Jika Samuel P. Huntington tahun 1990-an melontarkan tesis "Benturan Peradaban" (Clash of Civilization), maka mengapa kita di Indonesia enggan melontarkan tesis "Benturan Ideosinkretik" (Clash of Idiosycracy). Padahal, fenomena Clash of Idiosyncracy sangat kuat mengentara dalam Pilpres 2014 maupun Pilpres 2019. Juga, sangat mungkin kembali terjadi terjadi dalam Pilpres 2024.
Penulis harus terlebih dahulu mempertanggungjawabkan istilah "Benturan Ideosinkretik" ini. Ideosinkretik adalah suatu konsep dalam skala mikro politik, dengan mana terbentuknya gagasan satu individu sangat ditentukan oleh latar belakang dirinya, situasi nyata masyarakat di sekitar mereka, serta persepsi yang kemudian muncul baik sadar maupun subliminal.
Dimensi ideosinkretik tersebut saja merupakan formulasi dari agama (taat-longgar), etnisitas, pengaruh orang tua atau keluarga, tingkat pendidikan, komunitas terdekat (domisili tempat tinggal, klub-klub sosial yang diikuti), peer-group, status sosial-ekonomi, dan sejenisnya. Aneka latar belakang ini menerpa kepribadian individu sehingga bersifat subliminal.
Sifat subliminal ini kemudian menjadi pedoman arah bertindak tatkala mereka menemukan suatu realitas sosial. Ujungnya, sadar ataupun tidak, aneka gagasan yang dikemukakan satu individu tidak akan beranjak jauh dari aneka dimensi ideosinkretik tersebut. Tinggal masalah yang tertinggal adalah, ada individu yang coba mengubah realitas sosial berdasarkan dimensi ideosinkretik mereka. Namun, ada pula individu yang sekadar melatenkan dimensi tersebut, apapun realitas yang mengelilingi mereka.
Apa yang disebut sebagai "politik identitas" tidak lain merupakan cara yang lebih sempit dalam mengungkapkan adanya dimensi ideosinkretik ini. Mengapa dapat dikatakan sebagai lebih sempit? Hal tersebut karena "politik identitas" hanya merujuk pada atribut-atribut yang sama dan terkadang bersifat artifisial.
Misalnya saja identitas "wong cilik" dapat saja digunakan sebagai cara untuk menyatakan kumpulan orang-orang "kecil" yang ditindas oleh mereka-mereka yang berpunya. Namun, istilah "wong cilik" sesungguhnya bersifat abstrak karena tidak mengacu pada aneka unsur eksperensial yang mampu membentuk persepsi tetap di dalam diri individu, sehingga secara instingtif, apapun pandangan mereka atas dunia sadar maupun tidak selalu didasarkan atas persepsi tetap tersebut.
Begitu seorang "wong cilik" mendapat uang banyak secara mendadak, maka identitas tersebut pun menghilang. Segeralah "wong cilik" berubah menjadi "tuan kaya" yang segera memisahkan diri dari identitas asalnya.
Dimensi ideosinkretik tidak seartifisial itu. Cara pandang Hatta, Cokroaminoto, Tan Malaka, Sukarno, Pramudya Ananta Toer, Mao Tse-tung, Ho Chi Minh, Multatuli ataupun Broz Tito, yang padat dan komprehensif mengenai kolonialisme adalah "buah" dari dimensi ideosinkretik, bukan sekadar identitas.
Jika kita membandingkan kontrasnya sikap Sukarno dan Sjahrir atas Belanda, maka kita tidak bisa sekadar menganalisisnya berdasarkan "identitas" mereka. Keduanya sama-sama orang Indonesia, keduanya memiliki darah bangsawan, keduanya mahir berbahasa Belanda, atau pun keduanya sempat mengenyam pendidikan tinggi.
Dimensi ideosinkretik Sukarno dapat dilihat dalam aneka tulisannya di dalam kumpulan artikelnya "Di Bawah Bendera Revolusi" dan "Otobiografi" yang ia ceritakan pada Cindy Adams. Sementara dimensi ideosinkretik Sjahrir sangat jelas dalam "brosurnya" yang berjudul "Perjuangan Kita."
Latar belakang individual mereka (identitas) kemudian mereka petakan, dan kemudian memunculkan persepsi yang menurut David Hume dikategorikan sebagai ide, yang sifatnya imajinatif non "fancy." Baik Sjahrir maupun Sukarno percaya bahwa ide tersebut bisa diterapkan di alam nyata guna mengubah realitas. "Ide" yang "diterapkan" untuk "mengubah realitas" inilah yang disebut sebagai ideosinkretik. Sebagai imajinasi ada dua kemungkinan: Ide tersebut dapat terwujud dan dapat pula tidak.
