Ad Code

Dampak Banyaknya Parpol di Indonesia

Indonesia masih belum konsisten dalam anutan substantif sistem pemerintahannya apakah parlementarian atau presidensil. Perumusan masalah artikel ini ada tiga. 

Pertama, pasca Orde Baru yaitu sejak 1998 hingga tahun 2020 ini jumlah parpol tetap relatif banyak, yaitu antara 9 hingga 10 parpol di parlemen, kendati ambang batas parlemen telah dinaikkan dari 3,5 menjadi 4 persen. Kedua, berlakunya multipartai ekstrem ternyata telah memiliki dampak tertentu bagi efektivitas sistem presidensial. Ketiga, harus ada solusi yang bisa ditawarkan ke depan sehubungan dengan efektivitas sistem presidensial dikaitkan dengan jumlah parpol di dalam parlemen.


Gambar Diambil dari 
https://wonderopolis.org/wonder/why-are-there-political-parties

Teori yang digunakan adalah Herbert Feith dan Lance Castles mengenai aliran politik di Indonesia serta Charles M. Mack tentang dealignment dan realignment partai politik. Hasil penelitian ada tiga. Pertama, jumlah partai politik yang selalu besar secara kuantitas pasca transisi politik 1998 merupakan akibat dari masih berlakunya politik aliran di Indonesia kendati sudah tidak seekstrem era 1950-an dan 1960-an. Kedua, terkait dengan efektivitas sistem presidensial maka sistem kepartaian multipartai Ekstrem yaitu 10 (sepuluh) partai politik kurang kondusif karena terlampau banyaknya kepentingan elit di koalisi pemerintahan. Ketiga, mengenai solusi yang ditawarkan untuk memodereasi multipartai Ekstrem di Indonesia menjadi multipartai yang sekurangnya moderat adalah dengan merekayasa undang-undang yang mengatur tentang partai politik.

Rancunya Indonesia antara Presidensial dan Parlementer

Persoalan sistem pemerintahan, apakah presidensial atau parlementarian terus berproses di Indonesia. Efektivitas sistem pemerintahan ini erat berkait dengan sistem kepartaian yang berlaku di Indonesia. Secara epistemologis, sistem presidensial cocok untuk ditopang dengan sistem kepartaian “sedikit” partai, apakah itu satu partai ataupun dua partai. Sementara bagi negara dengan sistem kepartaian multipartai lebih cocok diakomodasi dengan sistem parlementer.

Begitu selesai memproklamasikan kemerdekaannya Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementer. Perdana Menteri diangkat oleh presiden dan membentuk kabinet berdasarkan konfigurasi kekuatan partai politik saat itu. Hingga 1955, kabinet dibentuk oleh perdana menteri bukan berdasarkan Pemilu melainkan “musyawarah” di level elit. 

Setelah Pemilu 1955 terbentuklah kabinet di sistem parlementer berdasarkan konfigurasi perolehan suara. Namun, ini tidak bertahan lama karena sejak 1957 kabinet parlementarian terakhir (Ali Sastroamidjojo) dibekukan dan mengembalikan mandat kepada presiden. Masuklah Indonesia ke dalam Demokrasi Terpimpin di mana kendati ada perwakilan partai politik, tetapi gagasan utama saat itu adalah perwakilan golongan fungsional sesuai konsep negara integralistik.

Partai politik tersubordinasi oleh kekuasaan eksekutif di mana saat itu Sukarno selaku presiden menerapkan soft authoritarian dengan dukungan Angkatan Darat (Jenderal Nasution). Partai politik hanya menjadi salah satu cabang dari golongan fungsional yang ada di tengah masyarakat seperti petani, buruh, wakil daerah, pengusaha, keagamaan, dan aneka kelompok okupasi lain. 

Pola yang diberlakukan Sukarno ini kemudian diselenggarakan dengan cara yang relatif lebih ketat manakala Soeharto menjadi presiden. Partai politik tidak bisa berjumlah banyak melainkan difusikan menjadi dua partai (PPP dan PDI) serta golongan fungsional (Golkar). Golkar saat Orde Baru tidak disebut sebagai partai politik melainkan golongan fungsional itu (Reeves, 2013).

Di era Orde Baru, Indonesia menerapkan sistem presidensial secara ketat. Pemerintah saat itu membatasi partai hanya ada dua, dengan Golkar sebagai mesin pengumpul suara di setiap Pemilu yang memastikan eksekutif bisa menjalankan program-program kerjanya. Partai politik benar-benar tidak bisa berkutik selama Orde Baru karena tersubordinasi oleh kekuasaan eksekutif. Pada satu sisi sistem politik mengalami stabilitas tetapi di sisi lain partai politik terbatasi kesempatannya untuk memobilisasi kepentingan konstituen mereka.

Kondisi ini berubah secara drastis pasca transisi politik 1998. Segera muncul puluhan partai politik di pemilu 1999 dan bertolak belakang dengan masa Orde Baru, menyulitkan kinerja eksekutif. Eksekutif kini mengalami posisi terbalik yaitu tersubordinasi oleh parlemen yang dikuasai partai-partai politik. 

Subordinasi ini didasarkan pada kenyataan bahwa sistem presidensial tetap diberlakukan tetapi eksekutif mengalami kesulitan dalam melakukan eksekusi atas programprogram kerja yang telah ditetapkan karena kini bergantung pada persetujuan parlemen yang sangat multipartai (multipartai Ekstrem). Hal mengenai kompatibilitas sistem presidensial dengan multipartai Ekstrem inilah yang akan dikaji di dalam artikel ini.

Dengan demikian terdapat sejumlah persoalan di Indonesia terkait dengan multipartai ekstrem yang berlaku dan kaitannya dengan sistem presidensial Indonesia. Persoalan yang diidentifikasi di sini ada tiga. 

Pertama, pasca Orde Baru yaitu sejak 1998 hingga tahun 2020 ini jumlah parpol tetap relatif banyak, yaitu antara 9 hingga 10 parpol di parlemen, kendati ambang batas parlemen telah dinaikkan dari 3,5 menjadi 4 persen. Kedua, berlakunya multipartai ekstrem ternyata telah memiliki dampak tertentu bagi efektivitas sistem presidensial. Ketiga, harus ada solusi yang bisa ditawarkan ke depan sehubungan dengan efektivitas sistem presidensial dikaitkan dengan jumlah parpol di dalam parlemen.

Untuk perumusan masalah yang pertama, bahwa sesuai konstitusinya Indonesia tetap menekankan diberlakukannya sistem presidensial dalam arti bahwa presiden menteri-menteri diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden. Namun, pada kenyataannya presiden tidak bisa secara prerogatif penuh mengangkat para menteri sebab menteri harus diangkatnya pula dari partai politik yang menjadi anggota koalisinya. Ini mengingat partai politik yang menjadi “kandang” presiden tidak memiliki suara mayoritas signifikan dalam pemilu dan demikian pula konfigurasinya di parlemen.

Presiden sebab itu harus mengakomodasi partai politik anggota koalisinya dengan mengangkat elit partai politik tersebut untuk jabatan menteri. Ini tentu tidak khas pada sistem presidensial melainkan parlementarian. Apabila pun presiden “nekad” untuk melampaui garis akomodasionis atas partai politik maka ia akan menghadapi perpecahan suara dukungan di parlemen dan ini tentu saja akan menghambat program kerja maupun laporan-laporan pertanggungjawabannya kepada parlemen.

Kondisi pada perumusan masalah pertama mengakibatkan yang kedua, yaitu bahwa multipartai Ekstrem membuat kinerja sistem pemerintahan presidensial terhambat. Secara ideal sistem presidensial menghendaki leluasanya presiden mengangkat menterimenteri yang loyalitasnya adalah kepada dirinya, bukan partai politik lain. 

Namun, akibat multipartai Ekstrem tidak ada satu partai politik pun yang mayoritas di parlemen terkecuali apabila berkoalisi dengan partaipartai politik lain. Koalisi partai politik ini tentu saja rentang masuknya kepentingan lain yang tidak selaras dengan program kerja presiden selaku kepala eksekutif. Potensi gangguan kebijakan di tengah jalan sangat terbuka dengan multipartai Ekstrem ini.

Presiden di Indonesia sejak 1998 memilih cara aman yaitu dengan memoderasi pelaksanaan program kerja demi stabilitas koalisi yang memungkinkan dirinya untuk terus berkuasa. Moderasi program kerja ini tentu saja dinyatakan sebagai inefektivitas sistem presidensial karena berkenaan dengan tidak maksimalnya pencapaian target-target kebijakan yang direncanakan sebelumnya, bahkan akan terdistorsi dengan kepentingan dari para elit dan pemodal yang ada di belakang para partai politik yang menjadi anggota koalisi partai eksekutif.

Hal ketiga yang akan dibedah oleh artikel ini adalah solusi yang ditawarkan untuk menyikapi multipartai Ekstrem yang menggejala di Indonesia. Ini dengan asumsi bahwa konstitusi Indonesia belum lagi berubah yaitu menyatakan bahwa menterimenteri diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden, bukan parlemen. Solusi ini difokuskan untuk menciptakan kondisi dengan mana partai-partai politik bisa dikurangi kuantitasnya tetapi pada sisi lain meningkatkan kualitas dari partai politik yang tersisa.

Partai-partai politik tentu saja tidak akan secara sukarela membubarkan diri atau seperti di era Orde Baru difusikan oleh eksekutif karena kini posisi presiden sudah tidak sekuat dahulu. Hal yang hendak disampaikan adalah bahwa dalam alam demokrasi maka aturan main itulah yang pokok, bukan personalitas seseorang atau kuat-lemahnya suatu lembaga. Aturan main ini (misalnya undang-undang) tentu dibuat secara rasional untuk kemaslahatan bersama.

