Sistem politik suatu negara sifatnya organis dalam pengertian ia mengalami aneka perubahan seiring aneka pengaruh yang berlangsung di lingkungan internal maupun eksternalnya. Masalah yang dibahas artikel ini adalahpada masa dahulu, kini, dan prediksinya nanti, sistem politik Indonesia menganut model yang berbeda-beda.
Teori untuk mendeskripsikan model sistem politik mengikuti model Powell mengenai Demokrasi Liberal, Malloy mengenai Rezim Otoritarian Kontemporer, dan Maniruzzaman mengenai Kediktatoran Militer. Hasil pembahasan ditutup dengansejumlah konklusi bahwa di masa lampau, model sistem politik Indonesia yang pernah berlaku adalah DemokrasiLiberal, Kediktatoran Militer, dan Otoritarian Kontemporer. Di masa kini yang berlaku adalah Demokrasi Liberal.Sementara di masa depan diprediksi antara Demokrasi Liberal sebagai "bingkai formal" tetapi dengan substansi kecenderungan ke arah Otoritarian Kontemporer, baik yang dijalankan personal maupun para oligark.
Pendahuluan
Artikel coba melakukan pengamatan atas kejadian di seputar sistem politik di era lampau, kini, dan sedikit prediksi di masa mendatang. Indonesia adalah sebuah sistem politik. Sebagai sebuah sistem, politik Indonesia bercorak dinamis dan bukan statis. Sifat dinamis inilah yang secara faktual membuat sistem politik Indonesia berubah-ubah.
Apabila kita mengambil pijakan bahwa Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945 untuk kemudian dilakukan pengamatan sekurangnya hingga artikel ini disusun, maka perubahan-perubahan tersebut sangat mengentara. Persoalan selanjutnya adalah, bagaimana seseorang dapat mengamati secara terstandardisasi bahwa telah terjadi perubahan pada sistem politik Indonesia?
Gambar diambil dari:
https://thequotesmaster.com/2017/02/quotes-on-style-and-attitude/
Standard yang digunakan dalam melakukan pengamatan atas perubahan sistem politik Indonesia dapat disebut sebagai model. Model merupakan bentuk umum-ideal yang menjadi acuan suatu pengamatan. Model kemungkinan besar tidak akan pernah mewujud di realitas, akan tetapi realitas dapat saja diidentifikasi menggunakan model-model yang dikenal. Dengan menggunakan model, diharapkan pengamatan atas perubahan sistem politik yang terjadi di Indonesia menjadi lebih sederhana dan mudah.
Penulis akan melakukan pengamatan atas model sistem politik Indonesia menggunakan pemodelan Demokrasi Liberal, Komunis dan Post-Komunis, Rezim Otoritarian Kontemporer, dan Kediktatoran Militer. Di antara keempat model tersebut, Komunis dan PostKomunis merupakan satu model yang kemungkinan besar tidak akan memerlihatkan indikasinya di Indonesia dan oleh sebab itu tidak akan dibahas.
Cukup banyak penulis artikel-artikel politik yang menawarkan model sistem politik. Tom Bottomore menawarkan model gradualsosiologis perkembangan sistem politik (Bottomore dalam Wiseman, 1967: 49). Bottomore mengawali dari masyarakat primitif yang sistem politiknya memiliki dua corak. Corak pertama adalah sistem politik tidak memiliki struktur politik yang sifatnya khusus ataupun permanen, sementara corak kedua sistem politiknya telah khusus dan permanen tetapi operasinya sangat dipengaruhi faktor kekerabatan dan agama. Masih menurut Bottomore, fase selanjutnya secara berturut-turut adalah terbentuknya negara-negara kota di Yunani (Athena), kekaisaran yang terbentuk dari negaranegara kota, negara-negara Asiatik dengan birokrasi tersentralisasi, dan negara bangsa modern dengan dua model umum yaitu demokratis moderen dan totalitarian moderen.
Model lainnya diajukan Dickerson, Flanagan, dan O'Neill, di mana mereka memodelkan sistem politik ke dalam tiga bentuk dasar yaitu: (1) Demokrasi Liberal; (2) Demokrasi Transisional; dan (3) Otokratik, yang terbagi atas (a) Otoritarian dan (b) Totalitarian (Dickerson, Flanagan & O’Neill, 2010: 232).
Menurut ketiganya, Demokrasi Liberal adalah sistem politik dengan mana warganegaranya memerintah diri sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan mengikuti aturan main yang tertera secara jelas di dalam konstitusi. Demokrasi Transisional adalah sistem politik yang ditandai dengan adanya struktur dan fungsi demokrasi formal, tetapi secara kultural sistem politik sebelumnya masih menggejala. Otokratik adalah sistem politik di mana salah satu struktur politk cenderung mengarahkan: Disebut Otoritarian apabila dilakukan oleh satu personal, disebut Totalitarian apabila dilakukan sebuah lembaga atau organisasi politik.
Model lainnya dapat dilihat dari yang dapat disarikan dari rampai artikel yang dieditori oleh Hawkesworth dan Kogan (Hawkesworth & Kogan, 1992), yaitu Demokrasi Liberal (Powell, 1992: 195-214) , Komunis dan PostKomunis (Holmes, 1992: 215-28), Rezim Otoritarian Kontemporer (Malloy, 1992: 22946), dan Kediktatoran Militer (Maniruzzaman, 1992: 247-63).
Kendatipun keempat pemodelan berasal dari peneliti yang berbeda-beda, tetapi situasi faktual berupa fenomena perubahan dapat dimodelkan oleh keempatnya. Demokrasi Liberal adalah sistem politik dengan adanya tawar-menawar yang tegas antara warganegara dengan pemerintah. Dalam posisi tawar-menawar tersebut, pemerintah hanya dapat memerintah sejauh warganegara menyepakati pemerintahannya. Partai politik berdiri dan bersaing secara bebas di setiap pemilu yang penyelenggaraannya disepakati secara bersama.
Sistem politik komunis dan post-komunis diidentifikasi dengan adanya empat faktor, yaitu: (1) Negara mendasarkan diri pada ideologi formil Marxisme-Leninisme; (2) Sistem ekonomi ditandai ketiadaan pemilikan pribadi dan inovasi ekonomi tersentralisasi; (3) Negara diperintah oleh satu partai, atau sekurangnya satu partai dominan warisan masa lampau dengan sentralisme demokratik; dan (4) Organisasi-organisasi yang bergerak di memeroleh kontrol langsung dari negara.
