Agregasi kepentingan di dalam suatu sistem politik dipengaruhi oleh dua hal yaitu sistem kepartaian yang berlaku dan kinerja fungsi-fungsi agregatif. Sistem kepartaian (menurut Almond) misalnya Authoritarian, Dominant-Authoritarian, Competitif, dan Competitive Multi-party. Kinerja fungsi-fungsi agregatif misalnya apa yang ditunjukkan oleh partai politik dalam hal tawar-menawar kepentingan yang sifatnya pragmatis atau sekular, apakah ia lebih berorientasi nilai absolut, atau apakah bersifat tradisi juga partikularistik.
Agregasi kepentingan adalah proses lanjutan dari artikulasi kepentingan. Jika artikulasi kepentingan berbicara mengenai kepentingan-kepentingan yang spesifik, rinci, dan parsial maka agregasi kepentingan berbicara mengenai pengelompokkan kepentingan-kepentingan yang spesifik, rinci, dan parsial yang telah diartikulasikan. Jika aktor yang menjalankan fungsi artikulasi kepentingan adalah kelompok kepentingan (interest groups) maka aktor yang menjalankan fungsi agregasi kepentingan adalah partai politik (political parties). Pembedaan antara aktor yang menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan ini berdasarkan asumsi keluasan isu. Kelompok kepentingan dianggap membawakan isu yang sifatnya terbatas baik dalam hal isu maupun kelompok warganegara yang menghembuskannya. Partai politik dianggap membawakan isu yang sifatnya lebih luas baik dalam hal isu maupun kelompok warganegara yang menghembuskannya.
Namun, pengkotakan aktor artikulasi kepentingan hanya pada kelompok kepentingan dan aktor agregasi kepentingan hanya pada partai politik sesungguhnya bermasalah. Contohnya, Partai Hijau (Green Party) kendatipun berwujud partai politik tetapi isu yang dibawakan relatif sempit layaknya kelompok kepentingan dan mewakiliki elemen aktivis lingkungan.
Sebaliknya, kelompok kepentingan seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang secara sempit kerap dipandang hanya membawakan isu agama justru memiliki basis isu yang beragam meliputi isu agama, hak asasi manusia, otonomi daerah, demokrasi, pendidikan, politik Islam, globalisasi, nasionalisme, maupun pemberdayaan perempuan. Kelompok kepentingan dapat secara cepat dapat beralih bentuk menjadi agregator sementara partai politik pun secara cepat dapat beralih bentuk menjadi sekadar articulator. Dengan demikian, penunjukan aktor artikulasi kepentingan maupun agregasi kepentingan melulu merupakan masalah teori ketimbang faktual. Baiklah, perdebatan teoritis mengenai aktor agregasi kepentingan kami kesampingkan dengan meletakkan prioritas analisis hanya pada partai politik.
Agregasi kepentingan adalah suatu proses di mana kepentingan-kepentingan yang saling bersaing berusaha dikompromikan atau dinegasikan sehingga dapat diproses ke dalam pembuatan keputusan dan tindakan dalam suatu partai politik. Analisis mengenai agregasi kepentingan harus diposisikan sebagai variabel terikat karena manifestasinya dipengaruhi oleh sistem kepartaian serta kinerja agregatif yang ditunjukkan dalam sistem politik suatu negara.
Bagaimana partai (atau partai-partai) politik melakukan agregasi kepentingan bergantung pada banyaknya partai kontestan pemilu di suatu negara. Interaksi antar partai-partai yang berpola tetap di suatu sistem politik disebut sistem kepartaian. Sistem kepartaian mempengaruhi agregasi kepentingan yang dilakukan partai-partai politik. James E. Henderson menulis bahwa di negara dengan dua partai agregasi kepentingannya berbeda dengan negara dengan multipartai ... the way in which parties ‘aggregate’ interests is affected by the number of parties. [1] Henderson melanjutkan
Bagi Henderson, sistem kepartaian berpengaruh pada agregasi kepentingan yang dilakukan partai politik. Dalam sistem kepartaian dua partai seperti di Inggris dan Amerika Serikat, partai politik berupaya semaksimal mungkin memiliki paket-paket kepentingan yang basisnya luas dan sedapat mungkin tidak mengasingkan kelompok-kelompok yang penting di masyarakat.
Sebaliknya, dalam sistem kepartaian multi-partai tampilan agregasi kepentingan partai politik lebih rendah ketimbang di sistem dua partai. Di sistem multi partai, agregasi kepentingan yang dilakukan partai politik lebih sempit dalam hal cakupan isu dan kelompok masyarakat yang diwakili serta kerap mengasingkan segmen-segmen tertentu dalam masyarakat. Pada sistem satu partai, partai politik bertindak selaku agregator kepentingan secara penuh dan lebih tinggi cakupannya ketimbang sistem dua partai apalagi multi partai.
Sebelumnya telah kami sampaikan bahwa sistem kepartaian yang digunakan sebagai ideal typhus dalam artikel ini adalah sebagaimana diajukan oleh Giovani Sartori yang mengklasifikasinya menjadi sistem dua partai, satu partai berkuasa, pluralisme moderat, dan pluralisme terpolarisasi. Dari keempat klasifikasi tersebut, hanya tiga yang pernah berlangsung dan memiliki pola tetap yaitu pluralisme terpolarisasi, satu partai berkuasa, dan pluralisme moderat. [3]
Asumsi yang digunakan penulis adalah partai politik adalah cermin bifurkasi sosial masyarakat Indonesia. Semakin beragam bifurkasi sosial yang terjadi maka semakin beragam pula partai politik berikut ideologi yang mereka kembangkan. Sebagai negara majemuk Indonesia secara sosial terbelah seiring garis budaya dan sosial.
Secara budaya Indonesia terbelah menurut suku (etnis), agama, adat istiadat, bahasa, dan sebaran wilayah. Secara sosial, Indonesia terbelah menurut garis kelas, status, lembaga (daerah), dan komunitas-komunitas politik. Dengan kondisi ini sulit bagi Indonesia mengembangkan sistem kepartaian satu partai berkuasa ataupun dua partai.
