Argumentasi Dukungan Indonesia atas Palestina

Ad Code

Argumentasi Dukungan Indonesia atas Palestina

Kepentingan nasional adalah konsep yang umum dipelajari dalam studi politik internasional. Kepentingan nasional adalah dasar suatu negara merancang politik luar negeri dan berpolitik secara internasional. Juga, kepentingan nasional adalah alasan mengapa Indonesia terus mendukung kemerdekaan Palestina. (artikel bagian 3)

Menurut Andrew Heywood, kepentingan nasional adalah “ … foreign policy goals, objectives or policy preferences that benefit a society as a whole.” [1] Bagi Heywood, konsep kepentingan nasional lebih banyak digunakan kaum realis dalam politik internasional sebab berkaitan dengan keamanan nasional, dampak sistem internasional yang anarkis, dan kebertahanan hidup suatu negara. Kepentingan nasional adalah tujuan politik luar negeri suatu negara, yaitu rangkaian pilihan kebijakan yang dianggap akan memberi manfaat bagi suatu negara secara keseluruhan.


Save Palestine
Sumber Foto: 
https://pngtree.com/freepng/save-palestine_6312355.html

Menurut Heywood, konsep kepentingan nasional sifatnya sangat subyektif, berubah-ubah, bergantung pada siapa yang mendominasi rezim suatu negara. Kepentingan nasional Israel di era Yitzhak Rabin (yang diasasinasi) kemungkinan berbeda dengan di era Ehud Barak ataupun Benyamin Netanyahu yang ‘brutal.’ Dengan demikian, bagi Heywood, konsep kepentingan nasional adalah konsep yang sifatnya ambigu dan menjebak apabila ia dilepaskan dari konteks perumusan suatu negara tanpa menganalisis siapa rezim yang tengah memegang kekuasaan saat itu.

Penjelasan lain mengenai kepentingan nasional diberikan oleh Steven L. Lamy, et.al. Menurut mereka, kepentingan nasional merupakan artikulasi kebijakan luar negeri, dan kepentingan nasional sendiri, yang berarti “ … the material and ideational goals of a nation-state.” [2] Kedua macam tujuan tersebut, baik material maupun ideasional, harus dipenuhi dalam politik luar negeri suatu negara.

Makna material adalah tujuan yang berbentuk seperti perjanjian dagang, sumberdaya energi, bahkan kendali atas teritori strategis (yang umumnya dilakukan lewat perang, baik konvensional maupun non konvensional). Makna ideasional termasuk promosi nilai-nilai, norma-norma, dan gagasan kebijakan yang bisa menguatkan keamanan dan kesejahteraan negara yang menyusunnya.

Apabila Heywood menyebut kepentingan nasional sebagai sebuah konsep yang ambigu, atau dan Steven L. Lamy, et.al. membedakannya sebagai tujuan yang bersifat material ataupun ideasional, maka Jean-Marc Coicaud & Nicholas J. Wheeler menekankan pada gagasan kekuasaan dan kekuatan. [3] Menurut Coicaud & Wheeler, kepentingan nasional adalah “ … self-interest of nations, how states envision their defence and projection of power beyond their borders.” [4] Kepentingan diri suatu bangsa adalah kata kunci dalam memaknai kepentingan nasional. Pemaknaan tersebut di seputar bagaimana suatu negara memandang pertahanan diri mereka, juga proyeksi kekuasaan di luar batas wilayah mereka. Pandangan semacam ini umum dianut kaum realis politik internasional.

Kepentingan diri ini harus mempertimbangkan bagaimana negara itu menakar pertahanan dan kekuatan mereka di luar batas yuridiksi hukumnya. Juga, Coicaud & Wheeler membagi kepentingan nasional ke dalam kepentingan yang oleh suatu negara dianggap sebagai inti atau vital seperti keamanan serta lainnya, yang bersifat sekunder dan umumnya lebih bersifat promosi nilai-nilai. Coicaud & Wheeler menandaskan bahwa penentuan kepentingan nasional yang sifatnya vital dan sekunder bergantung pada pemahaman geopolitis setiap negara di dalam hubungan internasional.

Sebab itu, penentuan yang primer dan sekundernya kepentingan nasional suatu negara bergantung pada konteks kepentingan nasional tersebut didefinisikan. Juga, definisi Coicaud & Wheeler ini mirip dengan Lamy, et.al. yang membagi kepentingan nasional menjadi bersifat material dan nilai, yang sifatnya kasuistik bagi setiap negara. Jika Lamy, et.al. tidak menentukan mana yang lebih penting dari kepentingan yang bersifat material dan ideasional, maka Coicaud & Wheeler menyebut yang bersifat material dan kekuatan lebih penting ketimbang promosi nilai-nilai suatu negara ke luar batas yuridiksinya.