Dari seluruh model yang telah dibahas, penelitian akan menggunakan tiga model yang dianggap pernah dan akan berkembang di dalam sistem politik Indonesia yaitu model Demokrasi Liberal, Kediktatoran Militer, dan Rezim Otoritarian Kontemporer. Tentu saja indikasi dari ketiga model tidak akan identik dengan yang terjadi di lapangan, akan tetapi bentuk-bentuk umumnya kemungkinan besar akan terlihat.
Sebelum pembahasan dilakukan atas perubahan sistem politik di era lampau, kini, dan masa mendatang, penulis akan terlebih dahulu melakukan sedikit rangkuman pokok pikiran berdasarkan model yang sudah diajukan ke dalam Tabel 1.
Dahulu
Kecenderungan awal Indonesia setelah merdeka adalah Demokrasi Liberal I. Istilah konsolidasi merujuk pada persiapan Indonesia menjadi demokrasi partai-partai. Proses ini telah berlangsung sekurangnya sejak awal Oktober 1945, manakala terdapat upaya mengganti sistem pemerintahan dari presidensil menjadi parlementer, menjadikan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai badan legislatif dilegalisasi tanggal 16 Oktober 1945 – yang pekerjaan sehari-harinya dijalankan oleh Badan Pekerdja KNIP dengan Sjahrir sebagai ketua dan Amir Sjarifuddin wakil ketua (Kahin, 1995: 193-4).
Pada 30 Oktober 1945 Badan Pekerdja mengusulkan – usul ini disetujui oleh Sukarno dan Hatta – dibentuknya partai-partai politik sehingga Indonesia akan menganut sistem multipartai. Partai-partai politik ini nantinya menjadi elemen pembentuk Dewan Perwakilan Rakyat yang pemilunya (direncanakan) dilaksanakan pada Januari 1946. Pada perkembangannya, Pemilu yang direncanakan tersebut baru terselenggara tahun 1955.
Liberalnya demokrasi Indonesia lebih mengentara manakala parlementer dianut sebagai sistem pemerintahan. Dalam menjelaskan hal ini, Herbert Feith menulis sekurangnya era berpolitik konstitusional diawali sejak berakhirnya Perang Revolusi pada bulan Desember 1949 hingga bulan Maret 1957 ketika demokrasi liberal mengalami kebuntuan politik sekaligus merupakan awal masa Demokrasi Terpimpin (Feith, 2007: xi).
Hingga 1955, kabinet-kabinet dalam sistem parlementer Indonesia jatuh dan bangun. Manakala terbentuk kabinet Burhanuddin Harahap, yang memerintah Agustus 1955 hingga Maret 1956, fundasi penting kehidupan bernegara Indonesia dipijak yaitu melalui penyelenggaraan Pemilu pertama tahun 1955. Burhanuddin Abdullah dan kabinetnya sukses menyelenggarakan pemilu pertama Indonesia kendati tidak menghasilkan mayoritas parlemen di mana empat partai terbesar dan persentase suara diperoleh adalah PNI cuma 22,3%, Masyumi cuma 20,9%, NU cuma 18,4%, dan PKI cuma 16,4%. Harus dibangun koalisi baik di parlemen maupun kabinet.
Kabinet akhir dalam Demokrasi Liberal I adalah Kabinet Ali II, yang memerintah Maret 1956–Maret 1957. Dalam kabinet terakhir Demokrasi Liberal I ini, muncul upaya mencari format baru pemerintahan Indonesia yang tidak berciri Demokrasi Liberal melainkan berciri Demokrasi yang lebih Indonesia. Angkatan Darat, diwakili Nasution, mulai gelisah melihat gejala disintegrasi nasional dan mendesak Sukarno untuk menciptakan stabilitas politik. Akhirnya, tanggal 14 Maret 1957 Ali Sastroamidjojo resign dan mengembalikan mandat pemerintahan kepada Presiden Sukarno. Secara politis, pengaruh Sukarno menguat sejak saat itu ditambah lagi pihak angkatan bersenjata berdiri di belakang Sukarno dan siap mendukung konsep Sukarno untuk membangun Dewan Nasional.
Setelah proyek Demokrasi Liberal dianggap gagal oleh sejumlah kekuatan politik berpengaruh Indonesia diindikasikan Otoritarian Kontemporer I. Sekurangnya secara resmi pada Pebruari 1957 Presiden Sukarno melontarkan isu perlunya pelibatan unsur ekstraparlementer guna duduk di pemerintahan. Situasi negara saat itu cukup chaos di mana sentimen etnis, garis Jawa-Luar Jawa, faksionalisasi di tubuh militer, serta manuvermanuver gerakan massa yang menggunakan ideologi saling berbenturan di level horisontal. Kondisi ini pula yang memicu Kabinet Ali II terpaksa menyerahkan mandat kepada Sukarno pada Maret 1957. Sukarno kemudian mulai membangun basis politik baru ketika era kekuasaan partai-partai memudar yang disandarkan pada angkatan bersenjata (terutama angkatan darat) dan PKI untuk mengimbangi angkatan bersenjata.
Sukarno dan angkatan darat adalah dua sokoguru terpenting demokrasi terpimpin. Kelak, ketika dukungan dari Nasution dianggap menurun, Sukarno menggantinya dengan Ahmad Yani pada pertengahan 1962. Nasution dimutasikan ke dalam jabatan yang tidak memiliki kewenangan operasional pasukan tempur (menjadi Menhankam) sehingga Sukarno lebih leluasa mempraktekkan konsepsinya mengenai bagaimana seharusnya Indonesia dimanajemen. Era ini menandai berlakunya Otoritarianisme Kontemporer I dalam sistem politik Indonesia.
Mengenai Kediktatoran Militer, bahwa pada tanggal 1 Oktober 1965 terjadi upaya "penyelamatan negara" oleh Dewan Revolusi. Sebagai reaksi atas instabilitas politik negara yang muncul, Kediktatoran militer mengambil alih model sistem politik. Kediktatoran militer resmi berlaku sejak 11 Maret 1966 saat Sukarno menandatangani Surat Perintah yang memberi kewenangan besar kepada Mayor Jenderal Suharto untuk mengembalikan stabilitas dan keamanan nasional.