Sedikit Tinjauan Teori

Artikel ini akan menggunakan acuan pikir dari Herbert Feith dan Lance Castles mengenai ideologi-ideologi politik di Indonesia (Feith and Castles, 1970: 14). Acuan pikir ini digunakan dalam menganalisis bifurkasi partai politik di Indonesia sejak awal kemerdekaan dan masih bertahan hingga saat ini kendati dengan sejumlah modifikasi. Dari pendapat keduanya akan dibuktikan bahwa cukup sulit untuk membatasi jumlah partai politik di Indonesia apabila dibiarkan dalam kondisi alamiah (by nature).

Selain itu, artikel ini akan menggunakan teori dealignment dan realignment partai politik dari Charles M. Mack (Mack, 2010: 8). Teori ini digunakan untuk melihat fenomena partai politik di Indonesia yaitu sifatnya cukup pragmatis karena yang terjadi dalam kedua proses tersebut (realignment dan disalignment) sesungguhnya hanya peralihan core-based voter (selanjutnya disingkat CBV), medial voter (selanjutnya disingkat MV), dan peripheral base voter (selanjutnya disingkat PBV) akibat semakin pragmatisnya partai politik di Indonesia. Partai politik di Indonesia hanya banyak di kuantitasnya saja tetapi pada level ideologis dan program sesungguhnya relatif homogen.

Mengapa Jumlah Parpol Tetap Banyak

Dalam sistem demokratis (yang liberal) di Indonesia saat ini ada empat elemen pokok yang jadi pendukung yaitu sistem pemerintahan, sistem perwakilan, sistem pemilihan umum, dan sistem kepartaian (Haris, 2014: 5). Sistem demokratis, menurut Haris, hanya akan terjamin apabila keempat elemen pokok sistem politik seperti sudah disebutkan sifatnya koheren, konsisten, dan terkait satu sama lain (Haris, 2014: 5). Terkait dengan banyaknya jumlah parpol di parlemen Indonesia, maka elemen pendukung sistem demokrasi yang tidak konsisten adalah sistem pemerintahan dan sistem kepartaian.

Parpol mencerminkan bifurkasi di dalam masyarakat. Semakin terbelah suatu masyarakat, semakin parpol cenderung membesar jumlahnya. Namun, pembelahan ini bukan lantas menjadi pembenaran jumlah parpol untuk terus-menerus “besar secara ekstrem” baik di eksekutif maupun parlemen. Sebab, tugas parpol adalah menyusun pemerintahan, dan suatu pemerintahan yang baik itu harus efektif dalam mengeksekusi aneka program kerjanya.

Semakin besar jumlah parpol yang menyusun koalisi eksekutif, makin tidak efektif suatu eksekutif pemerintahan akibat pertentangan kepentingan di dalam tubuhnya. Sehingga dalam kasus Indonesia, persoalan besar jumlah parpol ini bisa harus dianalisis berdasarkan alasan kemunculan “banyaknya” parpol tersebut di parlemen (dan eksekutif). 

Apakah benar parpol terus-menerus besar jumlahnya akibat bifurkasi (pembelahan) alamiah di dalam masyarakat Indonesia, khususnya akibat sentimen ideologis atau aliran politik para konstituen level grass-root? Ataukah besarnya jumlah parpol lebih dipicu oleh vestedinterest elit parpol, yang akibat egoisme mereka, tetap memaksakan dirinya untuk direpresentasikan ke dalam parpol spesifik agar terdapatnya assurance atas kepentingan “egoistik” mereka? Dua masalah ini akan artikel ini bahas terlebih dahulu baru kemudian kembali kepada pertanyaan pokok.

Analisis historis eksistensi parpol di Indonesia lebih mudah diperoleh rujukannya dari hasil Pemilu 1955. Pemilu yang tersebut sarat dengan pertentangan ideologis, dan sebab itu diasumsikan sebagai potret umum dan standar dalam mendeskripsikan bifurkasi masyarakat Indonesia. 

Melalui Pemilu pertama tersebut, parpol yang menjadi kontestan sekurangnya adalah persilangan antara Islam (santri-tradisional dan santrimoderen), sosialisme-demokratis, nasionalisme radikal, komunisme, tradisionalisme, dan Jawanisme (Feith and Castles, 1970: 14). Dalam Pemilu 1955, lebih dari 28 parpol ikut Pemilu dengan dasar UU Nomor 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, jadi pemilunya sendiri bertujuan bikameral (konstituante dan DPR).

Hasil Pemilu menggambarkan hadir empat parpol papan atas dengan garis ideologis kontras satu sama lain. Keempat parpol ini tidak lepas dari apa yang pada tahun 1970 disebut oleh Feith and Castle sebagai aliran politik Indonesia. Rekapitulasi hasil Pemilu adalah PNI sebagai representasi aliran nasionalis-priyayi-abangan dengan 22,32% suara dan 57 kursi parlemen; Masyumi sebagai representasi Islam modernis-santri Muhammadiyah, kuat di luar Jawa dengan sedikit percampuran egalitarianisme Sosial Demokrasi dengan 20,92% suara dan 57 kursi parlemen; NU sebagai representasi Islam santri-tradisional-pedesaan-Nahdlatul Ulama yang kuat di Jawa dengan 18,41% suara dan 45 kursi parlemen; dan PKI sebagai representasi aliran komunis-abangan yang kuat di Jawa dengan 16,36% suara dan 39 kursi parlemen (kpu-jakartatimurkota.go.id). Inilah bifurkasi paling kontras di tengah masyarakat Indonesia kala itu, sekaligus prototipe bifurkasi parpol di Indonesia. Keempat partai memiliki ideologi dan basis massa jelas, kontras satu sama lain.

Keempat partai (PNI, Masyumi, NU, dan PKI) secara kumulatif menguasai 198 kursi parlemen dari total 257 atau 77,04% suara parlemen. Selain keempat partai besar itu, terdapat parpol-parpol lain dengan suara di bawah 5% yaitu --yang cukup signifikan --adalah PSII dengan 2,89% dan 8 kursi, Parkindo dengan 2,66% dan 8 kursi, dan Partai Katolik dengan 2,04% dan 6 kursi. Namun, secara persentase suara mereka setara atau di bawah 2,89 persen, masih jauh apabila dibandingkan dengan peringkat terbawah dari 4 besar, PKI.

Parpol-parpol ‘minor’ ini tentu saja, secara kuantitatif tidak terlampau signifikan atau dapat diistilahkan sebagai gurem atau marginal, kendati tentu saja mereka bisa mengambil peran sebagai partai kartel, yang beroperasi di parlemen, dan menggoda 4 partai besar untuk memperhatikan mereka untuk membangun koalisi. 

Kuatnya aliran politik dalam Pemilu Indonesia lalu diredam selama Orde Baru. Pemilu masa masa Orde Baru ini tidak akan diulas dalam artikel ini, karena ada faktor dominan personal presiden dan militer (khususnya Angkatan Darat) dalam penyelenggaraan otoritarian negara, kendati suatu ‘kebaikan’ ada yaitu eksekutif yang kuat akibat adanya partai dominan: Golongan Karya. Esay ini akan langsung melompat ke deskripsi yang ditampakkan aneka Pemilu pasca 1998.

Setelah Orde Baru usai, pola dasar Pemilu 1955 kembali terjadi, kendati lebih moderat secara ideologis. Namun, Pemilu 1999 lebih Ekstrem multipartainya ketimbang 1955, di mana ada 48 parpol ikut Pemilu. Perbedaan lainnya adalah, di Pemilu 1999 parpol-parpol dibelah oleh garis elit, bukan garis ideologis seperti Pemilu 1955. 

Di Pemilu 1999 penerjemahan suara di parlemen ada diwarnai stembus accord (SA). Hasilnya dengan SA muncul 6 partai dengan kursi di atas 10 yaitu PDIP (154 kursi), Partai Golkar (120 kursi), PPP (59 kursi), PKB (51 kursi), PAN (35 kursi), PBB (13 kursi). Total kursi parlemen saat itu adalah 462 kursi, yang apabila dipersentase dengan total suara keenam parpol maka mereka sudah menguasai 93,5% kursi parlemen. Berbeda dengan Pemilu 1955, sistem multipartai Indonesia pasca Pemilu 1999 coraknya lebih Ekstrem.

Apakah hasil di dua Pemilu (1955 dan 1999) ini mampu menyadarkan para elit parpol akan sulitnya pembangunan koalisi eksekutif dan pemerintahan yang efektif? Sulit untuk disebut demikian, karena di Pemilu 2004 justru terjadi kecenderungan yang lebih memprihatinkan. Multipartai semakin Ekstrem akibat terjadi horizontalisasi perolehan suara parpol di parlemen. 

Di Pemilu 2004 ada 24 kontestan parpol (turun 50% dari 48 kontestan di Pemilu 1999) dengan tujuh parpol berhasil memperoleh suara signifikan sehingga kursi parlemen mereka di atas 50 (Partai Golkar, PDIP, PKB, PPP, Partai Demokrat, PKS, dan PAN yang apabila ditotal jumlahnya 500 kursi atau 89,29% penguasaan kursi parlemen (saat itu kursi total adalah 560). Partai yang ‘belasan persen’ adalah PBB, PBR, dan PDS, yang masing-masing hanya memperoleh 11, 14, dan 13 kursi.

