Konflik Palestina-Israel dan bagaimana sikap Indonesia perlu ditelusuri dari akar konflik territorial kedua pihak. Kedatangan kaum Yahudi ke Palestina paling tidak dimulai sejak ‘aliyah pertama pra Gerakan Zionis. (artikel bagian 1 dari 7)
Saat itu imigran Yahudi dari Eropa relatif diterima rakyat Palestina, yang diantaranya dinyatakan Ilan Pappe (seorang intelektual Yahudi) sebagai “… the local Palestinians in most cases offered these newcomers some accomodation and advice on how to cultivate the land, something about the Zionist had little to no knowledge as they had been barred for centuries from being farmers or landowners in their home countries.”[1]
Penduduk Palestina banyak mengajari imigran Yahudi Ashkenazi Eropa (terutama Eropa Timur) untuk mengolah tanah bagi pertanian dan peternakan yang kurang mereka kuasai. Ini mengingat di tempat asalnya (Eropa) mereka umumnya berprofesi sebagai buruh pabrik manufaktur maupun pedagang kaki lima.
Al Hajj Amir Al Husaini, Mufti Palestina (tengah)
bersama orang-orang Indonesia
Sumber Foto: https://observerid.com/palestine-the-first-to-recognize-indonesian-independence/
Namun, keramahan yang ditawarkan bangsa Palestina tidak dibalas secara positif para imigran Yahudi Ashkenazi ini. Bahkan, tanggapan umum imigran Yahudi tahap awal ke Palestina agak berbeda dengan rakyat Palestina, di mana dengan mengutip Ibrahim Abu Lughod, Pappe melukiskan: “ … the denial and total disregard of the Palestinians in situ by early Zionist settlers shocked well-meaning but rather ineffectual Jewish European thinkers at the time.”[2] Inilah anehnya sikap umum para imigran Yahudi (terutama Ashkenazi) di Palestina, bantuan yang diberikan penduduk lokal Palestina tidak disikapi positif secara resiprokal. Pappe menambahkan bahwa terdapat persepsi di kalangan Yahudi imigran bahwa rakyat Palestina kurang menerima mereka, dan sikap ini terus bertahan hingga secara formal negara Israel diproklamasikan sepihak tahun 1948.[3]
Sejak diresmikannya pendudukan sepihak Israel atas Palestina 14 Mei 1948, hingga artikel ini disusun, belum ada penyelesaian yang bersifat permanen, final, dan adil antara dua bangsa semi-serumpun:[4]Israel dengan identitas keyahudiannya dan Palestina dengan identitas Arab dan Islamnya.
Jauh sebelum deklarasi sepihak berdirinya negara Israel tahun 1948, pun bahkan sebelum First Zionist Congress 29 Agustus 1887 di Basel Municipal Casino – yang dipimpin Theodore Herzl dan yang dihadiri 16 kelompok Yahudi Askhenazi dan Sephardi – sudah ada aliran migrasi Yahudi Ashkenazi yang disponsori keluarga Rothschild.[5] Rothschild bahkan mengingatkan Theodore Herzl – Herzl ini seorang Askhenazi kelahiran Budapest, yang dicap Rothschild sebagai agitator politik – dan Chaim Weizmann (Askhenazi Russia, yang dicap Rothschild sebagai bodoh) agar jangan mengganggu proyek ‘aliyah (imigrasi Yahudi gradualnya) ke Palestina yang selama ini berjalan lancar.
Namun, akhirnya Rothschild pun melihat keuntungan dari gerakan Zionis Herzl dan Weizmann lalu berbalik mendukungnya. Dengan demikian ‘aliyah kedua adalah kolaborasi antara Gerakan Zionis dan Rothschild, dan atas Gerakan politik Yahudi Eropa ini, reaksi rakyat Arab di Palestina adalah berdirinya organisasi Al-Fatah di Perancis tahun 1911 dengan basis komandonya di Damaskus. Sikap resmi Al-Fatah sebagai Gerakan perlawawan atas 'aliyah Kedua Yahudi Eropa adalah anti-Inggris dan anti-Zionis.