Dengan kondisi bifurkasi sosial yang ada pula maka sejak awal sistem kepartaian di Indonesia memiliki corak multi partai. Setiap partai yang berdiri merupakan puncak gunung es yang dasarnya adalah garis sosial, budaya, maupun ideologi.
Misalnya, Partai Nasional Indonesia adalah partai kalangan pegawai negeri (masa Belanda), kaum profesional, kalangan aristokrat, kalangan petani tradisional, dengan konsentrasi belahan masyarakat Indonesia di pulau Jawa. Partai Masyumi yang berdiri 7 Nopember 1945 merupakan belahan masyarakat Indonesia menurut garis agama, terutama pengikut agama Islam yang tergabung ke dalam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, pemimpin agama tingkat desa-desa di Jawa, Madura, dan Sumatera, pemilik tanah, dan kelas menengah pedagang yang tidak terserap ke dalam PNI.
Partai Sosialis adalah partai yang mewakili belahan lain garis sosial dan budaya Indonesia. Partai Sosial yang berdiri awal 1945 merupakah fusi dari Partai Sosialis Indonesia (Amir Sjarifuddin) dengan Partai Rakyat Sosialis (Sutan Sjahrir). Partai Sosial banyak mendapat dukungan kalangan muda republik, kalangan Cina pro republik, dan kalangan sosialis non komunis. Partai lain yang sekuler dalam konteks sosialisme adalah Partai Komunis Indonesia yang segera memperlihatkan garis pisahan tajam dengan Partai Sosial versi Sjahrir. [4] Selain keempat kategori partai, terdapat pula partai-partai yang didirikan berbasis agama dan belahan sosial budaya lainnya seperti Partai Kristen Indonesia ataupun Partai Katolik.
Kendati pemilu raya baru dilaksanakan tahun 1955, kecenderungan multi partai di Indonesia cukup signifikan. Kencederungan ini pun mengindikasikan pemisahan partai berdasarkan garis ideologi yang tajam. Masyumi kemudian terpecah ketika tahun 1952 NU memisahkan diri untuk kemudian berdiri selaku partai politik otonom. Partai-partai yang berideologikan sosialis pun semakin nyata terbelah: Satu diwakili PSI yang sifatnya elit dan satu lagi diwakili PKI yang sifatnya massa. PNI tetap mempertahankan corak kebirokratan, kejawaan, dan kepriyayian.
Bifurkasi sosial dan budaya Indonesia – sekurangnya hingga tahun 1965 – digambarkan oleh Herbert Feith sebagai mengkerucut ke dalam lima ideologi besar yang berkembang di Indonesia yaitu komunisme, nasionalisme radikal, Islam, tradisionalisme Jawa, dan sosial demokrasi. Kelima ideologi tersebut terbentuk, selain bifurkasi sosial dan budaya Indonesia, juga oleh terpaan pengaruh tradisi-tradisi Jawa-Hindu, Islam, serta pengaruh Barat.
Masing-masing ideologi yang berkembang direpresentasikan satu kekuatan politik: (1) Komunisme diwakili PKI, partai dengan basis massa komunis dan sebagian tradisionalisme Jawa; (2) Nasionalisme Radikal diwakili PNI, partai yang selain mengambil basis massa kalangan nasionalisme radikal juga tradisionalisme Jawa, sebagian kalangan NU, dan sosialis demokrat; (3) Sosialisme Demokrat representasinya adalah PSI, yang basis massanya juga mengambil sebagian kalangan nasionalisme radikal, sebagian kalangan Islam dalam Masyumi; (4) Islam dengan representasi utama sebelum 1954 adalah Masyumi dengan massa utama dari kalangan Muhammadiyah dan NU; (5) Tradisionalisme Jawa yang kendati tidak memiliki satu partai representasi kuat, tetapi mewarnai ideologi yang berkembang di PKI, PNI, dan NU. [4] Kelima aliran politik Indonesia dalam kurun hingga 1965 digambarkan Feith sebagai berikut: [5]
Feith mencukupkan pemetaan ideologi dan representasi partainya hanya pada periode 1945 hingga 1965. Setelah lewat masa 1965, Feith sendiri menyatakan terdapatnya kondisi-kondisi yang memungkinkan pemetaan secara berbeda atau terjadi perubahan.
Sistem kepartaian yang berlaku adalah pluralisme terpolarisasi. Dari gambar di atas, PKI dan PNI memiliki basis massa yang berbeda terlihat dari lingkaran massa yang sama sekali tidak berhubungan. Elit PKI dan PNI secara ideologi memiliki basis berbeda. Satu-satunya penghubung adalah perkembangan diskursus tradisionalisme Jawa: Baik PKI maupun PNI memiliki basis perkembangan utama di pulau Jawa.
Namun, tradisionalisme Jawa tersebut lebih kental di PNI ketimbang PKI. Elit PNI umumnya masih memegang tegus identitas kejawaan mereka sementara elit PKI justru menganggap tradisionalisme Jawa sebagai bentuk feodalisme yang harus direvolusi secara proletariat. PKI sama sekali sulit bercampur dengan para pengusung sosialisme demokrat terlebih kalangan Islam, terutama Masyumi.
Sosialisme demokrat representasi partainya adalah PSI. Namun, setelah Pemilu 1955 partai ini mengalami kegagalan meraih basis massa yang luas. Partai ini lebih bersifat elitis dan mayoritas terdiri atas kalangan intelektual yang lebih bernuansa tradisi demokrasi yang berkembang di negara-negara demokrasi barat.
Namun, sosialisme demokrat – sebagai ideologi – memiliki sejumlah pengaruh atas elit PNI dan Masyumi, sehingga tidak mengejutkan jika elit Masyumi dan PSI banyak terlibat kolaborasi dalam pendirian Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat tahun 1958. Sosialisme demokrat juga bukan merupakan ideologi yang aneh bagi kalangan intelektual Islam di Masyumi. Pengejawantahan ideologi sosialisme demokrat adalah Pemilu 1955 di mana justru berhasil diselenggarakan oleh Kabinet Masyumi di bawah Burhanuddin Harahap.
