengan negara bagian Sarawak Malaysia.

Mirip dengan Banten, dahulunya Kalimantan Utara adalah wilayah Kesultanan Bulungan, dengan rajanya yang terakhir Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin yang memerintah 1931 – 1958 (kaltaraprov.go.id). Kesultanan ini sepakat bergabung dengan Indonesia melalui Konvensi Malinau 7 Agustus 1949, konvensi yang dihadiri raja-raja nusantara. Tahun 1949 wilayah ini menerima status Wilayah Swapraja Bulungan, lalu Daerah Istimewa Bulungan ber dasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 1956, hingga akhir nya berstatus sebagai daerah “biasa” lewat Undang-undang Nomor 27 tahun 1959 (kaltimtribunnews.com, 2019).

Tahun 1982 wilayah ini terus berkembang sehingga diperlukan 2 pembantu bupati untuk pengadministrasiannya yaitu Pembantu Bupati Bulungan Wilayah Pantai (berkedudukan di Nunukan) dan Pembantu Bupati Bulungan Wilayah Tana Tidung (berkedudukan di Malinau). Tahun 1997 dibentuk sebuah wilayah administrasi baru bernama Kotamadya Tarakan melalui Undang-undang Nomor 29 tahun 1997. 

Pasca transisi politik 1999 status dua pembantu bupati menjadi tidak jelas sehingga Bupati Bulungan saat itu (R.A. Bessing, didukung DPRD Bulungan dan Pemprov Kaltim) berjuang meningkatkan status 2 wilayah kerja pembantu bupati menjadi 2 daerah otonom. Tahun 2000 Kabupaten Bulungan mekar menjadi Kabupaten Nunukan, Malinau, Tana Tidung, dan Kota Tarakan. Wilayahnya yang di garis luar, terdiri atas aneka pulau, membuat kawasan Kalimantan Utara ini tertinggal dalam pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kemasyarakatan ketimbang wilayah lain di Indonesia (disperindagkop.kaltaraprov.go.id).

Proses resmi pembentukan Kaltara sebagai provinsi otonom sekurangnya dimulai sejak tahun 2000 dan secara geostrategis provinsi ini memiliki signifikansi setelah lepasnya Pulau Sebatik milik Indonesia kepada Malaysia akibat tidak terurus. Secara geostrategis Kaltara berbatasan langsung dengan dua negara bagian Malaysia yaitu Sabah dan Serawak. Perhatian pemerintah pusat oleh sebab itu lebih tertuju pada pendekatan keamanan perbatasan ketimbang unsur demografinya.

Sebagai akibat hal ini maka banyak penduduk Indonesia di Kaltara (utara Kaltim) yang mencari nafkah di Malaysia ( Sabah-Serawak) ketimbang di negeri sendiri dengan alasan perhatian pemerintah yang tidak penuh. Kaltim sendiri, sebagai provinsi asal dari Kaltara sudah sedemikian luasnya sehingga cukup berat dalam melakukan penetrasi kegiatan ekonomi di sepanjang garis perbatasan dengan negara-negara bagian Malaysia.

Signifikansi geopolitik dan geostrategis dalam pembentukan Provinsi Kaltara ini juga diungkap oleh Komisi II DPRRI, yang meloloskan persyaratan wilayah ini menjadi provinsi otonom karena telah memenuhi persyar atan PP Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah Otonom (Yossih ara, nasional.kompas.com, 2012). 

Berbeda dengan kasus pembentukan Provinsi Kepri yang terhambat sikap provinsi lama, pembentukan Kaltara justru mendapat penguatan dari Pemprov Kaltim sebagai provinsi asal (Burhani, ed., antaranews.com). Faktor utama yang mendorong penguatan dari provinsi asal ini adalah pencapaian kesejahteraan dan mendekatkan pelayanan publik pada masyarakat di kawasan Kaltim sebelah utara.

Munculnya Gorontalo

Gorontalo adalah provinsi baru berdiri pasca 1998 lewat Undang-undang Nomor 38 tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Gorontalo yang ditandatangi tanggal 22 Desember 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid (UU No. 38/ 2000). 