Apabila ditelusuri lebih lanjut, jauh sebelum Herzl menerbitkan Der Judenstaat, proto-Zionis sesungguhnya telah bermunculan. Tujuan kaum proto-Zionis ini utamanya hendak tinggal di kota-kota Palestina yang mereka anggap suci seperti Yerusalem, Hebron, Tiberias, dan Safed.
Salah satu dari mereka adalah Mordecai Manuel Noah (1785-1831), seorang diplomat, penulis, dan pemilik surat kabar di Amerika Serikat. Tahun 1818, Noah menyerukan agar 7 juta Yahudi berangkat ke Suriah (maksudnya Palestina dan wilayah subur bulan sabit) dan menduduki jabatan tinggi di aneka pemerintahan negara yang ada di muka bumi. [6] Noah juga menyerukan dikerahkannya 100 ribu tentara Yahudi untuk menaklukan tanah air kuno Yahudi: Palestina. Tahun 1844, Noah juga mengajukan usul agar wilayah utara New York, dekat perbatasan Kanada, diberikan ‘devolusi’ sebagai wilayah khusus kaum Yahudi.
Proto-Zionis lainnya adalah Yehuda Alkalai (1798-1878), rabi Serbia kelahiran Yerusalem. Alkalai menulis tentang restorasi negara-bangsa Yahudi di bukunya Minhat Yehuda tahun 1843. Alkalai adalah Yahudi Ortodoks pertama yang menyeru Yahudi untuk kembali ke Palestina secara damai. Berbeda dengan Noah yang menganjurkan perjuangan bersenjata, Alkalai menganjurkan para Yahudi kaya untuk mengumpulkan uang guna membeli wilayah Palestina dari Sultan Utsmani. [7] Seperti sudah umum diketahui, upaya pembelian tersebut ditolak oleh Sultan Abdul Hamid II.
Proto-Zionis lainnya Zvi Hirsch Kalischer (1795-1874), seorang rabi Yahudi Ortodoks di Thorn, Prussia. Tahun 1862 ia mempublikasikan karyanya Derishat Zion (Mencari Sion). Ia menolak asimilasi dan aliran Yudaisme Refomis. Kalischer berkeras bahwa kembali ke Palestina adalah cara untuk menghindari asimilasi dan pembaruan Yudaisme. Kalischer ini bahkan telah mendirikan sejumlah pemukiman agrikultur Yahudi di Palestina, lewat organisasi yang didirikan di Berlin tahun 1864 bernama Central Committee for Palestine Colonization. Bagi Kalischer, nasionalisme Yahudi adalah energi penting bagi Dunia Yahudi. [8]
Senada dengan Kalischer, tetapi beda motivasinya karena lebih sekuler, Proto-Zionis lainnya adalah Moses Hess (1812-75), mentor intelektual Karl “Moses Mordecai” Marx. Ia sempat beraliran kiri, tetapi kemudian kembali ke akar keyahudiannya. Tahun 1862 Hess menulis Rom und Jerusalem (Roma dan Yerusalem). Ia menekankan bahwa Yahudi adalah sebuah entitas bangsa, sama seperti bangsa-bangsa lain. Bagi Hess, kesetaraan hidup kaum Yahudi hanya akan terjadi di sebuah Negara Yahudi, bukan di wilayah diaspora.[9] Hess terus mendengungkan diperhebatnya sentimen nasionalisme Yahudi.
