Santri adalah varian lain pengelompokan identitas yang dilakukan Geertz atas penduduk ‘Mojokuto.’ Geertz lalu mengkontraskan antara golongan santri dan abangan ini, yang menurutnya berbeda di dua aspek vital.
Aspek pertama adalah, bagi golongan Santri aspek ritual seperti shalat adalah penting. Bahkan mendirikan shalat inilah yang kerap membedakan antara golongan Abangan dengan Santri. Jika golongan Abangan tidak terlalu memandang penting masalah doktrin Islam, maka sebaliknya golongan Santri. Bagi mereka doktrin Islam menempati posisi penting dalam pikiran mereka, termasuk ke dalamnya penafsiran moral dan sosial doktrin Islam dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan bagi Santri modernis Islam adalah kode etika superior bagi manusia modern. Santri modernis ini terutama berasal dari wilayah urban (perkotaan).
Di wilayah pedesaan, aspek doktrinal Islam tidak terlalu mengentara kuat. Etika Santri di wilayah ini cenderung “dekat” dengan Abangan. Namun, kendati demikian mereka (Santri) tetap berbeda dengan Abangan tidak hanya mereka mendeklarasikan superioritas agama mereka atas Abangan, tetapi juga bagi mereka masalah agama yang utama selalu bersifat doktrinal. Santri pendesaan ini juga kerap mengikuti pimpinan mereka yang ada di wilayah perkotaan.
Aspek kedua adalah, dalam masalah organisasi sosial. Bagi Abangan unit sosial dasar di mana slametan diselenggarakan selalu terdiri atas rumah tangga batih: suami, istri, dan anak-anak mereka. Dalam kalangan Abangan unit-unit sosial dasar dibagi per keluarga batih. Di setiap even slametan keluarga batih ini menempati posisi sentral dalam setiap penyelenggaraan slametan. Berbeda dengan Abangan, bagi kalangan Santri rasa komunitas lebih tinggi ketimbang keluarga batih. Mereka menyebutnya sebagai ummat. Islam mereka lihat sebagai lingkaran sosial konsentris, yaitu komunitas yang meluas dan terus meluas.
Geertz mengamati, kaum Muslim “Mojokuto” tidak melihat agama mereka semata sebagai seperangkat keyakinan atau filosofi abstrak. Justru bagi mereka Islam terinstitusionalisasi sebagai organisasi, baik di lingkaran paling kecil yaitu “Mojokuto”, Indonesia, dan dunia Islam. Saat kaum Santri bicara soal Islam, terlintas di dalam benak mereka sebuah organisasi sosial dengan kredo Islam sebagai unsur pengatur utamanya. Organisasi tersebut dapat saja berwujud badan amal, perkumpulan perempuan, dewan mesjid desa, sekolah agama, kantor urusan agama, ataupun partai politik lokal, daerah, maupun nasional.
Dua hal yang kemudian membedakan karakter golongan Santri di “Mojokuto” adalah perhatian atas masalah doktrin dan apologi serta organisasi sosial. Pada masalah doktrinal hanya terdapat satu pembeda utama yang penting yaitu adalah golongan moderen dan kolot. Perbedaan ini sekurangnya telah jelas terjadi sejak 1912 dengan berdirinya Muhammadiyah. Berdirinya Muhammadiyah tidak terlepas dari terjadinya reformasi agama di Kairo, Mekan, dan India. Pembaruan ini pun memperoleh reaksi dari kelompok Muslim lainnya. Kedua hal ini pembaruan dan reaksinya adalah yang mempengaruhi perbedaan Santri di Indonesia.
Kenduri Zaman Dahulu
Sumber Foto:
https://republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/10/24/ph1uvb385-santri-dan-abangan-varian-keagamaan-orang-jawa
Pada masalah organisasional, Islam di “Mojokuto” terfokus pada empat lembaga sosial utama yaitu partai politik Islam dan organisasi serta badan amal afiliasinya, sistem sekolah agama, peran birokrasi pusat yang mengurus agama (kementerian agama), dan aneka organisasi kongresional yang terfokus di sekeliling mesjid desa dan mushala. Keempat entitas organisasional ini saling bersilangan antara Santri moderen dan kolot.
Di “Mojokuto” sendiri terdapat tiga kelompok Santri yaitu Santri petani yang hidup di desa, pedagang kecil yang tinggal di perkotaan, dan keluarga penghulu (jenis Santri aristokrat). Santri petani cenderung lebih makmur ketimbang petani Abangan. Dengan demikian, kelompok Santri dikategorikan Geertz sebagai kelompok Borjuis. Sebab itu konflik antara Abangan yang banyak terafiliasi dengan PKI dengan kelompok Islam baik di wilayah rural maupun urban tidak terlampau mengejutkan.
Pada tahun 1931 cabang Muhammadiyah berdiri di “Mojokuto.” Pusat mereka ada di Yogyakarta. Fokus mereka selain menyebarkan gagasan Muhammad Abduh soal kompatibilitas ilmu pengetahuan Barat moderen dengan Islam, juga melakukan perubahan nyata di tengah masyarakat, di luar masalah politik. Mereka mengkritik slametan sebagai penghamburan sumber daya yang lebih baik dialokasikan untuk karya-karya yang lebih bermanfaat. Mereka juga menyerang praktek kalangan Abangan yaitu slametan di sekitar masalah kematian. Bagi mereka Islam hanya mengizinkan tiga praktek sehubungan dengan peringatan kematian yaitu pemandian jenazah, membungkus jenazah dengan kain kafan, dan menguburkannya. Mereka juga mengkritik tradisi kalangan Santri kolot yang terbiasa melantunkan shalawat sebelum shalat untuk menenangkan jiwa sebagai heterodoks. Singkatnya, bagi Santri moderen, umat Islam harus kembali kepada Al Qur’an dan Hadis Nabi.