Saat pertama kali berdiri provinsi ini terdiri atas 2 kabupaten (Gorontalo dan Boalemo) serta 1 kotamadya (Gorontalo). Sebelah utara provinsi ini berbatasan dengan Laut Sulawesi, sebelah timur dengan Provinsi Sulawesi Utara, sebelah selatan dengan Teluk Tomini, dan sebelah barat dengan Provinsi Sulawesi Tengah.

Secara umum, proses pembentukan provinsi ini berasal dari masyarakat Gorontalo yang hendak mandiri terpisah dari Sulawesi Utara. Sama seperti sejumlah provinsi lain (misalnya Banten, Maluku Utara) Gorontalo dahulunya adalah “konfederasi” sejumlah kerajaan seperti Gorontalo, Limboto, Suwawa, Boalemo, dan Atinggola (gorontaloprov.go.id). Kerajaan-kerajaan tersebut menganut adat bersendikan Syara’ dan Syara’ bersendikan Kitabullah.

Tahun 1824 ke-5 kerajaan tersebut berada di bawah kekuasaan seorang asisten residen (Belanda), tahun 1889 mengarah pada pemerintahan langsung (direct government), dan tahun 1911 struktur 5 kerajaan difusikan ke dalam 3 onder afdeling Kwandang, Boalemo, dan Gorontalo, tahun 1922 ketiganya kembali dibagi menjadi 3 onder afdeling Gorontalo, Boalemo, dan Buol (gorontaloprov.go.id). Kemerdekaan Gorontalo dari penjajahan terjadi tanggal 23 Januari 1942, dipelopori H. Nani Wartabone, dan wilayah ini terus ber daulat hingga tahun 1944. Saat hari kemerdekaan Gorontalo 23 Januari 1942 tersebut dikibarkan bendera merah putih dan dinyanyikan lagu Indonesia Raya. Saat meletus PRRI-Permesta, Gorontalo tetap menginduk pada Negara Republik Indonesia dengan semboyan Sekali ke Djogdja tetap ke Djogdja.

Dengan peristiwa 24 Januari 1942 sebagai titik tolak, maka pasca transisi politik 1998 rakyat Gor ntalo yang diwakili Nelson Pomalinggo (Presnas P2 GTR/ Presidium Nasional Pembentukan Provinsi Gorontalo), Roem Kono (KP3G), dan Nazir Moodoeto (P4GTR/Panitia Persiapan Pembentukan Provinsi Gorontalo Tomini Raya) selaku wakil rakyat Gorontalo (juga sejumlah aktivis dan mahasiswa), dengan mana pula turut didukung oleh B. J. Habibie, Wiranto, dan Rahmat Gobel, dirintis upaya pembentukan Provinsi Gorontalo (Kimura, 2007: 71-95).

Lepasnya Gorontalo dari Sulut untuk satu hal cukup mirip dengan Banten, yaitu masalah dominasi etnik yang telah berkembang lama. Di Sulut, etnik Minahasa sejak era kolonial lebih dominan di kawasan Sulut ketimbang etnis lain, dan agama mereka rata-rata adalah Kristen. Sementara itu, di Sulut etnis tidak hanya Minahasa, melainkan pula terdapat Jawa, Gorontalo, Sangir, Talaud, dan Bolaang-Mongondow (Ramdhani dan Subekti, 2020: 5).

Seperti Banten yang merasa didominasi etnis Priyangan maka Gorontalo pun merasa didominasi etnis Minahasa. Sebab itu Gorontalo adalah wilayah yang multi etnis dan multi agama, dan terkhusus pada masalah pembangunan ekonomi, terjadi ketidakimbangan antara etnis Minahasa dengan Gorontalo sebagai konsekuensi dipegangnya kekuasaan oleh etnis Minahasa (Ramdhani dan Subekti, 2020: 5). 

Namun, tidak seperti di Poso, Sulteng, tidak terjadi eksplosi partisipasi politik berdasarkan garis etnis dan agama di sub wilayah Sulut. Marginalisasi politik dan ekonomi ini diselesaikan secara terlembaga oleh sejumlah elit dan partai politik di Gorontalo, di mana isu-isu seperti sejarah politik, marjinalisasi politik, ekonomi, pembangunan regional, penguatan nilai budaya, etnisitas, dan agama menjadi isu yang dikelola secara cukup baik oleh elit-elit politik di Gorontalo (Ramdhani dan Subekti, 2020: 6).