Proto-Zionis lainnya diwakili sebuah organisasi bernama Hibbat Zion (Cinta pada Sion), dengan ideolognya Dr. Leon Pinsker (1821-91). Pinsker adalah seorang dokter yang awalnya mendukung asimilasi sebagai solusi masalah keyahudian dengan masyarakat asli tempat mereka berdiaspora. Pogrom Rusia lalu mengubah pandangannya. Tahun 1882 ia menulis buku Auto-Emancipation yaitu serupa pamflet tentang reperkusi Yahudi Ashkenazi Rusia. Bagi Pinsker, antiSemitisme sifatnya abadi dan sebab itu tahun 1884 ia mengorganisir Konferensi Kattowitz di Polandia, dengan hasil berdirinya organisasi Hibbat Zion. Tahun 1890, Hibbat Zion memiliki 138 cabang lokal dengan 14 ribu anggota. Tujuan organisasi ini adalah mendirikan aneka koloni pertanian di Palestina, lengkap dengan pabrik yang dijalankan oleh orang-orang Yahudi.[10]
Sebelum Hibbut Zion, tahun 1882 juga telah berdiri gerakan Bilu (sebuah singkatan yang dalam bahasa Ibrani yang artinya ‘Oh rumah Yakub, datanglah kamu dan bawa kami pergi). Bilu didirikan oleh para mahasiswa Yahudi di Kharkov (Russia) dengan tujuan berimigrasi ke Palestina. Bilu telah mendirikan 2 koloni di Palestina, satu berlokasi di Rishon-le-Zion dan satu di Gedara.[11]
Sejalan dengan gerakan Bilu, sekelompok Yahudi Ashkenazi (dari Rumania dan Rusia) juga telah mendirikan sejumlah koloni di Palestina lewat ‘aliyah Pertama yang waktunya berkisar antara 1882 – 1903. Tahun 1903, 25 ribu pendatang Yahudi Ashkenazi telah mukim di Palestina dan mengambil 1,5% total area Palestina, dengan wilayah utama di Jaffa (Tel Aviv) dan mendirikan 700 peternakan.[12] Bilu ini didukung pendanaan oleh Baron Edmond de Rothschild, cabang Perancis dari Keluarga Rothschild.
Rothschild adalah figur kuat bagi para pemukim Yahudi di ‘aliyah Pertama dan tahun 1899 berdirilah Palestine Jewish Colonization Association. Turki kemudian melarang ‘aliyah Pertama tahun 1891, dan Rothschild pun mengarahkan ‘aliyah ke Amerika Serikat.[13] Proto-Zionis lainnya disuarakan Asher Ginsburg, yang lahir di Ukraina dari keluarga Hasidim yang kaya-raya (mengenai Ginsburg ini, akan dibahas kemudian).
Tibalah kini dimulai peran gerakan Zionis formal dan banyak dikenal itu dengan Theodore Herzl sebagai motornya. Pada tanggal 17 Januari 1896 Herzl menerbitkan bukunya Der Judenstaat yang edisi pertamanya dimuat di Jewish Chronicle, sebuah surat kabar di Inggris.[14] Buku itu tipis, cuma 86 halaman.
Di buku itu, Herzl berasumsi bisa saja negara Yahudi didirikan di Argentina, karena di sana ada milioner Yahudi bernama Baron Maurice de Hirsch, yang sukses membangun koloni yang terdiri atas 6 ribu kaum Yahudi. Atau, di Palestina di mana Rothschild sudah merintisnya.[15] Herzl melakukan aneka lobi dengan pemerintah Inggris. Dicarilah alternatif ke mana migrasi Yahudi (terutama Askhenazi) diarahkan.
Dalam rintisan awal impiannya, Herzl mendapat penolakan dari para rabi Yahudi Ortodoks, Yahudi Reformis, para Yahudi penguasa keuangan Eropa dan Amerika Latin (Rothschild, Hirsch, dan Moritz Benedikt).
Dukungan awal padanya malah datang dari Nathan Birnbaum (pemimpin mahasiswa Yahudi di Wina), Herman Adler (pemimpin kepala para rabi Askhenazi di Inggris), Moritz Gudemann (kepala rabi Wina), dan Max Nordau (faylasuf Yahudi yang sukses dengan bukunya Entartung atau Degeneration yang terbit di London 1895).[16]
Ironisnya, dukungan riil atas Herzl terutama datang dari kaum Yahudi Askhenazi miskin asal Eropa timur. Herzl pun menarik perhatian David Ben-Gurion (Askhenasi Rusia-Polandia) dan Chaim Weizmann. Bagi mereka, Herzl adalah messiah. Herzl pun beroleh dukungan dana dari Daniel Wolffsohn, pedagang kayu dari Cologne (Jerman), yang kelak melanjutkan kepemimpinan Zionis internasional bersama dengan Weizmann.