Politik global saat ini tidak hanya didominasi oleh kaum realis melainkan kini muncul kaum konstruktivis yang punya pemahaman tersendiri mengenai konsep kepentingan nasional. Salah satu eksponen kaum konstruktivis adalah Alexander Wendt, yang mendefinisikasi kepentingan nasional sebagai “ … as the objective interests of state-society complexes, consisting of four needs: physical survival, autonomy, economic well-being, and collective self-esteem.” [5]

Berbeda dengan kaum realis yang mengasumsikan negara (state) sebagai satu-satunya aktor dalam politik global, kaum konstruktivis menganggap aktor dalam politik global adalah negara plus civil societynya.Kepentingan nasional lahir dari interaksionalisme simbolik antara negara dan civil society. Negara harus menyuarakan kepentingan rakyatnya dalam mendefinisikan kepentingan nasional sebagai basis penyusunan politik luar negerinya. Masyarakat sipil yang terorganisasi akan lebih mampu mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara.

Jadi, masalah artikulasi kepentingan publik dan kepentingan nasional negara saling berkelindan. Salah satu jenis kepentingan nasional menurut kalangan konstruktivis adalah collective self-esteem. Dalam asumsi kaum konstruktivis, di dalam hubungan internasional, konteks politik dan budaya suatu kebijakan berikut interpretasinya dapat merupakan sarana sekaligus tujuan dalam rangka pencapaian kepentingan nasional. [6]

Pandangan lain mengenai kepentingan nasional diajukan oleh Martin Griffith, et.al. Griffith, et.al. menganggap kepentingan nasional adalah sebuah konsep yang perlu didekati lewat dua cara yang satu sama lain saling berhubungan.

Pada satu sisi, penetapan “kepentingan” itu harus bisa diterima agar dapat diklaim sebagai milik negara. Pada sisi lain, kepentingan nasional juga digunakan untuk mendeskripsikan serta mendukung kebijakan tertentu. [7] Berdasarkan dua relasi ini, makna kepentingan dan makna nasional maka diperoleh tiga pendekatan atas kepentingan nasional. [8] Menurut Griffith, et.al., aturan untuk mengidentifikasi kepentingan nasional dapat didekati lewat proses politik yang bernilai independen-normatif, demokratis, atau dengan kata lain, kepentingan nasional diidentifikasi tatkala ia mencerminkan ekpresi yang bisa diverifikasi lewat pilihan sikap mayoritas warganegara. [9] Dengan demikian maka kepentingan nasional adalah refleksi sikap dan kebutuhan warganegara. Pemerintah adalah instrumen untuk mencapai tujuan tersebut.

Setelah mengeksplorasi sejumlah pemahaman mengenai kepentingan nasional, maka dapat dinyatakan bahwa kepentingan nasional merupakan pedoman dalam penentuan arah politik luar negeri suatu negara plus sebagai pijakan hubungan bilateral maupun multilateral. Kepentingan nasional juga tidak melulu bersifat material seperti sumber daya alam, energi, keuangan, dan material lainnya, melainkan pula ideasi seperti norma, nilai, ataupun perilaku yang dikehendaki, seperti misalnya collective self-esteem, di mana Indonesia cukup menyesalkan, bahwa dari seluruh negara yang ikut Konferensi Asia-Afrika 1955, hanya Palestina saja yang belum merdeka.

Sebab itu, dalam kasus hubungan Indonesia dengan Palestina, kepentingan nasional Indonesia lebih diletakkan pada kepentingan yang bersifat ideasional. Ini akibat tidak mungkin Indonesia melihat di Palestina ada keuntungan material yang bisa ‘dikeruk’ ketimbang dari Israel. Gagasan kepentingan nasional ideasional ini termaktub dalam Mukadimah konstitusi Indonesia seperti disebut di bagian terdahulu bahwa “ … penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”

Indonesia merdeka tahun 1945 dan di saat Indonesia ‘sibuk’ menghadapi aksi-aksi polisionil Belanda yang kembali hendak menjarah bumi Indonesia dan Madiun Affair, Israel tiba-tiba memproklamasikan diri sebagai negara berdaulat dengan menjajah bumi Palestina yang saat itu statusnya adalah protektorat Inggris. Inggris tidak terlebih dahulu meminta persetujuan rakyat Palestina seperti mereka melakukannya dengan survey persetujuan rakyat Arab-Mesir di El-Arish. Indonesia melihat proklamasi ini sebagai aksi sepihak atas kedaulatan suatu bangsa oleh Israel atas ‘izin’ Inggris. Aksi sepihak ini dilihat oleh Indonesia sebagai bentuk penjajahan di muka bumi yang harus dihapuskan.