Menurut data tahun 2000, komposisi etnis di Sulawesi Utara (sebelum Gorontalo memisah) berturut-turut dari terbesar adalah Gorontalo 33%, Minahasa 29%, Sangir 14 %, Bolaang Mongondow 8%, Talaud 3%, Jawa 2%, dan lainnya 11% (Kimura, 2007: 75). Secara teritorial luas Gorontalo meliputi 44 %, Bolaang Mongondow 31 %, Minahasa 15 %, Sangir Talaud 8,25%, Kota Gorontalo 0,25 %, Kota Manado 0,5%, dan Kota Bitung 1% (Kimura, 2007: 75). Dari kedua data di atas, maka Gorontalo adalah etnis mayoritas relatif setara dengan Minahasa dan secara kewilayahan pun cukup besar.

Ini merupakan dua faktor primordial yang menjadi muatan penting dalam pemisahan Gorontalo dari Sulut. Etnis beragama Kristen terkonsentrasi di Minahasa dan Sangir-Talaud, sementara di selatan dan barat Sulut berdiam etnis beragama Islam, terkonsentrasi di Gorontalo dan Bolaang Mongondow, sebagai hasil pengaruh dari Kesultanan Ternate dan Gowa. Secara statistik penganut Islam di Sulut (pra pemisahan) adalah 50%, Protestan 46%, Katolik 3 %, Hindu 0,5%, Buddha 0,1 %, lainnya 0,4% (Kimura, 2007: 76).

Di kawasan Sulut, dominannya etnis Minahasa adalah akibat politik penjajah Belanda yang melakukan pemberdayaan ekonomi suatu etnis beragama Kristen dan memarginalisasi etnis lain yang non Kristen. Penjajah Belanda juga memecah garis administrasi di Sulut berdasarkan garis etnis dan agama, sehingga munculah Minahasa sebagai etnis dominan kendati secara kuantitatif relatif setara dengan Gorontalo. Sejak era penjajah Belanda, etnis Minahasa selalu mendapat prioritas untuk bergabung ke tentara Belanda yaitu KNIL ketimbang etnis lainnya. Demikian pula untuk jabatan-jabatan ambtenaar.

Perilaku dan kebiasaan ini terus berlanjut hingga era Indonesia merdeka, dan ini pula yang memicu rakyat Gorontalo menyatakan kemerdekaannya 23 Januari 1942, di mana Nani Watabone saat itu menyatakan, ”Pada hari ini tanggal 23 Januari 1942, kita, bangsa Indonesia yang berada di sini, sudah merdeka, bebas lepas dari penjajahan bangsa manapun juga. Bendera kita Merah Putih. Lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya” (Kimura, 2007: 81). 

Bahkan sebelum Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, Gorontalo sudah menyatakan terlebih dahulu kemerdekaan bangsa Indonesia atas nama rakyat Gorontalo. Saat Permesta didukung oleh Minahasa, rakyat Gorontalo justru menolaknya, dengan menyatakan “we did not recognize PRRI/ Permesta as a part of the Unitary State of the Indonesian Republic” dan Wartabone sendiri (deklarator kemerdekaan Indonesia dari Gorontalo) bergabung dengan Batalion 512 dan sebuah Detasemen dari Batalion 715 Hasanuddin untuk menumpas Permesta di Sulut (Kimura, 2007: 82).

Namun, loyalitas rakyat Gorontalo kepada pusat tidak tergambar dalam sirkulasi elit di Sulut. Sejak 1961 hingga 2000 gubernur Sulut selalu berasal dari etnis non Gorontalo, yaitu Minahasa yang selalu dominan. Salah satu pemicu hal ini adalah pembangunan ekonomi etnis Minahasa selalu lebih maju ketimbang Gorontalo sehingga muncul idiom bahwa Gorontalo serupa dengan anak tiri di Sulut (Kimura, 2007: 84). 