Karena terus dibanjiri pengungsi Askhenazi dari Rusia, pemerintah Inggris membentuk Royal Commission on Alien Immigration (RCAI) tahun 1902, dengan Lord Rothschild sebagai salah satu anggotanya. Kini Rothschild bersedia untuk melakukan negosiasi dengan Herzl, tetapi tidak secara terbuka melainkan pribadi. Herzl kini menemukan sumber kekuatan terbesarnya: Dukungan Rothschild lengkap dengan koneksi politik dan sumber daya uang.
Komisi merekomendasikan bahwa untuk sementara waktu aliran imigran Askhenazi ke Inggris tidak boleh ditolak, sambil mencapai tujuan utama yaitu menemukan wilayah yang secara legal akan diakui oleh hukum internasional sebagai milik mereka (kaum Yahudi). [17]
Dukungan Rothschild pun memungkinkan Herzl mengakses Joe Chamberlain (Menteri Kolonial Inggris) dan Marquess of Lansdowne (Menlu Inggris). Dari keduanya, Siprus dan El-Arish (di perbatasan Mesir) sempat diperbincangkan sebagai wilayah target penempatan kaum Yahudi. Siprus (sebuah pulau) tidak diperhitungkan Herzl. Untuk El-Arish sendiri, setelah dilakukan survey oleh Inggris atas para penduduknya, ternyata masyarakat Arab-Mesir di sana menolaknya.
Petinggi Inggris membujuk kaum Zionis dengan menawarkan Uganda. Tawaran atas Uganda ini, menurut Chamberlain, ditanggapi Herzl dengan penolakan sentimental.[18] Selain itu, tawaran atas Uganda juga ditolak Kongres Zionis ke-7 tahun 1905. Dengan demikian disimpulkan, Palestina adalah tempat sasaran untuk pembangunan negara Yahudi versi Herzl, dan tentu sesuai kehendak Herzl dan para proto-Zionis sebelumnya. Sungguh disayangkan, Inggris tidak terlebih dahulu melakukan survey persetujuan atas penduduk Palestina seperti Chamberlain lakukan atas penduduk El-Arish di Mesir sebelumnya. Dalam tahap lobi politik ini, Herzl meninggal di usia 44 tahun. [19]
Kepemimpinan Zionis lalu diambil-alih Chaim Weizmann. Weizmann saat itu juga berprofesi dosen biokimia di Manchester University. Dengan dukungan dukungan Rothschild, Weizmann bahkan mampu melobi Perdana Menteri Inggris, Lloyd George.
Dukungan George atas gerakan Zionis diwujudkan dengan pengangkatan atas Arthur Balfour sebagai Menteri Luar Negeri Inggris. George (PM Inggris dari Partai Konservatif, juga seorang Zionis non Yahudi) dan Balfour – juga dari Partai Konservatif – adalah pendukung garis keras Balfour dan gerakan Zionis. Seperti yang umum telah diketahui, kelompok Zionis ini kemudian mendominasi para petinggi politik di Inggris di era PM Lloyd George.
Pada sisi lain, kalangan Yahudi Ortodoks memandang Zionis secara lebih kritis. Gerakan Zionis bukan sekadar mereka anggap wujud gerakan kaum Barat sekuleris, melainkan lebih jauh, mereka identikkan dengan gerakan kaum ateis. Bahkan baik Theodore Herzl maupun Nordau sama sekali tidak tahu ‘syari’at’ agama Yahudi.
Namun, baik Yahudi Ortodoks maupun sekuler dan ateis – dengan asumsi mereka masing-masing – kini bertemu di satu titik: Sama-sama mendukung berdirinya negara Yahudi di Palestina. Asumsi kaum Yahudi Ortodoks adalah merasa nantinya akan mampu mengeksploitasi gerakan Zionis untuk kepentingan pelaksanaan ‘syari’at’ Yahudi secara penuh di Palestina.
