Alasan Indonesia dukung Palestina merdeka tidak lepas dari konstitusinya sendiri. Mukadimah UUD 1945 menyatakan “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”[1] Demikian Mukadimah konstitusi yang disusun oleh para Bapak Pendiri Indonesia yang mayoritas Muslim. (artikel bagian 2)
Mukadimah disusun tahun 1945 dan wajar manakala tahun 1948 penjajahan Israel atas Palestina resmi diproklamasikan, Indonesia menyikapinya sebagai bentuk pelanggaran konstitusi Indonesia. Para Bapak Pendiri Bangsa Indonesia dan pemimpin-pemimpin politik setelahnya (dari Sukarno sampai Joko Widodo) tidak satu pun resmi mengakui negara Israel dan membangun hubungan diplomatik. Dalam hal Palestina politik luar negeri Indonesia selalu berpihak terhadap kemerdekaan bangsa Palestina untuk berdiri sebagai sebuah bangsa yang punya wilayah, penduduk, pemerintahan, dan diakui oleh negara lain sebagai syarat berdirinya suatu negara dalam hukum internasional.
Support the Palestinians
Sumber Foto:
https://www.palestineposterproject.org/sites/default/files/support_pppa.jpg
Apabila didasarkan logika materialistik semata, pemihakan Indonesia atas Israel tentu kurang menguntungkan. Banyak negara Arab berpenduduk mayoritas Muslim seperti Mesir, Turki, dan Arab Saudi punya hubungan diplomatik resmi dengan Israel. Israel, kendati kecil, memiliki lobi sangat kuat di negara-negara besar karena kekuatan para bankir, pengusaha, dan pemilik media mainstream rata-rata Yahudi.
Lobi Israel di Amerika Serikat misalnya, mampu mempengaruhi politik luar negeri negara tersebut. Lobi-lobi Israel melalui kelompok-kelompok penekan mereka seperti AIPAC, ADL, atau AJC beroperasi baik di Gedung Putih maupun Kongres, seperti juga diungkap sejumlah penulis berpengaruh Yahudi sendiri seperti John Mearsheimer, Ilan Pappe, Noam Chomsky, ataupun Norman Finkelstein.
Aneka tulisan mereka yang kritis tentang negara Israel, Gerakan Zionis, dan Zionisme, membuka selubung yang menutupi betapa sangat erat kaitan aneka lobi Yahudi dengan politik luar negeri Negara Barat berpengaruh (terutama Amerika Serikat) atas Palestina. Lobi Yahudi terus memastikan bahwa bantuan luar negeri Amerika Serikat yang terbesar adalah untuk Israel. Juga, lobi Yahudi bisa memutus bantuan Amerika Serikat pada negara yang memusuhi Israel, termasuk faksi-faksi di dalam Palestina.
Dengan demikian, sebuah pilihan kurang menguntungkan bagi Indonesia memihak kemerdekaan Palestina dan tidak menyetujui dibukanya hubungan diplomatik dengan Israel. Potensi ekonomi, sumberdaya manusia (tenaga ahli), militer, dan politik Palestina tidak setara dengan Israel dan pengaruhnya atas Amerika Serikat (juga Inggris).
Padahal, di dalam politik internasional, kepentingan nasional adalah hal pokok yang harus diperhatikan. Hubungan dengan Israel akan lebih memuluskan jalan bagi Indonesia dalam memperoleh dukungan Amerika Serikat dalam hal stabilitas nilai tukar Rupiah-Dollar, bantuan militer, bantuan ekonomi dan sosial, serta bantuan pengaruh dalam politik internasional.
Apa pun perilaku politik negara yang tidak disukai oleh Israel pasti akan mereka ‘balas’ dengan lobi-lobi mereka di Gedung Putih dan Kongres Amerika Serikat, seperti sudah dialami Libia (masa Ghadaffi), Afghanistan, Lebanon, Suriah, dan Iran. Paragraf-paragraf ini hanya hendak memberikan gambaran alangkah lebih menguntungkan bagi Indonesia apabila mendukung berdirinya negara Israel lalu menjalin hubungan diplomatik resmi dengan mereka ketimbang terus mendukung kemerdekaan Palestina. Terlebih saat ini, di mana Palestina tidak lebih hanya berupa aneka ‘pemukiman terserak’ di dalam negara Israel. Yerusalem, kota suci tiga agama, yang awalnya menjadi bagian Palestina, saat Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump – dengan Jared Kushner, menantu Trump yang Yahudi Ortodoks selaku penasehatnya – dirancang berubah menjadi ibukota Israel, menggantikan Tel Aviv.