Prakondisi sirkulasi elit, pembangunan ekonomi, dan andil dalam sejarah kemerdekaan Indonesia inilah yang membuat pembentukan Provinsi Gorontalo menjadi signifikan dan didukung oleh mayoritas rakyat Indonesia di Gorontalo. Sehingga pada tanggal 23 Januari 2000 bertempat di stadion lokal Kota Gorontalo, berkumpul 30 ribu orang Gorontalo dari aneka wilayah Indonesia untuk merayakan hari patriotik 23 Januari 1942. Acara tersebut diisi dengan penaikan bendera merah putih, nyanyian lagu Indonesia Raya, dan pidato oleh wakil-wakil rakyat Indonesia asal Gorontalo.

Munculnya Sulawesi Barat

Provinsi Sulawesi Barat dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 26 tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) yang ditandatangani pada tanggal 5 Oktober 2004 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri (UU No. 26/ 2004).

Saat pertama kali dibentuk, provinsi ini memisah dari Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) dengan 5 kabupaten yaitu Mamuju Utara, Mamuju, Mamasa, Polewali Mamasa, dan Majene. Sulbar sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah, sebelah timur dengan Kabupaten Donggala (Provinsi Sulteng) dan sejumlah kabupaten Sulsel (Luwu Utara, Tana Toraja, dan Pinrang). Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pinrang (Sulsel) dan Teluk Mandar), dan sebelah barat dengan Selat Makassar dan Kabupaten Pasir (Provinsi Kalimantan Timur).

Secara historis, usulan pembentukan Sulbar sebagai provinsi mandiri per nah terjadi tahun 1960 dalam mana pada saat itu di Pulau Sulawesi baru ada 3 provinsi yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara. Namun, pada tahun 1963 pemekaran provinsi yang disetujui adalah Sulawesi Tenggara, sementara Sulbar ditolak pemerintah pusat (indonesia.go.id).

Etnis dominan di Sulbar adalah Mandar 49,15%, Toraja 13,95%, Bugis 10,79%, Jawa 5,38%, Makassar 1,59%, dan lainnya 19,15% (Kominfo, berita.sulbarprov.go.id). Semboyan etnis Mandar yaitu Allamungan Batu di Luyo mengikat Mandar dalam perserikatan Pitu Ba’ban a Binanga dan Pitu Ulunna Salu ke dalam muktamar yang melahirkan semangat Sipamandar (saling memperkuat) untuk bekerja sama membangun Mandar (Kominfo, berita.sulbarprov.go.id). 

Dari petikan unsur tradisi ini dapat dikatakan bahwa pada satu sisi bangunan provinsi Sulbar mirip dengan Gorontalo yaitu adanya semangat suatu etnis di sana. Rumusan-rumusan ini sekurangnya sudah ditampakkan tahun 1960 manakala usulan dibentuknya Sulbar sebagai provinsi mandiri disampaikan ke pemerintah pusat, tokoh-tokoh Mandar seperti H. A. Depu, Abd. Rahman Tamma, Kapten Amir, H. A. Malik, Baharuddin Lopa, dan Abd. Rauf .

Perjuangan mendirikan provinsi otonom tersebut awalnya Provinsi Mandar, tetapi kemudian diubah tahun 1961 menjadi Sulawesi Barat di rumah H. A. Depu di Jl. Sawerigading No. 2 Makassar dan dideklarasikan di Bioskop Istana (Plaza) Jl. Sultan Hasanuddin Makassar. Selama Orde Baru perjuangan ini diteruskan tetapi terus menemui jalan buntu. Hingga pasca transisi politik 1998, pendirian Sulbar mendapat momentum politiknya. 

Di antara inisiator awal, yang masih hidup hanyalah H. A. Malik, kendati beliau wafat sebelum Sulbar resmi berdiri. Pendirian Sulbar mendapat dukungan dari bupati dan DPRD Kabupaten Mamuju, Majene, dan Polman. Serupa pula dengan Gorontalo, dahulunya Sulbar adalah kesatuan dari sejumlah wilayah hukum adat yang dikenal dengan Pitu Baqbana Binanga yaitu Balanipa, Binuang, Sendana, Banggae/ Majene, Pamboang, Mamuju, dan Tappalang (Kominfo, berita.sulbarprov.go.id).