Pada sisi lain, bagi kelompok Yahudi relijius yang telah lama hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat Arab-Islam di Palestina justru melihat Zionisme itu sebagai sebuah horror, setidaknya itulah komentar Rabi Joseph Hayyim Sonnenfeld. Saat Theodore Herzl datang mengunjungi Palestina, Sonnenfeld tercatat pernah berkata: “ …. Evil entered with him, and we do not yet know what we have to do against the destroyers of the totality of Israel, may the Lord have mercy.” [20] Proses pengesahan kolonialisasi Yahudi di Palestina sepenuhnya berjalan di bawah Brittish Mandate. [21]
Pada bulan Januari 1917, pasukan Inggris memulai proses penaklukan Palestina. Di tahun yang sama, tepatnya pada bulan Oktober, juga meletus Revolusi Bolshevik di Rusia yang dipimpin Vladimir Ilyich Ulyanov (Lenin) dan Leon Trotsky (nama aslinya Leoba Bronstein, seorang Yahudi Askhenazi).
Rata-rata jabatan sebagai anggota Politbiro Diktator Proletariat Rusia diduduki Yahudi Askhenazi sehingga sebagai akibatnya, pogrom Yahudi yang dulu dijalankan Tsar Nicholas II otomatis berhenti. Pogrom kini berbalik yaitu kini diarahkan pada etnis asli Rusia, terutama kalangan intelektual dan profesionalnya.
Jutaan etnis Rusia kehilangan nyawanya dalam pembalasan ini termasuk para petani, rohaniawan Kristen Orthodox, para guru, budayawan, dan kaum intelektual mereka. Bahkan Perdana Menteri Provisional Rusia saat itu, Kerensky (seorang Yahudi Askhenazi) membatalkan semua aturan anti-Semit yang pernah diberlakukan oleh Tsar di masa sebelumnya. Dengan berhasilnya pogrom oleh para politisi Yahudi Askhenazi, Rusia seharusnya sudah aman bagi mereka sehingga tidak perlu lagi ada migrasi ke Palestina. Namun, bukan penghentian proses migrasi Yahudi ke Palestina yang terjadi, malah sebaliknya, proses imigrasi Yahudi Ashkenasi (terutama dari Rusia) malah membludak.
Di aras politik tingkat tinggi, Weizmann terus mendesak Inggris agar segera memberikan Palestina kepada mereka. Terlebih, Amerika Serikat pun ikut serta dalam Perang Dunia I, dan otomatis menjadi pendukung kuat gagasan penjajahan Yahudi di Palestina. [22] Halangan utama datang dari Perancis, yang masih dihantui kasus pengkhianatan Dreyfus.
Selain kasus pengkhianatan Dreyfus, Perancis – yang diwakili Georges Picot dalam pengkaplingan wilayah Kesultanan Utsmani yang direbut sekutu – juga menyebut ada keberatan yang didasarkan atas kepentingan orang-orang Arab Palestina atau aneka departemen pemerintahan yang mewakili mereka (Palestina). [23]
Namun, Palestina saat itu kurang terorganisir sehingga peluang adanya dukungan dari Perancis tidak bisa dimanfaatkan kaum Arab-Palestina secara organisasi dan maksimal. Melihat celah ketidaksiapan aliansi Perancis-Palestina itu, Inggris melalui agen mereka Kolonel T. E. Lawrence (Lawrence of Arabia) terus merangsek dan memastikan rencana negara Yahudi di Palestina terwujud.
Walter Rothschild, kepala komunitas Yahudi di Inggris, bertukar surat dengan Arthur Balfour. Weizmann terus mempersuasi Walter Rothschild, sehingga salah satu keturunan Rothschild ini mau memberikan draft kaum Zionis kepada Arthur Balfour tanggal 18 Juli 1917.
Ada tiga poin inti dalam draft tersebut, yaitu: (1) rekonstitusi Palestina secara menyeluruh sebagai rumah bangsa Yahudi; (2) hak tanpa batas bagi imigrasi Yahudi; dan (3) Otonomi internal Yahudi. [24] Draft Rothschild ini tidak disetujui Parlemen Inggris hingga 31 Oktober 1917, dan persetujuan yang diberikan parlemen Inggris pun kemudian ternyata tidak meloloskan tiga inti draft yang Rothschild (juga Weizmann tentunya) diktekan.