Pada hakikatnya, peralihan kekuasaan pasca Sukarno sepenuhnya dikendalikan sebuah junta militer dengan Suharto sebagai pusat strategi karena ia memegang mandat Supersemar dari Sukarno. Hampir tidak ada politisi sipil yang berpengaruh di dalam peralihan kekuasaan yang sangat cepat ini. Kendati demikian, Suharto tidak bisa sama sekali meninggalkan politisi sipil di mana pada 27 Maret 1966 kabinet baru tercipta dan mencerminkan triumverat Suharto – Adam Malik – Sultan Hamengkubuwono IX. Suharto tetap memperhatikan perimbangan politik di kalangan sipil dengan tidak membumihanguskan PNI melainkan sekadar membersihkan PNI dari anasir pro Sukarno dan PKI (Ricklefs, 2008: 571). PNI ini tetap diperlukan Suharto untuk mengimbangi potensi Islam politik yang baru memperoleh kemenangan pasca runtuhnya PKI.
Suharto menempatkan perwira-perwira militer di dalam posisi-posisi strategis. Strategi ini dinamakan praetorianisme yaitu tentara penjaga yang awalnya bertugas menjaga kaisar kini malah menumbangkan kaisar dan mengendalikan proses penunjukan penggantinya (Jenkins, 23). Hingga tahun 1971 ketika Pemilu pertama Orde Baru diadakan, prakondisi untuk melakukan autogolpe sudah dilakukan sepenuhnya oleh Suharto sehingga MPR yang nantinya terbentuk dipastikan sepenuhnya ada di bawah pengaruh Suharto.
Autogolpe ini dilakukan Suharto lewat dukungan yang ia bangun dan dikenal dengan nama kelompok inti dalam dan kelompok inti luar. Suharto mulai 1971 tidak lagi memerintah sebagai seorang militer melainkan seorang militer yang berjubah sipil. Suksesnya Pemilu 1971 menandai akhir dari Kediktatoran Militer untuk kemudian sistem politik Indonesia memasuki periode panjang Otoritarian Kontemporer II.
Sehubungan dengan model sistem politik Otoritarian Kontemporer II, yaitu berbeda dengan pendahulunya Sukarno, Suharto lebih rasional dalam merancang kebijakan. Suharto mengembangkan politik luar negeri yang low profile sehingga banyak memperoleh simpati dari negara-negara Barat. Pembangunan ekonomi yang menekankan pada pertumbuhan diserahkan Suharto pada para teknokrat sipil didikan Amerika Serikat (lulusan Universitas Berkeley) dengan tetap di bawah pengawasan "ring 1" jenderal pendukung Soeharto. Pembangunan ekonomi dilakukan secara gradual dan terprogram. Di masa Suharto pembangunan layanan kesehatan (puskesmas) dan sekolahsekolah Inpres (instruksi presiden) marak di hampir seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, pembangunan jalur-jalur transportasi seperti trans-sumatera, trans-sulawesi, ataupun trans-kalimantan giat dilakukan memungkinkan wilayah-wilayah yang awalnya terisolir menjadi terbuka.
Lembaga legislatif dan yudikatif sepenuhnya berada di bawah pengaruh eksekutif lewat penerbitan rangkaian undang-undang autogolpe seperti pemfusian partai-partai politik 1973 serta lima paket undang-undang politik yang mengatur bagaimana seharusnya organisasi berorientasi politik terbentuk dan bagaimana mereka harus selalu melakukan koordinasi dengan pemerintah. Selain itu, pimpinan lembaga yudikatif dan legislatif umumnya dijabat oleh orang-orang yang pernah menjadi kolega atau bawahan Suharto ketika aktif di dalam militer pra 1965.
Pusat pemerintahan di masa ini bukan lagi di Istana Merdeka melainkan di kediaman Suharto di jalan Cendana. Soeharto kini mulai terjebak dalam kultus kekuasaan pribadi raja serupa dengan pemimpin yang lebih dahulu tersingkir, Sukarno. Kendati banyak memiliki berbagai kemajuan di berbagai bidang, kekuasaan teknokratik berorientasi pembangunan Presiden Soeharto kandas di tahun 1998 akibat melemahkan kuda-kuda kekuasaan yang menopangnya selama ini.
Kemudian Demokrasi Liberal II mengentara sebagai model sistem politik Indonesia. Setelah Suharto berhenti sebagai presiden, Habibie (wakilnya) naik sebagai pejabat presiden dengan masa 512 hari. Habibie berbeda dengan Suharto karena memutuskan melepas katup demokratisasi Indonesia yang terhambat sejak awal 1990-an pasca runtuhnya komunisme. Transisi demokrasi segera dimulai dengan indikasi perizinan kebebasan berpendapat secara penuh, perizinan demonstrasi, pembebasan tahanan politik yang masih ada jika kasusnya tidak bertentangan dengan ketetapan MPR, termasuk upaya pemberian amnesti dan rehabilitasi atas mereka.
Selain itu, hal yang cukup signifikan adalah peninjauan atau pertimbangan guna mencabut undang-undang subversi tahun 1963 (Habibie, 2006: 117). Di bidang politik, prestasi tertingginya adalah keberhasilan menyelenggarakan Pemilu demokratis pertama pasca Orde Baru pada pada 5 Juni 1999 dan pengumuman hasilnya 7 Juni 1999 secara on schedule. Pemilu tersebut berlangsung terbuka dan damai kendati diikuti oleh 48 partai politik.
Pemilu 1999 merupakan preseden baik bagi penyelenggaraan pemilu-pemilu selanjutnya ketika Indonesia berada dalam sistem politik Demokrasi Liberal. Mengikuti contoh Pemilu 1999, setiap pemilu yang dilangsungkan sesudahnya (2004 dan 2009) berlangsung secara transparan dan mengikutsertakan wakil-wakil partai politik dan kelompok independen dalam mekanisme pemantauannya. Bahkan dalam pemilu 2004 dan 2009 dilakukan pemilihan presiden langsung oleh rakyat untuk memenuhi aturan konstitusi.
Kini
Masa kekinian sistem politik Indonesia paling jelas dapat diamati di masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu dari tahun 2004 hingga 2014. Selama kurang lebih 10 tahun sistem politik Indonesia memerlihatkan gejala yang cukup jelas mempraktekkan Demokrasi Liberal II. Masa-masa singkat pra Presiden Susilo yaitu masa Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri dapat disebut sebagai "pemantapan" menuju Demokrasi Liberal, dengan mana di akhir periode Presiden Megawati telah ditetapkan mekanisme pemilihan presiden secara langsung. Apabila mundur ke belakang, yaitu periode Presiden Habibie, pengondisian Demokrasi Liberal diawali dengan aneka amandemen peraturan perundang-undangan yang selama waktu itu disebut "a-demokratis."
