Plato adalah pemikir Yunani dan Yunani kerap dikaitkan dengan konsep demokrasi. Namun, mengapa bagi Plato suatu negara lebih baik dipimpin seorang Raja yang sekaligus Filosof. Bukankah itu bertentangan dengan trademark pemikir Yunan selalu terkait pemerintahan rakyat banyak (demokrasi) ?
Pemikiran seorang Filosof politik tidak pernah bisa lepas dari situasi yang berlaku di zamannya. Mereka lalu melakukan pemetaan atas situasi dan dari sanalah muncul pemikiran orisinil mereka. Demikian pula Plato seorang Filosof yang lahir dari garis keturunan keluarga bangsawan Athena dengan masa hidup 427 hingga 347 sebelum Masehi.
Pemikiran Plato paling terkenal adalah dikotominya antara dunia indera dengan realitas metafisik yang bersifat tetap. Dunia indera selalu berubah atau maya, sementara realitas metafisik sifatnya permanen atau tetap. Saat Plato mengembangkan filsafatnya, Athena ada di dalam masa kekalahan militer, konflik antar kekuatan politik, sehingga pemikiran Plato lebih dititikberatkan pada upaya pencarian keadilan dan keteraturan politik. Baginya, orang yang cocok untuk mengembalikan keadilan dan keteraturan politik Athena adalah Negarawan yang sekaligus pula seorang Filosof.
Untuk menggambarkan pemikiran Plato, ada baiknya sedikit diulas sejarah Athena sendiri. Sebelum masa hidup Plato, Athena adalah negara kota Yunani yang paling besar, makmur, dan berbudaya. Di abad ke-7 sebelum Masehi, Athena didominasi oleh kaum bangsawan (aristokrat) yang menguasai tanah terbaik di Athena. Mereka memerintah tanpa aturan yang bersifat tertulis.
Athena memiliki wilayah seluas 1000 mil persegi dengan jumlah warga negara antara tiga puluh hingga empat puluh ribu jiwa. Di era Plato, jumlah warga negara telah mencapai dua ratus ribu jiwa. Athena menempati posisi sebagai episentrum intelektual bagi para pembicara di seluruh wilayah Mediteranea. Posisi demografis dan ekonomi Athena membayangi negara-negara kota tetangganya. Saat itu terdapat sekitar tujuh ratus polis (poleis) Yunani di sekujur Mediteranea.
Hal ini lantar mulai berangsur untuk berubah semenjak 594 sebelum Masehi. Pada tahun tersebut terjadi kesenjangan antara kaum kaya aristokrat dengan kaum miskin petani. Mayoritas warganegara Athena bersetuju menunjuk Solon (seorang legislator dan ahli puisi) selaku kepala magistrat (archon). Sebagai archon Solon diberikan kekuasaan di luar kebiasaan yaitu untuk membebaskan hutang ataupun membebaskan budak, juga memutuskan tindak pengasingan bagi mereka yang gagal bayar hutang atas kaum aristokrat.
Aneka perilaku kekuasaan Solon ini lalu diimitasi oleh seorang figur militer bernama Pisistratus. Pisistratus kemudian, selama hampir tiga puluh tahun, berhasil mendirikan “tirani populis” (mirip dengan apa yang di kemudian hari dilakukan Julius Caesar). Dengan tiraninya, Pisistratus mampu membangun aneka proyek umum dan bangunan berskala besar seperti tempat pemujaan. Akibatnya, Pisistratus menjadi populer di kalangan warga negara.
Setelah masa Pisistratus lewat, berganti dengan era Cleisthenes mulai 506 sebelum Masehi. Cleisthenes adalah seorang reformis. Dalam masanya kategori kewarganegaraan Athena diperluas sehingga tidak lagi memandang status ataupun kemakmuran individual. Ia juga membangun Dewan 500 yang dengannya seluruh warganegara laki-laki dewasa berusia 30 tahun berhak untuk dipilih. Cleisthenes juga menetapkan bahwa otoritas final di Athena dipegang oleh sebuah dewan yang disebut Ekklesia. Dewan tersebut terdiri atas seluruh warga negara.
