Ad Code

Sejarah Politik Tanah Jawa

Kendati telah banyak berdiri kerajaan yang berpusat di Jawa, Majapahit adalah yang terbesar. Majapahit muncul setelah Singasari, kerajaan sebelumnya, meredup. Majapahit didirikan Nararya Sanggramawijaya. Berdiri tahun 1294 masehi (atau 1216 çaka), kerajaan ini lalu runtuh tahun 1527 masehi dengan Girindrawardhana sebagai rajanya terakhir. [1]

Raja-raja yang pernah memerintah Majapahit adalah Kertarajasa Jayawardhana (aka Sanggramawijaya, Raden Wijaya, 1294–1309), Jayanegara (aka Kalagemet, Wirandagopala, 1309–1328), Tribhuwanatunggadewi (aka Jayawisnuwardhani, 1328-?), Rajasanegara (aka Hayam Wuruk, ?–1389), Wikramawardhana (aka Hyang Wisesa, suami Kusumawardhani, 1389 – 1427), Suhita (1427–1447), Bhre Daha (pemerintahan transisi, 1437-?), Sri Kertawijaya (1447–1451), Bhre Pamotan (aka Sang Sinagara, 1451–1453), vacuum of power (hingga 1456), Hyang Purwawisesa (1456–1466), Bhre Pandan Alas (1466–1468), Singawardhana (1468–1474), Kertabhumi (1474–1478), Njoo Lay Wa (1478–1486), dan Girindrawardhana (aka Dyah Ranawijaya, Prabu Nata, 1486–1527). [2]

Kertabhumi dianggap raja terakhir Majapahit saat kerajaan tersebut masih berdaulat, yang kuasanya berakhir 1478 masehi. Pemerintahan Njoo Lay Wa dan Girindrawardhana adalah ketika Majapahit telah berada di bawah hegemoni kerajaan baru, Demak. [3] Dengan demikian, periode Majapahit meliputi total 233 tahun dari 1294–1527 di mana 184 tahun sebagai kerajaan berdaulat dan 49 tahun sebagai bawahan Demak.

Menurut Slamet Muljana, Njoo Lay Wa penguasa Majapahit yang diangkat Panembahan Jin Bun (aka Raden Patah). Panembahan Jin Bun peranakan Tionghoa, anak raja Kertabhumi dari putri Cina. Jin Bun diasuh Arya Damar (aka Swan Liong), kapten Cina di Palembang. Swan ini adalah anak Wikramawardhana (suami Kusumawardhani) dari seorang putri Cina. Rakyat Majapahit tidak suka diperintah Cina, muncul pemberontakan, dan Njoo Lay Wa terbunuh tahun 1486 masehi. Setelah Njoo terbunuh, Jin Bun sadar rakyat Majapahit tidak suka diperintah raja Cina. Ia lalu mengangkat iparnya, Girindrawardhana (menantu Kertabhumi), sebagai penguasa Majapahit. [4]

Dalam kerajaan Majapahit, teknis harian pemerintahan dilakukan para patih. Patih adalah tangan kanan raja, pengatur hampir semua pekerjaan pemerintahan (mirip dengan perdana menteri). Raja umumnya melakukan sejumlah peran simbolik. Patih-patih yang pernah memerintah Majapahit adalah Nambi (1294–1316), Halayuda (1316–kurang lebih 1323), Arya Tadah (kurang lebih 1323–1334), Gadjah Mada (1334–1364), lowong patih pasca Gadjah Mada (hingga 1367), Gadjah Enggon (1367–1394), Gadjah Manguri (1394–1398), Gadjah Lembana (1398–1410), Tuan Tanaka (1410–1430). [5]


Sumber Gambar:
https://setkab.go.id/wp-content/uploads/2015/03/Diponegoro-3-300x221.jpg

Dalam kuasa para patih, periode Gadjah Mada merupakan periode termasyhur. Layaknya Napoleon Bonaparte, Gajah Mada terlahir sebagai orang biasa. [6] Ia seorang military-politico yang meniti karir dari bawah hingga duduk di puncak pengambilan keputusan negara paling berpengaruh. Sulit disangkal, salah satu faktor kuat mengapa Majapahit muncul sebagai kerajaan besar akibat pengaruh Gajah Mada ini.

Penulis seperti Leo Suryadinata mengakui, awal sejarah hidup Gajah Mada tidak jelas. Namun, Encarta Encylopedia memperkirakan Gajah Mada lahir 1290 masehi. Jadi, ia lahir lahir – dan besar – saat terjadi transisi politik dari Raden Wijaya kepada Jayanagara. Penulisan tokoh Gajah Mada juga sering dihubungkan dimensi supernatural, yang sulit dihindari karena masyarakat Indonesia menilai tinggi dimensi tersebut. Penyingkapan jatidiri Gajah Mada hendaklah menghindari pencampuadukan tersebut. [7] Juga terdapat pendapat menyebut Gajah Mada turunan Mongol. Ia terlahir sebagai anak anggota pasukan Mongol yang menetap di Jawa dan lalu menikahi perempuan lokal. Argumentasi ini dibuat karena periode kelahiran Gajah Mada berlingkup penyerangan Majapahit oleh Dinasti Yuan, dinasti Cina keturunan Mongol. [8]

Suryadinata menulis, Gajah Mada mengandalkan intelijensi, keberanian, dan loyalitas dalam mobilitas vertikalnya. Karir lanjutannya kepala pasukan Bhayangkara, pasukan penjaga keamanan Raja dan keluarga. [9] Saat itu, raja patronnya Jayanagara, berkuasa di Majapahit 1309-1328 masehi. Dengan demikian, Gajah Mada tentu tengah meniti karir militer level bawah sejak era Raden Wijaya, raja pertama Majapahit.

Jayanagara putra Raden Wijaya dengan putri Sumatera (Jambi), Dara Petak. Sebab itu, darah di tubuh Jayanagara bukanlah pure Jawa. Anggapan primordial ini adalah anggapan umum kancah politik multinasional saat itu. Anggapan sulit dihindari karena nusantara telah merupakan lintasan dagang aneka bangsa. Resistensi kembangan masalah primordial ini ditandai pecahnya pemberontakan Nambi 1316 M. Menurut gimonca.com, Nambi memberontak salah satunya akibat sentimen darah Jayanagara ini. [10] Meski berhasil dipadamkan, pemberontakan tersebut menandai latensi masalah primordial dalam politik Majapahit.