Indikator-indikator penting Demokrasi Liberal di masa Presiden SBY seperti kebebasan pers, persaingan murni antar partai politik, pemilihan umum yang kompetitif, kebebasan berserikat dan berkumpul, responsivitas pemerintah dan DPR terhadap isu-isu masyarakat umum seperti penaik-turunan Bahan Bakar Minyak, penaik-turunan tarif listrik, sertifikasi guru dan dosen, penyelesaian kasus hukum melalui lembaga pengadilan, terbukanya kritik warganegara atas personal dan lembaga pemerintah melalui media massa, bahkan maraknya Bantuan Langsung Tunai (BLT) merupakan sedikit contoh dari benar-benar menggejalanya Demokrasi Liberal II di era Presiden Susilo.
Negara seperti bersemangat mengedepankan kepentingan warganegaranya. Di masa ini, praktis slogan-slogan seperti "Demokrasi Pancasila" maupun "ideologi negara" seakan tersamar. Kondisi bernegara larut di dalam semangat kebebasan berpendapat, berorganisasi, dan kritisasi atas berbagai kebijakan pemerintah. Di masa ini, indeks demokrasi Indonesia menurut sejumlah survei dinilai mengalami peningkatan dari masa-masa sebelumnya.
Salah satu indikator Demokrasi Liberal yang penting ada pada tataran parlemen. Di parlemen terjadi koalisi bebas-cair antar partai politik. Kendatipun pola koalisi yang dihasilkan Pemilu 2004 dan 2009 adalah mirip, tetapi setiap anggota koalisi seakan tetap memiliki kebebasan untuk menyatakan sikap pro maupun kontra atas kepemimpinan eksekutif yang mereka dukung. Hal ini tampak pada sikap-sikap politik yang diambil oleh Partai Keadilan Sejahtera, misalnya dalam kasus kenaikan Bahan Bakar Minyak maupun Partai Golkar dalam kasus Bank Century. Kendati pun berada di dalam koalisi pemerintah, kedua partai tersebut dapat menyatakan sikap kritis terhadap eksekutif sementara mereka tetap berada di dalam koalisi. Di sisi lain, Demokrat selaku partai mayoritas dalam eksekutif dan parlemen tidak memberlakukan langkah ekstrim terhadap sikap kedua partai tersebut.
Indikator lain dari Demokrasi Liberal II di masa Presiden Susilo adalah relatif kuatnya lembaga antikorupsi KPK. Presiden selaku pimpinan eksekutif relatif sering mengambil posisi di pihak KPK vis a vis perseorangan ataupun lembaga yang berseberangan dengan komisi antirasuah ini. Kasus BibitChandra di periode pertama Presiden Susilo memerlihatkan hal tersebut dengan mana Presiden dengan berani melakukan "intervensi" penghentian kriminalisasi atas keduanya. Intervensi tersebut dapat dipandang sebagai pemihakan pimpinan eksekutif terhadap kepentingan umum (warganegara) karena korupsi adalah perilaku yang dianggap sebagai common enemy.
Namun, model sistem politik Demokrasi Liberal II ini bukanlah tanpa masalah. Di dalam Demokrasi Liberal, proses tawar-menawar politik sangat mengentara. Tarik-ulur kebijakan antara legislatif dan eksekutif cukup alot dan menyita waktu, sehingga kerap halhal urgent yang perlu segera diimplementasi ke khalayak umum menjadi tersendat. Perdebatan yang terjadi antar pimpinan negara (ditambah kasus-kasus korupsi pejabat) yang "riuh-rendah" disiarkan, baik melalui media televisi maupun sosial, yang seperti tidak putus-putusnya, memunculkan persepsi di kalangan warganegara bahwa para pimpinan negara hanya asyik dengan kepentingan mereka sendiri.
Fenomena yang dikenal sebagai videomalaise ini mendorong apatisme publik terhadap kemampuan sistem politik mengakomodasi kepentingan realistis mereka. Perdebatan, negosiasi, dan sulitnya penetrasi kebijakan pemerintah kepada masyarakat umum mendorong kecenderungan munculnya distrust atas model sistem politik yang berlaku. Sulitnya negara berjalan maju secara linier ini erat kaitannya dengan suatu konsep yang disebut state-capacity.
Konsep state capacity disajikan oleh Claudiu Craciun dari National School of Political Studies and Public Administration Bukarest (Craciun, 2011: 1600-1). State capacity adalah kemampuan negara dalam hal memokuskan kemampuan yang ada pada dirinya untuk membuat dan mengimplementasikan aneka keputusan yang dibuatnya. State capacity terdiri atas dua dimensi yaitu dimensi konstitutif dan dimensi infrastruktur. Dimensi konstitutif adalah kemampuan negara moderen dalam memobilisasi individu, kelompok, dan lembaga-lembaga sosial dengan cara mengooptasi mereka (secara positif) agar masuk dan terlibat ke dalam aneka proses pemerintahan.
Dimensi infrastruktur adalah kemampuan negara untuk meluaskan jaringan kelembagaan, melakukan penetrasi dan pengendalian wilayah, serta mengorganisir hubungan antar lembaga masyarakat yang ada. Kedua dimensi state capacity tersebut mengentara di era-era sistem politik otoritarian Indonesia (baik Rezim Sukarno maupun Suharto) dan cenderung melemah di era-era Demokrasi Liberal I dan II.
Era Demokrasi Liberal II ditengarai mengalami sedikit pelemahan di dalam kedua dimensi. Dalam dimensi konstitutif, Negara dapat dikatakan berposisi "seimbang" (bila tidak dikatan relatif lebih lemah) manakala diperhadapkan pada masalah kelompok. Bentrok antarormas, bentrok antara aparat keamanan dan pertahanan di level terbawah, dualisme kepemimpinan di dalam organisasiorganisasi besar, ketidakkompakan di dalam kabinet, dapat dikatakan sebagai serangkaian indikator melemahnya dimenssi konstitutif ini. Pada sisi lain, rentannya pelanggaran batas wilayah, kekurangterjangkauannya proses pembangunan hingga sisi-sisi terluar wilayah negara, menguatnya posisi daerah manakala berhadapan dengan pemerintah pusat, sulitnya pemerintah pusat memenetrasikan kebijakannya ke tingkat daerah merupakan serangkaian kondisi yang menyatakan terjadinya pelemahan dimensi infrastruktur ini.