Juga mirip dengan Gorontalo, masalah pembangunan ekonomi yang berkelindang dengan unsur etnis terjadi di Sulbar. Jaraknya yang jauh dari pusat administrasi Sulsel (Makassar) membuat penetrasi pemerintah daerah agak kurang kepada kalangan Mandar di wilayah Sulbar. Juga kondisi geografis Sulbar yang khas yaitu bergunung-gunung, prasarana jalan yang buruk, struktur etnis Mandar yang lebih egaliter (berbeda dengan Bugis di Sulsel yang lebih hirarkis) pada tahun 1960an mendorong peningkatan semangat untuk mewujudkan sebuah provinsi yang mandiri. Tahun 1960an tersebut, Baharudin Lopa (saat itu masih muda dan mewakili intelektual muda Mandar) menerbitkan Risalah Demokrasi yang menyatakan ketidaksetujuannya atas sejumlah kebijakan pemerintah pusat dan Sulsel.

Prajudi bahkan menganalisis bahwa upaya pembentukan Sulbar sebagai sebuah provinsi mandiri telah berlangsung sejak 1948 yaitu dengan dibentuknya Badan Pemufakatan Nasional (Bapnas) yang mendeklarasikan terbentuknya keresidenan Sulawesi Barat dengan Mandar sebagai etnis mayoritasnya (Prajudi, 2011: 774-5). Tahun 1950 dibentuk formatur Pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia Residen Sulawesi Barat yang mandatnya diberikan oleh Mr. Asaat (acting Presiden RI), Dr. Halim (Perdana Menteri), dan Mr. Sutanto Tirtoprodjo (Menteri Dalam Negeri). Pada proses selanjutnya berhadapan antara para anggota DPRD di teritorial Mandar dengan pihak Sulawesi Selatan. Ini merupakan puncak gunung es karena elit-elit di teritori Mandar saling bekerja sama satu sama lain dan terdiri atas elit formal pemerintahan yang pernah menjabat di Sulsel, elit lokal karismatis (termasuk ke dalamnya kalangan akademisi), dan elit yang terlibat dalam pembuatan keputusan secara institusional.

Munculnya Maluku Utara

Provinsi Maluku Utara (Malut) merupakan mekaran dari Provinsi Maluku, dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 46 tahun 1999 yang ditandatangani tanggal 4 Oktober 1999 oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie (UU No. 46/ 1999). Saat pertama kali dibentuk, Malut terdiri atas 2 kabupaten (Maluku Utara dan Halmahera Tengah) dan 1 kota (Ternate).

Sebelah utara Malut ber batasan dengan Samudera Pasifik, sebelah timur dengan Laut Halmahera, sebelah selatan dengan Laut Seram, dan sebelah barat dengan Laut Maluku. Malut termasuk salah satu propinsi yang paling awal terbentuk pasca transisi politik 1998.

Secara kesejarahan, Malut dahulunya adalah wilayah 4 kesultanan yaitu Jailolo, Bacan, Tidore, dan Ternate (Pieris, 2004: 149). Dari 4 kesultanan ini, Ternate dan Tidore memiliki kekuatan ekonomi, politik, dan militer yang relatif berimbang (Amal, 11). Keempat kesultanan ini tentu saja mayoritas beragama Islam, berbeda dengan wilayah Maluku sebelah selatan yang kuat cengkeraman penjajah Belanda sehingga umat Kristen dominan di sana. Di masa lalu pun Malut adalah konfederasi yang dikenal sebagai Moloku Kie Raha, yang terdiri atas ke-4 kesultanan tersebut, dengan Ternate sebagai dominator sementara Tidore sebagai kompetitornya.

Upaya pembentukan Malut sebagai provinsi mandiri sekurangnya telah diupayakan sejak 19 September 1957, saat DPRD peralihan saat itu mengeluarkan keputusan membentuk Malut sebagai provinsi mandiri dalam rangka merebut Irian Barat, tetapi terhenti setelah meletus peristiwa Permesta (Kandhani, bosscha.id, 2019). Tahun 1963 sejumlah elit partai politik dari Partindo, PSII, NU, Partai Katolik, dan Parkindo melanjutkan upaya mendesak DPRGR membentuk provinsi Malut (Kandhani, bosscha.id., 2019). Keluarlah resolusi No. 4/ DPRD-GR-1 964 yang mendukung pendirian provinsi Malut. 