Saat Gajah Mada menjabat kepala pasukan Bhayangkara, meletus pemberontakan Ra Kuti (seorang pejabat Majapahit) tahun 1319 masehi. Pemberontakannya menohok politik pusat karena mampu menduduki ibukota. Jayanagara berikut para istri Raden Wijaya dan putrinya (Tribhuwanattungadewi, Dyah Gayatri, Dyah Wiyat, dan Pradnya Paramita) mengungsi ke Bedander. Sebagai kepala Bhayangkara, Gajah Mada memastikan keamanan raja dan keluarga. Setelah situasi dinyatakan save, ia kembali ke ibukota untuk menyusun serangan balasan. Dalam penyusunan, Gajah Mada menyelidiki kesetiaan rakyat dan pejabat Majapahit pada Jayanagara. Ia memancing dengan isu terbunuhnya Jayanegara. Ternyata rakyat dan sebagian besar pejabat Majapahit menyayangkan kematian raja dan membenci Ra Kuti. Atas dasar ini, Gajah Mada menyusun serangan militer balasan lalu berhasil membalik keadaan. Pemberontakan Kuti pun padam. Raja dan keluarganya kembali ke ibukota. Saat kembali memerintah, Jayanagara ditopang kemampuan politik Arya Tadah, mahapatih Majapahit. Fokus kebijakan raja dan mahapatih adalah stabilitas politik dalam negeri. Jadi, Majapahit belum melakukan penaklukan ke pulau-pulau luar Jawa. Gajah Mada belum memegang peran penting di dalam pembuatan keputusan politik level pusat.

Atas jasanya memadamkan pemberontakan Kuti, Jayanagara menaikkan jabatan Gajah Mada dari komandan pasukan Bhayangkara menjadi menteri wilayah (patih) dua region Majapahit: Daha dan Jenggala. Posisi tersebut berpengaruh mengingat keduanya diwenangi putri Tribuwanattunggadewi (Daha) dan Dyah Wiyat (Jenggala), dua saudari tiri Jayanagara. Jayanagara belum memiliki putra laki-laki sebagai penerus tahta. Loyalitas Gajah Mada atas Jayanagara fluktuatif. Fluktuasi loyalitas ini berkisar pada tiga motif pribadi. Pertama, Charles Kimball menulis loyalitas Gajah Mada terhadap Jayanagara menurun akibat raja mengambil istri Gajah Mada selaku haremnya. [11] Kedua, Kitab Negara Kertagama olahan Empu Prapanca menulis, perubahan loyalitas Gajah Mada akibat Jayanagara mulai jatuh hati pada dua saudari tirinya: Tribuwanattunggadewi dan Dyah Wiyat. Empu Prapanca ini akrab dengan Gajah Mada. Ketiga, novelis Langit Kresna Hariyadi, menulis loyalitas Gajah Mada terhadap Jayanagara berubah akibat Gajah Mada khawatir atas perubahan sikap raja pada Tribhuwanattunggadewi.

Ketiga asumsi tersebut membayangi proses meninggalnya Jayanagara 1328 masehi. Versi Kimball menyebut Gajah Mada menskenario pembunuhan atas Jayanagara lewat Ra Tanca, tabib istana. Tanca dipaksa membunuh Jayanagara saat ia melakukan operasi pembedahan atas raja akibat penyakit bengkak yang dideritanya. Setelah raja meninggal, Gajah Mada menuding Tanca telah membunuh raja lalu mengeksekusi tabib tersebut. Kemelut ini terjadi 1328 M dan menggambarkan intrik politik istana: Kepentingan pribadi berbaur dengan nasib sebuah kerajaan. [12]

Setelah Jayanegara meninggal, Gajah Mada berkeras Tribhuwanattunggadewi harus dijadikan pengganti. Gajah Mada khawatir singgasana akan jatuh ke tangan Arya Damar, sepupu Jayanegara dari garis ibu (putri Mauliwarmadewa raja Darmaçraya).[13] Jika hal tersebut terjadi, Majapahit mungkin kembali dirundung pemberontakan dengan motif seperti Nambi dahulu. Tribhuwanattunggadewi (aka Sri Gitarja) ini adalah putri Raden Wijaya dari Gayatri, putri Kertanegara, raja terakhir Singasari. Mungkin saja, opini yang muncul saat itu adalah putra pribumi atau bukan. Juga mungkin pula peralihan kekuasaan pada ratu, membuat Gajah Mada lebih leluasa mengambil tindakan politik di kemudian hari. [14] Mulai periode Ratu inilah ekspansi Majapahit berawal.

Setelah Mahapatih Arya Tadah pensiun 1329 masehi, praktis posisinya jatuh ke tangan Gajah Mada. Tribhuwanattunggadewi mendukung rencana strategis Gajah Mada. Tahun 1331 masehi meletus pemberontakan Sadeng dan Keta, di timur Pulau Jawa. Gajah Mada mengirim ekspedisi militer ke sana. Secara politik dan militer, Ra Kembar (bangsawan sekaligus pejabat Majapahit) berusaha menutup jalan masuk pasukan Gajah Mada ke Sadeng. Dengan kekuatan militer, blokade berhasil ditembus dan upaya memasukkan kembali kedua wilayah terbuka lebar. Setelah memadamkan pemberontakan Sadeng dan Keta inilah kiranya Gajah Mada diangkat sebagai Mahapatih. [15] Bunyi sumpah Gajah Mada saat dilantik jadi Mahapatih dikenal sebagai Sumpah Palapa, bunyinya terekam dalam Kitab Pararaton sebagai berikut: Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa. [16] Sumpah tersebut disambut olok-olok para menteri Majapahit semisal Ra Kembar, Ra Banyak, Jabung Terawas, dan Lembu Peteng. Peristiwa ini terjadi tahun 1331 masehi, di mana Ra Kembar dan Ra Banyak – dalam tempo tidak terlalu lama – dimutasi oleh ratu lalu dieksekusi.

Hayam Wuruk hadir sebagai buah pernikahan Tribhuwanattunggadewi dengan Wikramawardhana, seorang bangsawan Majapahit. Suksesi lanjutan Majapahit predictable. Stabilitas politik memungkinkan adanya fokus atas politik ekspansi. Tahun 1343 masehi, Gajah Mada memasuki Bali. Ekspansi ke Bali bukan yang pertama terjadi. Sebelumnya, Raja Kertanegara (Singasari) melakukannya 1284 masehi. Ekspedisi Gajah Mada ke Bali dikenal sebagai Ekspedisi Bedahulu.

Di Bali saat itu berkuasa raja Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten, sejak 1337 masehi. Raja Bali ini punya panglima perang bernama Amangkubumi Paranggrigis. Dalam aktivitasnya, Paranggrigis punya seorang pembantu bernama Kebo Iwa, asal desa Belahbatuh. Menurut strategi Gajah Mada, Kebo Iwa ini harus terlebih dulu diatasi untuk melemahkan Bali. Sebelum diekspansi secara militer, Gajah Mada melakukan diplomasi dengan Bali. Ratu menulis surat berisikan tawaran persahabatan dari Majapahit yang dibawa Gajah Mada. Amangkubumi Paranggrigis lalu turun tangan secara langsung menggantikan Kebo Iwa dalam memimpin positioning Bali atas Majapahit. Untuk itu, ia mengumpulkan sejumlah tokoh Bali untuk menentukan sikap Bali atas aksi Majapahit. Suara bulat dicapai, Bali tidak akan tunduk. Tahun 1334 masehi, barulah Gajah Mada membawa ekspedisi militernya ke Bali. Dalam ekspedisi, ikut serta Arya Damar (atau Adityawarman) yang memangku jabatan panglima perang. Setelah serangan Majapahit, Bali mengalami vacuum of power.