Sesungguhnya, di rezim Otoritarian Kontemporer I dan II pun, masalah pelemahan atas kedua dimensi ini relatif terjadi. Di era Presiden Sukarno sebagai misal, terjadi pergesekan antar kelompok yang sangat tajam antara elemen komunis versus antikomunis. Dengan tidak secara tegas menyatakan keberhasilan kepemimpinan politik pada saat itu, Sukarno memiliki suatu cara yang relatif efektif yaitu menggalang keterpaduan antarelemen masyarakat dengan kampanye Anti Nekolim, musuh bersama yang cenderung menjadi lawan dari kedua elemen masyarakat yang saling bertikai di internal negara.
Pada era Presiden Soeharto pun terjadi masalah yang serupa, yaitu dimensi infrastruktur yang cukup melemah di wilayah-wilayah terujung nusantara seperti Aceh dan Papua. Namun, akibat kepiawaian Presiden Soeharto menggunakan slogan ideologi Pancasila, termasuk memeroleh dukungan relatif bulat dari angkatan bersenjata waktu itu, pelemahan dimensi infrastruktur yang muncul tidak terlalu punya efek mendalam bagi keguncangan sistem politik.
Era Presiden Susilo, di samping menunjukkan aksentuasi Demokrasi Liberal II yang cukup mengentara, juga diiringi kecemasan melemahnya dimensi konstitutif dan infrastruktur. Kendati kekuasaan politik politik eksekutif relatif stabil, tetapi stabilitas tersebut terbangun melalui serangkaian politik akomodasionis yang cenderung lamban dalam hal menyacapai tujuan ataupun targettarget pemerintahan di suatu era. Kondisi seperti ini pula berlanjut ke era pasca Presiden Susilo. Era Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun menghadapi permasalahan dimensi konstitutif dan infrastruktur yang pelik.
Berbeda dengan Presiden Susilo yang mampu mengimbangi mayoritas parlemen dengan "memindahkan" mereka ke dalam kursi menteri, Presiden Jokowi mengalami asimetris kekuasaan. Koalisi pendukungnya di eksekutif tidak tercermin di dalam parlemen. Seperti mengulang pengalaman sebelumnya sebagai gubernur DKI Jakarta, Presiden Jokowi banyak menghabiskan energi guna menjalin komunikasi politik yang harmonis dengan parlemen. Terlebih lagi, birokrasi yang selama 10 tahun terbiasa bekerja sama dengan koalisi pemerintahan yang dibangun Partai Demokrat, tentu mengalami ”cultural lag" manakala harus bekerja sama dengan kemimpinan eksekutif baru yang praktis mayoritas diisi partai-partai politik baru. Potensi pelemahan dimensi konstitutif dan infrastruktur ini semakin besar di era Presiden Jokowi ketimbang Presiden Susilo.
Presiden Jokowi mengawali praktek pemerintahannya dengan melakuan treatment atas lemahnya dimensi infrastruktur. Ini ditunjukkan dengan programnya untuk membangun tol laut, pemberian dana desa, pembangunan rel kereta api dan jalan tol di luar pulau Jawa, tindakan tegas atas pelanggaran wilayah oleh orang asing (misalnya penenggelaman kapal pencuri ikan dan eksekusi warganegara asing dalam kasus narkoba). Presiden Jokowi tentunya telah memahami bahwa pembenahan kelemahan dalam dimensi konstitutif akan memakan waktu panjang karena asimetritas antara lembaga eksekutif dan legislatif. Presiden kemudian melangkah "memutar" dengan menggalang persatuan nasional dari aneka wilayah yang ada di Indonesia dan menegaskan posisi bangsa Indonesia di tengah globalisasi yang mengaburkan batas identitas manusia.
Dalam hal dimensi konstitutif, terdapat sejumlah langkah yang diambil dan sekali lagi seperti mengulang langkah-langkah akomodasionis yang dilakukan pemerintahan sebelumnya. Peristiwa terbelahnya partai politik seperti Partai Golkar dan PPP, dengan mana sebagian anasir partai "menempel" pada eksekutif dan sebagiannya pada legislatif, merupakan suatu langkah Presiden dalam mengurangi kelemahan dalam dimensi konstitutif. Wujud lainnya adalah dengan melakukan langkah-langkah akomodasi terhadap keterbelahan sikap di kalangan PAN, dengan mana Presiden menjalin hubungan baik dengan pimpinan MPR yang merupakan pimpinan PAN dan kemungkinan pelibatan PAN ke dalam struktur kuasa eksekutif.
Langkah lainnya adalah menempatkan salah satu tokoh organisasi massa Islam terbesar di Indonesia ke dalam jabatan Wantimpres dan menjalin hubungan dekat dengan salah satu tokoh pimpinan ormas Islam besar lainnya. Namun, langkah-langkah ini tidak juga mampu mengurangi dualitas eksekutif-legislatif. Untuk itu, terdapat sejumlah langkah yang dinilai mampu menaikkan posisi tawar eksekutif terhadap legislatif.
Presiden terkesan menjalin hubungan yang harmonis dengan unsur non politik tetapi sangat penting di Indonesia: tentara. Upaya tersebut salah satunya tampak dari penerimaan Presiden dalam hal rotasi jabatan di tubuh TNI, dengan mana jabatan panglima yang biasanya dijabat bergiliran kini tetap jatuh kepada salah satu matra. Dengan mengabaikan apakah keputusan tersebut datang atas inisiatif lembaga pertahanan ataupun eksekutif, tetapi secara jelas hal yang paling mungkin adalah menafsirkannya sebagai upaya Presiden menggalang dukungan dari kekuatan non politik tetapi sangat penting di Indonesia.
Selain itu, upaya penerbitan pasal anti penghinaan pejabat negara dapat saja dinilai sebagai upaya menjaga kewibawaan (yang tentu saja baik) di tengah maraknya upaya pembunuhan karakter kepemimpinan eksekutif oleh pihak-pihak yang merupakan lawan politiknya. Aparatur keamanan, sebagai institusi di bawah kekuasaan eksekutif pun, menampakkan upaya yang serupa yaitu berupa sosialisasi hate speech sebagai tindakan riskan yang berujung kepada pelanggaran peraturan hukum.
Terlepas dari upaya-upaya yang dilakukan Presiden Jokowi, secara umum tetap terlihat bahwa iklim Demokrasi Liberal II tetap diwarnai oleh relatif kuatnya lembaga parlemen ketimbang eksekutif negara. Lembaga parlemen yang mayoritas tidak terserap ke dalam struktur eksekutif memiliki poliarkinya sendiri, baik di dalam birokrasi, perusahaan, maupun organisasi massa di luar pemerintahan yang membuat eksekutif dan jajarannya kesulitan menjalankan programprogram pemerintahan apabila tidak memberi akomodasi kepentingan yang menyukupi.