Nahdlatul Ulama (NU) memiliki basis massa yang serupa dengan Masyumi yaitu para penganut Islam di nusantara. Awalnya, NU dan Masyumi berkoalisi tetapi karena sesungguhnya basis massa dan penafsiran ajaran Islam yang agak berbeda keduanya akhirnya berpisah tahun 1952 dan mulai tahun 1954 NU tergabung ke dalam kabinet-kabinet Indonesia sebagai entitas politik tersendiri. NU sendiri memiliki persentuhan dengan wacana tradisionalisme Jawa sehingga lebih banyak dianggotai kalangan penganut Islam di pulau Jawa. Sementara Masyumi merupakan bagian gerakan Islam modernis yang selain di Jawa juga banyak beranggotakan kalangan Islam di luar Jawa, terutama Sumatera dan Sulawesi (selatan).
PNI dan Masyumi memiliki kesulitan penggabungan padahal kedua partai ini memiliki basis massa yang paling besar. Isu-isu yang diusung kedua partai ini pun kerap berbeda sehingga menyulitkan munculnya kesepakatan di dalam parlemen. PNI lebih berorientasi pada sosialisme nasionalis sementara Masyumi lebih berorientasi pada isu revivalisme Islam.

Ideologi mempengaruhi tindakan-tindakan politik seperti program partai dan bagaimana mereka berhubungan dengan pihak lain. Semakin ideologi antara partai terpolarisasi secara tajam, maka program partai satu dengan partai lain akan semakin berbeda. Demikian pula, hubungan dengan pihak (partai) lain menjadi semakin sulit.
Demokrasi Liberal Pertama mencatat pergantian kabinet koalisi yang begitu cepat. Misalnya Kabinet Natsir memerintah 6 September 1950 dan sudah usai 27 April 1951, Kabinet Sukiman-Suwirjo memerintah 27 April 1951 dan tanggal 3 April 1952 sudah harus berakhir. Gejala ini merupakan warna utama selama berlangsung demokrasi liberal pertama dimana tidak ada partai-partai politik yang mampu menggalang koalisi politik jangka panjang.
Partai-partai politik besar pada periode sistem kepartaian pluralisme terporalisasi cenderung terjebak pada agregasi kepentingan yang terkotak ke dalam artikulasi kepentingan, tidak berupaya untuk melintasi kotak ideologis masing-masing sehingga dapat dianggap sebagai isu bersama. Misalnya, sulit bagi Masyumi untuk memberikan dukungan besar bagi Pancasila sebagai ideologi negara dalam badan konstituante ketimbang PNI. Demikian pula, sulit bagi PNI dan PKI untuk mendukung piagam Jakarta guna dimuat dalam konstitusi baru Indonesia.
Pihak militer Indonesia tentu melihat sistem kepartaian yang bercorak pluralisme terpolarisasi sebagai tidak mendukung integrasi nasional Indonesia. Hal inilah yang kemudian mendorong pemerintah Indonesia pasca Sukarno mengupayakan terbentuknya sistem kepartaian yang lebih sederhana. Golkar secara sengaja dibentuk untuk menjadi partai politik terkuat sehingga sistem kepartaian satu partai berkuasa pun menemui kenyataan.

Di dalam sistem satu partai berkuasa, Golkar merupakan agregator serangkaian artikulasi kepentingan dari kelompok-kelompok kepentingan. Di dalam tubuh Golkar hampir seluruh kepentingan yang diartikulasi oleh kelompok-kelompok kepentingan buruh, sarjana, mahasiswa, militer, Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Penghayat Kepercayaan, petani, nelayan, pedagang, pengusaha, guru, pemuda, perempuan, dan masih banyak lagi diwakili organisasi-organisasi onderbouw-nya.
Di luar politicking pemerintah pendukung Golkar, sejak tahun 1971 hingga 1997 Golkar mampu membypass aneka kepentingan dengan mengagregasikannya ke dalam program-program partainya. Tidak aneh jika Golkar mampu mendorong stabilitas politik dan meminimalisasi peran dari partai-partai politik lain semisal Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia.
Adanya satu partai yang bertindak selaku agregator utama kepentingan mendorong stabilitas politik dan kebulatan suara di dalam parlemen. Tidak seperti sistem kepartaian pluralisme terpolarisasi, ideologi dan program-program partai yang saling bertolak belakang relatif tidak ditemui sepanjang Orde Baru. Pemerintahan yang terbentuk mampu melakukan perencanaan pembangunan dan mengimplementasikannya secara pasti dan gradual. Indonesia sebagai sebuah nasion mulai menemukan bentuk yang semakin jelas ketika sebuah partai mampu menjadi agen perubahan sosial, artikulator, dan agregator kepentingan yang dominan.
Kepastian seperti satu partai berkuasa kembali mengalami perubahan ketika sistem multi partai pasca transisi politik 1998 terjadi. Kompetisi ideologi-ideologi masa lalu kembali mengentara kendati dalam derajat yang tidak setajam 1945–1965. Masa tiga puluh dua tahun Orde Baru memberi pelajaran yang cukup berharga bahwa kepentingan-kepentingan sempit sewajarnya dikesampingkan demi kepentingan yang lebih besar: Kepentingan nasional.
Sistem kepartaian yang berlaku pasca transisi segera menunjukkan gejala pluralisme tetapi tidak lagi terpolarisasi. Kendati Indonesia ditengarai oleh banyak partai posisi ideologis masing-masing partai cenderung mengabur. Partai-partai dengan ideologi yang terlampau puritan kini cenderung kurang mendapat tempat di hati pemilih Indonesia. Puritanisme ideologi seperti masa 1945–1965 telah terkikis selama periode Orde Baru 1967–1998.
