Teori Kelompok Kepentingan Kelembagaan

Ad Code

Teori Kelompok Kepentingan Kelembagaan

Kelompok kepentingan institusional / kelembagaan (institutional interest groups) ini banyak sekali ditemui dalam sistem politik Indonesia. Akar dari kelompok kepentingan ini adalah organ-organ resmi pemerintah tetapi memiliki kepentingan yang spesifik sesuai dengan alasan terbentuknya masing-masing. Institutional interest groups yang terlembaga adalah fraksi di DPR. DPR sekalipun merupakan sebuah organ yang memiliki fungsi sama selaku totalitas sesungguhnya terbentuk atas elemen-elemen fraksi.

Fraksi dibentuk oleh partai-partai politik yang memiliki wakil di parlemen. Fraksi adalah perpanjangan kepentingan partai politik di dalam parlemen. Contoh dari fraksi di DPR ini adalah fraksi-fraksi yang terbentuk berdasarkan Pemilu 2009 yang terdiri atas sembilan fraksi, yaitu: (1) Fraksi Demokrat, terbentuk dari Partai Demokrat dengan 148 anggota dan meliputi 26,40% kekuatan parlemen; (2) Fraksi Partai Golkar, terbentuk dari Partai Golkar dengan 106 anggota dan meliputi 18,92% kekuatan parlemen; (3) Fraksi PDI Perjuangan dengan 94 anggota dan meliputi 16,78% kekuatan parlemen; (4) Fraksi PKS, terbentuk dari PKS dengan 57 anggota dan meliputi 10,17% kekuatan parlemen; (5) Fraksi PAN, terbentuk dari PAN dengan 46 anggota meliputi 8,21% kekuatan parlemen; (6) Fraksi PPP, terbentuk dari PPP dengan 38 anggota meliputi 6,78% kekuatan parlemen; (7) Fraksi PKB, terbentuk dari PKB dengan 28 anggota meliputi 5,00% kekuatan parlemen; (8) Fraksi Gerindra, terbentuk dari Partai Gerindra dengan 26 anggota meliputi 4,64% kekuatan parlemen; dan (9) Fraksi Hanura, terbentuk dari Partai Hanura dengan 17 anggota meliputi 3,04% kekuatan parlemen. Melalui fraksi, partai-partai politik memperjuangkan kepentingan-kepentingan spesifik dari konstituennya.




Institutional Interest Groups
Sumber Foto: http://abcj.weebly.com/uploads/2/4/0/8/24084717/3140328.jpeg?441

Analisis atas kepentingan fraksi juga dapat diperdalam dengan analisis faksi-faksi yang ada di dalam tubuhnya. Kendati membawakan kepentingan faksi, mereka ini kerap menyatakannya sebagai kepentingan institusi secara keseluruhan. Identifikasi atas istilah faksi dapat memperjelas kelompok kepentingan jenis ini. Faksi adalah kelompok yang terbentuk di dalam suatu partai politik ataupun lembaga lainnya di mana ia bersifat tidak resmi dan informal. Faksi tercipta untuk mengejar tujuan tertentu yang mungkin saja bukan merupakan tujuan bersama dari kelompok mana mereka berasal. Faksi tidak memiliki struktur kepemimpinan maupun keorganisasian yang sifatnya formal. [1] Sifat institutional faksi diakibatkan pengaruh organisasi tempat para anggota faksi berasal. Faksi selalu menyatakan bahwa mereka membawakan kepentingan organisasi secara keseluruhan.

Terbentuknya faksi cukup umum di dalam kehidupan partai politik. Karena partai politik nantinya akan membentuk parlemen pasca pemilu, maka pengaruh faksi pun akan masuk ke dalam parlemen. Contoh dari faksi misalnya di tubuh partai Golkar setelah Pemilu 2004. Sekurangnya Golkar terbagi ke dalam sejumlah faksi (menurut pimpinannya) yaitu Surya Paloh, Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, Wiranto, Prabowo, Aburizal Bakrie. Memasuki Pemilu 2009, tiga faksi Golkar menyempal untuk mendirikan organisasi sendiri yaitu Surya Paloh (nasional demokrat), Wiranto (Partai Hanura), dan Prabowo (Partai Gerindra). Golkar dikepung oleh satu faksi di luar parlemen dan dua di dalam parlemen. Di dalam tubuh Golkar parlemen, kini sekurangnya terdapat sekurangnya tiga faksi yaitu Jusuf Kalla (diwakili Agung Laksono), Aburizal Bakrie (ketua umum Golkar), dan Akbar Tanjung. [2]

Selain Golkar, faksionalisasi di tubuh partai juga terjadi di PKS. PKS sekurangnya terbagi atas dua faksi yaitu Faksi Kesejahteraan dan Faksi Keadilan. Faksi kesejahteraan diwakili politisi muda partai seperti Anis Matta, Fahri Hamzah, dan tokoh senior Hilmy Aminudin. Kedua faksi memiliki prioritas sendiri-sendiri terkait dengan program pengawasan atas pemerintah, tetapi keduanya tetap menyatakan bahwa mereka mengembang kepentingan konstituen PKS secara keseluruhan. Faksi keadilan umumnya diduduki oleh kalangan pendiri partai dan kerap mengkritisi sikap-sikap politik PKS yang pragmatis. Di tubuh Partai Demokrat sekurangnya terdapat tiga faksi yaitu faksi Anas Urbaningrum (kelompok HMI dan mantan aktivis), faksi Andi Mallarangeng (Cikeas), dan faksi Marzuki Alie (kelompok parlemen).