Mungkin saja ketiga partai tersebut dapat bertindak sebagai teaser (penggoda) untuk membentuk koalisi eksekutif dan parlemen. Mungkin PBB bisa dekat dengan PKS, PDS bisa dekat dengan PDIP, dan PBR sebagai pecahan PPP bisa lebih dekat dengan PKB ataupun PAN (juga PKS, tentunya). 

Pasca Pemilu 2004, PDIP dan Gerindra mengambil posisi oposisi, sementara sisa partai ‘besar’ lain membangun koalisi yang tidak efektif. Mengapa tidak efektif? Itu akibat muncul fenomena ‘koalisi dalam koalisi.’ Golkar sebagai pemenang Pemilu 2004 hanya berposisi eksekutif wakil presiden, sehingga mereka berupaya memegang kendali pemerintahan yang dijalankan SBY (dari Demokrat) lewat figur Yusuf Kalla.

Kontroversi terjadi di dalam koalisi karena presiden dan wakil presiden “berebut” untuk memimpin koalisi eksekutif dalam banguan koalisi besar mereka. Perlu pula diketahui bahwa SBY sendiri dahulunya adalah elit Golkar, tetapi karena adanya Paradigma Baru TNI, maka militer memutuskan keluar dari Golkar. Sebab itu, konflik antara SBY dan Kalla bukan konflik ideologis (tidak ada beda karakter Golkar dan Demokrat) melainkan kepentingan elit.

Horizontalisasi suara parpol Pemilu 2004 tidak menyurut dan malah cenderung menguat di Pemilu 2009 di mana kini bahkan terdapat 9 parpol dengan suara relatif signifikan (Pemilu 2004 hanya 7) yaitu Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindra, dan Hanura. Kursi total parlemen di Pemilu ini adalah 560 dan penguasaan ke-9 parpol tersebut adalah 549 kursi atau 98%. Inilah nyatanya kecenderungan multipartai Ekstrem dengan 9 parpol dengan suara yang semakin relatif horizontal. Koalisi eksekutif niscaya akan semakin tambun dan bergerak kurang sigap dalam mengeksekusi program kerja yang dikampanyekan tanpa suatu parpol punya kemampuan direktif yang kuat. Setiap parpol punya kemampuan direktif potensial dalam koalisi rapuh ini.

Diketahui bahwa pasca Pemilu ini (2009), PDIP dan Gerindra mengambil posisi di luar eksekutif, sementara 7 partai lain bergabung dengan Demokrat sehingga partai pemerintah total memiliki kursi 430 atau 76,79% suara di parlemen. Demokrat sendiri, belajar dari rivalitas yang dihasilkan Pemilu 2004 memilih mengamankan pijakan eksekutif mereka dengan memilih Budiono, non parpol, sebagai wakil SBY. Namun, apakah eksekutif bisa berjalan efektif?

Jawabannya adalah tidak, karena tetap saja koalisi yang terbangun bukan koalisi ideologis melainkan koalisi kepentingan elit parpol: Tidak ada perbedaan teknis-program kerja-ideologis di mayoritas parpol anggota koalisi. Salah satu bukti adalah penentangan PKS setelah presiden (SBY) memutuskan kenaikan harga BBM. Juga di periode ini, KPK yang banyak mendapat sokongan politis dari SBY, menyiduk Presiden PKS (LHI) atas kasus Daging Sapi.

Koalisi 2009 yang seharusnya efektif karena presiden menang 1 putaran dan partainya menguasai 20,81% suara parlemen pun tidak bisa berbuat banyak karena ia rentan pertentangan dari anggota koalisi. Jika Golkar mampu melakukan lobi efektif kepada PKS, PAN, PKB, ataupun PPP maka bisa dipastikan kabinet presidensial SBY akan limbung. Juga di periode ini, Golkar yang notabene partai koalisi Demokrat, begitu rajinnya mengurus Pansus Bank Century akibat bailout yang dilakukan pemerintahan SBY tahun 2008. Tohokan dari anggota koalisi ini anomali memprihatinkan yang menambah beban efektivitas koalisi multipartai ekstrem Indonesia (ini bukan atas dasar kasus bailout per se-nya).

Pemilu 2014 ditandai dengan menguatnya figur politik ketimbang menguatnya kualitas parpol. Prof. Syamsudin Haris mendeskripsikan kecenderungan ini sudah menguat sekurangnya sejak 2005, di mana dari 158 Pemilu Lokal, hanya 37,7% pemenang yang diusung oleh parpol, selebihnya (tepatnya: mayoritas) dipengaruhi figur atau ketokohan kandidat (Haris, 2013: 35). Masyarakat melihat figur politik individual lebih konsisten untuk kerja secara “ideologis” ketimbang parpol: Parpol malah justru menjadi penumpang figur.

Secara hasil, Pemilu 2014 juga lebih kurang menjanjikan karena multipartai ekstrem justru lebih menguat dengan 10 parpol yang masuk parlemen. Suara mereka bahkan lebih horizontal ketimbang Pemilu 2009. Kursi total parlemen adalah 560 (databoks.katadata.co.id, 2018). Di Pemilu ini, PDIP (sebagai pemenang) hanya menguasai 109 kursi, disusul berturut-turut Golkar (91), Gerindra (73), Demokrat (61), PAN (49), PKB (47), PKS (40), PPP (39), Nasdem (35) dan Hanura (16). Koalisi eksekutif kekuatannya relatif pas-pasan yaitu 53,21% kursi parlemen yang tersusun atas PDIP, Nasdem, Hanura, Golkar, dan PKB.

Dua partai lain yaitu PPP dan PAN terpecah basis dukungannya saat mendukung koalisi pemerintah, PKS dan Gerindra mengambil sikap oposisi, sementara Demokrat posisinya ke mana angin berhembus. Eksekutif pasca 2014 makin bergantung pada koalisi minimal sehingga “prerogatif” presidensial harus terbagi antara kementerian yang ia ingin ‘prerogativisasi’ (misalnya kementerian infrastruktur, pertanian, kelautan) dan melepas lainnya untuk merekat kohesi koalisi. Seberapapun kuat figur politik presiden, tetap saja ia rentan atas keretakan kohesi dalam koalisinya, yang dalam hal ini paling mungkin dimotori oleh Golkar, sama seperti periode SBY yang pertama 2004-2009. Joko Widodo harus berbagi peran eksekutif dengan Jusuf Kalla, dan itu realistis.

Bagaimana dengan Pemilu 2019? Kembali tidak ada kemajuan signifikan terkait multipartai ekstrem, hanya berkurang 1 saja, yaitu 9 parpol masuk parlemen di Pemilu 2019 dari 10 di Pemilu 2014 (databoks.katadata.go.id, 2019). Sedikit harapan muncul karena tidak ada parpol baru di parlemen pusat (malah berkurang 1 karena Hanura tidak masuk). 

Jumlah kursi keseluruhan parlemen naik menjadi 575 akibat ada penambahan dapil baru di Kaltara (provinsi baru) dan di dua provinsi lama (Kalbar dan NTB). Secara berturut-turut perolehan kursi parlemen adalah PDIP (pemenang Pemilu) dengan 128 kursi, Golkar 85 kursi, Gerindra 78 kursi, Nasdem 59 kursi, PKB 58 kursi, Demokrat 54 kursi, PKS 50 kursi, PAN 44 kursi, dan PPP 19 kursi.

Koalisi eksekutif didukung oleh PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, dan PPP dengan total 349 kursi atau 60,7% suara. Namun, di periode kedua ini, eksekutif bertindak out of the box dengan mana pimpinan oposisi 2014-2019 yaitu Gerindra diberikan kursi dalam kabinet (Prabowo di Menhan, Edhie Prabowo menggantikan Susi Pudjiastuti). 

Langkah ini diambil sebagai antisipasi eksekutif atas retaknya kohesi koalisi, selain kohesi politik nasional. Efektivitas pemerintahan mungkin masih terlalu dini untuk dinilai, kendati sejumlah persoalan muncul akibat masuknya Prabowo ke dalam kabinet yang punya cukup banyak seteru politik di elit parpol yang secara tradisional membangun eksekutif Joko Widodo dan relawan Joko Widodo yang relatif kurang suka atas kehadiran Prabowo di kabinet.

Dari narasi pemilu ke pemilu ini kita dapat membangun sedikit gambaran dan sejumlah spekulasi. Jika patokan kita adalah Pemilu 1955, di mana 4 partai besar (dan 1 partai potensial penyusun kabinet, yaitu PSII), maka aneka Pemilu pasca Orde Baru sesungguhnya masih memiliki harapan untuk menciptakan multipartai moderat, bukan multipartai ekstrem. Kecenderungan ini apabila tesis-tesis Feith and Castles serta Clifford Gertz validitasnya untuk derajat tertentu masih bisa dijadikan rujukan.

Secara garis ideologis, konstituen yang dekat dengan garis ‘lama’ ideologi PNI dan massa PKI bisa dijelmakan ke dalam PDIP dan sejumlah parpol nasionalis. Spekulasi ini bukan menyatakan bahwa PDIP atau parpol lain tersebut komunis, melainkan kalangan abangan yang besar jumlahnya di tubuh PKI dulu (mereka ini bukan komunis-ideologis atau bisa kita sebut sekadar ‘komunis-KTP’) punya pilihan yang lebih rasional di era demokrasi liberal. 

Masyumi apabila ditarik ke garis ideologis saat ini bisa menyebar di PKS, PAN, sebagian massa PPP (di mana massa PSII secara tradisi pun dekat dengan Islam santri Masyumi), dan sebagian massa Gerindra yang agak nasionalis-kanan. Golkar, sebagian juga mengandung karakter PNI, karena sudah besar dalam waktu lama, sekadar ‘terpecah akibat konflik elit’ sehingga berujung pada munculnya Demokrat, sebagian konstituen Gerindra, Nasdem, dan Hanura (sebelum tersingkir parliament threshold 2019). Sementara NU di 1955 sulit dipungkiri mengejawantah di tubuh PKB, juga menyebar di PPP maupun partai-partai nasionalis.