Partai-partai cenderung terbelah ke dalam dua ideologi besar: Nasionalisme dan Islam. Partai-partai bercorak nasionalisme tidak lagi terkonsentrasi kepada satu partai melainkan banyak partai. Partai-partai bercorak Islam kini tidak lagi terlampau terpengaruh ideologi besar Masyumi yang puritan melainkan mulai diwarnai wajah-wajah keindonesiaan. Sistem kepartaian Indonesia pasca transisi politik 1998 diwarnai pluralisme moderat.
Partai-partai politik yang mengandalkan kepuritanan ideologi semakin termarjinalisasi dalam kurun 1999 hingga 2009. Untuk itu dapat disebut sejumlah contoh seperti PNI Front Marhaenis, PNI Massa Marhaen, PNI Supeni, Partai Indonesia Baru (pewaris PSI), Partai Bulan Bintang (pewaris Masyumi), PNU (pewaris NU), Masyumi, Partai Sarikat Islam Indonesia (pewaris SI), bahkan Partai Keadilan yang harus mengubah nama dan strategi partai dari 1999 ke 2004 menjadi Partai Keadilan Sejahtera.
Publik pemilih di Indonesia cenderung untuk tidak mengartikulasi kepentingan berdasarkan garis ideologi yang puritan melainkan isu-isu yang berkenaan dengan kehidupan berbangsa dan langsung berkaitan dengan kehidupan sosial ekonomi mereka sehari-hari. Bahkan, partai-partai besar baik yang berasaskan nasionalisme maupun Islam kini cenderung memiliki massa yang mengartikulasi kepentingan politik yang mirip satu sama lain. Bahkan pada pemilu 2009 posisi tiga besar partai pemenang pemilu diposisikan oleh partai-partai nasionalis seperti Demokrat, Golkar dan PDIP.

Sejak transisi politik 1998, artikulasi kepentingan sudah tidak dimonopoli salah satu partai belaka. Artikulasi nilai-nilai nasionalisme Indonesia bukan melulu monopoli PDIP melainkan juga dimiliki Demokrat, Golkar, PAN, bahkan PKS. PKS sejak 2008 menyatakan diri sebagai partai terbuka sehingga keanggotaannya tidak melulu harus diposisikan para penganut Islam melainkan dapat oleh umat beragama lain. Jika pada rentang 1945–1965 Herbert Feith menyebutkan tradisionalisme Jawa, maka pasca 1998 hal tersebut semakin kabur eksistensinya. Atau, jika pada rentang 1945–1965 Herbert Feith menyebutkan Islam, maka pasca 1998 ideologi ini memiliki sejumlah varian.
Pluralisme Moderat ditandai adanya perbedaan ideologi antar partai. Namun, ideologi-ideologi tersebut tidaklah terlampau berbeda antara satu dengan lainnya. Konstituen dalam sistem kepartaian pluralisme moderat relatif mudah berpindah memilih satu atau lain partai.
Nuansa pragmatis lebih kentara baik dalam diri partai politik maupun para konstituen. Partai-partai politik lebih mudah dalam melakukan agregasi kepentingan dari massa pemilih lintas partai. Sebaliknya, dalam sistem kepartaian pluralisme terpolarisasi, perbedaan ideologi terlampau dominan. Perbedaan ini membuat fusi ataupun jaringan koalisi antar partai politik relatif lebih sulit. Konstituen pun relatif lebih seperti true believer seperti dalam modus gerakan sosial (social movements).
Lalu, apa yang tampak dari konfigurasi politik Indonesia antar masa? Nuansa pluralisme tetap tampak. Namun, nuansa tersebut berkisar antara pluralisme moderat hingga pluralisme terpolarisasi. Pemilu 1955 menunjukkan pluralisme terpolarisasi ini. PNI mewakili kalangan islam abangan, priyayi, nasionalis sekuler, kultur Indonesia (utamanya Jawa). Sulit bagi konstituen PNI beralih kepada partai-partai lain seperti Masyumi, NU, atau PKI. Demikian pula, para politisi PNI sulit menjalin koalisi di tingkatan parlemen baik dengan NU, Masyumi ataupun PKI. Kerap, koalisi-koalisi yang terbangun tidaklah permanen sifatnya.
Selain itu, Pemilu 1955 menunjukkan dimensi politik aliran yang kuat. Politik aliran adalah politik yang didasarkan pada kultur dan ideologi yang berkembang dari tengah masyarakat. Kultur ini kemudian diserap oleh para elit parpol dan dijadikan basis bargaining politik di tingkatan parlemen.
Perbedaan tajam ideologi ini terlihat antara PNI (nasionalis, sekuler, islam abangan, dan birokrat/priyayi), Masyumi (islam santri modernis, kalangan menengah perkotaan, pedagang, dan orang-orang luar pulau Jawa), NU (islam santri tradisional, Nahdlatul Ulama, petani dan nelayan desa yang beragama Islam), serta PKI (islam abangan dan kalangan wong cilik).
Basis-basis politik seperti di atas, membuat representasi politik pun berbeda tajam. Bifurkasi (pembelahan) masyarakat membuat situasi politik nasional tidaklah koheren dan integratif. Konflik-konflik horizontal kerap terjadi dan sulit diperdamaikan akibat elit politik pun menderita bifurkasi yang sama. [7]
Kondisi ini pun relatif masih bersisa pada pemilu jauh di masa kemudian, 1999. Pada pemilu 1999, PDIP keluar selaku pemenang dan kerap dikatakan selaku reinkarnasi dari Partai Nasional Indonesia. Jika kita mengabaikan dimensi emosional konstituen tatkala memilih PDIP (figur Megawati selaku orang tertindas Orde Baru), maka PDIP merupakan perwakilan kalangan nasionalis, islam abangan, dan orang-orang cilik yang pada pemilu 1955 berpusar pada PKI. Tentu saja, terdapat perbedaan ideologi antara PDIP dan PKI, tetapi basis konstituen mereka relatif sama.