Upaya ini lalu terhenti setelah terjadi peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto, dan Malut sendiri sekadar sebuah wilayah di dalam bingkai Provinsi Maluku dan terjemahkan ke dalam 2 kabupaten (Maluku Utara dan Halmahera Tengah) serta kota administratif Ternate. Dalam semangat otonomi daerah 1999, upaya pembentukan Provinsi Malut dilanjutkan oleh B.J. Habibie untuk melakukan percepatan pembangunan di kawasan Maluku sebelah utara.

Dalam aras lokal, rencana pembentukan provinsi Malut sekurangnya disuarakan oleh Syaiful Bachri Ruray yang pula didukung oleh Bahar Andili, Bupati Halmahera saat itu (Safi, 2017: 38). Rencana yang bukan hal baru tersebut terus bergulir hingga ditandatanganinya undang-undang pembentukan provinsi baru tersebut oleh Habibie. 

Namun, Sultan Ternate kurang berkenan dengan nama Maluku Utara dan lebih condong pada nama Moloku Kie Raha. Elit-elit di Malut kemudian berkumpul di sekeliling elit tradisional, di sekeliling Sultan Ternate, lainnya di kelompok yang menentangnya, termasuk elit pendatang dan Tidore.

Pihak pemerintah didukung mayoritas masyarakat Maluku Utara, berikut kalangan elit seperti Bahar Andili, Abdullah Assagaf, Thaib Armays, dan sejumlah elit lokal termasuk Sultan Tidore. Pada pihak lain Sultan Ternate didukung oleh Dewan Adat Ternate, Jailolo, dan Kao. Dengan demikian, kendati provinsi ini berhasil dibentuk tetapi kohesi elit di kawasan tersebut belum lagi selesai. Konflik antara elit inilah yang kemudian mendorong terjadinya kerusuhan di Maluku Utara, selain tentunya keterlibatan perusahaan asing asal Australia yang melakukan penambangan emas di Malifut.

Munculnya Papua Barat

Provinsi Papua Barat adalah lepasan dari provinsi Ir ian Jaya yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 45 tahun 1999 yang ditandatangani oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie tanggal 4 Oktober 1999 (UU No. 45/ 1999).

Saat pertama kali terbentuk, provinsi ini terdiri atas 3 kabupaten (Sorong, Manokwari, dan Fak-Fak) serta 1 kota (Sorong). Sebelah utara propinsi ini ber batasan dengan Samudra Pasifik, sebelah timur dengan Irian Jaya Tengah (Kabupaten Nabire dan Mimika) dan Teluk Cendrawasih, sebelah selatan dengan Laut Arafuru, dan sebelah barat dengan Laut Seram dan Laut Halmahera.

Romli menjelaskan bahwa pemekaran Papua Barat membuka transparansi adanya pembelahan elit, baik di t ingkat pusat maupun daerah (Romli, 2006: 25-41). Pihak yang lebih bersiker as untuk memekarkan Papua menjadi Papua Barat adalah Pemerintah Pusat, sedangkan Pemerintah Daerah Provinsi Papua tidak menegaskan hal serupa (Romli, 2006: 26). Dengan demikian, mekarnya provinsi ini lalu ditandai oleh konflik horizontal antara kelompok pro dan kontra pemekaran.

Freddy Numberi, gubernur Irian Jaya, tahun 1999 mengusulkan pemekaran Provinsi Ir ian Jaya menjadi 3 wilayah provinsi yaitu Ir ian Jaya Barat (Ibukota Manokwari), Irian Jaya Tengah (Ibukota Timika), dan Ir ian Jaya Timur dengan Ibukota Jayapura. Dasar pikir pemerintah pusat dalam memekarkan Papua Barat adalah pesatnya pembangunan di Ir ian Jaya, besarnya potensi sumber daya alam, dan pemberian kesempatan pada putra asli Papua untuk membangun daerahnya. 

Sebab itu, UU No. 45/1999 lahir dari kepentingan pemerintah pusat, bukan daerah, karena justru amanat yang disampaikan di dalam UU No. 45/ 1999 ditolak oleh DPRD Papua, khususnya mengenai Dekrit Presiden No. 327/ 1999 tanggal 12 Oktober 1999 yang menyatakan bahwa Presiden mengangkat Herman Monim dan Abraham Oktavianus Atururi masing-masing sebagai gubernur Irian Jaya Tengah dan Ir ian Jaya Barat. Penolakan ini ter semat lewat SK DPRD Provinsi Irian Jaya No. 11/ DPRD/1999 tanggal 16 Oktober 1999 yang menolak pemekaran Irian Jaya (Romli, 2007: 29).