Pada sisi lain, warganegara dapat saja memersepsi kondisi lemahnya dimensi konstitutif ini ke dalam tiga pendapat: Pertama, pimpinan eksekutif tidak mampu menjalankan perannya sebagai pelaksana undang-undang; Kedua, sulitnya pimpinan eksekutif bekerja sebagai akibat noise dari parlemen; Tiga, anggapan lemahnya kepemimpinan eksekutif akibat sistem politik Demokrasi Liberal yang dipraktekkan di Indonesia. Apabila anggapan pertama maupun kedua yang terjadi maka penyelesaian politis dan eksklusif dapat ditempuh. Namun, masalah tidak akan menjadi sederhana apabila masyarakat memersepsi permasalahan sebagai akibat salah anut sistem politik: Demokrasi Liberal dianggap sebagai penyebab lemahnya dimensi konstitutif dan infrastruktur negara.
Beberapa Kemungkinan di Masa Datang
Tibalah saatnya kini mengambil sari dari paparan sistem politik Indonesia dahulu dan kini. Telah terkuak sebelumnya bahwa sistem politik Indonesia berubah-ubah modelnya dari waktu ke waktu. Kadang terdapat proses yang siklis, dengan mana Demokrasi Liberal I berganti Rezim Otoritarian Kontemporer I, sedikit transisi dalam fase singkat Kediktatoran militer, lalu berubah menjadi Rezim Otoritarian Kontemporer II, untuk kemudia kembali berubah menjadi Demokrasi Liberal II. Di era Demokrasi Liberal II di samping terdapat peluang-peluang positif seperti meluasnya partisipasi politik warganegara, tetapi di sisi lain menggejala pelemahan state capacity, khususnya di dalam dimensi konstitutif dan dimensi infrastruktur.
Puncak dari mapannya Demokrasi Liberal II adalah pada fase pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di mana nilai kehidupan demokrasi Indonesia mampu menjadi panutan negara-negara lain, khususnya sebuah independent body yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan dianggap sebagai superbody. Di masa SBY, KPK seolah begitu leluasa mendeteksi lalu melakukan penuntutan atas aneka pejabat yang terlibat kasus korupsi.
Namun, pada era Presiden Susilo pula, mulai muncul benih-benih ketidakpuasan terhadap kehadiran negara di ruang-ruang publik. Negara dipersepsi sebagai terasing dan kurang hadir di tengah permasalahan publik. Sejumlah hal di antaranya adalah merebaknya oraganisasi-organisasi sipil yang seolah hadir hampir tanpa kendali negara (atau kemungkinan dimanfaatkan negara) untuk bersaing secara koersif maupun persuasif baik dengan lembaga otoritatif maupun organisasi civil society lainnya. Tentu saja, persepsi ini bukan menyeluruh hadir dibenak publik melainkan sebagiannya. Namun, apabila negara semakin "menjauh" dari ruang publik, posisi sistem politik yang tengah berlaku akan dipertanyakan.
Kasus Pemilihan Presiden tahun 2014 yang lalu dapat sedikit dijadikan potret. Dua kandidat yang bertarung tentu dianggap mewakili wacana-wacana publik. Kandidat Prabowo Subianto memiliki pendukung yang sedemikian luas, yang diantaranya adalah segmen masyarakat yang "merindukan" kembalinya sosok pemimpin yang tegas sehingga mampu mengendalikan negara ke dalam satu "rel" yang sama. Sosok lainnya, kandidat Joko Widodo, mewakili aliran politik sebagian luar Jawa dan massa rakyat kebanyakan yang selama ini merasa terasing dari negara.
Terpilihnya Presiden Jokowi bukannya sebuah kemenangan yang bulat. Terdapat sekitar 48% rakyat yang ternyata tidak memilihnya sebagai presiden. Mereka ini sebagiannya, selain pendukung rezim sebelumnya, juga merupakan individu yang mencari kehadiran negara di tengah iklim ketidakpastian ekonomi liberal yang dibawakan oleh arus globalisasi. Jumlahnya tentu saja akan semakin meningkat mengingat proses pelemahan dimensi konstitutif dan dimensi infrastruktur dari state capacity terus menggejala.
Apabila melihat contoh Thailand, maka dapat dikatakan demokrasi moderen bukanlah suatu jaminan intervensi kekuatan non politik akan mengambil-alih kendali negara. Kudeta-kudeta militer kerap terjadi di Thailand, kendati untuk kemudian, pihak militer menyerahkan kembali kekuasaan kepada pimpinan politik sipil apabila mereka nilai kondisi negara sudah stabil untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum. Juga, apabila menengok ke sekeliling, negara-negara di kawasan ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, Myanmar, ataupun Brunei Darussalaam, bukanlah sebuah negara demokrasi yang liberal sifatnya. Kondisi ini merupakan suatu ujian tersendiri bagi publik Indonesia di dalam menilai posisi sistem politiknya: Ternyata, negara-negara tersebut, kendati bukan demokrasi penuh, mobilisasi pembangunan ekonominya berjalan maju, dan terkadang bahkan lebih baik dari Indonesia.
Sama seperti SBY, Jokowi berhasil memperpanjang periode pemerintahannya setelah memenangkan Pilpres 2019. Dalam periode pertama, Jokowi seolah mampu membaca bahwa fenomena jumlah partai parlemen yang cukup besar sebagai alasan utama tidak koherennya eksekusi kebijakan pemerintah. Fenomena pecahnya konflik internal sejumlah partai politik seperti PPP, PAN, dan hingga derajat tertentu Golkar, merupakan indikasi eksekutif mampu memanfaatkan situasi guna menggiring tersusunnya konfigurasi pimpinan parpol yang bisa sejalan dengan pemerintah. Hal seperti ini pun berlanjut di periode kedua, dan hampir terangterangan, menimpa partai Demokrat. Kendati masalah utama bukan pada siapa yang menguasai kursi pimpinan partai, melainkan bagaimana partai politik mampu untuk “digiring” mencapai semacam anonimitas di dalam parlemen.
Kunci yang dihadapi eksekutif di negara manapun agar dominan dalam politik nasional, adalah membuat pihak militer bisa bersetuju dengan mereka, atau paling tidak bukan sebagai kompetitor kekuatan politik. Pilihan seperti ini sudah tampak sejak periode Jokowi pertama, di mana eksekutif cukup berusaha serius untuk menggandeng kelompok militer dan diserap ke dalam kekuasaan. Di periode kedua bahkan ini ditambah dengan masuknya dua tokoh pesaing pilpres semisal Prabowo dan Sandiaga Uno ke dalam kursi menteri. Tentu apabila bermain di amandemen konstitusi dan melakukan autogolpe seperti masa Soeharto, Jokowi tidak akan sanggup.