Tidak hanya Sjahrir dan Sukarno saja yang memiliki dimensi ideosinkretik. Saya, pembaca, Si Budi Kecil penjual koran, Iwan Fals, Dedi supir Ojol, atau Wati si penjahit konveksi, pun memiliki dimensi ideosinkretik ini. Mereka semua memiliki kehendak laten mengubah realitas, dan manakala mereka merasa tidak mampu untuk melakukan itu, sebagai kompensasinya mereka akan melirik kepada satu atau beberapa individu yang dinilai merepresentasikan dimensi ideosinkretik mereka. Hal inilah yang terjadi dalam Pilpres 2014, 2019, dan (sangat besar kemungkinannya) Pilpres 2024.
Mengapa perlu disebutkan paralelisasi antara fenomena Pilpres dengan dimensi ideosinkretik "orang-orang biasa" ? Hal ini dikarenakan Pilpres-pilpres yang disebutkan (kecuali 2024) memiliki 2 paket ideosinkretik. Para Capres dinilai oleh para pendukung awamnya akan mampu mengubah realitas koheren dengan apa yang diimajinasikan oleh Si A atau Si B.
Sebagai contoh, dalam Pilpres 2014, pasangan Prabowo-Hatta dinilai akan mampu memajukan luar Jawa, memberikan Islam tempat yang "seharusnya" dalam konteks bernegara. Koheren dengan imajinasi ini, pasangan lawan yaitu Jokowi-JK dinilai akan meminorkan peran Islam, melestarikan dominasi Jawa atas Indonesia, juga "menghamba" pada para pebisnis kakap beretnis Cina.
Dimensi ideosinkretik tidak berhenti hanya di dalam masalah atribut sosial (identitas) melainkan pada tertanamnya persepsi yang kemudian memunculkan imajinasi mengubah realitas. Dapat diistilahkan para pemilih masing-masing Capres menjadi "true believer." Apabila kita amati aneka perbincangan di dalam grup-grup Whatsapp di dalam satu komunitas yang sama (beridentitas sama) pun maka bifurkasi (pembelahan) pilihan terjadi.
Seorang yang lebih prefer atas aspek literalistik dan lebih rigid dalam memahami agama umumnya akan berpihak pada Prabowo-Hatta (Pilpres 2014) dan melanjutkan pemihakannya pada Prabowo-Sandi (Pilpres 2019). Penulis beranggapan hal ini juga agar terus terjadi di Pilpres 2024. Argumentasi publik "awam" dalam "membela" pilihan mereka sangat mendalam (kendati tidak lepas dari identitas mereka) dan cenderung menegasikan apapun data obyektif (juga subyektif) yang berkenaan dengan Capres yang tidak mereka pilih. Pemicu hal ini adalah prediksi ke mana realitas akan berubah. Atau dengan lain perkataan, kekhawatiran mereka akan masa depan yang dibayangkan secara imajinatif (tentu saja).
"Benturan Ideosinkretik" penulis prediksi akan tetap terjadi dan lebih "menghebat" ketimbang di Pilpres 2014 dan 2019. Indikatornya adalah fenomena sistem politik internasional buah dari konflik Russia-Ukraina. Kedua negara tidak berdiri sendiri melainkan memiliki pendukung kuat.
Adalah kepentingan kedua pihak agar Indonesia berada di dalam posisi menguntungkan mereka. Dengan lain perkataan kedua pihak memiliki kepentingan dalam hajat Pilpres 2024. Agen-agen intelijen mereka sangat paham akan adanya dimensi ideosinkretik ini dan menjadi "intervening variable" terhadap proses Pilpres 2024 yang sejak saat ini sesungguhnya telah dimulai.
Dalam Piplres 2024 aneka bifurkasi di dalam masyarakat yang telah 10 tahun terbentuk telah mapan, dan tinggal mencari pemicu saja. Politik identitas akan terus dilancarkan demi menguatkan dimensi ideosinkretik yang ada pada diri konstituen. Benturan ideosinkretik memiliki kekuatannya yang paling maksimal manakala hanya terdapat 2 paket Capres saja. Setiap pemilih dituntut untuk benar-benar "mematuhi" dimensi ideosinkretik mereka.
Akan terbentuk dua faksi besar "kita" dan "mereka." Dan karena ada unsur imajinasi dalam dimensi ideosinkretik maka yang kemudian ada adalah potensi saling menegasikan antar pendukung para Capres. Dalam Pilpres 2024 kita tidak dapat berharap banyak akan adanya adu program yang rasional, melainkan sebatas hanya penegasan posisi diri paling benar dan imajinasi-imajinasi perubahan yang kerap kali dilandasi data yang "tidak matang."
0 Komentar
Anonim pun dapat berkomentar. Namun, tentu saja dengan akun pun sangat dipersilakan. Jika sudah klik Publikasikan. Juga pemirsa boleh bersoal/sharing tanggapan. Komentar pemirsa tentu tidak berisi kata atau link yang merujuk pada p*rn*grafi, jud*, *ogel, kekerasan, atau sejenisnya. Terima kasih.