Faksi yang lebih luas terbentuk di dalam parlemen adalah faksi koalisi pemerintah dan faksi oposisi pemerintah. Kedua jenis faksi ini memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Faksi koalisi pemerintah mempertahankan dukungannya kepada pemerintah selama pemerintah mampu menjamin terselenggaranya reward-reward politik atas mereka seperti kursi menteri, alokasi anggaran, kebijakan politik, dan sejenisnya. Faksi oposisi pemerintah mempertahankan kepentingannya untuk mengkoreksi kebijakan-kebijakan pemerintah dan memelihara dukungan konstituen mereka di luar parlemen.

Selain partai politik, faksi juga muncul di dalam birokrasi, khususnya birokrasi yang berpolitik. Terbentuknya faksi dalam birokrasi tidak terlepas dari fenomena pemilihan kepala daerah langsung, dan faksi yang terbentuk umumnya terjadi di level birokrasi negara tingkat lokal. Hal ini ditemukan lewat penelitian Heru Cahyono, et. al. di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. [3] Konflik terjadi antar faksi di dalam kantor-kantor birokrasi negara yang merupakan pendukung tokoh-tokoh politik tertentu yang bersaing dalam Pilkada. Terdapat sejumlah faktor yang membuat birokrat berpolitik dan membentuk faksi-faksi, yaitu: (1) kepentingan individu PNS untuk mobilitas vertikal atau pengembangan karier mereka; (2) hubungan patron-client antara PNS dengan atasan mereka yang berlomba dalam suatu pilkada. [4] Dengan demikian, terdapat birokrat yang masuk ke dalam faksi X ataupun faksi Y dan dalam aktivitasnya, sumber daya milik negara dialokasikan untuk kepentingan faksinya masing-masing.

Selain parlemen, institutional interest groups juga terdiri atas militer. Militer adalah kelompok kepentingan, yang kendati tidak bersifat politik, memiliki tujuan-tujuan yang bersinggungan dengan masalah politik. Fungsi utama militer di suatu negara adalah mempertahankan negara dari ancaman-ancaman yang datang dari dalam maupun luar negeri. Sistem politik Indonesia ditengarai tidak pernah lepas dari peran militer ini.

Sewaktu negara dalam situasi dead-lock konsensus parlemen untuk memproduksi konstitusi baru, tentara mendesak pemimpin politik sipil memberlakukan keadaan darurat yang berujung pada berlakunya demokrasi terpimpin di masa Sukarno. Hal serupa dilanjutkan lewat konsepsi Nasution mengenai dwifungsi ABRI, di mana ABRI (kekuatan militer) tidak terlibat langsung dalam teknis pemerintahan tetapi juga tidak sama sekali meninggalkannya. Kepentingan militer di dalam politik bervariasi, mulai dari kepentingan atas perumusan kebijakan hingga bisnis-bisnis yang dikelola kelompok tentara. Militer juga berkepentingan dalam penentuan anggaran pertahanan dalam proses RAPBN negara. Lahirnya Undang-undang Intelijen merupakan bentuk akomodasi sistem politik atas kepentingan kalangan militer.

Bentuk anomik kelompok militer di Indonesia dapat diamati dalam kasus Malari 1974. Peristiwa Malari adalah kulminasi berupa collective actions yang dilakukan kelompok Aspri Presiden (tokohnya Ali Murtopo) melawan kelompok Hankam (tokohnya Sumitro). Malari adalah muara dari konflik kewenangan yang terjadi antara kedua kelompok tersebut sejak tahun 1970. Segera setelah peristiwa Malari usai, kedua kelompok terintegrasi kembali ke dalam institutional interest groups militer (Angkatan Darat) di mana kedua tokoh faksi yaitu Ali Murtopo dijadikan Menteri Penerangan sementara Sumitro dimutasi dari jabatannya selaku Pangkopkamtib digantikan Sudomo. Contoh lainnya adalah ketika tahun 1980 akhir pecah kongsi antara Suharto dan ABRI di mana militer terbelah menjadi dua faksi yaitu merah-putih dan hijau. Faksi merah-putih kritis terhadap islamisasi negara sementara hijau menyokong kebijakan Suharto di masa akhir kekuasaannya tersebut.