Orang berpengaruh di Bali yang masih Patih Ulung. Namun, patih ini tidak mampu menguasai keadaan. Sebab itu, ia bersama dua keluarganya, Arya Pemacekan dan Arya Pemasekan, datang menghadap Ratu Tribhuwanattungadewi agar mengangkat otoritas Majapahit di Bali. Tribhuwanattungadewi (kemungkinan konsultasi dengan Gajah Mada) mengangkat Sri Kresna Kepakisan, turunan Bali Aga, selaku otoritas Majapahit. Bali Aga adalah penduduk Bali pegunungan, yang kerap dipisahkan dengan Bali Mula (orang Bali asli). Strategi politik yang terbaca adalah memecah dan menyeimbangkan kekuatan antarkelompok di dalam Bali. Di era yang sama, Gajah Mada memimpin penaklukan Lombok.

Seperti telah disebut, dalam Ekspedisi Bedahulu 1333-1334 masehi, Gajah Mada disertai Adityawarman. Sejak kecil, Adityawarman dipelihara di lingkungan Majapahit. Adityawarman lalu diangkat menjadi otoritas Majapahit di Sumatera (wilayah bekas Sriwijaya). Setelah penaklukan Gajah Mada usai, ia diangkat sebagai vassal Majapahit berkedudukan di Jambi. Adityawarman masih merupakan saudara Jayanagara, raja Majapahit sebelumnya.

Saat menjadi vassal, Adityawarman memperluas wilayah ke arah barat, Minangkabau. Di sana ia memerintah atas nama Majapahit. Penaklukan diteruskan hingga Samudera Pasai, termasuk ke dalamnya, Tumasik (Singapura), Bintan, Borneo (Kalimantan), termasuk Burni (Brunei). Penaklukan Gajah Mada lebih terarah ke timur. Perluasannya meliputi Logajah, Gurun, Seram, Hutankadali, Sasak, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Timor, dan Dompo. Bahkan sejumlah wilayah Filipina selatan juga masuk ke dalam Majapahit. Sebagian besar perluasan mengandalkan kekuatan maritim, yang untuk itu, Gajah Mada punya andalannya sendiri, Panglima Angkatan Laut Nala.

Pada tahun 1350 masehi, Tribhuwanattunggadewi lengser keprabon mandeg pandito. Ratu digantikan putranya, Hayam Wuruk yang berkuasa 1350–1389 masehi. Kebijakan Majapahit di bawah Hayam Wuruk lebih berorientasi stabilitas internal, termasuk mencari permaisuri bagi kelangsungan suksesi politik. Politik ekspansionis Gajah Mada berakhir di masa Hayam Wuruk. Raja baru ini menempatkan pembangunan candi, pengelolaan politik dalam negeri, dan pemadaman pemberontakan yang terjadi wilayah-wilayah perluasan sebagai prioritas kebijakan.

Tahun 1351 masehi, Hayam Wuruk menghasrati Dyah Pitaloka, putri Raja Sunda Galuh, sebagai permaisuri. [17] Kerajaan tersebut ada di barat Majapahit dan belum sepenuhnya tunduk pada Majapahit karena faktor kekeluargaan. Di sisi lain, Raja Sunda Galuh melihat, jika putrinya diambil selaku permaisuri, maka aliansi politik setara karena hubungan keluarga antara Sunda Galuh dan Majapahit tercipta. Datanglah rombongan besan dari Sunda Galuh, terdiri atas raja, kaum bangsawan, dan sejumlah kecil pengawal. Mereka berkemah di lapangan Bubat, pedataran luas di lingkungan ibukota Majapahit. [18]Terjadi negosiasi antara Gajah Mada dengan Raja Sunda Galuh seputar status Sunda Galuh pasca pernikahan tersebut, di mana muncul perbedaan asumsi antara keduanya: Taklukan atau Aliansi. Gajah Mada melihat potensi pembangkangan sebuah wilayah yang seharusnya tunduk pada Majapahit. Raja Sunda Galuh mendebat keinginan Gajah Mada dan memutuskan angkat senjata jika penaklukanlah yang Majapahit harapkan. Gajah Mada mengerahkan pasukan menyerang tamu tersebut. Terjadilah tragedi Bubat yang terkenal itu. Pertempuran tidak berimbang. Seluruh rombongan Sunda Galuh, termasuk raja dan putri Dyah Pitaloka, gugur. [19]

Hayam Wuruk kecewa dengan tragedi Bubat. Ada beberapa asumsi yang memuat kekecewaan Hayam Wuruk yang muncul dalam sejumlah tulisan. Hayam Wuruk yang masih muda, tentu berdarah panas dan tatkala itu sedang kasmaran dengan putri Sunda. Atau, nilai sportivitas ksatria mudanya terpancing, mengingat pertarungan dua elemen tidaklah sepadan. Juga, Hayam Wuruk malu sebab menganggap pertikaian yang disulut Gajah Mada masih ada dalam kerangka hubungan antarkeluarga. Pararaton menyebut, pasca insiden Bubat Gajah Mada tetap menjalankan fungsi sebagai Patih Majapahit hingga meninggalnya tahun 1364 masehi. Namun, ada pula yang menyebut Gajah Mada segera dimutasi ke Madakaripura. [20] Di sana Gajah Mada hidup asketis hingga meninggal 1364 masehi tanpa diketahui prosesnya. Satu hal yang pasti: Politik ekspansionis Majapahit usai. Segera setelah tragedi Bubat, Hayam Wuruk mengarahkan politiknya pada stabilitas dalam negeri. Memang muncul beberapa pemberontakan di pulau luar seperti dari Palembang, yang minta bantuan Kekaisaran Cina untuk mengimbangi kuasa Majapahit. Namun, begitu pasukan Cina datang ke Palembang, wilayah itu sudah ditangani pasukan Majapahit dan ekspedisi Cina dipukul mundur.

Apapun alasannya, Gajah Mada sosok politisi-militer yang kuat. Sejumlah tulisan menyebut Hayam Wuruk kerepotan saat mencari pengganti Gajah Mada yang serba bisa itu. Rajasanagara harus mengangkat sekurangnya empat menteri baru guna mengisi posisi Gajah Mada, yang sebelum itu terjadi, terpaksa memerintah sendiri Majapahit kurang lebih tiga tahun. Akhirnya, Hayam Wuruk mengangkat Gadjah Enggon selaku patih tahun 1367 masehi. Tiada pula, untuk sementara ini, ditemukan kabar apakah Gajah Mada punya keturunan. Butuh sebuah riset yang ditopang dana besar pemerintah Indonesia untuk mengangkat kisah Gajah Mada secara utuh. Pasca meninggalnya Gadjah Mada, vassal Majapahit – kerajaan Sriwijaya (aka San fo-ts’i) – pecah menjadi tiga yaitu Palembang, Dharmaçraya dan Pagarruyung (aka Minangkabau) tahun 1371 masehi. Kerajaan lai seperti Tanjung Pura di Borneo mengadakan hubungan luar negeri secara bebas dengan Tiongkok, tanpa melalui Majapahit lagi.