Garis ideologis 4 parpol besar 1955, kendati telah mengalami moderasi, sesungguhnya relatif masih termanifestasi sistem multipartai Ekstrem pasca Orde Baru. Namun, garis ideologis ini lalu tersamar atau terkacaukan oleh oligarki elit di masingmasing parpol menengah besar saat ini. Artikel ini secara subyektif menyatakan bahwa tidak ada beda signifikan antara garis ideologis Nasdem, Golkar, Gerindra, Demokrat, sebagian PDIP, dan sebagian PAN.

Sayangnya justru PDIP, Nasdem, Golkar, Gerindra, Demokrat, dan PAN masih memiliki suara signifikan dan relatif horizontal. Konflik di dalam tubuh koalisi eksekutif bisa dipastikan sekadar dipicu konflik kepentingan elit parpol dan bukan konflik ideologis-massa-aliran yang berpihak kepada konstituen. Konflik koalisi saat ini (tahun 2020) yang apabila dikatakan terjadi, adalah konflik Megawati vs. Surya Paloh vs. Muhaimin Iskandar vs. pengusaha kuat di tubuh Golkar, dan versus (bisa jadi) Prabowo. Konflik semacam ini sifatnya sempit tetapi berefek luas, yaitu inefektivitas sistem presidensial Indonesia.

Inilah jawaban atas mengapa jumlah parpol tetap banyak di parlemen, sejak 1999 hingga 2019 akibat kuatnya personalitas elit di setiap parpol. Elit yang punya kapital besar seperti Demokrat (kapitalnya figur SBY dan donatur-donaturnya), Gerindra (kapitalnya figur Prabowo dan donatur-donaturnya), Nasdem (kapitalnya figur Surya Paloh dan rekanan bisnisnya), PAN (ini partai modern tetapi kini terjebak dalam ‘feodalisme’ Amien Rais), dan untuk derajat tertentu PDIP karena masih kuatnya figur Megawati (dan para pengusaha pemodalnya), Golkar yang untuk derajat tertentu adalah pertarungan kapital antara Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, dan aneka pemodal kuat lainnya. 

Hal inilah, ketergantungan pada elit, yang membuat parpol Indonesia selalu tidak bisa mandiri dalam membuat keputusan, baik merger ataupun berkoalisi sesuai garis ideologis masing-masing (kendati garis ideologis ini, dalam arti CBV) tetap absurd. Ini pula yang disebut Charles M. Mack sebagai fenomena disalignment dan realignment di tubuh parpol, dan ini juga terjadi dalam sistem multipartai Ekstrem kita dari pemilu ke pemilu.

Fenomena disalignment adalah di mana ”a severe loss of support for a major political party among its Core Base Voters (Mack, 2010: 8).” Sementara itu fenomena realignment adalah “a substantial, persistent, and pervasive transfer of support among Medial Voters from one major party to another” (Mack, 2010: 8). Inilah narasi besar, selain kepentingan elit, yang memicu multipartai ekstrem Indonesia. Ini pula narasi yang memicu horizontalisasi perolehan suara parpol. Dalam disaligntment setiap partai hakikatnya sangat sedikit CBVnya. Eksistensi CBV ini hakikatnya yang membuat suatu partai eksis dan relatif stabil karena konstituen lebih memilih partai ketimbang ‘siapapun’ calon legislatif bahkan eksekutif yang mereka usung. PKS, Golkar, PDIP, PKB, dan PAN adalah sejumlah parpol yang secara subyektif artikel ini nilai mampu memelihara CBV-nya, kendati masing-masing berbeda metode dalam kaderisasi.

Boleh saja partai memiliki CBV, tetapi yang menjadi persoalan adalah bagaimana political treatment dan political education yang dilakukan parpol-parpol tersebut atas CBV-nya. Masih teringat oleh kita bersama tatkala Pemilu 1999 PDIP memperoleh 30% an suara lalu di Pemilu 2004 terjun bebas. CBV PDIP bukan 30%an pemilih di 1999, pasti jauh lebih kecil dari itu. Juga, bagaimana Demokrat yang mendapat 20,85% suara dan 150 kursi di Pemilu 2009 kemudian mengalami terjun bebas serupa PDIP di 2004? Ternyata kekuatan CBV kedua partai tersebut tidak menggembirakan: Demokrat lebih parah CBVnya ketimbang PDIP. Lalu, bagaimana Nasdem, yang baru mengikuti Pemilu 2014 langsung melejit jadi partai menengah padahal ia adalah parpol baru dan tidak jelas CBV-nya?

Satu hal yang pasti, Nasdem masih diragukan apakah ia memiliki CBV yang signifikan atau tidak. Inilah persoalan utama parpol Indonesia, tidak punya CBV yang kuat dan disiplin akibat tidak jelasnya apa yang parpol mereka lakukan untuk para anggota dan konstituen mereka setelah elitnya berkuasa di parlemen dan mengendorse eksekutif agar mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan mereka (para CBV ini).

Sebab itu, fenomena yang terjadi adalah fenomena pragmatis yaitu kuatnya tarikmenarik antar parpol atas MV. MV adalah konstituen subyek potensial untuk ditarik kandidat suatu parpol karena para MV ini bukan CBV. Artikel ini berkeyakinan bahwa banyak terjadi peralihan MV di antara PDIP, Golkar, Gerindra, Hanura, Nasdem jika melihat komposisi suara mereka di setiap pemilu. Fenomena MV ini juga terlihat dari begitu giatnya partai-partai politik merekrut para selebriti untuk menjadi calon legislatif mereka dan marak sejak pemilu 2004 seperti telah diteliti oleh Firdaus Syam, Sahruddin, dan Ajeng Rizki Rahmanillah (Syam, et.al., IJJI: 104-24). Dalam studi tersebut tampak hampir semua partai politik terkecuali PKS mengundang para selebriti untuk maju sebagai anggota legislatif dari partai masing-masing.

Kembali ke permasalahan, yaitu bahwa MV inilah yang membuat perolehan suara parpol nasionalis cenderung horizontal akibat kesalahan setiap parpol dalam membangun disiplin di dalam partai mereka, yaitu disiplin atas program kerja, ideologi ketat, tujuan terukur, sehingga mereka sekadar memelihara konstituen berkarakter MV, bukan CBV, atau mentransformasi MV yang sudah rela memilih mereka menjadi CBV. Selain MV dan CBV juga terdapat tipikal konstituen lain yang dinamakan PBV yang karakternya mirip dengan CBV tetapi lebih kritis untuk segera pindah ke partai lain yang ‘seideologi’ dengan mereka saat partai yang mereka pilih selama ini mengabaikan harapannya.

Ini bisa dicontohkan dengan berkurangnya suara PKS di Pileg 2014 ketimbang 2009 akibat adanya konflik kubu “keadilan” versus “sejahtera” di dalam tubuhnya. Namun, di Pemilu 2019, PBV PKS ini kembali menjadi konstituen partai tersebut, yang mungkin akibat selesainya konflik atau ‘terimbas’ figur Prabowo. Juga, berkurangnya secara signifikan konstituen PPP dapat menjadi indikasi pindahnya PBV mereka ke PKS, PAN, ataupun bahkan Gerindra akibat mereka kontra atas figur capres yang diusung PPP. Berbeda dengan MV, PBV hanya berpindah dalam garis ideologis parpol yang cenderung paralel.

Namun, signifikansi PBV terhadap horizontalisasi suara parpol yang kemudian memicu multipartai Ekstrem tidak sekuat MV karena jumlah PBV ini relatif lebih sedikit ketimbang MV. Namun, potensi PBV menjadi CBV lebih besar ketimbang MV apabila parpol yang dihinggapi bisa memuaskan dan mentransformasi diri mereka menjadi CBV. 

Dampak positif ini adalah suatu parpol relatif bisa stabil suaranya dari Pemilu ke Pemilu. Pemilih PAN, PPP, dan PKB yang kecewa dapat saja pindah ke PKS tetapi tidak ke partaipartai nasionalis karena mereka para PBV ini kisaran ideologisnya adalah Islam. Demikian pula PBV di tubuh PDIP, Gerindra, Nasdem, Hanura, dan Golkar, hanya akan berpindah ke satu sama lain, tetapi tidak ke PKS, PAN, PKB, dan PPP karena identifikasi mereka adalah Nasionalis.

Selain masalah karakter konstituen (CBV, MV, dan PBV) persoalan banyaknya parpol juga dipicu celah mudah pembentukan partai politik sebelum revisi UU Partai Politik 2011. Memang ada beberapa perbaikan positif untuk membatasi jumlah parpol dari UU No. 2 tahun 2008 yang direvisi UU No. 2 tahun 2011 (lihat UU No. 2/2008 & No. 2/2011). Misalnya syarat kepengurusan di UU No.2/2008 dari 60% jumlah provinsi, 50% kabupaten/kota di provinsi tersebut, dan 25% di kecamatan dalam kabupaten/ kota menjadi 100% kepengurusan di provinsi, 75% kepengurusan di kabupaten/kota setiap provinsi, dan 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota tersebut dalam UU No.2/2008.