Kabinet Inggris justru mengubah draft tersebut lalu disampaikan tanggal 2 November 1917 dengan sikap intinya yaitu “it no longer equated Palestine with the national home, it had no reference to unrestricted Jewish immigration or internal rule, and it safeguarded the rights of the Arabs.” [25] Catatan ‘keras’ sebagai hasil negosiasi para anggota Parlemen Inggris, lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
“His Majesty’s Government view with favour the establishment in Palestine of a national home for the Jewish people, and will use their best endeavours to facilitate the achievement of this object, it being clearly understood that nothing shall be done which may prejudice the civil and religious rights of existing non-Jewish communities in Palestine, or the rights and political status enjoyed by Jews in any other country.” [26]
Chaim Weizmann menganggap keputusan Parlemen Inggris yang dikenal sebagai Dekralasi Balfour jauh dari harapan dan kekecewaan itu ia sampaikan pada Sir Mark Sykes (kepala delegasi perundingan Inggris dengan Perancis).
Saat Deklarasi Balfour ditetapkan, di antara 600 ribu penduduk yang menghuni wilayah Palestina, terdapat 85 ribu sampai 100 ribu Yahudi. Apabila jumlah Arab-Palestina yang besar ini terorganisasi secara baik, Deklarasi Balfour pasti akan ditolak dan jadi pepesan kosong belaka karena Perancis saat itu tengah bersaing dengan Inggris dalam pengkaplingan wilayah bekas Kesultanan Utsmani. Pada sisi lain, di kalangan petinggi Inggris sendiri pemahaman atas Deklarasi Balfour beragam.
Saat itu hanya sedikit besar petinggi senior Inggris memahami makna Deklarasi tersebut. Satu atau dua di antara mereka pro Yahudi, lainnya anti-Semit, sejumlah besar lainnya pro-Arab dan mengganggap Yahudi Askhenazi di Inggris sebagai ‘sampah’ Bolshevik-komunis. [27]
Bahkan seorang Jenderal Inggris, Sir Wyndham Deedes, mengirim surat yang ia ketik sendiri kepada Chaim Weizmann yang isinya “You had better read all of it with care. It is going to cause you a great deal of trouble in the future.” [28] Apa yang disuruh Jenderal Deedes untuk dibaca Weizmann? Itu tidak lain adalah salinan dari The Protocols of the Elders Zion. Salinan tersebut dibawa oleh misi militer Inggris yang bekerja sama dengan Tsar Nicholas II di Kaukasus dan Jenderal Deedes meyakinkan bahwa kini seluruh pejabat Inggris di Palestina telah memiliki salinan tersebut. [29]
Apa yang diperingatkan Jenderal Deedes terjadi di masa kemudian, pasukan teroris Zionis banyak menyerang pasukan keamanan Inggris. Hal terpenting adalah, kesewenangan Zionis disikapi perlawanan tanpa henti rakyat Palestina dan negara-negara Arab dan non Arab yang mendukungnya.
Salah satu lawan dari Zionisme politik Theodore Herzl adalah Asher Ginsberg (nama Yahudinya Ahad Ha-Am). [30] Perilaku militeris pengikut Herzl (Weizmann, David Ben-Gurion, Vladimir Jabotinsky, dan Menachem Begin) mendorong Ginsberg berupaya menciptakan pusat spiritual di Tanah Israel dengan tujuan menghapus perilaku dekaden dan ‘hampir matinya’ spiritualitas para Yahudi diaspora.
Sebelum Herzl mengadakan Kongres Zionis pertama, Ginsberg adalah pengkritik tajam upaya pendudukan paksa imigran Yahudi di Palestina. Ginsberg adalah Zionis pertama yang mengajak seluruh elemen Zionis melihat realitas populasi Arab di Palestina dan potensi konfrontasi dengan mereka. [31] Ginsberg tetap seorang Zionis, tetapi lebih ke arah kultural. Varian lain dari Zionisme Herzl adalah kelompok Mizrahi (diaspora Yahudi di Iran) yang menerima Zionisme secara nominal, karena lebih menekankan pada ketaatan di aspek nasionalisme-religius.
Karena motivasi dasarnya adalah memberikan wilayah politik bagi kaum Yahudi Azkhenazi maka mereka yang non Yahudi, termasuk non Yahudi Azkhenazi mengalami disorientasi. Hal yang dipahami bangsa Palestina adalah bahwa sejak era Turki Utsmani, mereka penggarap utama dan otonom tanah Palestina. [32] Sejak 1948 hingga saat ini wilayah negara Palestina terus menyusut hingga sekadar ‘pulau-pulau’ kecil tak beraturan yang dikepung ‘lautan luas’ wilayah Israel.