Seiring memudarnya kuasa Majapahit, Demak hadir sebagai kerajaan Islam nusantara yang menjadi tuan bagi pendahulunya yang berusia senja. Saat kuasa Majapahit mulai memudar, Demak tumbuh dari kota pelabuhan yang terletak beberapa kilometer dari laut Jawa. Menurut Ricklefs, Demak didirikan seorang asing beragama Islam bernama Cek Ko-po akhir abad kelima belas. [21] Di masa kemudian, Demak melakukan penaklukan atas wilayah-wilayah lain: 1527 menaklukan Tuban; 1529–1530 menaklukan Madiun; 1530-an Surabaya (sudah Islam) mengakui kekuasaan Demak; 1543 menaklukan Gunung Penanggungan (tempat keramat bagi penduduk Jawa Timur yang masih beragama Hindu); dan 1545 menaklukan Malang. [22]

Ricklefs menyatakan bahwa Demak memfasilitasi perkembangan kesultanan Banten dan Cirebon. Banten berkembang berhadapan dengan Pajajaran di pedalaman. Saat Pajajaran mengalami kemunduran Banten mengambil-alih pengaruh mereka di wilayah ujung barat pulau Jawa. Salah satu elit Demak, Sunan Gunungjati, mengadakan perluasan ke Barat tahun 1523–1524. Di barat, ia (tentunya bersama tentara Demak) mengambil-alih Banten lalu mendirikan pusat perdagangan dan pangkalan strategis. Di sini ia juga menggulingkan penguasa setempat dan tahun 1527 menolak keinginan Portugis yang bermaksud mendirikan benteng di Banten.

Sunan Gunungjati awalnya memerintah Banten sebagai vassal Demak. Namun, pada perkembangan kemudian keturunannya berkuasa secara otonom di Banten. Tahun 1522 Gunungjati pindah ke Cirebon. Penguasa Banten setelah Sunan Gunungjati adalah Hasanudin (berkuasa 1552–1570) lalu dilanjutkan Maulana Yusuf. Di masa Hasanudin, Banten meluaskan wilayah hingga Sumatera Selatan dan Lampung. Untuk selanjutnya, kedua wilayah tersebut memiliki hubungan dengan Jawa Barat. Tahun 1579 Maulana Yusuf berhasil menaklukan terakhir atas Pajajaran yang sekaligus menandai berakhirnya era kerajaan Hindu-Buddha di Jawadwipa. [23]

Kembali ke masalah Demak, Ricklefs menyebutkan bahwa pasca Raden Patah kuasa Demak dilanjutkan anaknya, Pati Unus (aka Sabrang Lor). Unus gugur dalam ekspedisi penaklukan Malaka-Portugis. Karena Unus belum punya keturunan, kuasa Demak lalu jatuh pada adiknya, Trenggono. Trenggono lewat putranya, Bagus Mukmin (aka Sunan Prawoto) menyingkirkan Raden Sekar Kikin (aka Sekar Seda Lepen), saudara Unus dan Trenggono. 

Di masa Trenggono, Demak meluaskan wilayah hingga Tuban dan Gresik. Di masa Trenggono pula, wilayah baru bernama Pajang berkembang, baik secara sosial, ekonomi, dan politik. Hadiwijaya jadi penguasa Pajang pertama, yang setelah Trenggono wafat 1546, lalu dinobatkan sebagai sultan Pajang. Wafatnya Trenggono memicu konflik politik seputar tahta Demak. Dalam konflik saling berhadapan Aria Penangsang – adipati Jipang (putra Raden Sekar Kikin) – melawan Bagus Mukmin (putra Trenggono). Akhirnya, Prawoto menjadi Sultan Demak keempat periode 1546–1549. Di saat yang sama, Pajang-nya Hadiwijaya semakin otonom.[24] Prawoto lalu dibunuh lewat kepanjangan tangan Penangsang sebagai tuntutan balas atas kematian ayahnya dahulu. Dengan kematian Prawoto, era Demak sebagai kekuasaan besar dan integratif berakhir.

Sebelum Prawoto naik tahta, penguasa Pajang (Hadiwijaya) memandang Penangsang rival politik paling berbahaya. Ia menyelenggarakan sayembara penumpasan yang disanggupi oleh Kyai Gedhe Pemanahan. Pemanahan, lewat puteranya Sutawijaya, (aka Panembahan Senopati) – berhasil mengalahkan Penangsang. Atas prestasinya Pemanahan mendapat hibah wilayah perdikan untuk swakelola. Wilayah ini lalu tumbuh menjadi Mataram sebagai vassal Pajang. Sutawijaya hadir selaku pengelola utama wilayah ini.

Ricklefs menguraikan, Sutawijaya lalu bertekad membebaskan Mataram dari Pajang. Hal ini berhasil ia lakukan periode 1587-1588. [25] Mataram lalu melakukan ekspansi hingga Surabaya. Pertikaian Demak versus Mataram untuk menjadi hegemon di Jawa tengah dan timur tidak terelakkan. Sutawijaya meninggal tahun 1601. Tahta dilanjutkan putranya, Panembahan Seda ing Krapyak berkuasa 1601–1613. [26] Tahun 1602 muncul pemberontakan Pangeran Puger (putra Sutawijaya dari selir, usianya lebih tua dari Krapyak) yang memaksa Krapyak mundur sementara. Krapyak membalas Puger tahun 1605. Puger kalah, lalu dikirim ke pesantren Kudus. Kini, lawan berat Krapyak adalah Surabaya.

Setelah wafat, Krapyak digantikan putranya, Agung Hanyakrakusuma, berkuasa 1613–1646. [27] Tahun 1614, Agung menyerang Surabaya selatan (ujung timur, Malang, dan Pasuruan), tahun 1616 memukul ekspedisi Surabaya, tahun 1616 menundukkan Lasem, tahun 1617 memadamkan pemberontakan Pajang (Pajang kini berbalik, jadi vassal Mataram), tahun 1622 menaklukan Sukadana, tahun 1624 susuhunan Agung menguasai Madura, akhirnya tahun 1625 Surabaya takluk, bukan akibat serangan melainkan kelaparan akibat embargo ekonomi Agung. Saat Agung meninggal 1646, Mataram telah berkuasa atas seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur ditambah Madura. Efek kuasa Mataram diantaranya adalah, hingga 1636 Palembang menganggapnya yang dipertuan dan pasca 1637 Banjarmasin menyatakannya sebagai sekutu. [28]

Pengganti Agung, Amangkurat I, berkuasa 1646–1677. [29] Sebagai penguasa baru, prioritasnya konsolidasi kekuasaan internal, sentralisasi administrasi dan keuangan, serta penumpasan aneka perlawanan yang muncul. Namun, pribadi Amangkurat I kurang baik. Di masa muda pernah menyelingkuhi istri salah satu tumenggung Mataram. Setelah berkuasa banyak melakukan political assassination atas tokoh-tokoh politik senior, yang ia gantikan dengan politisi muda pilihannya. Konsensus elit, yang awalnya mendasari keputusan politik sultan dan mampu menguatkan posisinya, sengaja ia hilangkan. Amangkurat I mengembangkan dekadensi politik berupa iklim curiga dan mau menang sendiri. Akibatnya, banyak sekutu dan vassal meninggalkan Mataram. Amangkurat I bahkan menunjukkan sikap tidak simpatik pada sekutunya sendiri. Misalnya, tatkala Sultan Hasanudin dari Gowa tengah memerangi VOC lalu mengirim utusan ke Mataram, Amangkurat I dengan arogan menolak dan meminta Hasanudin sendiri yang harus datang menghadap sebagai tanda takluk. Ia bahkan berkonflik dengan putra mahkotanya sendiri (nantinya Amangkurat II). [30] Akibat konflik, Amangkurat I melepas status pewaris tahta dari Amangkurat II dan memindahkannya pada Pangeran Puger. Tokoh Puger ini berbeda dengan Puger yang bersengketa dengan Krapyak dahulu. Puger kali ini adalah putra Amangkurat I dari permaisuri kedua. Amangkurat II putra dari permaisuri pertama. Puger adalah adik tiri Amangkurat II.