Syarat ini cukup berat sehingga hanya parpol baru dengan dana ‘super kuat’ dari pemodal yang ‘super kuat’ saja yang bisa mendirikan parpol untuk mereka ‘kendalikan.’ Pesaing para pemodal ini hanyalah parpol yang lahir gerakan sosial solid, militan, dan bermassa kelas menengah besar. Akibat pengetatan syarat kepengurusan parpol di UU No. 2/2011 maka di Pemilu 2014 hanya 1 parpol baru bisa ikut Pemilu yaitu Nasdem dengan kekuatan modal (jointventure) sejumlah pengusaha di lingkaran Surya Paloh.

Ini pun setelah gerilya gerakan sosial “Restorasi Indonesia versi Surya Paloh” berlangsung selama periode 2004 – 2009. Antiklimaks semu UU No.2/2011, kalau bisa disebut demikian, terjadi di Pemilu 2019, di mana malah muncul 4 parpol baru yaitu Perindo, PSI, Berkarya, dan Garuda (nasional.tempo.co, 2006). Keempat parpol ini rata-rata muncul akibat adanya pemodal kuat di belakang mereka. Namun, tidak satupun dari ke-4 parpol masuk parlemen pasca Pemilu 2019. Andaikan mereka masuk parlemen maka karakternya tidak akan jauh berbeda dengan Demokrat, Nasdem, Gerindra, dan Golkar yaitu catch-all (kecuali mungkin PSI). Multipartasi ekstrem akan jauh lebih ekstrem lagi.

Sekali lagi ini menjadi bukti bahwa penguasaan kapital adalah pendorong munculnya multipartai Ekstrem seperti akan dijelaskan di dalam paragraf berikut. Perindo adalah partai yang kekuatan finansialnya berasal dari MNC Group yang dipimpin Hari Tanoesoedibjo yang mencoba peruntungan dengan melakukan gerilya gerakan sosial seperti Nasdem di antara Pemilu 2014 ke 2019. Selain itu, parpol ini bertaruh dengan melakukan bandwagoning atas figur Joko Widodo. 

Namun, tetap saja parpol ini gagal masuk DPR-RI karena terlampau “pede” saat hanya menekankan kekuatannya hanya pada uang dan media massa. CBV Perindo adalah absurd karena sekadar berharap merebut MV ambigu dari parpol lain yang lengah, khususnya dari Gerindra, Hanura, Nasdem, Golkar, dan PDIP, khususnya kalangan nasionalis-abangan.

PSI agak berbeda dengan Perindo yaitu mengandalkan kekuatan jurnalis, intelektual muda sekuler, dan kelas menengah perkotaan dengan lingkaran donaturnya tidak sehebat Perindo. Berbeda dari Perindo, PSI ini sesungguhnya punya potensi CBV yang besar mengingat sebagian pendirinya berhasil mendidik relawan ‘ideologis’ dan identik dengan gerakan kaum muda urban-milenial-sekuler. Partai ini mungkin mengambil ceruk MV dari generasi muda di PDIP, PAN, sebagian Golkar, Nasdem, dan Gerindra.

Partai Berkarya adalah partai dropshipper anasir Orde Baru, dengan kekuatan utamanya ada pada gurita bisnis Hutomo Mandalaputra (Tommy). Berkarya mencontoh PDIP dengan menghembuskan sentimen sentripetal: Kembali ke ajaranajaran Soeharto. Bisa saja partai ini memiliki CBV, tetapi melihat tipikal penggeraknya yang konservatif dan banyak generasi tua, maka Berkarya tidak sesukses PSI. 

Massa partai ini pun paling banter akan mengambil ceruk dari Golkar, sebagian PDIP yang kecewa dengan Joko Widodo, sebagian Gerindra, dan eks Hanura. Partai Garuda adalah konservatif-nasionalis-kanan, lawan dari PSI dan kerap disebut sebagai ‘sayap’ Gerindra. Massa potensial mereka pun dapat berasal dari elemen kecewa dari PPP, Gerindra, dan kalangan yang agak lebih ‘kanan’ di Golkar dan PAN.

Kemudian, baik UU No. 2/2008 dan revisinya (No. 2/2011) sudah cukup baik dalam menyatakan bahwa parpol harus punya akuntabilitas publik. Persoalannya, sejauh mana akuntabilitas publik tersebut diatur lebih lanjut sehingga secara teknis dapat diimplementasikan. Aturan teknis tersebut sedapat mungkin menjawab aneka persoalan ini: Apa alat akuntabilitas dan bagaimana implementasi praktisnya? Pasal 39 ayat 1 menyatakan bahwa pengelolaan keuangan parpol harus akuntabel, dan ayat 2 menyatakan parpol harus diaudit akuntan publik dan diumumkan setiap 1 tahun (ini pemaknaan artikel ini untuk kata ‘periodik’).

Namun, di mana ruang publik Indonesia yang pajak mereka (sebagai salah satu komponen APBN) dialokasikan ke parpol, mengobservasi akuntabilitas keuangan parpol? Bagaimana bentuk laporan realisasi anggaran, laporan neraca, dan laporan arus kas parpol bisa dipelajari? Lewat melalui media apa? 

Apakah hanya dipajang di kantor pusat parpol, di dalam leaflet di kantor pusat parpol, aneka spanduk di lokasi strategis, atau media massa nasional? Juga, apabila harus dipampang di media massa, maka media massa dengan kategori seperti apa laporan keuangan parpol A, parpol B, atau C dimuat di setiap akhir tahun anggaran? Ini mengingat banyak elit parpol yang menguasai media massa nasional. Lalu, seperti apa akuntan publik di UU No. 2/2011 yang valid untuk melakukan audit keuangan parpol dan siapa yang menunjuknya? Apakah negara lewat KPU, DKPP, BPK, ataukah parpol sendiri?

Tentu saja apabila penentuan akuntan publik ditentukan sendiri oleh parpol, akuntabilitas tersebut akan sekadar main-main dan formal saja. Padahal, apabila UU di pasal ini (39 ayat 1) dilaksanakan secara konsekuen, dengan asumsi bahwa parpol adalah lembaga publik (menerima dana APBN), maka sesuai pasal 35 UU No. 2/2011 ayat 1 (b) dan (c) akan terlihat siapa sesungguhnya pendana parpol.

Audit independen akan menjawab siapa saja perseorangan bukan anggota parpol yang ‘seharusnya’ paling banyak menyumbang 1 milyar/tahun anggaran dan perusahaan/badan usaha mana saja yang ‘seharusnya’ menyumbang maksimal 7,5 milyar/tahun anggaran. 

Ketika penyandang dana parpol diungkap ke publik parpol akan mulai hati-hati dalam bergantung pada sponsor dan beralih pada kader militannya (para CBV mereka) dan negara (parpol adalah organisasi publik). Lebih jauh lagi, dana negara yang dikucurkan ke setiap parpol harus dirancang cukup signifikan sehingga dapat menutupi pengeluaran subsisten parpol, tetapi hanya dapat dikucurkan sejauh syarat akuntabilitas keuangan valid terlebih dahulu.

Akuntabilitas dana parpol ini juga berimbas pada konstituen. Konstituen akan bisa menakar seperti apa karakter suatu parpol berdasar karakteristik donaturnya: Dari perusahaan apa, dari individu seperti apa, dan jangan-jangan, dari dana asing lewat tangan ketiga. Dari sini artikel ini secara subyektif meyakini, akan ada perpindahan besarbesaran pemilih PBV dari satu parpol ke parpol lain (CBV pun bukan mustahil terusik loyalitasnya). 

Juga, akuntabilitas keuangan parpol yang diaudit oleh auditor independen (asumsinya demikian) akan membongkar siapa pemodal ‘luar biasa’ yang menyetir parpol yang kini bercokol di DPR-RI pasca Pemilu 2019. Artikel ini tidak dapat membayangkan apabila hal seperti ini terjadi di 9 parpol yang kini bercokol di parlemen Republik Indonesia: Fusi atau merger parpol secara alamiah bukan mustahil akan terjadi.

Sebagai penutup sub pembahasan mengapa Jumlah parpol tetap banyak, maka jawabannya ada dua. Pertama, bifurkasi masyarakat Indonesia tidaklah tercermin dalam parpol karena yang tampak adalah bifurkasi elit parpol (dan penyandang dananya). Elit politik selalu akan punya vested-interest di setiap parpol dan ini mengaburkan kepentingan konstituen yang sifatnya ideologis ---contoh: pengusaha UMKM, santri pedesaan, santri perkotaan, kaum muda idealis, kelas menengah sekuler, kelas menengah relijius, petani, buruh, ojeg online, guru, rakyat miskin kota dan desa. 

Elit-elit pragmatis tidak akan pernah serius mengakomodasi kepentingan konstituen dari aneka segmentasi tersebut. Mereka yang berpotensi sebagai CBV hanya jadi bulan-bulanan aneka parpol yang menganggap kepentingan aneka segmen masyarakat khusus ini sekadar MV. Ujungnya adalah karena selalu terjadi peralihan MV, tanpa CBV yang stabil, suara parpol terus akan horizontal. Apalagi selain PKS, PKB, PPP, dan Golkar, papol-parpol seperti Gerindra, PDIP, Nasdem, Demokrat, dan PAN punya potensi dibayangi dinasti politik.

Kedua, kendati syarat parpol di UU No.2/2011 cukup ‘berat’ tetapi pemodal ‘super kuat’ tetap bisa mendirikan parpol baru selama tidak ada rincian aturan teknisterukur yang mampu memaksa parpol membeberkan akuntabilitas kekuangannya secara fair dan transparan. Tanpa akuntabilitas ini, tidak hanya parpol baru yang hendak peruntungan dalam Pileg, aneka parpol yang kini ada di parlemen pun tetap berperilaku ‘lepas’ dari konstituen dan negara karena pembiaya mereka bukan konstituen dan negara melainkan sponsor. 