Setiap komunitas Palestina di satu distrik ingin berkunjung ke distrik lain harus melalui wilayah keamanan Israel. Apapun resolusi PBB yang mengatur soal konflik bangsa Palestina dengan Israel (yang mayoritas dikendalikan imigran Yahudi Azkhenazi) tidak satupun dipatuhi oleh Israel, karena Amerika Serikat terus memvetonya.
Namun, bagi bangsa Palestina, hidup adalah perjuangan. Manakala mereka lemah secara politik, maka selain tentunya memohon pertolongan dari Allah SWT, juga melakukan ikhtiar baik melalui perjuangan fisik maupun mensosialisasikan masalah mereka kepada negara-negara saudara Muslim mereka. Salah satu negara yang kerap dijadikan sandaran perjuangan rakyat Palestina adalah Indonesia.
… bersambung ke artikel bagian 2 .....
Catatan Kaki
1. Ilan Pappe, The Forgotten Palestinian: A History of the Palestinians in Israel (New Haven and London: Yale University Press, 2011) p. 1.
2. ibid., p. 1-2.
3. ibid., p. 2.
4. Yang serumpun semit adalah Arab-Palestina dengan Yahudi-Palestina yang asli Palestina. Yahudi diaspora yang masuk ke Palestina terdiri atas sejumlah kelompok. Pertama, Yahudi Askhenazi, yaitu istilah bahasa Ibrani yang menggambarkan wilayah Rhineland di Jerman dan utara Perancis di abad pertengahan. Ashkenazi ini lalu melangkah ke timur: Polandia, Rumania, Hongaria, dan Rusia. Dan ada kerajaan Khazar (lokasinya di Armenia dan Lithuania, penduduknya bukan Semit) memeluk agama Yahudi sehingga ‘kaburlah’ aspek genetis di kalangan Ashkenazi di Timur Eropa. Penduduk Khazar ini kemudian disebut sebagai Ashkenazi pula, padahal kurang tepat karena mereka tidak punya darah Semit, sebab ras mereka Eurasia. Bahasa yang digunakan oleh Ashkenazi ini adalah Yiddish, bukan Ibrani. Kedua, Sephardi (atau Sefaradi, dari bahasa Ibrani untuk Spanyol. Aslinya mereka keturunan Yahudi Iberia. Mereka ini umumnya kaya dan ahli kerajinan logam, dan tentu, berdagang. Mereka ini pun turut berdiaspora ke Eropa Barat, Afrika Utara, dan Kesultanan Utsmani. Ketiga, Mizrahi (dari bahasa Ibrani yang berarti wilayah timur) utamanya dinisbahkan untuk Yahudi yang berketurunan di Afrika Utara, Timur Tengah, Kaukasus, Asia Tengah, dan India, termasuk di negara-negara seperti Iraq, Suriah, dan Iran. Saat ini di Israel, Ashkenazi adalah ‘kasta’ pertama, Sephardi ‘kasta’ kedua, Mizrahi dan Yahudi asli Palestina ‘kasta’ ketiga.
5. Migrasi gradual Ashkenazi dimulai 1881 yang dikenal sebagai First 'Aliyah , disponsori keluarga Rothschild yang mendirikan permukan Askhenazi di Ekron, Gederah, Rishon le-Zion dan Petah Tikva (di Yudea), Rosh Pinha dan Yeshud ha-Ma’ala (di Galilea), dan Zikhron Yacov (di Samaria. Tahun 1986 Rothschild menambah Metullah dan Zionis Russia menambah Be’er Toviyyah. Total dana migrasi ini 1,7 juta Poundsterling, dan 1,6 jutanya keluar dari uang pribadi Rothschild. ‘Aliyah kedua terjadi sejak 1904 seiring pogrom Rusia 1904, dengan 40 ribu Askhenazi masuk ke Palestina, khususnya Jaffa (nanti Jaffa menjadi Tel Aviv). Lihat Lihat Paul Johnson, A History of the Jews (Great Britain: PerfectBound, 1987), p. 432.