Kepolisian adalah institutional interest groups yang cukup penting dalam suatu sistem politik. Kepolisian memiliki kepentingan atas keamanan dan ketertiban sosial yang berlangsung di dalam masyarakat. Dalam menyelenggarakan tugasnya, kepolisian inilah yang langsung bersinggungan dengan masyarakat. Dengan demikian aparat kepolisian membutuhkan aturan main yang melindungi peran mereka ketika berada di lapangan tugas yang tidak cukup hanya dengan Undang-undang Kepolisian Negara karena hanya mengatur polisi sebagai entitas, bukan ketika pelaksanaan tugas. Sebab itu, diprosesnya Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (Kamnas) di parlemen dapat dibaca sebagai wujud upaya pemenuhan kepentingan kepolian sebagai lembaga. Kepolisian menjadi anomic interest groups tatkala mencuat kasus Susno Duadji di mana lembaga tersebut terbelah ke dalam dua kepentingan idealis dan pragmatis. Segera setelah kasus Susno redup kepolisian kembali menjadi institutional interest groups.

Bentuk institutional interest groups terakhir yang akan dibahas adalah komisi-komisi yang dibentuk pemerintah. Setiap komisi yang dibentuk memiliki ruang kepentingan yang spesifik, dan fungsi utama menyalurkan tuntutan dari lingkungan ke dalam proses konversi sistem politik secara terlembaga. Secara fungsional, pembentukan aneka komisi oleh pemerintah dimaklumi sebagai upaya diversifikasi dan ekstensifikasi peran pemerintah dalam mengakomodasi kepentingan warganegara. Kerap kepentingan sejumlah komisi mengalami clash dengan kepentingan institutional interest groups negara lainnya. Komisi-komisi tersebut, kendati dibentuk pemerintah, tetapi operasinya dimaksudkan independen, lepas dari kepentingan stakeholder masyarakat sipil maupun negara. Dengan demikian, komisi dicita-citakan bergerak secara mandiri dalam isu spesifik yang sesuai dengan raison d’etre pendiriannya. Dalam tulisan selanjutnya hanya akan dibahas tiga saja karena tidak mungkin seluruhnya. [5]

Komisi Yudisial adalah sebuah komisi yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan disahkan pada 13 Agustus 2004. [6] Komisi ini dibentuk seiring derasnya tuntutan lingkungan intrasocietal untuk mengadakan reformasi sektor peradilan Indonesia. Dalam operasinya, Komisi Yudisial berhubungan dengan masyarakat pencari keadilan, khususnya dengan kualitas keputusan dari para hakim. Selain itu, komisi ini bertugas melakukan seleksi sekaligus memberikan sanksi atas para hakim. Potensi clash komisi ini adalah dengan Mahkamah Agung, institutional interest group pemerintah lainnya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah institutional interest groups yang cukup populer di Indonesia. KPK didirikan berdasarkan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal 6 tersebut, KPK memiliki tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. [7] Tugas kemudian menjadi kepentingan KPK dan kepentingan ini berpotensi mengalami clash dengan fungsi kelompok-kelompok kepentingan intitutional pemerintah lainnya seperti kejaksaan, kepolisian, bahkan badan intelijen negara. Fungsi KPK secara genealogis serupa dengan Kejaksaan, Kepolisian, dan Pengadilan yaitu alat negara pencipta rasa keadilan dan keamanan pada masyarakat. Skenarion pelemahan KPK adalah bentuk anomic interest groups dari lawan-lawan KPK.

Komisi Penyiaran Indonesia adalah komisi yang dibentuk secara independen untuk mengatur hal-hal mengenai penyiaran informasi kepada baik yang dilakukan oleh lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas, lembaga penyiaran berlangganan, maupun lembaga penyiaran asing. Kepentingan KPI adalah memastikan bahwa siaran-siaran yang dilakukan seluruh lembaga penyiaran tidak bertentangan dengan ideologi negara, tidak bertentangan dengan rasa kebudayaan Indonesia, serta tidak merusak mental generasi muda dan kanak-kanak. Dalam operasinya clash yang mungkin muncul adalah antara KPI dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi serta stasiun-stasiun televisi swasta. [8]


Catatan Kaki

[1] Tom Lansford, Faction dalam Thomas Kurian, ed., The Encyclopedia ..., p. 556.
[2] SBY Pecah Golkar dalam www.detiknews.com
[3] Heru Cahyono, et.al., Negara dan Masyarakat dalam Resolusi Konflik di Indonesia (Jakarta: LIPI Yearbook 2006) h. 52.
[4] Ibid. 51.
[5] Hingga tulisan ini dibuat, di Indonesia telah terdapat sekurangnya 53 komisi.
[6] www.komisiyudisial.go.id
[7] Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[8] www.kpi.go.id KPI sudah melakukan aneka tindakan semisal teguran tertulis II Sinetron Islam KTP di SCTV, teguran tertulis berita Patroli di Indosiar, Teguran tertulis Bale-bale di TVRI, peringatan Opera van Java di Trans 7, teguran tertulis berita Buser di SCTV, pembatasan durasi sinetron Islam KTP di SCTV, peringatan tertulis Kiss di Indosiar, peringatan tertulis iklan pompa air Shimizu di ANTV, dan masih banyak lagi.
Reactions

Posting Komentar

0 Komentar