Ricklefs menulis, tahun 1675 terjadi pemberontakan skala besar atas Mataram. Kali ini serdadu Makassar menyerang, membakar sejumlah pelabuhan Mataram di timur Jawa hingga Tuban. [31] Tahun 1676 terjadi pemberontakan Trunajaya yang mengangkat dirinya keturunan Majapahit. Ada indikasi kuat putra mahkota (Pangeran Puger) terlibat. Amangkurat I lalu mengirim Puger untuk memadamkan pemberontakan Trunajaya dengan tujuan agar ia gugur dalam tugas. Puger tidak gugur melainkan sekadar kalah. Akibat kecurigaannya atas Puger, Amangkurat I melepas status putra mahkota dari Puger lalu mengembalikannya pada Amangkurat II.

Puger tetap menganggap dirinya putra mahkota, sementara Amangkurat II ditunjuk Amangkurat I kembali menjadi pewaris Mataram. Karena serangan Trunajaya, Amangkurat I dan Amangkurat II melarikan diri. Trunajaya berhasil menguasai istana Mataram lalu pindah ke Kediri. Sisa pasukan Trunajaya di Mataram lalu diserang Puger. Puger ingin menunjukkan loyalitasnya pada Mataram dan kali ini berhasil. Istana Mataram kini dikuasai Pangeran Puger yang menganggap dirinya pewaris kuasa Mataram. Tahun 1677 Amangkurat I meninggal dan tanggal 13 Juli 1677 Amangkurat II memakamkannya di Tegalwangi.[32] Amangkurat II berkuasa atas Mataram sejak 1677–1703. Program awalnya saat berkuasa adalah menjalin aliansi dengan VOC untuk menguatkan posisinya, baik di hadapan Trunajaya maupun Puger.

September 1678 Amangkurat II dan aliansi VOC-nya berhasil menghancurkan kubu Trunajaya di Kediri. Akhir tahun 1679, Trunajaya tertangkap di Jawa Timur. Pada Januari 1680, setelah dihadapkan padanya, Trunajaya ditikam hingga meninggal oleh Amangkurat II. [33] Nopember 1679, Amangkurat II memukul mundur pasukan Makassar dari Keper, Jawa Timur. Ini setelah dibantu Arung Palakka dari Bone, yang bersama prajurit Bugis-nya, memahami psikologi pasukan Makassar. Hingga saat ini, Puger tetap kukuh mempertahankan haknya sebagai penguasa Mataram.

Karena Mataram sudah dikuasai Puger, Amangkurat II menuju Pajang untuk mendirikan istana baru pada September 1680 di Kartasura. Bersama aliansi VOC-nya, ia mengusir Puger dari istana. Puger membalas, dengan menghimpun 10.000 tentara dan Agustus 1681 ia kembali menduduki Mataram. Pada Nopember 1681 Puger kembali dikalahkan oleh VOC dan akhirnya mengakui kekuasaan Amangkurat II atas Mataram. Hubungan Amangkurat II dengan VOC yang awalnya rapat kini merenggang. Setelah Puger kalah, Amangkurat II menganggap kekuasaannya stabil sehingga ketergantungan atas senjata dan bantuan VOCnya berkurang. Penentangan Amangkurat II atas VOC diantaranya tidak mau membayar utang pengeluaran militer VOC, menyabot pengiriman beras, kayu, dan gula kepada VOC, serta tidak menyerahkan Semarang. Pada pihak lain, benih antiVOC menyemai di istana Kartasura. Keretakan mencuat saat istana menerima suaka Surapati, budak belian asal Bali.

Sebelumnya, Surapati pernah menyerang pasukan VOC. Dalam serangannya, ia membunuh 20 dari 29 serdadu berkebangsaan Eropa. Patih Mataram, Angrangkusuma (tokoh anti VOC) membujuk Amangkurat II melindungi Surapati. Surapati dan 80 anggota rombongannya diberi suaka dan diberi perlindungan di sekeliling istana. Dengan adanya Surapati, kalangan anti VOC Mataram kini punya pasukan pemukul untuk melawan VOC.[34] VOC mengirim Kapten Tack, orang yang paling dibenci Amangkurat II, untuk menangkap Surapati. Amangkurat II tidak mau menyerahkan Surapati, tetapi ragu bersikap keras pada VOC. Akhirnya, taktik tipuan dilakukan. Pasukan Mataram pura-pura menyerang Surapati. Setelah pasukan Tack memburunya, Surapati bersama pasukan Mataram, yang menyamar jadi orang Bali, balik menyerang pos VOC di Kartasura. Tack terbunuh dalam penyergapan ini dengan 20 luka di jasadnya.

Amangkurat II mengembangkan koalisi anti VOC dengan Johor, Palembang, Cirebon, bahkan mendekati Inggris. Di sisi lain, Surapati justru mengembangkan komunitas politik di timur Jawa. Di dalam istana, elit politik terpecah ke dalam beberapa kelompok. Berhadapan antara kelompok pro putra mahkota (kelak menjadi Amangkurat III) melawan yang pro Pangeran Puger (kelak Pakubuwana I). Putra mahkota menjalin aliansi dengan Surapati, sementara raja senior berupaya rujuk dengan VOC. Sayang, VOC sudah tidak mempercayainya.

Tahun 1703 Amangkurat II wafat dan putra mahkota naik tahta sebagai Amangkurat III (1703–1734). Di awal tahta, Amangkurat III berselisih dengan pamannya, Pangeran Puger. Perselisihan mendorong Puger lari ke Semarang lalu bersekutu dengan VOC. Karena Amangkurat III bersekutu dengan Surapati, Puger-VOC menyatakannya sebagai common enemy. Juni 1704, VOC mengakui Puger sebagai Susuhunan Pakubuwana I yang dijabatnya 1704–1719. Peristiwa ini mendorong pecahnya Perang Suksesi Jawa I , berlangsung 1704–1708. [35]

Pasca konsolidasi politik dengan pimpinan wilayah pesisir, pasukan Pakubuwana I – kini terdiri atas gabungan orang Jawa, Madura, serdadu VOC berkebangsaan Eropa, Bugis, Makassar, Bali, Melayu, Banda, Ambon, dan kaum mardijkers [36] – menyerang Kartasura. Pasukan di bawah Amangkurat III berkhianat lalu bergabung dengan Pakubuwana I. Pengkhianatan memaksa Amangkurat III lari dari Kartasura. September 1705 Pakubuwana I berhasil mencengkeram Kartasura.