Namun, Jokowi tidak bermain secara zero sum, melainkan cukup apabila parlemen tidak terlampau agresif terhadap program-program pemerintah, hal tersebut dianggap sufficient. Problem terlalu dominannya parlemen hingga masa SBY kini cukup berhasil diraih kesetimbangannya dalam periode Jokowi kedua. Bahkan apabila hal tersebut hendak dilanjutkan hingga “soft-autogolpe” jalurjalur politik sesungguhnya telah ada. Dengan satu catatan yang tidak bisa ditawar, tidak boleh sekalipun eksekutif meninggalkan militer dalam upaya mencari kohesi politik. Hal tersebut memang tidak, misalnya tampak dalam penanganan wabah, ketua BNPB diduduki oleh seorang militer aktif. Dana penanggulangan wabah ini pun tidak mainmain, yaitu lebih dari 680 trilyun rupiah. Konsesi yang diberikan eksekutif ini dari satu sisi dapat dipandang sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah untuk mengatasi kesulitan masyarakat, tetapi pada sisi lain dapat dipandang sebagai upaya menciptakan “langkah seiring-seirama” antara eksekutif dan kelompok militer.
Menilik ke dalam Indonesia sendiri, seperti telah disebutkan sebelumnya, Rezim Otoritarian Kontemporer mengambil masa kuasa yang lebih panjang. Apabila era Presiden Ir. Sukarno dan Presiden Soeharto dijumlahkan, masa secara kuantitatif rezim jenis ini hampir 40 tahun menggejala di Indonesia. Kedua masa pemerintahan mereka tentunya mengambil kesan tersendiri di tengah masyarakat, terutama mereka yang pernah mengalami sejumlah kelebihan masa-masa tersebut.
Tentu saja, pimpinan dari kedua masa tersebut (Ir. Sukarno dan Soeharto) sama sekali tidakmemaksudnya eksekutif yang dipimpinnya dimodelkan sebagai Otoritarian. Keduanya hanya menyoba mendrive bangsa ini agar berjalan menuju tujuan yang dicita-citakan para pendiri bangsa. Keduanya beranggapan bahwa persengketaan politik di antara para elit adalah hal krusial yang perlu diredam, agar perhatian negara tidak mengalami distorsi akibat ular segelintir orang.
Baik Presiden Ir. Sukarno maupun Presiden Soeharto tidak pernah mengangkat diri mereka sebagai pemimpin Otoritarian. Taktik yang mereka lakukan adalah autogolpe (Dietz, 2011: 107). Autogolpe sendiri adalah kondisi saat presiden (atau perdana menteri) yang tengah menjabat menambah kekuasaannya, kerap dengan dukungan militer, untuk kemudian melakukan subordinasi atas kewenangan legislatif serta cabang-cabang pemerintahan agar dapat memerintah tanpa adanya oposisi.
Berbeda dengan kudeta, autogolpe tidak bertujuan menggulingkan kekuasaan politik yang sah melainkan hanya mengurangi kewenangan ataupun kekuasaan yang dimiliki sehingga salah satu badan pemerintahan (biasanya eksekutif) mampun menjalankan program-program politiknya secara leluasa. Pimpinan politik yang melakukan autogolpe ini tidak pernah berdiri sendiri: Umumnya mereka membutuhkan sokongan kekuatan dari angkatan bersenjata untuk mendukung posisi politiknya. Pihak angkatan bersenjata pun tidak dengan mudah memberikan dukungan tanpa memerhatikan kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan.
Pada 5 Juli 1959, Presiden Ir. Sukarno mengeluarkan Dekrit dengan dukungan Angkatan Darat guna menghentikan polemik konstitusi di parlemen. Polemik tersebut membuat suasana politik di Indonesia menjadi simpangsiur dan kekuatan-kekuatan politik asing mengambil kesempatan di dalam kesempitan dengan mendukung pemberontakan yang terjadi (misal: PRRI/Permesta 1958). Sejaktanggal tersebut, Presiden Ir. Sukarno tampil ke panggung sebagai ---seolah--eksekutif tunggal negara, yang tidak memerlukan parlemen lagi di dalam kebijakan-kebijakannya. Hal serupa (kendati tidak identik) terulang kembali di era Orde Baru, dengan mana sedikit demi sedikit, Presiden Soeharto (dengan dukungan angkatan bersenjata), mengurangi peran-peran politik badan kekuasaan lainnya yaitu parlemen. Di masa Presiden Soeharto, Indonesia mengalami masa perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang terstruktur dan sistemati yang dikenal sebagai Pelita (Pembangunan Lima Tahun).
Kini, apabila kita menolehkan penglihatan ke jalan-jalan raya, pertokoan pinggir jalan, dan lokasi-lokasi publik lain, selain foto Ir. Sukarno, foto mantan Presiden Soeharto pun telah banyak bertebaran ditambah dengan kalimat: Piye tho, isih luwih penak jamanku tho! Ungkapan-ungkapan publik semacam ini tidak boleh semata-mata ditaksir sebagai buah tangan para pendukung Presiden Soeharto. Ungkapan semacam ini menemui kebenarannya apabila yang dikehendaki publik bukanlah Presiden Soeharto kembali memerintah melainkan situasi politik, ekonomi, dan sosial di masa Orde Baru kembali mewujud di nusantara seperti masa-masa sebelumnya (Basri, 2016: 53-64).
Apabila ekses Demokrasi Liberal II tidak segera dibenahi oleh para pimpinan politik tingkat tinggi, dan ekses tersebut semakin lama semakin dinilai publik menyusahkan kehidupan mereka, maka publik tidak akan menawar dua kali apabila Otoritarianisme politik kembali hadir di dalam sistem politik. Sejumlah argumentasi dapat saja dihadirkan untuk mengkritik model sistem politik Otoritarian ini. Namun, tentu juga sebaliknya, dapat saja argumentasi yang cenderung membelanya dapat dihadirkan. Kerap sekali, Otoritarianisme hadir ke tengah sistem politik manakala publik merasa bahwa demokrasi tidak membawa kemajuan bagi dirinya.