Lebih jauh lagi, sponsor ini undetected bahkan untouchable. Inilah dua sebab utama mengapa parpol di Indonesia terus bertahan di posisi multipartai Ekstrem. John Rawls, filosof politik kontemporer yang percaya pada demokrasi liberal saja prihatin dengan pendana parpol. Bagi Rawls salah satu solusi parpol bisa bertanggung jawab kepada publik adalah hentikan ketergantungan pendanaan parpol dari pemodal, buat ia bergantung pada anggaran negara agar akuntabilitas publiknya tercipta.

Dampak Berlakunya Sistem Multipartai Ekstrem bagi Efektivitas Sistem Presidensial

Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa dalam sistem demokratis harus ada konsistensi dan koherensi antara sistem pemerintahan dan sistem kepartaian (Haris, 2010: 35). Jika tidak ada maka sistem politik tidak bisa berjalan efektif. Juga, menurut konstitusi (UUD 1945), kendati tidak disebut secara harfiah ‘presidensial’, Pasal 1 ayat (1) jelas menyebutkan bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan dan menteri-menteri, sementara menurut pasal 17 ayat (2) menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden. 

Pertanyaannya adalah apakah mungkin dalam kondisi multipartai ekstrem garis eksekutif akan simetris dalam melakukan eksekusi program kerjanya? Jawaban obyektifnya adalah tidak, dan malah persoalan ini jauh lebih rumit manakala kita masuk ke persoalan hubungan presiden dengan eksekutif daerah. Sejumlah dampak berlakunya sistem multipartai ekstrem bagi efektivitas sistem presidensial adalah sebagai berikut.

Pertama, di lini pusat yaitu bagaimana eksekutif (presiden) membangun koalisi. Presiden dan partai asalnya tidak akan pernah punya kekuatan directing maksimal koalisi akibat komposisi suara dalam koalisi sifatnya horizontal. Padahal kemampuan directing dalam mengeksekusi sebuah program kerja sangat penting. Program kerja seorang presiden itu komprehensif: Ia harus terejawantah di seluruh kementerian yang ia bangun kabinetnya.

Tidak maksimalnya kemampuan directing ini mudah sekali jawabannya: Apapun parpol asal presiden selama Pemilu pasca Orde Baru tidak pernah 50+1. Akibatnya, siapapun presiden Indonesia harus mempraktekkan politik akomodasionis yang winwin solution dengan kepentingan parpol koalisinya. Jika dibandingkan era Orde Baru, maka posisi eksekutif pasca 1998 selalu ‘limbung.’ Partai koalisi selalu menuntut jatah kementerian dan ini adalah hal tidak terelakkan dalam sebuah pemerintahan yang terbangun atas koalisi horizontal. Kekuatan setiap parpol di tubuh koalisi selalu relatif sama kuat dengan parpol asal presiden maupun pemenang pilpres.

SBY sudah membuktikan kendati Demokrat dapat 20%an suara di Pileg 2009 dan eksekutif (dalam arti presiden dan wapres) itu sungguhan satu paket (SBY-Boediono), tetap saja presiden menghadapi tentangan internal dari dalam koalisinya sendiri akibat isu dan kepentingan antar elit koalisi yang kerap berbenturan. Pansus Century di era SBY II ada bukti nyata anomali koalisi Indonesia. 

Juga, sepopulis apapun Joko Widodo di 2014 dan 2019, dalam arti ia berupaya mem-bypass ‘stagnasi oligarki parpol koalisi eksekutif dengan upaya langsungnya mendekati rakyat, tetap saja ia rentan dijegal oleh anggota koalisi apabila apa yang ia programkan melanggar kepentingan elit parpol koalisi atau pemodal mereka. Dalam politik multipartai ekstrem ini adalah hal lumrah tetapi tidak sehat.

Dalam logika sistem pemerintahan presidensial, pihak yang akan ditagih janji kampanye bukan anggota parpol-parpol pembangun koalisi melainkan presiden. Presiden dipilih langsung rakyat setelah menawarkan serangkaian janji kampanye, dan janji inilah yang akan dievaluasi rakyat pemilih. 

Jika terjadi kegagalan pencapaian program kerja, aneka parpol koalisi dengan mudah akan berkelit, bahwa kegagalan program kerja kabinet adalah kesalahan presiden, sebab eksekutiflah pemimpin kabinet, bukan parpol. Ini adalah hal yang tidak sehat karena secara terbuka membohongi konstituen presiden dalam Pilpres: Bahwa konstituen tahu posisi presiden ---sebenarnya siapapun, bukan hanya Joko Widodo dalam era Demokrasi Liberal pasca 1998--selalu gamang akibat terancam potensi penarikan dukungan dari elit parpol koalisi di kabinet eksekutif.

Semakin besar kebutuhan eksekutif menjalin koalisi dengan semakin banyak parpol, pemerintahan akan semakin inefektif. Dalam konteks ini eksekutif bukan hanya berpikir semata stabilitas pemerintahan, melainkan sejauh mana program kerja yang dikampanyekan mewujud di kenyataan. 

Sejak 1999 hingga saat ini publik sudah memahami bahwa kinerja menteri dari dari parpol cenderung selalu lebih rendah ketimbang menteri dari non parpol: Kerja profesional berbeda dengan kerja politik. Kendati tidak semua, tetapi seahli apapun menteri dari parpol, ketaatan komando mereka bukan pada presiden, tetapi pada ketua umum parpol atau majelis di dalam parpol. Dengan demikian, kabinet berpotensi untuk mengalami disorientasi di tengah jalan: Sebagian menteri loyal dan patuh pada presiden, sebagian lain patuh pada parpol asalnya. Tentu saja ini bukan tanpa jalan keluar.

Apabila presiden memiliki skill politik yang mahir, baik dalam melakukan koalisi dan memecahkan stagnasi koalisi, lalu secara lihai membelah kepentingan di tubuh parpol anggota koalisi bahkan merekrut oposisi, akan menciptakan balance of power yang bisa menjamin stabilitas kekuasaannya dan aneka program kerja yang dirancang. 

Persoalannya adalah, berapa banyak waktu tersita untuk melakukan akrobat dan manuver rumit seperti ini mengingat masa jabatan presiden hanya 5 tahun saja? Belum lagi ia harus menggerakkan roda birokrasi pusat agar sinergis dengan daerah agar bergerak sesuai arah yang ia programkan.

Kedua, di level daerah pun terjadi kesulitan. Konstitusi sudah menggariskan bahwa kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) dipilih secara demokratis. Penerjemahan demokratis, kendati bisa diperdebatkan, yang lumrah adalah dipilih langsung lewat Pilkada. Cagub, cabup, dan cawalkot, paling mungkin diusung oleh parpol atau koalisi parpol, lalu dipilih langsung oleh rakyat dalam aneka Pilkada. 

Di sini terkandung dilema mengenai ke mana ketaatan para kepala daerah: Apakah kepada presiden, parpol pengusung, atau rakyat daerahnya? Asumsi artikel ini adalah kepada parpolnya jika mereka kader yang dependen pada parpol atau rakyat daerah jika mereka kader yang relatif independen dari parpol pengusung. Kepala daerah yang simetris kebijakannya dengan presiden umumnya adalah kepala daerah yang diusung oleh parpol asal presiden. Dengan kondisi ini, garis komando eksekutif pusat-daerah bisa asimetris juga bisa simetris bergantung konfigurasi parpol pengusung.

Juga, UU No. 23/2014 memang sudah membagi tiga urusan pemerintahan Absolut, Konkuren, dan Umum (lihat UU No. 23/2014). Absolut dan Umum adalah dua urusan yang paling relatif dapat dipastikan dieksekusi presiden dari pusat ke daerah. 

Tidak ada aturan konstitusi bahwa gubernur, bupati, dan walikota harus tunduk pada presiden selaku eksekutif pusat. Mengenai ikhwal gubernur dan bupati/walikota, konstitusi pasal 18 ayat (4), (5), (6) hanya menyebut bahwa mereka dipilih secara demokratis, lalu menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU ditentukan sebagai urusan Pusat, dan pemerintahan daerah berhak menetapkan perda dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas perbantuan.

Patut diperhatikan bahwa presiden bukan hanya memerintah ibukota saja melainkan seluruh provinsi dan kabupaten/ kota seluruh Indonesia. Ironisnya di Indonesia, tidak ada jaminan konstitusional bahwa gubernur, bupati/walikota harus tunduk pada presiden. Malahan justru di konstitusi dinyatakan bahwa gubernur, bupati/walikota dipilih secara demokratis, sama seperti presiden. 

Dengan demikian, secara politik, siapapun presiden Indonesia, akan selalu berpotensi mengalami distorsi implementasi kebijakan di level daerah, dalam arti kebijakan Pusat belum tentu akan dituruti oleh gubernur, bupati, ataupun walikota. Tidak ada jaminan konstitusional untuk itu. Dengan kondisi basis urusan negara semacam ini maka hubungan presiden-kepala daerah adalah kolaboratif relatif setara ketimbang direktif-instruktif.

Untuk ini bisa dicontohkan bagaimana blueprint normalisasi sungai besar di Jakarta dengan mudahnya mandeg saat gubernur DKI melakukan pertimbangan ulang. Juga, dalam masalah pandemi COVID-19, bagaimana sejumlah daerah dengan penuh percaya diri langsung memberlakukan lock-down tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan pemerintah pusat. 