Sejak era Cleisthenes-lah Athena memulai era demokrasi di Yunani. Legislasi berkenaan dengan urusan komunal dapat diajukan dan diputuskan menurut benak siapa saja. Ini tanpa memandang garis keturunan ataupun kekayaan mereka, juga tanpa adanya intimidasi. Sejak masa Cleisthenes pula mulai dikenal apa yang dinamakan budaya politik Yunani. Asumsi budaya politik tersebut adalah pemerintahan harus bersandar pada pengakuan dan persetujuan, bukan pada paksaan.
Setelah Cleisthenes, berkuasa Pericles yang memerintah antara 461 hingga 429 sebelum Masehi. Di masa Perikles, Ekklesia melakukan pertemuan sepuluh kali setiap tahunnya. Setiap pertemuan tersebut diadakan oleh Ekklesia, bukan Pericles. Partisipan di setiap pertemuan adalah seluruh warganegara dewasa. Isi pertemuan adalah merancang kebijakan domestik dan hubungan luar negeri, tindakan militer, dan anggaran negara kota. Para pejabat yang dipekerjakan oleh Ekklesia menerima gaji untuk pelayanan publik yang mereka berikan. Penerima gaji juga termasuk mereka yang bertugas sebagai juri dalam suatu pengadilan, termasuk pula warganegara yang tidak punya tanah. Warga negara yang tidak punya tanah ini, yang kekurangan waktu luang pun diperkenankan untuk menduduki jabatan publik.
Di masa Pericles pula, penentuan jabatan publik dan keanggotan di tiap komite, ditentukan oleh surat suara dengan periode tanggung jawab definitif. Dengan demikian hampir seluruh warga negara Athena dapat berkesempatan untuk turut berpolitik. Tentu saja yang dilibatkan ini tidak termasuk para istri juga kerabat perempuan para warga negara laki-laki. Ia juga tidak termasuk orang Yunani non Athena serta para budak. Namun, kendati diskriminasi jelas terjadi di demokrasi Athena, umumnya setiap orang (warga negara) dapat terlibat dalam politik. Di masa Pericles kala itu, pengalaman pelatihan dan kompetensi tidak menjadi rujukan. Dengan demikian dalam demokrasi Pericles, mereka-mereka yang tidak kompeten pun, asalkan warga negara Athena diperbolehkan menduduki jabatan publik dan mengurus masyarakat.
Demokrasi Athena sebelum Plato telah berkembang sekitar dua ratus tahun. Namun, demokrasi tersebut dilingkupi oleh aneka konflik militer yang disikapi Athena secara bodoh. Keputusan militer harus dibuat secara cepat karena musuh cenderung bergerak cepat. Karena proses pembuatan keputusan di Athena harus dibuat secara demokratis, maka adaptasi Athena atas strategi militer musuh cenderung lambat sehingga kerap kalah dalam pertempuran.
Dalam konflik militer, Athena dan aliansinya menghadapi ancaman Persia pada tahun 490 dan 480. Athena juga tidak sukses dalam menghadapi pasukan koalisi yang dipimpin Sparta dalam perang internal Yunani antara tahun 431 hingga 404. Demikian pula saat menghadapi Philip dari Makedonia tahun 388, kembali pasukan militer Athena tidak menemui kesuksesan. Akhirnya dalam Perang Peloponesos pada tahun 404 sebelum Masehi, Athena memberikan kekuasaan pada sejumlah klik Oligark yang kemudian terkenal disebut dengan “Tiga Puluh Tiran.” Di antara para tiran ini ada yang berhubungan dengan Plato.
Plato menyaksikan kemunduran Athena. Plato lalu fokus pada pemikiran yang mendasarkan diri pada potensi dasar manusia dan sifat alamiah manusia. Sama seperti Sokrates, Plato memandang bahwa banyak politisi tidak kompeten dalam tugas kenegaraannya. Selain itu Plato juga memandang curiga pada aneka faksi dalam Athena yang saling bertikai. Plato mengamati bahwa banyak politisi yang dipilih oleh Ekklesia, dan sebab itu dipilih secara demokratis, tetapi manakala memimpin lebih tunduk pada kepentingan pribadinya sendiri ketimbang kepentingan umum.