Sebab itu, perlu ditelusuri kepentingan apa sesungguhnya yang melandasi Indonesia terus mendukung berdirinya negara Palestina merdeka. Pemihakan terhadap Palestina merdeka bahkan terus dipertahankan setelah politik global bersifat unilateral, dengan Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara dengan kekuatan militer, ekonomi, dan politik terkuat dunia. Kendati saat ini Cina dan Rusia adalah penantang kuat hegemoni Amerika Serikat.
Memang, saat ini Amerika Serikat – terkesan menjadi sekadar negara “cabang” Israel, negara yang percetakan uangnya dimiliki perusahaan swasta yaitu Federal Reserve [2] ---tengah mendapat tentangan politik, ekonomi, dan militer dari dua kompetitor utamanya: Cina dan Rusia. Namun, dengan dukungan para ilmuwan yang berkolaborasi dengan militer, Amerika Serikat masih dapat melakukan perang dalam ‘bentuk lain’ terhadap mereka dengan tujuan melemahkan kemampuan ekonomi kedua negara.
Misalnya melalui perang-perang dalam konteks biopolitik seperti persebaran virus dan bakteri yang ditujukan dalam mewujudkan rasa panik. Apabila dipelajari dalam sejarah yang belum terlalu lama, rencana-rencana invasi Amerika Serikat ke Iraq, Afghanistan, dan Libya merupakan seruan dari lobi-lobi Yahudi relung-relung Gedung Putih dan Kongres. [3] Kini, lobi-lobi Zionis Israel di Amerika menyasar agar pemerintah Amerika Serikat menginvasi Iran dan Suriah. [4]
Namun, sebagian besar rakyat Amerika Serikat tidak lagi sebodoh dulu, saat begitu saja menerima keputusan Bush untuk menyerang Iraq dengan casus belli senjata pemusnah massal Iraq yang ternyata fiktif. Casus belli yang sama kemungkinan gagal diciptakan oleh aneka lobi Yahudi guna meyakinkan rakyat Amerika Serikat untuk kedua kalinya.
Sejalan dengan pilihan Indonesia untuk terus mendukung kemerdekaan Palestina sebagai sebuah negara berdaulat, maka secara logis pilihan Indonesia untuk terus melakukannya dan tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel adalah sebuah anomali.
Apabila alasannya adalah bahwa rakyat Indonesia mayoritas Muslim dan dengan demikian lebih memilih pro Palestina daripada berhubungan diplomatik resmi dengan Israel juga kurang signifikan. Mesir, Turki, dan Arab Saudi, tiga negara mayoritas Muslim utama saat ini pun ternyata memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Israel. Hal tersebut tidak merupakan masalah bagi rakyat di ketiga negara. Juga, tidak ada protes signifikan dari publik Islam Indonesia agar pemerintah Mesir, Turki, dan Arab Saudi memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel seperti pemerintah Indonesia tidak memilikinya. Hubungan rakyat Indonesia dengan rakyat Arab Saudi, Mesir, dan Turki terus berjalan hingga saat ini.
Dengan demikian perlu dicari alasan yang bisa dipahami mengapa Indonesia lebih memihak kemerdekaan Palestina, yang tentu tidak menyenangkan Israel dan Amerika Serikat. Sebab dalam konteks politik global, kepentingan nasional merupakan rujukan utama suatu negara menjalin hubungan dengan negara lain. Cina tidak mungkin menjalin hubungan dengan Rusia apabila hubungan tersebut tidak menguntungkan mereka. Indonesia tidak mungkin menjalin hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat apabila hubungan tersebut tidak menguntungkan Indonesia. Timor Leste tidak mungkin menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia apabila hubungan tersebut tidak menguntungkan mereka. Lalu mengapa Indonesia lebih memilih memihak pada kemerdekaan Palestina ketimbang Israel?