Penutup

Sifat pemekaran provinsi di Indonesia paling tidak sebatas territorial reform berkategori proliferation dalam arti provinsi-provinsi induk dimekarkan menjadi sejumlah provinsi baru. Provinsi-provinsi yang memecah tersebut adalah Sumatera Selatan menjadi Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung, Riau menjadi Riau dan Kepulauan Riau, Jawa Barat menjadi Jawa Barat dan Banten, Kalimantan Timur menjadi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, Sulawesi Utara menjadi Sulawesi Utara dan Gorontalo, Sulawesi Selatan menjadi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, Maluku menjadi Maluku dan Maluku Utara, Papua menjadi Papua dan Papua Barat.

Secara umum, pemekaran ke-8 provinsi tersebut merupakan hal yang terlihat urgensinya, yaitu memecah konsentrasi pembangunan dari wilayah-wilayah yang tadinya luas dan berbeda karakteristik ke dalam provinsi baru dengan mana konsentrasi lebih penuh dalam pembangunan ekonomi dapat dilakukan. Ini misalnya terjadi atas ke-8 provinsi tanpa terkecuali.

Selain masalah geografi wilayah, masalah lain yang terlihat adalah masalah etnisitas yang mengemuka di Maluku Utara, Sulawesi Barat, Kepulauan Riau, dan untuk derajat tertentu di Banten. Di seluruh wilayah provinsi baru, kecuali Papua Barat, inisiatif pembentukan provinsi baru relatif berasal dari daerah, yang merupakan kelindan antara elit daerah, etnis, dan untuk sejumlah kasus (Maluku Utara dan Gorontalo) adalah masalah agama turut memberi warna. Terlepas dari masalah etnis dan agama, secara umum pula dapat dinyatakan bahwa tujuan pokok dari pemekaran provinsi tersebut adalah upaya melakukan penajaman pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat daerah.

Referensi

“Kilas Sejarah Terbentuknya Provinsi Kaltara, Berawal dari Daerah Istimewa Bulungan” dalam https://kaltim.tribunnews.com/2019/04/24/kilas-sejarah-terbentuknya-provinsi-kaltaraberawal-dari-daerah-istimewa-bulungan

“Sejarah Kalimantan Utara” dalam https://disperindagkop.kaltaraprov.go.id/storage/pelaporan_file/4sCH8DKE7k1 EmHMQd6GbzrpI088qQsXet2QwtuC7.pdf

Adies Saputra, “Pemekaran Daerah dan Implikasinya” (Jurnal Administrasi Publik, Vol. 5, No. 1, 2008)

Anita Yossihara, “Provinsi Kalimantan Utara Disetujui” dalam https://nasional.kompas.com/read/2012/10/22/20574778/Provinsi.Kalimantan.Utara.Disetujui

Bismar Arianto, Suradji, Oksep Adhayanto, dan Imam Yudhi Prastya, “Dinamika Pemekaran Daerah di Kepulauan: Studi Penataan Pemekaran Daerah di Kabupaten Lingga tahun 2015 -2025 ” (Jurnal Selat, Oktober Vol. 3 No. 1 Edisi 5, 2015) h. 333-40.

Carole Faucher, “Regional Autonomy in the Riau Archipelago” dalam Maribeth Erb, Priyambudi Silistiyanto and Carole Faucher, eds., Regionalism in Post-Suharto Indonesia (London and New York: RoutledgeCourzon, 2005) pp. 132-48.

Edi Kandhani, “Sejarah 4 Oktober:Terbentuknya Provinsi Maluku Utara” dalam https://bosscha.id/2019/10/04/sejarah-4-oktober-terbentuknya-provinsi-malukuutara/

Ehito Kimura, “Marginality and Opportuniy in the Periphery: The Emergence of Gorontalo Province in North Sulawesi (Indonesia 84, October 2007) pp. 71-95.