Plato meyakini hanya sedikit orang yang layak untuk menempati jabatan publik. Ia juga meyakini perlunya dibangun dasar rasional bagi perilaku manusia dan organisasi sosial. Sebab keinginannya untuk memikirkan apa yang terbaik bagi Athena, ia menunda keinginannya untuk terjun langsung dalam politik praktis negara kota tersebut. Dalam upaya tersebut ia mendirikan sekolah yang disebut Academy tahun 388 sebelum Masehi. Di sana ia mengajar dan menulis tentang bagaimana cara terbaik untuk mengelola negara. Tulisannya mirip dialog seperti dahulu dipraktekkan oleh Sokrates, gurunya.
Karya Plato yaitu Apology mengisahkan tentang keberatannya atas perilaku elit politik Athena atas hukuman mati yang dijatuhkan atas Sokrates. Di karya tersebut Plato melakukan pembelaan atas Sokrates. Di dalam karyanya yang lain yaitu Crito ia menggambarkan nalarnya mengapa Sokrates tidak melarikan diri dari hukuman mati atas dirinya. Di karya lain yaitu Phaedo seorang yang dikutuk untuk mati mengajukan aneka argumentasi seputar keabadian jiwa. Baik Apology, Crito, maupun Phaedo merupakan dasar dari filsafat politik Plato.
Karya Plato lainnya adalah Republic . Republic ditulis tidak lama setelah Plato mendirikan Academy. Karya lainnya Statesman mengisahkan pertengahan karir Plato. Sementara karyanya Laws baru selesai ia rampungkan menjelang wafatnya, tepatnya setelah pengalaman buruknya selaku penasehat seorang raja muda di Syracuse pada tahun 360an.
Di dalam Republic Plato mengetengahkan pikirannya seputar upayanya mengejar pengetahuan etika dan keadilan serta apa yang terbaik bagi suatu masyarakat. Di karya tersebut Platon menggunakan Sokrates sebagai tokoh protagonis. Republic juga berisikan ideal Plato tentang metafisik, yaitu pandangan bahwa apapun yang kita cerap dengan panca indera di dunia ini sifatnya hanya bayang-bayang yang tidak nyata. Sebab itu Plato merujuk pada adanya satu realitas yang sifatnya hakiki yang ia sebut Forma.
Forma sekaligus adalah kebenaran yang sesungguhnya. Forma terletak di balik aneka kenyataan duniawi yang fana. Forma hanya dapat dicapai melalui investigasi rasional yang penuh kedisiplinan. Di dalam buku ketujuh Republic pula kisah Plato tentang orang-orang yang terikat di dalam gua membelakangi pintu masuk gua dan hanya melihat bayang-bayang terdapat. Bayang-bayang disebut Plato sebagai aneka kenyataan yang ditemui manusia di dunia. Kenyataan-kenyataan tersebut bukan yang sesungguhnya atau bukan Forma. Forma baru akan bisa dilihat apabila orang-orang yang terpenjara di dalam gua dilepas rantai ikatannya, lalu melangkah menuju mulut gua dan menyaksikan sesuatu yang baru. Itulah kenyataan yang sesungguhnya bagi Plato. Bagi Plato, dunia bayang-bayang seperti mereka lihat di dalam gua sangat jauh dari realitas yang sesungguhnya.
Plato juga mengakui bahwa setiap asosiasi atau perkumpulan yang dibuat oleh manusia diarahkan untuk mencapai kebutuhan tertentu. Tidak ada orang yang sungguh-sungguh mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Mereka selalu bergantung pada orang lain untuk bertahan hidup juga berkembang biak. Sebab itu bagi Plato negara sengaja didesain untuk memastikan terjadinya pertukaran layanan yang harmonis. Dalam observasinya bahwa manusia punya bakat berbeda, Plato mengajukan pendapat bahwa setiap orang harus fokus pada tugas dengan mana mereka mampu memenuhinya. Mereka harus berlatih dan tidak boleh orang tidak berkemampuan untuk suatu tugas memaksakan dirinya menjalankan tugas tersebut.
Dalam Republic Plato mengkritik demokrasi Pericles yang banyak menempatkan orang-orang tidak kompeten dalam tugas kenegaraan. Bagi Plato tidak ada spesialisasi kerja dalam demokrasi Pericles. Plato mengusulkan adanya pembagian kerja (division of labor). Pembagian kerja ini harus juga dikaitkan dengan produksi material. Tidak bisa seorang bangsawan dapat membuat roti yang enak kecuali kalangan pelayan, yaitu koki. Demikian pula di dalam negara, harus ada pembagian kerja berdasarkan keahlian.