Ini sebuah pertunjukan akrobat politik sungguh tidak lucu di negara yang menyebut dirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi rasanya federal. Mungkin saja motif mereka tulus dalam menyuarakan lock-down, tetapi dalam politik sesuatu yang tulus itu hal langka sebab yang ada adalah kepentingan berkuasa. Ini barangkali serupa dengan bagaimana Presiden Trump sama sekali tidak bergigi untuk memerintahkan sejumlah negara bagian AS yang dikuasai Demokrat agar membuka lockdown.

Pertanyaannya, mengapa para pimpinan daerah berani mengambil keputusan lockdown? Pertama, mungkin mereka kurang paham UU No.23/2014 seputar usaha kesehatan masyarakat yang jadi porsi nasional dan daerah. Kedua, mereka sudah tahu bahwa masalah pandemi COVID-19 ini bukan masalah daerah melainkan pusat, yaitu seperti termaktub di dalam Lampiran UU No. 23/2014 dalam poin B Matriks Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kesehatan yang menyebutkan secara jelas bahwa “Pengelolaan upaya kesehatan masyarakat (UKM) nasional dan rujukan nasional/lintas Daerah provinsi” adalah Urusan Pemerintah Pusat, tetapi melakukan ‘akrobat’ atas penafsiran pasal UU tersebut (lihat Lampiran UU No. 23/2014).

Apabila DKI sebagai misal melakukan lock-down maka efeknya akan menyebar ke Jawa Barat (Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Depok) dan Banten (Kota Tangerang Selatan). Apabila para pimpinan daerah tersebut membaca Lampiran UU No. 23/2014 tersebut, seharusnya mereka berkonsultasi terlebih dahulu dengan presiden melalui Menteri Kesehatan, karena dampak lockdown yang mereka terapkan akan berimbas ke daerah lain dan itu pastinya bukan kewenangan mereka. 

Ibarat peribahasa apabila ingin membunuh seekor tikus, jangan rumah yang dibakar. Mereka (daerah dan pusat) sebaiknya duduk dahulu satu meja untuk mencari penyelesaian kolaboratif mengenai apa tindakan yang hendak diambil, tidak secara semena-mena mengambil keputusan sendiri. Tidak boleh ada pahlawan kesiangan di dalam kasus panik global COVID-19, karena ini fenomena ini sudah serupa dengan masalah teror, ancaman atas pertahanan negara. Lock-down membabi-buta dapat saja mendorong zero-growth economy dan akhirnya mungkin memicu potensi chaos sosial secara nasional.

Kejadian di atas apabila ditelusuri sesungguhnya kembali bermuara di dua persoalan. Pertama, rata-rata kepala daerah yang ‘panik’ menerapkan lock-down bukan diusung oleh parpol koalisi presiden (yaitu DKI Jakarta, Kota Tegal, Papua Barat, dan Kabupaten Karawang). 

Apa yang didengar oleh para kepala daerah bukan apa yang diucapkan oleh presiden, tetapi apa yang diucapkan oleh Ketua Umum parpol mereka. Kendati sejumlah daerah tersebut kini telah meralat kebijakan lock-down nya tetapi tetap publik sudah bisa membaca bahwa ada politisisasi dalam masalah pandemi COVID-19 ini. Sesuatu yang sangat disayangkan karena rakyat Indonesia sudah dicekam oleh teror, tetapi para politisi malah bermain akrobat politik yang tidak cerdas.

Ketiga, masih berkenaan dengan garis eksekutif pusat dan daerah. Presiden adalah penggerak birokrasi negara. Namun, dalam Urusan Konkuren dan sangat teknis, presiden umumnya tidak bisa melakukan assurance dalam hal direksi kebijakan aktual. 

Dalam konteks dinas-dinas Kesehatan, Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman, Tibum, Sosial, Tenaga Kerja, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pangan, Pertanahan, Lingkungan Hidup, Dukcapil, Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Pengendalian Penduduk dan KB, Perhubungan, Komunikasi dan Informatika, Koperasi dan UKM, Penanaman Modal, Kepemudaan dan Olahraga, Statistik, Persandian, Kebudayaan, Perpustakaan, Kearsipan, Kelautan dan Perikanan, Pertanian, Kehutanan, Energi dan SDM, Perdagangan, Perindustrian, dan Transmigrasi pemerintah pusat saling berbagi kewenangan dengan pemerintah daerah.

Setiap dinas teknis daerah dipimpin oleh kepala dinas. Para kepala dinas ini bukan diangkat oleh presiden, melainkan oleh gubernur, bupati, dan walikota. Jika demikian, jaminan urusan teknis yang simetris antara pusat dan daerah bisa dipertanyakan keterpaduannya. Padahal dinas teknis di daerah secara standar adalah kepanjangan dari kementerian teknis di tingkat pusat.

Di sinilah terletak permasalahan yang lebih krusial. Presiden hanya bisa maksimal menjamin keselarasan program kerjanya dengan aneka bidang teknis daerah di atas apabila kepala daerah berasal dari koalisi parpol eksekutif (ini pun belum merupakan jaminan penuh). 

Apa yang akan terjadi apabila partai oposisi presiden yang berkuasa di suatu daerah? Apakah ada jaminan terjadi simetrisasi kebijakan teknis pusat ke daerah? Kasus keputusan lock-down sejumlah daerah merupakan refleksi bahwa jaminan itu tidak ada. Presiden cukup kehilangan potensi penetrasi kebijakan di daerah-daerah (provinsi atau kabupaten/kota) di mana ia kalah dalam Pilpres, sama seperti AS di mana Partai Republik Donald Trump kalah di sejumlah negara bagian oleh Partai Demokrat. Amerika Serikat jadi belang-belang ada negara bagian yang lock-down dan ada yang tidak lockdown.

Untuk menutup jawaban artikel ini atas persoalan dampak berlakunya sistem multipartai ekstrem bagi efektivitas sistem presidensial adalah sistem multipartai Ekstrem tidak berdampak positif bagi sistem presidensial. Multipartai Ekstrem ini relatif cocok bagi sistem pemerintahan parlementer dengan konsep negara federasi, bukan kesatuan, karena Indonesia mengidap incoherence of power dalam hubungan pusat-daerah.

Apabila Indonesia adalah negara Federasi, justru presiden akan bisa lebih berkonsentrasi atas 6 urusan Absolut (fiskal dan moneter, agama, pendidikan, pertahanan, keamanan, dan luar negeri) dan akan lebih memiliki sedikit persoalan dalam mempenetrasi kebijakannya, dan dengan demikian peluang lebih efektifnya sistem presidensial lebih terjamin. Dengan kondisi di level politik nasional di mana presiden sangat bergantung pada dukungan koalisi, di level daerah dengan ambiguitas loyalitas kepala daerah, dan banyaknya urusan teknis yang dikendalikan oleh kepala dinas yang merupakan bawahan kepala daerah (bukan menteri atau presiden), maka akan terlalu sulit multipartai Ekstrem ini sinergis dengan sistem presidensial di dalam tata negara Indonesia saat ini.

Solusi Efektivitas Sistem Presidensial terkait Jumlah Parpol di Parlemen

Ada beberapa solusi untuk kembali mengefektifkan sistem presidensial terkait dengan jumlah parpol di parlemen. Solusi ini sekurangnya ada empat dan akan artikel ini bahas satu per satu. 

Pertama, ideal typhus bagi sistem presidensial adalah sistem 1 partai seperti di negara komunis, dua partai (seperti Inggris, AS, Selandia Baru, Australia), ataupun satu partai dominan (seperti Indonesia era Orde Baru, Malaysia, Singapura). Kepartaian seperti ini akan berpeluang besar untuk menciptakan simetrisnya eksekutif dan parlemen. Apa yang diprogramkan presiden akan didukung oleh partai pengusung yang sama di parlemen dan eksekutif, bukan aneka parpol seperti Indonesia saat ini.

Kedua, perlu disampaikan bahwa ideal typhus dalam solusi pertama, mengingat kondisi perpolitikan Indonesia dan aturan konstitusi saat ini, sangat sulit. Sembilan parpol yang kini ada di parlemen tentu tidak akan satupun yang rela untuk melakukan merger atau mustahil ada yang membubarkan diri. Di era demokrasi liberal Indonesia saat ini, satu-satunya hal yang mungkin adalah merancang, memformulasi, mengimplementasi, memonitoring, dan mengevaluasi aneka produk undang-undang dan peraturan yang semakin ketat terhadap eksistensi parpol, lengkap dengan aturan teknis pengimplementasiannya.

Intinya adalah rekayasa aturan perundang-undangan. Pengetatan ini sudah relatif baik di UU No.2/2008 dan revisinya di UU No.2/2011 kendati perlu penambahan. Penambahan tersebut adalah revisi atas Pasal 35 ayat (1) sehingga mampu menjelaskan secara mengikat dan pasti seputar akuntabilitas keuangan parpol. Kondisi parpol Indonesia tidak seluruhnya diisi orang-orang yang tidak punya idealisme bernegara. Masih banyak anggota parpol maupun legislator mereka yang berkeinginan baik untuk menciptakan suatu eksekutif yang kuat agar program eksekutif berjalan lancar. Hal ini pun juga nantinya akan menguntungkan mereka manakala calon presiden usungan mereka menang Pilpres.

Namun, dilema mereka kini adalah ‘stagnasi atas komitmen mereka akibat kuatnya feodalisme dan kapitalisme di tubuh partai masing-masing. Feodalisme bisa diselesaikan dengan cara merinci aturan di pasal 31 UU No. 2/2008 mengenai Pendidikan Politik bagi masyarakat yang harus dilakukan oleh parpol. Juga Pasal 34 ayat (3b) UU No. 2/2011 huruf (c) soal pendidikan politik bagi anggota partai politik secara berjenjang dan berkelanjutan. 