Magstadt menghadirkan serangkaian mitos yang sepenuhnya tidak benar manakala memersepsi model politik Otoritarian (Magstadt, 2013: 104-9). Ia mengidentifikasi enam mitos yang melanda model politik ini. Pertama, yang menyatakan bahwa rezim Otoritarian adalah kecelakaan sejarah. Buktinya, sejarah membuktikan bahwa model politik Otoritarian adalah model politik yang paling punya sejarah penggunaan panjang, termasuk di Indonesia, ia mengambil jangka waktu hampir 40 tahun dari masa kemerdekaan yang sudah memasuki 75 tahun. Kedua, yang menyatakan bahwa pemimpin rezim Otoritarian selalu bersifat tirani. Kendati sebagiannya memang ada, tetapi ada pula yang justru menyatakan sebaliknya. Ir. Sukarno dan Soeharto tidak kekurangan pengagumnya hingga kini di Indonesia, Mahathir Mohammad dan Lee Kuan Yeuw pun memiliki pendukung yang kuat hingga saat ini, Gamal Abdel Nasser dan Moammar Gadaffi di jazirah Afrika Utara bahkan dianggap pahlawan oleh para pendukung di negara masing-masing.
Ketiga, yang menyatakan bahwa pimpinan sistem politik Otoritarian tidak bersifat legitimate. Mengenai hal ini, bagaimana seorang Fidel Castro, Hugo Chaves, Ir. Sukarno maupun Soeharto tidak legitimate di mata bangsanya masing-masing (kecuali tentu saja bagi para penentangnya). Hal ini berkaitan dengan yang keempat, yang menyatakan bahwa pimpinan sistem politik Otoritarian tidak populer di mata rakyatnya. Kelima, yang menyatakan bahwa sistem politik Otoritarian tidak memiliki kualitas-kualitas program kerja yang baik. Kemajuan ekonomi Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam, bahkan Cina diantara paling banyak dicapai ketika rezim politik Otoritarian mengambil peranan. Terakhir yang keenam, yang menyatakan bahwa rezim politik Otoritarian adalah model sistem politik yang terburuk. Pernyataan ini dapat saja menjadi dasar apabila pemerintahan terjerumus menjadi tirani. Namun, demokrasi liberal pun memiliki kesempatan untuk menjadi yang terburuk manakala mobokrasi dan bukan demokrasi yang menjadi budaya kekuasaan.
Penutup
Sebagai penutup, artikel ini hanya hendak melakukan refleksi atas keberadaan sistem politik sejak awal kemerdekaan, kini, dan bagaimana di masa mendatang. Model demokrasi yang menggejala saat ini (Demokrasi Liberal II) bukanlah tanpa kompetitor. Secara historis, Indonesia tidaklah asing dengan model sistem politik lain semisal Kediktatoran Militer maupun Otoritarian, kendati yang terakhir tentu lebih dipreferensi ketimbang pertama. Problem bangsa ini bukan terletak pada pilihan model sistem politiknya melainkan pada apakah pilihan model sistem politik yang dipilih mampu menjamin state capacity yang diperlukan agar bangsa dan negara ini dapat terus melangsungkan kehidupannya.
Penulis tidak berpretensi menentukan mana sistem politik yang terbaik ataupun paling cocok di Indonesia. Konstititusi telah menggariskan bahwa demokrasi adalah sistem politik yang dianut. Namun, pilihan atas anutan sistem politik tersebut memerlukan upaya keras untuk menjalankan pasal-pasal di dalam konstitusi lainnya, terutama Pasal 33 dan Mukadimah Undang-undang Dasar 1945. Publik terus menilai bagaimana pilihan sistem politik memengaruhi perilaku elit kekuasaan dan apabila perilaku tersebut ternyata berseberangan dengan kepentingan mereka, suatu peninjauan ulang atas pilihan sistem politik bukan sesuatu yang mustahil dapat terjadi di masa mendatang.
Referensi
Basri, Seta. “Retorika Publik Ingin Kembali ke Masa Soeharto : Epistemologi dari Sudut Pandang State Capacity dalam Administrasi Negara”. Jurnal Ilmu Administrasi JIA Sandikta. Vol. II. No. 2. April 2016. Pp. 53-64.
Craciun, Claudiu. "State Capacity" dalam George Thomas Kurian (eds.). Encyclopedia of Political Science. Washington: CQ Press, 2011.
Dickerson, Mark O.; Thomas Flanagan; Brenda O’Neill. An Introduction to Government and Politics: A Conceptual Approach. Toronto: Nelson Education, Ltd., 2010.
Dietz, Henry A. “Autogolpe” dalam George Thomas Kurian, eds. The Encyclopedia of Political Science. Washington: CQ Press, 2011.
Feith, Herbert Feith. The Decline of Constitutional Democracy. Singapore: Equinox Publishing (Asia) Pte Ltd, 2007.
Habibie, B.J. Detik-detik yang Menentukan. Jakarta: THC Mandiri, 2006.
Hawkesworth, Mary; Maurice Kogan. Encyclopedia of Government and Politics. London: Routledge, 1992.
Holmes, Leslie. "Communist and PostCommunist Systems" dalam Mary Hawkesworth and Maurice Kogan. Encyclopedia of Government and Politics. London: Routledge, 1992. pp. 215-28.
Jenkins, David. Soeharto dan Barisan Jenderal Orde Baru. Depok: Komunitas Bambu, 2010.
Kahin, George McTurnan. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Cetakan 2. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Magstadt, Thomas M. Understanding Politics: Ideas, Institutions, Issues. Belmont: Wadsworth, 2013.
Malloy, James. "Contemporary Authoritarian Regimes", dalam Mary Hawkesworthand Maurice Kogan. Encyclopedia of Government and Politics. London: Routledge, 1992. pp. 229-46.
Maniruzzaman, Talukder. "Military Dictatorships", dalam Mary Hawkesworth and Maurice Kogan. Encyclopedia of Government and Politics. London: Routledge, 1992. pp. 247-63.
Powell, G. Bingham. "Liberal Democracies" dalam Mary Hawkesworth and Maurice Kogan. Encyclopedia of Government and Politics. London: Routledge, 1992. pp. 195-214.
Ricklefs, M.C. Ricklefs. Sejarah Nasional Indonesia Modern 1200 – 2004. Jakarta: Serambi, 2008.
Wiseman, Herbert Victor. Political Systems: Some Sociological Approaches. London: Routledge and Kegan Paul Limited, 1967.
0 Komentar
Anonim pun dapat berkomentar. Namun, tentu saja dengan akun pun sangat dipersilakan. Jika sudah klik Publikasikan. Juga pemirsa boleh bersoal/sharing tanggapan. Komentar pemirsa tentu tidak berisi kata atau link yang merujuk pada p*rn*grafi, jud*, *ogel, kekerasan, atau sejenisnya. Terima kasih.