Plato membagi masyarakat ke dalam dua kelas terpenting yaitu produsen dan penjaga. Produsen terkait dengan kerja-kerja seperti bidang ekonomi, pertanian, perdagangan, dan pabrik. Penjaga fokus pada tugas-tugas militer dan fungsi eksekutif bergantung pada pencapaian keahliannya. Penjaga militer memperlihatkan keberanian luar biasa dalam kondisi tekanan. Sementara mereka yang menjalankan tugas fungsi eksekutif negara dibedakan berdasarkan kemampuan intelektual dan kemampuan mereka menjunjung kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
Berkenaan dengan penciptaan kelas penjaga, dalam Republic Plato mengusulkan perlunya pelatihan sejak masa kanak-kanak. Mereka harus hidup di garnisun sehingga tidak terganggu oleh kehidupan yang berkaitan dengan milik, kekayaan, dan pernikahan. Aristokrasi intelektual harus diciptakan dengan penguasa yang memiliki kemampuan tinggi dalam hal seni (techne) memerintah. Cara pandang Plato seputar cara memerintah ini merefleksikan pengaruh Sparta, sebuah negara kota militeristik.
Bagi Plato, seorang Negarawan-Filosof akan mampu mengimplementasikan kekuasaannya secara bijaksana. Sebagai ahli di bidang ilmu pengetahuan seputar tata cara memerintah, mereka akan mampu menginsiprasi dan mengarahkan orang lain menuju standard-standard seperti Beauty, Goodness, Equality, dan Justice.
Masih bagi Plato, kalangan petani selaku produsen juga para pengrajin tidak punya hak mempertanyakan otoritas politik. Ini akibat mereka cenderung diarahkan oleh nafsu dan selera. Tugas mereka adalah untuk patuh dan mensuplay masyarakat dengan aneka produk material yang penting bagi perkembangan masyarakat. Bagi Plato, kemerdekaan adalah pemberian izin pada warga negara sehubungan dengan realisasi panggilan tugas mereka untuk melayani sesama. Termasuk ke dalam kemerdekaan ini adalah memenuhi kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi.
Seorang Negarawan-Filosof telah terbebaskan dari godaan sehingga dapat fokus mengarahkan bawahannya untuk bekerja demi kepentingan komunitas. Kepentingan komunitas bagi Plato adalah kebutuhan tertinggi manusia. Sebab itu penguasa (Negarawan-Filosof) bebas mengadaptasi aneka hukum untuk mengatur hal-hal khusus dalam sendi kehidupan masyarakat. Setelah negawaran-Filosof bekerja, sasaran akhir akan tercapai yaitu justice (keadilan), yaitu kondisi di mana ketiga segmen masyarakat (pengrajin dan petani, militer, dan penguasa) dapat melaksanakan tugas mereka secara saling melengkapi dan harmonis. Kesalingmelengkapi ini berkenaan dengan kebutuhan fisik, perlindungan, dan Negarawan yang cakap.
Dalam Statesman dan Law Plato tidak lagi bicara hal-hal spekulatif seperti dalam Republic. Kendati Negarawan-Filosof yang ia maksud di dalam Republic berdiri di atas hukum, tetapi di dalam Laws Plato mengakui sulitnya menemukan Negarawan yang benar-benar bebas dari kepentingan egoistik. Sebab itu, setelah negara yang dipimpin oleh Negarawan-Filosof, Plato merekomendasikan negara hukum sebagai bentuk terbaik keduanya. Plato tetap bersikukuh membela politik otoritarianisme yang terkembang lewat ide Negarawan-Filosof. Baginya, politik itu sama seperti dunia pengobatan dan matematika. Hanya mereka yang ahli saja yang mampu membuat aneka keputusan untuk menjalankan negara secara baik.
Sumber Bacaan
W. M. Spellman, A Short History of Western Political Thought. New York: Palgrame MacMillan, 2011., pp. 14-19.
0 Komentar
Anonim pun dapat berkomentar. Namun, tentu saja dengan akun pun sangat dipersilakan. Jika sudah klik Publikasikan. Juga pemirsa boleh bersoal/sharing tanggapan. Komentar pemirsa tentu tidak berisi kata atau link yang merujuk pada p*rn*grafi, jud*, *ogel, kekerasan, atau sejenisnya. Terima kasih.