6. Hillary L. Rubinstein, Dan Cohn-Sherbok, Abraham J. Edelheit, and William D. Rubinstein, The Jews in the Modern World: A History Since 1750 (London: Arnold, 2002) p. 303-4.
7. ibid., p. 304.
8. ibid., p. 305.
9. ibid., p. 306.
10. ibid.
11. ibid.
12. ibid., p. 307.
13. ibid.
14. Herzl menyatakan dasar dari mengapa ia menulis Der Judenstaat adalah pengadilan tidak adil atas Richard Dreyfus, prajurit Yahudi Ashkenazi yang bergabung dengan Angkatan Perang Perancis lalu dituduh berkhianat sehingga menguntungkan Jerman, musuh Perancis dalam Perang Dunia I.
15. Paul Johnson, A History …., op.cit. p. 396. Herzl membayangkan konstitusi negara Yahudi nantinya bersifat aristokratik, seperti konstitusi Wina, Austria. Rothschild menjadi doge (posisi setara kepala magistrat Wina) dan Maurice Hirsch sebagai wakilnya.
16. ibid. p. 398.
17. ibid., p. 401.
18. ibid.
19. Setelah ia meninggal, keluarganya berantakan. Tiga tahun kemudian Julia Naschauer (istrinya) meninggal. Anak perempuannya Pauline jadi pecandu heroin dan tahun 1930 meninggal akibat overdosis. Anak laki-lakinya, Hans, melakukan percobaan bunuh diri lalu dirawat kejiwaannya oleh Sigmund Freud. Trude, anak perempuan lainnya meninggal di kamp Nazi, dan anaknya (cucu Herzl) bunuh diri tahun 1946. Lihat Paul Johnson, A History … op.cit., p. 186. Anak Sigmund Freud, Ernest, pun kemudian menjadi anggota Zionis yang teguh. Sigmund Freud tidak mau mengambil royalti atas seluruh karyanya apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Yiddish (bahasa kaum Yahudi Askhenazi) ataupun Ibrani (bahasa kaum Yahudi di Palestina). Juga, tidak ada satu pun anak Freud yang pindah ke agama selain Yahudi ataupun menikahi bangsa selain Yahudi. Freudianisme lalu menjelma jadi kredo pemikiran setara agama yang menyebar dan dipraktekkan terutama oleh kaum Yahudi.
20. ibid., p. 404.
21. Joseph Massad, The Persistence of the Palestinian Question: Essays of Zionism dan the Palestinians (Oxon: Routledge, 2006) p. 1.
22. Paul Johnson, A History … op.cit., p. 429.
23. ibid., p. 429.
24. ibid,. p. 429-30.
25. ibid., p. 430.
26. John Efron, Matthias Lehmann, and Steven Weitzman, The Jews: A History, Third Edition (New York: Routledge, 2019) p. 404.
27. Paul Johnsoh, A History …, op.cit., p. 431.
28. ibid.
29. ibid. Protocols of Learned Elders Zion adalah rencana kaum Yahudi menguasai tidak hanya Eropa, bahkan dunia. Dokumen ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh seorang Profesor Rusia bernama Sergei Nilus, yang saat itu setia pada Tsar Nicholas II, Tsar Rusia yang ia dan keluarganya dibunuh oleh pasukan Cheka Lenin.
30. John Efron, et.al, The Jews …., op.cit., p. 364.
31. ibid., p. 365.
32. Saat pecah masalah imigran Yahudi, Palestina punya pemimpin (mufti) yaitu Al-Hajj Amin al-Husayni. Namun, status pemimpin tersebut tiba-tiba hilang manakala Negara Israel diproklamasikan.
0 Komentar
Anonim pun dapat berkomentar. Namun, tentu saja dengan akun pun sangat dipersilakan. Jika sudah klik Publikasikan. Juga pemirsa boleh bersoal/sharing tanggapan. Komentar pemirsa tentu tidak berisi kata atau link yang merujuk pada p*rn*grafi, jud*, *ogel, kekerasan, atau sejenisnya. Terima kasih.