Sesuai dengan pandangan Wendt, bahwa kepentingan nasional bukan semata ditentukan pemerintah, melainkan interaksionalisme-simbolis antara rakyat dan pemerintah, agar memenuhi syarat agar disebut kepentingan nasional. Wendt yang berasal dari kalangan konstruktivis bertolak belakang dengan kaum realis yang menganggap bahwa negara satu-satunya aktor dalam politik global.

Wendt justru membantah dengan menyatakan bahwa kepentingan nasional bukan semata-mata dibuat oleh negara; Kepentingan nasional suatu bangsa adalah kepentingan bangsa itu sendiri, dan itu harus dijalankan pemerintahnya. Sebab itulah, bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim (sekurangnya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama tetap menganggap Israel de facto dan de jure menjajah Palestina) melihat aksi proklamasi sepihak Israel di bumi Palestina, klaim Israel bahwa Palestina hanya milik Yahudi (mayoritas Ashkenazi), adalah suatu perbuatan penjajahan yang harus ditolak.

Sebab itu, siapapun Presiden Indonesia yang berupaya menghentikan dukungan atas kemerdekaan Palestina apalagi menjalin hubungan diplomatik dengan Israel harus berhadapan dengan kekuatan civil society Islam di dalam negeri. Untuk itu, selalu, kepentingan nasional selalu mencerminkan ekspresi rakyat negara tersebut seperti disebut oleh Wendt.

Dengan argumentasi teoretis di atas, maka artikel ini membantah tesis kalangan realis yang dimotori Hans J. Morgenthau (ilmuwan hubungan internasional yang juga seorang Yahudi Ashkenazi) bahwa kepentingan nasional selalu berkenaan dengan perimbangan kekuatan (balance of power) atau mengejar kekuatan, sehingga hubungan antar-negara selalu dalam kondisi bermusuhan, anarki, negara kuat selalu mencengkeram yang lemah, tanpa ada kekuatan sentral yang mampu memaksakan ketertiban. Hanya rasa takut pihak kuat yang satu terhadap pihak kuat lainlah yang menciptakan situasi perdamaian “semu.”

Menurut cara pandang realis, akan lebih menguntungkan bagi Indonesia menjalin hubungan dengan Israel ketimbang Palestina. Di sekitar Israel berdiri kekuatan-kekuatan besar dunia seperti Amerika Serikat dan Inggris. Tentu akan ada insentif dari negara-negara kuat tersebut apabila Indonesia bersahabat dengan Israel ketimbang Palestina. Namun, kenyataan tidaklah demikian, hingga saat ini Indonesia cukup konsisten dalam hal dukungannya atas kemerdekaan Palestina dengan tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.

… bersambung ke artikel Bagian 4:

... artikel sebelumnya:


Catatan Kaki

1. Andrew Heywood, Global Politics (Hampshire: Palgrave Macmillan, 2011) p. 130.

2. Steven L. Lamy, et.al., Introduction to Global Politics, 4th Edition (New York: Oxford University Press, 2017) pp. 117-8.

3. Jean-Marc Coicaud and Nicholas J. Wheeler, “Introduction: The Changing Ethics of Power Beyond Borders” dalam Jean-Marc Coicaud and Nicholas J. Wheeler, National Interest and International Solidarity: Particular and Universal Ethics in International Life (Tokyo: United Nations University Press, 2008) p. 2.

4. ibid.

5. Alexander Wendt seperti dikutip dalam Scott Burchill, The National Interest in International Theory (New York: Palgrave MacMillan, 2005) p. 185

6. Scott Burchill, The National Interest in International Theory (New York: Palgrave MacMillan, 2005) p. 212-3.

7. Martin Griffiths, et.al., International Relations: The Key Concepts, Second Edition (Oxon: Routledge, 2002) p. 216.

8. ibid.

9. ibid. p. 217.
Reactions

Posting Komentar

0 Komentar