Kontroversi Santri modern dan kolot terus berlanjut. Santri moderen lebih banyak memfokuskan upaya pembaruan di kalangan internal Islam yaitu Santri kolot. Konflik keduanya bahkan hingga mencapai titik membuka buku karya Muhammad Abduh oleh seorang Santri kolot merupakan suatu “dosa” yang berakibat pada kebutaan. Akibatnya di “Mojokuto” ada masjid “moderen” dan masjid “kolot” dengan jamaah masing-masing.
Reaksi atas berdirinya Muhammadiyah adalah Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan KH Hasjim Asy’ari. Jika Muhammadiyah menyelenggarakan sekolah mirip dengan sekolah-sekolah Barat, maka NU mendirikan lembaga pendidikan pesantren. Pesantren merupakan penerusan tradisi pecantrikan Hindu, tetapi telah diisi oleh sepenuhnya ajaran Islam. “Cantrik” adalah orang yang mengikuti guru atau pendeta, sementara “Santri” adalah orang yang mengikuti “kiyayi” sebagai guru agamanya. Tempat mereka belajar atau “mondok” disebut dengan pesantren.
Pada perkembangannya terjadi upaya rekonsiliasi. NU sebagai misal bersedia memasukkan muatan ilmu pengetahuan moderen ke dalam kurikulum pesantren mereka. Mereka juga mulai membangun sejumlah sekolah mirip dengan milik Muhammadiyah, menyelenggarakan perkumpulan/organisasi kewanitaan, juga kepramukaan. Upaya rekonsiliasi penting lainnya diujar oleh salah seorang pimpinan partai politik modernis di “Mojokuto” dengan berkata, “Jangan pernah diskusikan perbedaan interpretasi dalam Islam. Itu hanya mendorong pada retaknya persahabatan.” Ini merupakan kalimat bijak untuk menyikapi perbedaan antara Santri moderen dan kolot. Toh pada perkembangannya, kedua kelompok ini pun saling berkelindan satu dengan lainnya di masa-masa kemudian.
Geerz lalu menjelaskan 5 pandangan berbeda antara Santri moderen dan kolot. Pertama, kelompok kolot cenderung menekankan hubungan dengan Tuhan yang sifatnya lebih personal, bergantung pada kebaikan moral dan karir individu sepenuhnya bergantung pada kehendak Tuhan. Di sisi lain, kelompok modernis menekankan bahwa hubungan dengan Tuhan mengindikasikan perlunya kerja keras dan penentuan oleh diri sendiri.
Kedua, kelompok Kolot cenderung berpegang pada konsep yang bersifat “totalistik” seputar peran agama dalam kehidupan. Setiap aspek hidup manusia memiliki signifikansi keagamaan dan sebagai akibatnya pemisahan antara aspek relijius dan sekular menjadi kabur. Di lain pihak, kelompok modernis cenderung berpegang pada definisi sempit atas agama dengan mana hanya aspek tertentu dalam hidup yang dapat dinyatakan sakral sehingga, berbeda dengan kelompok kolot, batasan antara yang relijius dan sekuler di kelompok modern tampak lebih tajam.
Ketiga, kelompok kolot cenderung kurang memperhatikan (bukan berarti tidak sama sekali) dengan kemurnian Islam dan lebih mempersilakan ritual non Islam menempati tempat minor dalam lingkup relijius mereka. Sebaliknya, kelompok modernis lebih tegas dalam menyatakan kemurnian Islam diperhadapkan dengan unsur-unsur asing yang dianggap telah mencampurinya.
Keempat, kelompok kolot cenderung menekankan pada aspek kesempurnaan agama dalam konteks pengalaman relijius mereka. Di lain pihak kelompok modernis cenderung lebih menekankan aspek instrumental agama berkenaan dengan perilaku agama mereka.
Kelima, kelompok kolot cenderung menjustifikasi praktek agama berdasarkan kebiasaan atau istiadat dan pembelajaran skolastik rinci dalam rujukan kitab-kitab mereka. Kelompok moderen cenderung menjustifikasi praktek keagamaan mereka berdasarkan nilai-nilai pragmatis hidup kekinian dan oleh rujukan umum atas Al Qur’an dan Hadis.
... mengenai Priyayi klik link berikut:
... mengenai Abangan klik link berikut:
Sumber Bacaan
Clifford Geertz, The Religion of Java. London: The Free Press, 1960, pp. 121 – 224.
0 Komentar
Anonim pun dapat berkomentar. Namun, tentu saja dengan akun pun sangat dipersilakan. Jika sudah klik Publikasikan. Juga pemirsa boleh bersoal/sharing tanggapan. Komentar pemirsa tentu tidak berisi kata atau link yang merujuk pada p*rn*grafi, jud*, *ogel, kekerasan, atau sejenisnya. Terima kasih.