Dalam pelarian, Amangkurat III bergabung dengan Surapati. Gabungan keduanya memecahkan serangkaian perang pada 1706, 1707, dan 1708. [37] Tahun 1706, Surapati terbunuh di Bangil. Tahun 1707 Pasuruan ditaklukan Kartasura yang membuat Amangkurat III dan keturunan Surapati lari ke Malang. Akhirnya, Amangkurat III menyerahkan diri ke VOC tahun 1708, dibuang ke Srilangka, dan meninggal pada 1734.

Tahun 1705 dicapai perjanjian Pakubuwana I dengan VOC. Perjanjian lebih menguntungkan VOC. Akibatnya, politik internal Kartasura terbelah. Muncul kelompok yang enggan bergabung dengan Pakubuwana I seperti ditunjukkan tahun 1712 oleh Cakraningrat III dari Madura Barat dan tahun 1714 oleh Jayapuspita dari Surabaya. Sebagai protes, keduanya tidak lagi mau datang ke Kartasura. Tahun 1717, Surabaya bersekutu dengan tentara Bali lalu memberontak pada Kartasura. Pemberontakan berhasil dipadamkan VOC pada 1718. Di tahun yang sama muncul pemberontakan di Magetan, Madiun, Ponorogo, dan Jagaraga. Untuk memadamkan, Pakubuwana I mengirim putranya Pangeran Dipanegara. Namun, Dipanegara malah berbalik, memberontak pada pengirimnya bahkan, diangkat raja oleh kalangan pemberontak bergelar Panembahan Erucakra (ratu adil). [38]

Saat kuasa Mataram di timur beruntuhan, tahun 1719 Pakubuwana I wafat. Putranya, Amangkurat IV naik tahta, berkuasa 1719–1726. Bagi VOC, Amangkurat IV dianggap penguasa yang telah ditinggalkan rakyatnya serta dimusuhi seluruh dunia Jawa. [39] Terbukti, tahun 1719 itu juga adik-adik Amangkurat IV (Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya) menyerang Kartasura. Serangan memperoleh simpati Ratu Pakubuwana, ibu ketiga bersaudara. VOC menghalau serangan Pangeran Blitar dan Purbaya. Bersama pengikutnya, keduanya melarikan diri ke Mataram. Paman mereka, Arya Mataram, juga tidak menyukai Amangkurat IV. Setelah konsolidasi politik pesisir utara, ia memproklamasikan diri sebagai raja tandingan. Proklamasi Arya Mataram memicu Perang Suksesi Jawa II (1719–1723). [40] Hanya VOC yang mampu menyelamatkan Amangkurat IV. Pada Maret 1726, Amangkurat IV wafat karena racun. Tahta digantikan putranya, Pakubuwana II, berkuasa 1726–1749.

Pakubuwana II naik tahta usia 16 tahun. Di awal pemerintahan ia berada di bawah bayang ibunya (Ratu Amangkurat), Patih Danureja, dan neneknya (Ratu Pakubuwana) yang sufi saleh. Pakubuwana II membayar utang-utang pendahulunya pada VOC. Praktis tersisa hanya hutang Pakubuwana I, berupa ganti rugi biaya VOC dalam Perang Suksesi Jawa II dan sepertiga hutang saat menaikkan Pakubuwana I ke jabatan raja. Intrik politik tingkat tinggi melingkupi singgasana Pakubuwana II.

Patih Danureja membiakkan kekuasaan pribadi. Ia bermusuhan dengan Aria Mangkunegara, saudara lelaki Pakubuwana II. Akibat rekayasa Danureja, Mangkunegara dibuang VOC ke Batavia, Srilangka, dan Tanjung Harapan. Kini istana dikuasai raja impulsif dan patih berbahaya. Ratu Pakubuwana turun tangan mengatasi Danureja, membelokkan intrik politik istana kepada pencitraan Pakubuwana II selaku raja-sufi teladan. Di bawah pengaruh Ratu Pakubuwana, proses Islamisasi berlangsung. Ratu membentuk faksi Islam, faksi politik yang dilandasi moralitas Islam. Faksi ini berhadapan dengan faksi Danureja sebagai lawan terkemuka.

Moralitas Pakubuwana II ditunjukkan lewat konsistensinya membayar utang pada VOC. Konsistensi terus berlangsung hingga putus hubungan keduanya tahun 1741. Setelah Ratu Pakubuwana wafat, kebijakan faksi Islam diteruskan Pangeran Purbaya dan Patih Natakusuma, adik ipar raja. Tahun 1737, Pakubuwana II mengangkat Purbaya jadi patih kedua, berdampingan dengan Natakusuma. Hubungan Pakubuwana II dan Purbaya merenggang setelah istri Pakubuwana II (saudari Purbaya) wafat. Pakubuwana II menyerahkan Purbaya pada VOC. VOC pada Nopember 1738 membuang Purbaya ke Srilangka. VOC menghendaki raja juga membuang Natakusuma, tokoh kunci konspirasi anti VOC istana. Sayang, keinginan tersebut justru menyulut kebencian raja atas VOC.

Tahun 1738, Cakraningrat IV (penguasa timur Mataram) menolak sowan kendati Pakubuwana II memerintahkannya. Cakraningrat IV bahkan menyatakan kehendak menjadikan VOC sekutu politik. Kompensasi yang diminta Cakraningrat IV adalah dukungan VOC bagi keinginannya lepas dari Kartasura. Di sisi lain, VOC menghadapi masalah populasi Cina yang terus datang ke Jawa. Banyak diantara mereka jadi pengangguran lalu bergabung dengan gerombolan kriminal di sekitar Batavia. Selain itu, sejak 1721 VOC telah mengendus konspirasi kalangan Cina yang anti VOC. Konspirasi bertujuan membunuhi orang Eropa di Batavia. Konspirasi dipicu kekhawatiran orang Cina mereka akan dibuang ke laut lepas oleh VOC dari atas kapal saat dilakukan deportasi. Kulminasinya lalu pecah kerusuhan Cina tahun 1740. Kerusuhan membuat sekitar 10.000 orang Cina tewas. VOC kini berhadapan dengan orang-orang Cina. Sebagian orang Cina sudah memeluk Islam dan salah satu pendukung mereka adalah Pakubuwana II. [41]