Persoalan kepentingan nasional, dengan demikian, merupakan suatu hal yang perlu dikaji lebih lanjut dalam kasus Indonesia yang berkepentingan atas merdekanya Palestina agar berdaulat di tanah airnya sendiri.
Konsep kepentingan nasional sebagai dasar penentuan sikap politik luar negeri suatu negara. Dengan konsep kepentingan nasional maka perilaku Indonesia terhadap Palestina tersebut akan dapat dipahami. Kepentingan nasional suatu negara adalah pedoman politik luar negeri suatu negara. Kepentingan nasional mengarahkan politik bilateral ataupun multilateral. Kepentingan nasional yang terdefinisi secara baik oleh pemerintah suatu negara akan mendorong munculnya karakter negara tersebut di kancah perpolitikan internasional. Dengan demikian artikel ini menyimpulkan dua hal, yaitu : (1) Dukungan Indonesia atas kemerdekaan Palestina sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia, dan (2) Tujuh rezim politik yang pernah berkuasa di Indonesia, seluruhnya memberikan dukungan atas kemerdekaan Palestina dari Israel dengan sejumlah variasi.
… bersambung ke artikel Bagian 3 :
... artikel sebelumnya:
Catatan Kaki
1. Mukadimah UUD 1945 alinea pertama. Diakses dari http://www.dpr.go.id/jdih/uu1945 tanggal 30 Maret 2020.
2. Federal Reserve didirikan atas 3 motivasi yaitu (1) mentalitas darurat yang dipicu oleh panik ekonomi 1907; (2) reformasi administrasi yang digagas Partai Demokrat AS yang selalu bersikap oposisi terhadap bank nasional; dan (3) hasrat membuat sebuah lembaga yang bertindak sebagai bank pusat. Inisiatornya adalah para bankir bank-bank besar yang umumnya dimiliki oleh bankir internasional Yahudi Askhenazi seperti Paul Warburg dari Koehn, Loeb, & co. dan para pemikirnya seperti Louis Brandeis. Salah satu tujuan didirikannya Federal Reserve adalah “ …. to make the United States the financial center of the world.” Federal Reserve adalah lembaga swasta, bukan milik publik atau pemerintah AS. Federal Reserve adalah satu-satunya perusahaan swasta (berorientasi private-profit bukan public-profit) di dunia yang diberi kewenangan untuk mencetak Dollar. Lihat John H. Wood, Central Banking in a Democracy: The Federal Reserve and Its Alternatives (Oxon: Routledge, 2015) pp. 64-68.
3. Lihat Michel Chossudovsky, America’s “War on Terrorism”, Second Edition (Quebec: Global Research, 2005) p. 65. Chossudovsky menyatakan, “America’s New War” consists in extending the global market system while opening up new “economic frontiers” for US corporate capital … the US-led military invasion ---in close liaison with Britain---- responds to the interests of the Anglo-American oil giants, in alliance with America’s “Big Five” weapons producers: Lockheed Martin, Raytheon, Northrop Grumman, Boeing and General Dynamics.” Senjata pemusnah massal Iraq, adalah casus belli yang dibuat-buat saja untuk menutupi kepentingan nasional mereka ini. Lihat John J. Mearsheimer and Stephen M. Walt, The Israel Lobby and U.S. Foreign Policy (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2007). Bab 7 berisikan lobi Israel yang anti Palestina baik di Kongres maupun Gedung Putih, Bab 8 adalah ‘perang Arab Raya’ yang coba dipancing oleh aneka lobi Israel, bab 9 dan 10 adalah bagaimana lobi Israel di AS mengupayakan invasi atas Suriah dan Iran.
0 Komentar
Anonim pun dapat berkomentar. Namun, tentu saja dengan akun pun sangat dipersilakan. Jika sudah klik Publikasikan. Juga pemirsa boleh bersoal/sharing tanggapan. Komentar pemirsa tentu tidak berisi kata atau link yang merujuk pada p*rn*grafi, jud*, *ogel, kekerasan, atau sejenisnya. Terima kasih.