Suara terbanyak kedua diperoleh Partai Golkar. Partai ini secara historis merupakan incumbent dari rezim Orde Baru. Mereka banyak beroleh keuntungan organisasi dan finanasial selama kekuasaan orde baru. Partai ini yang selama kekuasaan Suharto beroleh suara tertinggi tiba-tiba jatuh dan hanya menempati posisi kedua. Banyak kader-kader mereka yang melompat masuk ke partai lain. Namun, secara ideologi Golkar tidaklah terlampau berbeda dengan PDIP. Keduanya nasionalis, hanya mewakili basis konstituen yang berbeda.
Kalangan birokrat yang pada pemilu 1955 berpusar di PNI, pada pemilu 1999 berpusar di Partai Golkar. Ini tidaklah aneh mengingat ia merupakan partai yang berkuasa selama orde baru. Political Machine merupakan julukan Golkar selama orde Suharto. Golkar kurang mampu menyentuh sentimen emosi orang-orang kecil seperti PDIP, terlebih figur Megawati yang kuat merepresentasikan Sukarno.
Posisi Golkar dan PDIP ini membuat garis perbedaan ideologi tidaklah terlampau tajam. Keduanya tetap bersepakat pada NKRI dan Pancasila selaku ideologi nasional. Keduanya pun merupakan partai yang diperkuat hampir dari orang-orang yang sama (DPP PDIP banyak pula yang datang dari Golkar). Hanya saja, terdapat stigma bahwa PDIP merupakan partai dari orang-orang nonmuslim. Ini mengingat PDI dahulu merupakan fusi dari partai-partai nasionalis, sekuler, dan partai-partai katolik dan kristen. Namun, sesungguhnya konsentrasi kalangan kristen ini pun terpecah tatkala partai seperti PDKB turut menjadi kompetitor dalam pemilu 1999. Di PDIP tentu saja pengurus partai dan massa pemilihnya lebih banyak yang beragama Islam ketimbang agama lain ditinjau secara kuantitas proporsi penganut agama di Indonesia.
Ada baiknya dipahami bahwa PDIP dan Golkar masih meneruskan tradisi tiga partai Orde Baru. Hanya saja kini posisinya terbalik, dari PDIP (dulu PDI) yang awalnya cuma partai terkecil dari 3 konstituen, kini berbalik menjadi yang terbesar. Dapat pula disebutkan pembalikan suara ini akibat akumulasi kekecewaan masyarakat dan elit politik Indonesia terhadap Golkar dan Orde Baru. Massa PDIP relatif cair, pragmatis, dan selalu berubah, seperti yang akan terlihat di pemilu-pemilu kemudian. Sementara Golkar dengan pengalaman lama, kader-kader terlatih, dan logistik yang cukup ketimbang partai-partai lain memiliki stamina yang lebih besar guna memelihara konstituen mereka.
Berbeda halnya dengan dua partai di atas adalah PPP. Selaku partai fusi dari partai-partai beraliran Islam, PPP ini sesungguhnya meneruskan tradisi 3 partai seperti pernah dinyatakan paragraf di atas. Konstituen PPP cukup solid sebab ia masih dinyatakan representasi kalangan muslim di Indonesia. PPP juga merupakan incumbent yang memiliki konstituen tetap selama Orde Baru. PPP merupakan fusi dari beberapa partai politik Islam 1973. Secara ideologi, PPP membangkitkan sentimen islam di kalangan konstituen muslim Indonesia dengan mengubah asas partai mereka dari Pancasila menjadi Islam. Namun, suara mereka pada 1999 tidak mampu membuat posisi mereka jadi yang kedua seperti pernah terjadi di masa Orde Baru. PPP duduk di posisi ketiga.
Posisi PPP menunjukkan kelestarian politik aliran 1955, meski pemahaman Islam di internal PPP sendiri pun sesungguhnya bervariasi. PPP banyak diuntungkan posisinya selaku incumbent Pemilu selama Orde Baru di mana banyak kalangan muslim yang terbiasa memilih PPP selama pemilu. Keadaan ini berubah tatkala diadakan pemilu lanjutan, 2004. Setelah PPP, posisi keempat suara terbanyak pemilu 2004 diduduki berturut-turut oleh PKB, PAN, PBB, dan PK. Partai-partai ini dari sisi ideologi sesungguhnya sama dengan PPP, yaitu mengusung sentimen Islam. Namun, dalam sejumlah strategi mereka berbeda.
PKB mengingatkan pada Partai NU di pemilu 1955. PKB meski tidak secara tegas merupakan partai politik NU mewakili konstituen Islam Tradisional yang terwadah dalam Nahdlatul Ulama. Figur KH Abdurrahman Wahid merupakan suatu kekuatan pemersatu yang membuat PKB dapat berdiri dan diminati konstituen muslim tradisional. Sekali lagi, aliran politik memiliki signifikansi di pemilu 1999.
PAN, berbeda dengan PKB, mengingatkan kita pada Masyumi. Kendati tatkala dideklarasikan Amien Rais dan kawan-kawan, PAN menyatakan diri sebagai partai terbuka, sulit dipungkiri PAN merupakan wadah politik kalangan Muhammadiyah. Ketidaktegasan PKB dan PAN dalam mengidentifikasi diri dengan ormas besar mereka (Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah) mungkin merupakan penyebab tersebarnya suara mereka. Dapat saja diperkirakan, suara kalangan NU dan Muhammadiyah pun ada yang masuk ke PDIP, Golkar, ataupun PPP. Kendati tidak lagi signifikan, basis politik aliran pun masih terlihat di hasil suara PAN yang mewakili kalangan Islam Modernis ini.
PBB, merupakan partai yang relatif lebih tegas selaku penerus Masyumi di Pemilu 1955. Namun, secara peroleh suara, PBB ini kalah ketimbang PAN. PBB yang kembali mengusung masalah Piagam Jakarta dan syariat Islam menjadi tidak terlampau diminati ketimbang PAN, saudara struktural-nya. Nasib Masyumi pun semakin terkotak dengan munculnya pesaing baru yang mewakili ideologi mereka, Partai Keadilan.