Pasukan aliansi Pakubuwana II dengan orang Cina mewujud dalam pengepungan markas VOC Semarang pada Nopember 1741. Pengepungan dilakukan 20.000 tentara Jawa dan 3500 orang Cina yang dilengkapi 30 pucuk meriam. Cakraningrat IV memandang konfrontasi frontal Pakubuwana II melawan VOC berdampak buruk bagi kekuasaan pribadinya. Akibatnya, semakin bulat kehendak Cakraningrat IV bersekutu dengan VOC. Dalam pengepungan, Pakubuwana II mengajukan tawaran, jika orang-orang Eropa di markas VOC bersedia masuk Islam, maka mereka akan dibebaskan. Banyak orang Eropa tertarik dan menuruti tawarannya. Konfrontasi dengan Pakubuwana II membuat VOC melirik Cakraningrat IV sebagai sekutu potensial untuk mengimbangi Pakubuwana II. Tahun 1741, VOC mengabulkan kehendak Cakraningrat IV untuk lepas dari Kartasura. Kondisi berbalik, VOC kini mendapat bantuan. Pasukan Cina dan Pakubuwana II dipukul mundur. Cakraningrat IV melakukan operasi pembersihan di seluruh wilayah Jawa Timur. Pakubuwana II kini terjepit posisinya. Bahkan, ia dan ibu suri (Ratu Amangkurat) rela menghadap dan memohon maaf pada VOC. Setelah itu, Pakubuwana II menjauhi sikap anti VOC. [42]

Sikap Pakubuwana II tidak berpengaruh atas faksi-faksi politik yang awalnya tergabung dalam aliansi anti VOC. Perang terbuka melawan bekas aliansinya yaitu orang Cina dan kelompok bangsawan anti VOC marak. Tahun 1742, cucu lelaki Amangkurat III (aka Sunan Kuning) diangkat sebagai susuhunan oleh kalangan pemberontak. Perang sporadis dari kalangan pemberontak kini tertuju pada dua sasaran: Pakubuwana II dan VOC. Akhirnya, pemberontak menaklukan Kartasura tahun 1742. Pakubuwana II lari ke Panaraga. Di sana ia kembali mendalami mistik Jawa pra Islam, bahkan berhubungan secara metafisik dengan ruh penguasa Gunung Lawu. Sekutu VOC, Cakraningrat IV memberi bantuan dan mengusir pemberontak dari Kartasura. Cakraningrat IV meminta VOC membunuh Pakubuwana II. Permintaan ini ditolak karena kurang strategis. VOC tetap menyimpan Pakubuwana II yang lebih lunak dan mudah diatur ketimbang Cakraningrat IV. [43]

Sunan Kuning menyerah pada Kartasura tahun 1743. Praktis sejak 1743, pemberontak yang signifikan hanya dua saudara lelaki Pakubuwana II, Pangeran Singasari dan Pangeran Mangkubumi, ditambah Mas Said, keponakannya. Tahun 1746, Pakubuwana II meninggalkan istana Kartasura, resmi pindah ke Surakarta tahun 1746. Namun, di istana baru hawa pemberontakan tetap berhembus. Pakubuwana II mengumumkan siapapun yang bisa menumpas pemberontak akan diberi imbalan wilayah timur laut seluas 3000 cacah.

Mangkubumi adalah pangeran yang paling bersemangat mengikuti tawaran. Tahun 1746 ia mengalahkan Mas Said. Namun, atas hasutan patih Pringgalaya (musuh Mangkubumi), raja menahan anugerah wilayah. Hasutan ini mengecewakan Mangkubumi. Kekecewaan bertambah karena Pakubuwana II meratifikasi usul VOC agar Mataram menyewakan pesisir utara dengan imbalan 20.000 real per tahun. Mangkubumi menganggap Pakubuwana II menyalahi konsensus politik Jawa yang menghendaki mufakat elit sebelum mengambil keputusan. Mangkubumi menganggap masa depan Jawa suram jika ada di tangan Pakubuwana II. Kekecewaan Mangkubumi meledakkan Jawa ke dalam Perang Suksesi Jawa III (1746–1757). [44]

Kekecewaan mendorong Mangkubumi kini bersekutu dengan Mas Said. Tahun 1747 Mangkubumi memimpin 13.000 pasukan infanteri dan 2500 kavaleri. Tahun 1748 pemberontak mengancam Surakarta. Dalam situasi gawat Pakubuwana II jatuh sakit lalu mengusulkan VOC agar mengambil alih kuasa atas seluruh kerajaan. Usul ini disetujui VOC pada 11 Desember 1949. Di tanggal yang sama VOC mengumumkan diangkatnya Pakubuwana III (memerintah 1749–1488) sebagai penerus tahta.

Sebelum Pakubuwana III naik tahta, pasukan pemberontak terlebih dulu mengangkat Mangkubumi sebagai raja bergelar Susuhunan Pakubuwana tanggal 12 Desember 1749. Penobatan dilakukan di Yogyakarta, markas besar mereka. Mangkubumi pemimpin politik paling cakap di Jawa sejak Sultan Agung. Ia memerintah 1749–1492. Tahun 1755 Mangkubumi menggunakan gelar Hamengkubuwana sehingga kemudian dikenal sebagai Hamengkubuwana I. Kini Jawa dipimpin seorang raja pro VOC (Pakubuwana III) dan raja tandingan (Hamengkubuwana I). Dari garis Hamengkubuwana lahir Pangeran Dipanegara yang termashur (putra sulung Hamengkubuwana III). Mas Said diangkat sebagai patih.

Tahun 1750 Mas Said kembali menyerang Surakarta. Kali ini serangannya berdampak signifikan atas VOC. Putra mahkota (calon Pakubuwana IV) pun berpihak pada kalangan pemberontak. Kembali muncul perpecahan antara Mangkubumi dengan Mas Said. Situasi pelik coba diatasi VOC dengan mengundang mediator politik berkebangsaan Turki, Syeh Ibrahim. Selain itu, Mangkubumi pun menunjukkan keinginan baik memulai putaran perundingan. Perundingan difokuskan pada syarat-syarat dari Mangkubumi yaitu ia akan mendapat separuh bagian kerajaan (termasuk ibukotanya di Mataram) dan sebagian hasil sewa pesisir yang 20.000 real (deal antara VOC dan Pakubuwana II sebelumnya). Selain itu, perjanjian mengikat VOC dan Mangkubumi melawan Mas Said. Tanggal 13 Pebruari 1755 ditandatangani perjanjian Giyanti. VOC mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I dengan wilayah kekuasaan separuh Jawa Tengah. Tahun 1755 Mangkubumi pindah dari Mataram ke Yogyakarta. Tahun 1756 istana barunya rampung dibuat. Persoalan tersisa hanya Mas Said.

Pada 1756 Mas Said membakar istana Yogyakarta. Perbuatannya mendorong serangan gabungan Pakubuwana III, VOC, dan Hamengkubuwana I. Serangan ini membuatnya terpojok dan mulai berunding. Pebruari 1757 Mas Said menyerah pada Pakubuwana III, dan Maret 1757 mengucapkan sumpah setia kepada Surakarta, Yogyakarta, dan VOC. Sebagai imbalan kesetiaan, Mas Said memperoleh tanah 4000 cacah dari Pakubuwana III tetapi tidak sesuatu pun dari Hamengkubuwana I. Daerah kekuasaan Mas Said ada di bawah Pakubuwana III. Gelar yang dipakainya Mangkunegara I.

Tiga komunitas politik di Jawa Tengah, Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegara masih terus bertahan hingga saat ini. Yogyakarta diberi otonomi khusus sebagai Daerah Istimewa di mana keturunan Hamengkubuwana yang duduk selaku gubernur tanpa proses pemilihan langsung, bahkan di era demokrasi liberal saat ini. Keraton Surakarta dan Puri Mangkunegaraan pun kini masih menyisakan sejarah suksesi Jawa.