Tidak ada aturan bagaimana pasal-pasal ini harus diimplementasi oleh parpol, misalnya seperti apa kurikulumnya, siapa tutornya dan harus berasal dari instansi mana (LIPI dan IPDN bisa menjadi sumber intelektual yang kaya untuk ini sebenarnya), berapa honor tutornya, berapa besar dananya, kapan dan di mana penyelenggaraannya, segmen masyarakat apa dan kategori anggota parpol seperti apa pesertanya, bentuk penyelenggaraannya, siapa penangungjawab tetapnya, bagaimana sertifikasinya, dan lembaga independen apa yang memonitoring sekaligus mengevaluasi akutabilitas pendidikan politik yang dilakukan parpol tersebut.

Juga masih bersangkutan dengan pendidikan politik ini, UU No. 2/2011 pasal 34 ayat (3a) bahwa bantuan keuangan dari APBN/APBD diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota parpol dan masyarakat. Ini juga tidak jelas bagaimana aturan mainnya, sehingga mungkin ‘main-main’ saja padahal ada dana APBN/APBD tersangkut di sana. Sudah sejauh mana para pemimpin Indonesia merinci pelaksanaan dan akuntabilitas atas hal ini.

Tentu saja, keberatan apabila dana parpol untuk keperluan ini ditambah tidak menjadi titik sentral, tetapi itu baru boleh setelah adanya aturan main yang jelas, akuntabilitas publik yang jelas, yang bisa saja melibatkan para pemerhati pendidikan dan kalangan profesi pendidikan independen karena inti pendidikan di mana-mana adalah sama: Menjelaskan persoalan dan membangun kepercayaan diri mereka yang dididik. Mengenai hubungan parpol dengan pemodal, akan dirinci dalam solusi berikutnya.

Ketiga, dan ini akan sangat sulit tentunya, terus menaikkan threshold parlemen dari 4% saat ini hingga minimal 10% sehingga paling tidak di parlemen tersisa hanya 5 parpol saja. Ini akan dapat terselenggara apabila akuntabilitas publik 9 parpol yang ada saat ini sudah dibongkar. Parpol disetarakan kewajiban pemeriksaan dan pelaporan keuangannya serupa dengan badan usaha. Ini pun, penaikan threshold secara Ekstrem, hanya bisa terjadi jika telah tercapai situasi putus jejaring pemodal parpol yang kurang bertanggung jawab. Dan negara harus mempersiapkan dana subsisten kelangsungan hidup parpol agar mereka dapat hidup mandiri.

Terus terang saja bahwa hingga saat ini, kita tidak pernah tahu berapa besar kemungkinan dana pemerintah asing yang masuk ke parpol Indonesia melalui aneka track keuangan karena sampai saat ini tidak pernah ada yang namanya audit keuangan parpol secara fair dan akuntabel. 

Seperti telah disebut, penaikan threshold yang signifikan harus diimbangi kemampuan negara untuk mensubsidinya. Subsidi ini tidak boleh dari hutang luar negeri melainkan dari pendapatan otonom Indonesia. Jika pendanaan parpol mandiri dan ditopang oleh APBN/APBD, maka elemen terbesar dari parpol (anggota yang kurang modal, tetapi punya idealisme bagus) akan tumbuh secara alamiah.

Mereka tidak akan ragu mempertanyakan bahkan memprotes arahan kurang sehat dari para ‘bandar’ uang parpol karena mengetahui bahwa organisasi mereka (parpolnya) adalah milik publik, mayoritas sumber keuangannya dari APBN/APBD, dan ada kontrak jelas dengan para penyumbang dana. Alternatif semacam ini adalah upaya ‘membangunkan macan-macan tidur di dalam tubuh parpol’ dan ‘macan’ ini tidak sedikit melainkan bagian terbesar dari anggota parpol yang berpotensi dan punya idealisme.

Keempat, pernyataan mengenai jumlah parpol ‘wajar’ di Indonesia sulit akan 3 seperti Orde Baru. Tetapi minimal, yang memungkinkan dengan koalisi 2 atau maksimal 3 parpol saja, sudah terbangun simetrisnya kekuasaan di eksekutif dan legislatif (kabinet koalisi).

Dengan demikian 5 parpol parlemen, 3 koalisi eksekutif dan 2 oposisi adalah paling maksimal dan ideal untuk jangka menengah. Jumlah parpol ideal adalah mengikuti garis bifurkasi ideologis alamiah Indonesia seperti sudah ditunjukkan kajian Feith, Castle, dan Geertz (jika dianggap masih relevan).

Ini sudah cukup lumayan mengingat pusat (eksekutif, presiden) masih punya persoalan terkait implementasi status quo konstitusi seputar asal-usul kepala daerah: Pertanggungjawaban kepala daerah bukan kepada presiden, tetapi kepada rakyat daerah yang memilihnya sebagai pembenar normatif, dan kepada ketua umum partai plus pemodalnya sebagai pembenar pragmatis. Urusan konkuren adalah jembatan akrobat untuk aneka kepentingan ini.

Penutup

Sebagai penutup, penulis menyampaikan tiga proposisi sebagai hasil pembahasan. Pertama, pasca Orde Baru yaitu sejak 1998 hingga penghujung tahun 2020 jumlah parpol tetap relatif banyak, yaitu antara 9 hingga 10 parpol di parlemen, kendati ambang batas parlemen telah dinaikkan dari 3,5 menjadi 4 persen. 

Kedua, berlakunya multipartai ekstrem ternyata telah memiliki dampak tertentu bagi efektivitas sistem presidensial. Ketiga, harus ada solusi yang bisa ditawarkan ke depan sehubungan dengan efektivitas sistem presidensial dikaitkan dengan jumlah parpol di dalam parlemen. 

Ketiga proposisi penutup ini akan dijelaskan ke dalam tiga uraian singkat berikut. Pertama, jumlah partai politik yang selalu besar secara kuantitas pasca transisi politik 1998 merupakan akibat dari masih berlakunya politik aliran di Indonesia kendati sudah tidak seEkstrem era 1950-an dan 1960an. Inilah yang membuat setiap partai politik memiliki alasan pendiriannya masing-masing dan mereka atas dasar aliran ini basis massanya pun definitif. Dilihat dari politik aliran maka partai-partai yang ada di Indonesia sekurangnya bisa terbifurkasi ke dalam 4 (empat) aliran yaitu nasionalis, Islam modernis, Islam tradisional, dan sosialdemokrasi sehingga paling maksimal pun jumlah partai secara natural adalah 4 (empat) partai politik dan ini adalah multipartai yang sangat moderat di Indonesia saat ini.

Kedua, terkait dengan efektivitas sistem presidensial maka sistem kepartaian multipartai Ekstrem yaitu 10 (sepuluh) partai politik kurang kondusif karena terlampau banyaknya kepentingan elit di koalisi pemerintahan. Kepentingan elit inilah, dan bukan aliran ideologis, yang membuat multipartai Ekstrem tidak mendukung efektivitas sistem presidensial.

Ketiga, mengenai solusi yang ditawarkan untuk memodereasi multipartai Ekstrem di Indonesia menjadi multipartai yang sekurangnya moderat adalah dengan merekayasa undang-undang yang mengatur tentang partai politik. Undang-undang tersebut harus rinci muatannya sehingga dapat mempersulit berdirinya partai baru, meringkas yang sudah ada, dan meningkatkan kualitas setiap partai politik yang ada di Indonesia. Hal solutif yang ditawarkan adalah mekanisme rewardpunisment terhadap partai-partai politik yaitu negara menanggung biaya operasional partai politik tetapi di sisi lain partai politik fair dalam proses rekrutmen dan cara kerja mereka.

Referensi

Sutisna, Agus, “Politik Penyederhanaan Sistem Kepartaian di Indonesia Pasca Reformasi 1998” (Sosio Didaktika: Sosial Science Education Journal, 2(2), 2015.

Suwarko, Andi, “Penyederhanaan Sistem Kepartaian Pasca Orde Baru” (Jurnal Review Politik, Volume 3, No. 02, Desember 2013) h. 279-97.

Mack, Charles M., When Political Parties Die: A Cross-National Analysis of Disaligntment and Realigntment (Santa Barbara: Praeger, 2010).

Syam, Firdaus Syam, Sahruddin, dan Ajeng Rahmanillah, “Political Celebrity Recruitment in Legislative Elections 2014” (International Journal of Innovation, Creativity and Change: www.ijicc.net) pp. 104-124.

Feith, Herbert and Lance Castle (eds.), Indonesian Political Thinking 1945-1965 (Ithaca and London: Cornell University Press, 1970).

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/07/17/berapa-kursidpr-ri-yang-diraih-partai-politik-padapemilu-2014.

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/02/perolehankursi-dpr-2019-2024-pdip-palingbanyak.

https://kpu-jakartatimurkota.go.id/sejarahkpu/pemilu-1955/.

https://nasional.tempo.co/read/1062006/ empat-partai-baru-di-pemilu-2019-dankekuatan-pendirinya.

Lampiran Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Nurhamis, Moch. “Paradoks Pemilu Serentak 2019: Memperkokoh Multipartai Ekstrem di Indonesia” (Jurnal Penelitian Politik, Vol. 16, No. 2, Desember 2019) h. 125-36.

Reeves, David, Golkar: Sejarah yang Hilang, Akar Pemikiran & Dinamika (Depok: Komunitas Bambu, 2013).

Haris, Syamsuddin, Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014).

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. Lihat juga Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Reactions

Posting Komentar

0 Komentar