Kendati tidak lolos electoral threshold guna mengikuti Pemilu 2004, PK menunjukkan tanda-tanda baru penguatan politik aliran 1955, aliran Islam Modernis. Hanya saja, motor penggeraknya bukan lagi dari kalangan Muhammadiyah melainkan gerakan tarbiyah yang berbasis di perguruan-perguruan tinggi. Bahkan Suripto dari intelijen dan asuhannya Hilmi Aminuddin turut membidani partai politik baru ini. PK menyuarakan bentuk-bentuk keislaman yang lebih formal dan berpotensi semakin memecah suara kalangan Islam modernis.
Pluralisme lebih moderat terjadi pasca Pemilu 2004. Sifat cair konstituen PDIP menjadi kentara di Pemilu 2004. Megawati kurang berhasil dalam memanfaatkan kedudukannya selaku presiden dalam menyatakan janji-janjinya di Pemilu 1999. Suara terbanyak kembali diperoleh Golkar. Dari 154 kursi di pemilu 1999, kursi PDIP anjlok menjadi 109. Sementara Golkar dari 120 naik menjadi 128 kursi. Kendati tidak signifikan, Golkar di bawah Akbar Tanjung berhasil menaikkan suara mereka. Dapat saja diperkirakan terjadi peralihan suara dari konstituen yang kecewa dengan PDIP ke Golkar.
Namun, PDIP dan Golkar tidak memiliki basis ideologi yang terlampau berbeda. Terbukti di masa-masa mendatang terdapat beberapa pembicaraan koalisi kedua partai. Posisi ketiga pemilu 2004 diduduki oleh PKB. Dengan basis konstituen jelas, PKB stabil suaranya baik dalam dataran pemilih maupun kursi di parlemen. PKB memperoleh 51 kursi di pemilu 1999, sementara di pemilu 2004 naik satu kursi menjadi 52. Sementara itu, nasib yang sama tidak terjadi pada PAN.
Logika politik aliran yang mengacu pada pemilu 1955 menghendaki representasi Masyumi yang diwakili Muhammadiyah. Ketidakberhasilan PAN mengidentifikasi diri dengan Muhammadiyah membuatnya kurang beruntung. PAN tergeser oleh partai-partai lain yang memiliki agenda Islam relatif jelas. PPP, incumbent orde baru berhasil menetapkan suara mereka kendati kalah dari PKB. Posisi keempat pemilu 2004 diduduki PPP dengan peralihan dari 59 kursi pemilu 1999 menjadi 58 kursi pemilu 2004. Suara PPP relatif stabil kendati turun 1 kursi. Untuk sementara, aliran politik Islam Modernis kemungkinan terkonsentrasi pada PPP ini.
Sebuah partai baru, Partai Demokrat memulai debut politik nasional mereka. Di bawah bayang figur militer-staf Susilo Bambang Yudhoyono, partai beraliran nasionalis ini berhasil duduk di bawah posisi PPP. Pada pemilu 2004, Partai Demokrat berhasil memperoleh sebanyak 57 kursi. Dapat pula diperkirakan, suara-suara dari PDIP masuk ke Partai Demokrat ini. Secara ideologis, Partai Demokrat tidaklah terlampau berbeda dengan PDIP ataupun Golkar. Ketiganya merupakan pewaris PNI. Namun, sebagai istilah dapat dikatakan Golkar dan Demokrat sebagai nasionalis-borjuis sementara PDIP sebagai nasionalis-populis. [8] Dengan demikian, perbedaan aliran politik tidak terlalu kentara di antara ketiga partai nasionalis ini.
Debutan baru yaitu PKS menyodok posisi yang cukup signifikan. Tatkala bernama Partai Keadilan, PKS hanya mampu mendudukkan 6 wakil mereka di parlemen, tatkala pemilu 2004 partai ini mendudukkan 45 orang. Suatu jumlah yang mengejutkan. Karakter partai yang mewarisi semangat Masyumi ini, kendati hanya di jajaran menengah, patut pula ditelusuri sebagai muara dari hilangnya suara kalangan Muhammadiyah (juga NU).
Berbeda dengan pemilu 1999 dimana PK tampil lebih puritan, periode 1999-2004 penampilan PKS lebih flamboyan. Ini akibat masuknya menguatnya kubu sejahtera yang direpresentasikan politisi muda seperti Zulkieflimansyah, Fahri Hamzah, dan Anis Matta. PK(S) terlihat lebih membuka diri kendati tetap dicurigai membawa agenda PK yaitu syariat Islam dan perubahan ideologi negara. Identifikasinya yang lebih dekat dengan Islam moderen membuat PKS merupakan curahan kekecewaan kalangan pembaru Islam, terutama kalangan Islam politik.
PAN, kemudian, duduk di bawah bayang-bayang PKS. PAN tidak mampu mendongkrak suaranya mendekati PPP dan PKB, kendati suara nasional mereka tidak berbeda jauh dari pemilu 1999. Sejumlah partai seperti PBB diyakini merupakan pengalihan suara PAN dan PPP, termasuk juga pecahan PPP yaitu PBR. PBB dan PBR tidak mampu mendongkrat suara mereka.
Pluralisme yang juga moderat terjadi pasca Pemilu 2009. Pemilu 2009 menjadi batu ujian ketiga terhadap fenomena politik aliran. Jika memang tesis politik aliran hendak dipertahankan, maka para pewaris PNI boleh dikatakan menang lewat pemilu 2009 ini. Tiga partai nasionalis yaitu Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PDIP menduduki posisi teratas klasemen. Kendati Golkar dan PDIP menderita anjoknya suara, keduanya tetap bertahan selaku partai besar.