Gabriel Ferrazzi seperti ter dapat dalam Dennis A. Rondinelli dan G. Shabbir Cheema dikutip dari Mardyanto Wahyu Tryatmoko, “Pemekaran Wilayah dan Persoalan Governability Lokal di Indonesia” (Jurnal Penelitian Politik, Vol. 7, No. 1, 2010)

Hasanudin, Dinamika Pembentukan Provinsi Gorontalo: Suatu Tinjauan Sejarah Pemekaran Wilayah di Sulawesi Utara (Manado: BKSNT Manado, 2006).

Hilal Ramdhani and Valina Singka Subekti, “Dynamic Local Political Elite in Process for Proposing Regional Expansion” (Jurnal Ilmu Pemerintahan: Kajian Ilmu Pemerintahan dan Politik Daerah, Volu me 5, Nomor 1, April 2020) pp. 1 -11, p. 5

https://kaltaraprov.go.id/profil/sejarah

https://pasaramerop.kemlu.go.id/id/news/posisi-geografis-provinsi-kepulauan-riau

Jamin Safi, “Konflik Komunal: Maluku 19992000” (ISTORIA Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sejarah, Volume 12 No 2 Maret 2017 hh. 33-44).

Jean-Paul Faguet, Ashley M. Fox, and Caroline Poschl, “Does Decentralization Strengthen or Weaken the State?” dalam Jean-Paul Faguet and Caroline Poschl, eds., Is Decentralization Good for Development? Perspectives from Academics & Policy Makers (Oxford: Oxford University Press, 2015) p. 135-6.

John Pieris, Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban (Jakarta: Yaya san Obor Indonesia, 2004)

Kominfo, “Sulawesi Barat” dalam http://berita.sulbarprov.go.id/index.php/blog/sulawesi-barat

Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 72 tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menter i Dalam Negeri Nomor 137 tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, h. 6. Data ini apabila diteruskan, maka jumlah kecamatan 7230 , kelurahan 8488, dan desa 74.953. Jumlah total kabupaten/ kota sebelum transisi politik 1998 adalah 316.

Lili Romli, “Pro-Kontra Pemekar an Papua: Sebuah Pelajaran Bagi Pemerintah Pusat” (Jurnal Penelitian Politik, Vol. 3, No. 1, 2006, pp. 25-41)

M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 12501950 (Jakarta: KPG, ?)

Meta Sya, Rustono Farady Marta, dan Teguh Priyo Sadono, “Tinjauan Historis Simbol Harmonisasi antara Etnis Tionghoa dan Melayu di Bangka Belitung” (Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No.2, 2019) h. 153 -68.

Neneng Sobibatu Rohmah, “Elit dan Pemekaran Daerah: Konflik Antar Elit dalam Proses Pembentukan Provinsi Banten” (CosmoGov: Jurnal Ilmu Pengetahuan, Vol. 4, No. 1, April 2018) pp. 90-105

Pemprov Gorontalo, “Sejarah” dalam https://www.gorontaloprov.go.id/ profil/sejarah

Portal Informasi Indonesia, “Sulawesi Barat” dalam https://indonesia.go.id/ province/sulawesi-barat

Prajudi, “Konsensus Elit Politik dalam Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat” (Jur nal Kajian Vol 16 No. 4 Desember 2011: 797-91), h. 774-5.

Rakhmad Kavin, “Politik Lokal di Bangka Belitung: Antara Timah dan Etnis Tionghoa” (Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah, Volume VIII, Edisi 2, 2017) h. 75-92.

Ruslan Burhani, ed., “Pembentukan Provinsi Kalut dibahas DPR Ri” dalam https://www.antaranews.com/berita/82458/pembentukan-provinsi-kalut-dibahas-dprri

Undang-undang Nomor 20 tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara.

Undang-undang Nomor 23 tahun 200 tentang Pembentukan Provinsi Banten.

Undang-undang Nomor 25 tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau.

Undang-undang Nomor 26 tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat.

Undang-undang Nomor 27 tahun 2000 tentang Pembentukan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Undang-undang Nomor 38 tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Gorontalo.

Undang-undang Nomor 45 tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Ir ian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Bar at, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.

Undang-undang Nomor 46 tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru, dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

Yaya Mulyana, “Dimensi Gerakan dalam Proses Pembentukan Propinsi Banten” (Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 5, Nomor 1, Juli 2001) h. 61-90.
Reactions

Posting Komentar

0 Komentar