Catatan Kaki

[1] Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (Yogyakarta: LKiS, 2005) h. 33. Girindrawardhana ini berkuasa sebagai bawahan Demak.

[2] Urutan ini dibuat oleh Slamet Muljana berdasarkan sumber Nagarakretagama, Pararaton, Kidung Wijayakrama, berbagai prasasti dari zaman Majapahit dan kronik Tionghoa dari klenteng Sam Po Kong di Semarang. Lihat dalam ibid. h. 33. Sejarawan lain semisal Ricklefs menyajikan data raja Majapahit berbeda yaitu: Kertarajasa Jayawardhana (1294-1309); Jayanagara (1309-28); Ratu Tribhuwana Wijayottungga Dewi (1328-50); Rajasanagara aka Hayam Wuruk (1350-89); Wikramawardhana (1389-1429); Ratu Suhita (1429-47); Wijayaparakramawardhana (1447-51); Rajasawardhana (1451-3); vacuum of power (1453-6); Girisawardhana (1456-66); dan Singhawikramawardhana (1466-78). Lihat M.C. Ricklefs, Sejarah ..., op.cit. h. 55. Ricklefs mengajukan hipotesis jika Majapahit takluk 1478 maka yang melakukannya tentu bukan musuh yang beragama Islam dalam ibid. h.56.

[3] ibid., h. 29.

[4] Girindrawardhana ini berkuasa selama 40 tahun, menjalin hubungan dengan musuh Demak, Portugis. Akibatnya Majapahit diserbu Demak di bawah pimpinan Toh A Bo (putra Sultan Trenggana aka Tung Ka Lo) tahun 1527. Keturunan Girindrawardha enggan memeluk agama Islam dan bermigrasi ke Panarukan. Lihat dalam ibid.

[5] ibid., h. 27.

[6] Kisah Gajah Mada ini diambil dari tulisan penulis berjudul Biografi Gajah Mada yang dimuat dalam blog penulis di setabasri01.blogspot.com/2009/02/biografi-gajah-mada.html.

[7] Namun, pencampuran dengan dimensi religius tersebut paling tidak tetap dihargai sebagai upaya sebagian bangsa Indonesia kalangan untuk membanggakan tokohnya, terlebih Indonesia yang terus mencari figur untuk diteladani di masa bellum omnium contra omnes Indonesia saat ini.

[8] Namun, pendapat ini tidak memiliki bukti-bukti konkrit berupa inskripsi, prasasti, epik dan sejenisnya. Kitab Pararaton dan Negara Kertagama, acuan utama tarikh Gadjah Mada, bahkan tidak pernah menyebut soal ini.

[9] Leo Suryadinata, Gajah Mada dalam www.britannica.com/EBchecked/topic/223605/Gajah-Mada

[10] www.gimonca.com/sejarah/sejarah01.shtml

[11] Charles Kimball, Pre-Moslem Indonesia dalam www.guidetothailand.com/thailand-history/indonesia.php

[12] Pada masa terbunuh dan digantinya Jayanagara ini, Odoric dari Pordonone, pendeta ordo Fransiskan dari Italia mengunjungi Jawa, Sumatera dan Kalimantan.

[13] Ayah Arya Damar adalah Adwaya Brahman, kerabat raja Kertanegara (Singasari), ibunya Dara Jingga, saudari Dara Petak, ibu Jayanegara.

[14] Berbeda dengan Muljana atau Ricklefs, Kimball menulis Ratu ini baru dilantik tahun 1329 M. Periode 1328–1329 dengan demikian merupakan vacuum of power. Lihat Charles Kimball, op.cit.

[15] Leo Suryadinata, Gajah ..., op.cit.

[16] Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, Cetakan 3 (Jakarta: Penerbit Kompas, 2007) h. 423.

[17] Sunda Galuh kerabat sangat dekat Majapahit. Ayah Raden Wijaya Rakryan Jayadarma, raja ke-26 Sunda Galuh yang menikah dengan Dyah Lembu Tal, putri Raja Singasari. Dyah Lembu Tal adalah turunan langsung Ken Arok dan Ken Dedes dengan alur: Dari Arok dan Dedes lahir Mahisa Wong Ateleng. Dari Mahisa Wong Ateleng lahir Mahisa Cempaka. Dari Mahisa Cempaka inilah lahir Dyah Lembu Tal, ibu Raden Wijaya. Lihat silsilah para raja Wangsa Isana dalam Pramudya Ananta Toer, Arok Dedes, Cetakan 5 (Jakarta: Lentera Dipantara, 2002) h. 556.

[18] Lihat Slamet Muljana, Tafsir Sejarah Negarakretagama, Cetakan 4 (Yogyakarta: LKiS, 2009) h. 147. Menurut perhitungan Muljana berdasarkan Kitab Pararaton, Perang Bubat terjadi tahun 1357 Masehi.

[19] Slamet Muljana menulis bahwa setelah dikepung, Raja Sunda bersedia negosiasi ulang, tetapi para menak yang mengiringinya tidak terima dan sedia berkalang tanah ketimbang tunduk pada Gajah Mada. Melihat semangat para menak Raja terharu dan mendukung sikap mereka. Lihat Slamet Muljana, Tafsiran ..., op.cit. h. 148.

[20] ibid., h.152.

[21] M.C. Ricklefs, Sejarah ..., op.cit., h. 88. Analisis perkembangan selanjutnya banyak menggunakan sumber dari Ricklefs ini, jika tidak disebut sumber lain.

[22] ibid. h.90.

[23] ibid. h. 90-1.

[24] Pembahasan konflik sejarah tahta Demak ini secara menarik tersaji dalam bentuk novel sejarah yang ditulis Nasirun Purwokartun, Penangsang: Tembang Rindu Dendam (Jakarta: Tiga Kelana, 2010).

[25] M. C. Ricklefs, Sejarah ..., op.cit., h. 98-9.

[26] ibid., h.100.

[27] ibid., h. 102. Awal berkuasa, Agung tidak pakai gelar Sultan melainkan pangeran atau panembahan. Tahun 1624, Agung gunakan gelar susuhunan. Baru tahun 1641, Agung gunakan gelar Sultan.

[26] ibid., h. 102-3.

[29] ibid., h. 164.

[30] ibid., h. 166. Karena perselisihan ini, Amangkurat I melepas posisi putra mahkota dari Amangkurat II dan menyerahkannya kepada Pangeran Puger.

[31] ibid., h. 172.

[32] ibid., h. 175.

[33] ibid., h. 177.

[34] ibid., h. 187-8.

[35] ibid., h. 194-5.

[36] Serdadu bayaran berkebangsaan Indonesia berbahasa Portugis.

[37] ibid., h. 195.

[38] ibid., h. 198.

[39] ibid., h. 199.

[40] ibid., h. 199.

[41] ibid., h. 206.

[42] ibid., h. 212.

[43] ibid., h. 214.

[44] ibid., h. 219–26.
Reactions

Posting Komentar

0 Komentar