Partai Demokrat, serupa dengan PDIP di pemilu 1999, yaitu memiliki pemilih cair. Namun, keberhasilan SBY dalam membuatkan citra dan penampilan manajemen pemerintahan, membuat Partai Demokrat terpengaruh. Partai nasionalis-borjuis ini berhasil bertengger selaku pengumpul suara terbanyak, 20,85%. Ia disusul Golkar (14,05%) dan PDIP (14,03%). Partai-partai nasionalis ini mengambil keuntungan dari melemahnya kaderisasi di tubuh partai-partai berbasis Islam (kecuali PKS).
Tidak seperti ditargetkan, PKS tidak mampu beroleh 20% suara. PKS tetap berada di papan tengah kekuatan politik nasional dengan 7,88%. Kendati naik secara prosentasi dari 7,14% di pemilu 2004 menjadi 7,88% di pemilu 2009, sesungguhnya pemilih PKS berkurang sebanyak 118.065 suara. Ini menunjukkan PKS mengalami stagnasi.
Salah satu pengaruhnya kemungkinan akibat waspadanya Muhammadiyah dan NU atas kader-kader mereka yang direkrut PKS. Muhammadiyah, sebagai contoh menerbitkan pembatasan keterlibatan PKS di lembaga-lembaga yang ada di bawah kewenangan Muhammadiyah. Demikian pula NU melakukan hal yang sama. PKS, sebab itu gagal mengambil konstituen yang lebih besar dari dua ormas besar Islam ini, seperti yang pernah mereka lakukan pada pemilu 2004.
Nasib yang serupa juga dialami PAN. Partai ini menurun suaranya sebanyak 1.048.744 jika dibandingkan pemilu 2004. PPP mengalami penurunan 3.715.550, sementara PKB yang paling drastis, menurun sebanyak 6.843.442. Jika mengabaikan tingkat golput yang hingga 35 juta orang dan anjuran Gus Dur untuk Golput, maka PKB dapat dikatakan paling anjlok suaranya. Pertikaian internal antara Muhaimin Iskandar versus Gus Dur, membuat PKB berjalan tertatih-tatih. Muhamimin Iskandar tampak belum bisa berjalan sendiri dan menandingi figur kiyai populer seperti pamannya itu.
Debutan baru, Partai Hanura dan Partai Gerindra, mengisi fenomena mengejutkannya PKS tatkala pemilu 2004. Bedanya, dua partai ini berideologi nasionalis kendati berbeda. Secara ideologis, Partai Gerindra lebih dekat ke PDIP mengusung nasionalisme-populis, sementara Hanura lebih dekat ke Golkar atau Demokrat dengan mengusung nasionalisme-borjuis. Selain itu, keduanya tidak terlampau berbeda.
Politik aliran seperti tampak di pemilu 1955 tetap mengambil bentuknya. Namun, coraknya tidak lagi Pluralisme Terpolarisasi melainkan Pluralisme Moderat. Partai-partai mengusung ideologi yang hampir sama. Pembedaan tajam kemungkinan berkisar antara nasionalisme versus islam. Namun, polarisasi ini pun patut dipertanyakan. Bukankah lebih dari 80% penduduk Indonesia beragama Islam? Jika demikian, mengapa partai-partai Islam sulit duduk di papan atas perpolitikan nasional layaknya di pemilu 1955?
Masalah ini sulit dijawab jika didasarkan pada masalah keyakinan agama semata. Kajian seperti ini ujungnya bermuara pada tesis proporsi Islam abangan dan santri di kalangan muslim Indonesia. Namun, seperti itulah realitanya. Konstituen baik dari kalangan abangan maupun santri ternyata lebih sreg memilih partai-partai nasionalis ketimbang membawa isu agama: Agama diletakkan dalam bingkai kebhinnekaan Indonesia.
Ini terlihat saat dua partai baru yang berideologikan nasionalis berhasil lewat dari electoral threshold. Suara mereka kemungkinan berasal dari PDIP ataupun Golkar. Namun, tidak tertutup kemungkinan suara yang tadinya dimuarakan ke PPP, PAN ataupun PKB teralih pada dua partai ini. PKS mungkin dapat dikatakan sebagai salah satu representasi kalangan Islam modernis yang secara de facto sekadar meliputi 7,88% masyarakat pemilih Indonesia.
Demikian pula PPP yang tetap konsisten memuat Islam selaku asas partai namun hanya merepresentasikan 5,32% suara. PAN dan PKB lebih lentur, yang kendati populer di kalangan muslim tetapi relatif lebih terbuka. Anjloknya suara PKB lebih ditengarai faksionalisasi di tubuh internal partai ketimbang akibat benar-benar turunnya popularitas di kalangan pemilih mereka yang sesungguhnya punya basis tetap.
Bagaimana prospek ke depan dari partai-partai politik ini? Partai Demokrat, kendati menang dalam pemilu 2009 sesungguhnya serupa dengan PDIP: Lebih mengandalkan figur. Kekuatan Partai Demokrat tetap ada selama SBY aktif dalam mempromosikan partai ini. Memang sudah ada beberapa kalangan muda seperti Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, ataupun jika boleh disebut, Andi Arief yang punya kemampuan potensial guna mengelola partai ini. Namun, kehadiran partai Demokrat tetap harus mengandalkan person dan strategi militer guna melestarikan popularitasnya. Partai lain yang berpotensi mengurasi suara Demokrat adalah Partai Golkar dan Hanura, partai-partai yang punya basis konstituen dan gaya berpolitik yang sama.
Golkar, yang mengalami penurunan suara pasca turunnya Akbar Tanjung ke Jusuf Kalla pun memiliki masalah yang serupa dengan demokrat. Partai para pengusaha ini secara logika sesungguhnya lebih memiliki basis logistik dan finansial yang cukup. Demikian pula, beberapa kalangan muda partai seperti Priyo Budi Santoso ataupun Yuddy Chrisnandi [9] diyakini memiliki talenta guna meneruskan tradisi nasionalis yang ada di tubuh Golkar. Jika Golkar tidak melakukan pembenahan serius, suara konstituen bahkan kadernya sendiri dapat dengan mudah melompat masuk ke dalam pagar Partai Hanura ataupun Demokrat.
PDIP, kesulitan dengan masalah kaderisasi. Figur Megawati yang terus dipertahankan selaku pemersatu partai haruslah diubah. Perlu figur-figur muda dan kalangan meritokrasi guna mengisi partai ini. Dahulu, PDIP memiliki orang-orang seperti Laksamana Sukardi, Kwik Kian Gie, selaku representasi kalangan meritokratnya.
Kini orang-orang yang serupa dengan itu hampir belum lagi ditemui. Padahal, jika partai ini memenangkan pemilih presiden, sebagai misal, perlu jajaran mentri dari partai yang mengerti masalahnya. Di sisi lain, figur nasionalis-populis lain sudah muncul misalnya Prabowo. Jika PDIP tidak melakukan pembenahan kader sejak awal, maka pada 2014 suara konstituennya dapat lari kepada Partai Gerindra yang mengusung ideologi sama, tetapi dengan figur yang lebih muda dan enerjik. Terlebih, Gerindra memiliki amunisi finansial dan jaringan militer yang cukup.
PKS, sesungguhnya penuh dengan kalangan muda dan enerjik. Partai ini mahir dalam mengorganisir kader dan banyak di antara kader ini yang mengenyam jenjang pendidikan tinggi. Kader PKS cukup solid yang dibuktikan ketika suara-suara partai Islam turun hingga jutaan, PKS hanya kehilangan seratusan ribu.
Namun, pemilu 2009 menunjukkan stagnasi partai ini. Terlebih, kini PKS dihantam oleh ormas-ormas besar Islam seperti Muhammadiyah dan NU yang merupakan lumbung konstituen mereka. Selain itu, PKS kerap didekatkan dengan isu Islam Politik dan Islam Transnasionalis. PKS menghadapi bahaya alienisasi oleh publik muslim Indonesia. Pilihan PKS jika hendak survive dalam kepolitikan nasional berkisar pada pilihan-pilihan antara lain: mengusung isu negara dan syariat Islam secara lebih kentara, membuka diri layaknya PKB/PAN, melakukan islamisasi di wilayah-wilayah basis islam abangan/nonmuslim, ataupun terus melakukan dakwah PKS di organisasi-organisasi ready-made seperti Muhammadiyah dan NU. Seluruh pilihan yang tentunya memiliki resiko yang bervariasi.
PPP memiliki kedekatan ideologi Islam dengan PKS. Namun, ideologi mereka relatif longgar dan serba-tanggung sehingga membuat konstituen mereka mudah sekali lari dan terpencar. Posisi PPP selama ini lebih diuntungkan selaku incumbent dalam Pemilu-pemilu Orde Baru. Selaku satu-satunya partai representasi kalangan Islam di masa Orde Baru, PPP telah membangun basis konstituen di hampir seluruh Indonesia. Namun, kini mereka mendapat tantangan dari aliran Islam yang lebih muda yaitu PKS. Seberapa jauh PPP mampu tarik-menarik dengan PKS, merupakan hipotesis peroleh suara mereka di 2014.
PAN memiliki peroleh suara merosot tatkala Amien Rais turun dari pucuk pimpinan. Kendati kerap melontarkan pernyataan kontroversial dan maju-mundur Amien Rais, sama seperti Gus Dur, sama merupakan figur kuat pemersatu kohesi partai. Kekuatan Amien Rais ini terlihat tatkala ia berhasil mendikte Sutrisno Bachir untuk mendukung SBY. Kemampuan ini tidak tampak pada Gus Dur tatkala bermasalah dengan Muhaimin Iskandar. Jika PAN dan PKB memang benar-benar realistis, maka dua partai ini harus kembali merengkuh para pendiri untuk terus mempromosikan partai mereka. Jika tidak maka posisi PKB dan PAN akan terus melorot di pemilu-pemilu mendatang.</>
Catatan Kaki
[1] James E. Henderson, Public Policymaking: An Introduction , 7th Edition (Boston: Wadsworth Cengage Learning, 2011) p. 64
[2] ibid.
[3] Untuk pembahasan berlakunya ketiga jenis sistem kepartaian ini silakan lihat kembali bab Rekrutmen Politik.
[4] George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Cetakan 2 (Jakarta: Sinar Harapan, 1995) h. 195-201. Bahasan mengenai segmen basis massa partai selanjutnya mengacu pada sumber ini.
[5] Herbert Feith, Pengantar (1970) dalam Herbert Feith and Lance Castles, Pemikiran Politik Indonesia 1945 – 1965 (Jakarta: LP3ES, 1995) h. lv.
[6] Gambar dikutip dari ibid.
[7] Tulisan selanjutnya – jika tidak diseling footnote lain – diambil dari Seta Basri, Peta Partai Politik Pasca 2009 dalam setabasri.com.
[8] Istilah nasionalis-borjuis dan nasionalis-populis digunakan demi alasan kategorisasi praktif. Nasionalis-borjuis lebih mengarah pada partai yang memiliki gaya nasionalis tetapi dekat dengan kalangan kelas menengah, pengusaha, dan jalur-jalur birokratis. Nasionalis-populis adalah partai-partai politik yang lebih dengan
kalangan massa arus bawah seperti petani, nelayan, kantong-kantong pemukiman padat dan miskin, dan sejenisnya. Hal-hal ini diantaranya ditunjukkan di dalam Anggaran Dasar masing-masing partai.
[9] Politisi ini kemudian berpindah ke Partai Hanura.
0 Komentar
Anonim pun dapat berkomentar. Namun, tentu saja dengan akun pun sangat dipersilakan. Jika sudah klik Publikasikan. Juga pemirsa boleh bersoal/sharing tanggapan. Komentar pemirsa tentu tidak berisi kata atau link yang merujuk pada p*rn*grafi, jud*, *ogel, kekerasan, atau sejenisnya. Terima kasih.