Ad Code

Polis dan Konstitusi menurut Aristoteles

Polis dan Konstitusi kerap merujuk pada pendapat Aristoteles. Setiap pembelajar Ilmu Politik tentu tidak asing dengan nama Aristoteles. Sebenarnya filosof ini bukan hanya menguasai Ilmu Politik saja melainkan banyak bidang lain juga dirambah seperti biologi, etika, psikologi, dan seni orasi. Pada kesempatan ini hanya akan dibicarakan masalah yang bersangkutan dengan Ilmu Politik saja.


Aristoteles lahir di Stageria wilayah yang saat itu diperintah kerajaan Macedonia, yaitu sebuah region Trachia kurang lebih tahun 384 SM. Ayahnya seorang dokter yang menjadi kepercayaan Raja Amynatas II. Raja ini kemudian diambil alih kekuasaannya oleh Philip, putranya. Philip inilah ayah dari Alexander the Great. Di bawah Philip, Macedonia berubah dari sekadar wilayah marjinal menjadi negara kota terkuat di Yunani (McClelland, 1996: 48-9). 
 
Aristoteles
Sumber Foto:
https://brewminate.com/tyranny-democracy-and-the-polity-aristotles-politics/

Seperti umum diketahui, pada tahun 367 SM Aristoteles belajar di Akademi Plato yang terletak di negara kota Athena (Adams and Dyson, 2007: 11). Saat itu usianya sudah 17 tahun. Di samping belajar, Aristoteles kemudian juga mengajar di almamaternya itu hingga usia 40 tahun. Keterkaitan Aristoteles dengan Macedonia membuat posisinya kerap disalahpahami di Athena. Menguatnya posisi Macedonia dalam pentas politik Yunani membuat Athena mempertanyakan posisi Aristoteles. Hingga saat itu Athena selalu mengklaim sebagai episentrum budaya Helenisme-Yunani. Athena memandang bangkitnya Macedonia sebagai indikasi pengambilalihan hegemoni. Tidak hanya hegemoni di Yunani saja, melainkan dunia. Tentu saja, dunia saat itu adalah dunia mediterania. 

Hingga kini, masih kurang literatur yang menulis peran Aristoteles dalam politik internal Macedonia. Ada yang menganggapnya sekadar ilmuwan yang berbakti di Macedonia. Namun, ada pula pandangan lain yang menganggap bahwa Aristoteles adalah sayap politik Macedonia, bahkan cenderung dianggap sebagai mata-mata. Kecurigaan ini bukan tanpa alasan. Ada yang menganggap karya Aristoteles, yaitu Politics (Politika) adalah upaya pembelaannya atas sistem politik Macedonia. 

Suka ataupun tidak, Aristoteles akhirnya harus meninggalkan Athena. Ada sejumlah kemungkinan mengapa Aristoteles meninggalkan negara kota itu. Salah satu alasan adalah proses suksesi kepala Akademi Plato, di mana Aristoteles gagal memperoleh jabatan tersebut setelah Plato meninggal dunia. Akibat kegagalan ini, Aristoteles lalu pergi ke Assos, suatu teritori yang diperintah seorang tiran bernama Hemias of Atarneus. Aristoteles menikahi anak perempuan adopsi (sebenarnya keponakan) Hermias yang bernama Pythias. Hermias ini cukup mendukung perkembangan filsafat. Periode Assos adalah periode di mana Aristoteles melakukan studi biologi kelautan. Saat tengah berada di Assos, Aristoteles lalu dipanggil pulang ke Macedonia untuk pergi ke Pella (ibukota Macedonia) guna menjadi mentor Alexander yang saat itu telah berusia 13 tahun. Aristoteles menjadi mentor Alexander sejak 342 hingga 336 SM (Burns, 2005: 74). Tahun 336 SM, Aristoteles kembali lagi ke Athena. 

Pada masa Aristoteles kembali ke Athena, Macedonia di bahwa pimpinan Philip telah menjadi hegemon di seluruh negara kota Yunani. Namun, di tahun yang sama, Philip diasanisasi, dan Alexander menggantikan posisinya. Alexander lalu menunjuk Antipater (teman Aristoteles) sebagai tiran di Athena. 

Karena Macedonia adalah hegemon maka gelar yang disandang Alexander menjadi “the great” atau “yang agung.” Di bawah pengaruh Alexander, di Athena Aristoteles membangun akademinya sendiri yang bernama Lyceum. Lyceum Aristoteles adalah kompetitor Academi warisan Plato.  Di Lyceum, Aristoteles mengembangkan kritik atas filsafat Plato.  Di Lyceum ini pula Aristoteles mengembangkan filsafatnya sendiri, berbeda dengan Plato. Filsafat Plato lebih menekankan rasionalisme dan idealis dalam gagasannya. Perhatian Plato adalah pada gagasan-gagasan yang sifatnya universal. Pada sisi lain, Aristoteles lebih menukik pada pendekatan empirisis dan materialis. Ia lebih tertarik pada partikularisme ketimbang universalisme. Singkatnya, Aristoteles lebih tertarik mempelajari hal-hal nyata yang ada di sekeliling. Perpustakaan Aristoteles di Lyceum inilah yang kemudian menjadi model perpustakaan Alexandria (Kairo). 

Dalam karya politik keduanya, Republik karya Plato bisa disebut “utopianisme” karena menyediakan “blueprint” bagi masyarakat yang diorganisasikan secara rasional. Masyarakat ini, menurut Plato, bisa diterapkan di seluruh masyarakat dan bersifat transenden terhadap etika (perilaku) sehingga dapat dipergunakan sebagai alat kritik masyarakat. Sebaliknya, Politika Aristoteles berisikan relativisme etika yang menolak keberadaan gagasan etika transenden. Sebab itu, Politika Aristoteles sarat dengan partikularitas, studi saintifik (pengambilan data berdasarkan panca indera), lokalitas, dan kajian sejarah. Aristoteles menekankan bahwa setiap masyarakat memiliki standar etikanya sendiri, berbeda dengan Plato yang menganggap ada sebuah etika yang bersifat universal. Persoalan etika bisa secara khusus dibahas Aristoteles dalam karyanya Etika Nikomacea dan Metafisik. Tokoh Nichomacus dalam Etika Nikomacea adalah tokoh nyata yang tidak lain adalah anak Aristoteles sendiri. 

Sedikit informasi mengenai Lyceum Aristoteles. Ciri dari Lyceum ini adalah jalan setapaknya, yang dikenal dengan “peripatos.” Sehingga para pengikut filsafat Aristoteles dikenal sebagai kaum Peripatetic.  Kurikulum belajar di Lyceum meliputi biologi, teologi, metafisika, astronomi, matematika, botani, metereologi, etika, retorika, dan syair. Tentu saja politik termasuk di kurikulum itu. Dengan luasnya bidang ilmu yang diajarkan di Lyceum, maka Aristoteles sudah masuk kategori pendiri sebuah “universitas.” 

Namun sayang, saat Lyceum berkembang Athena terbelah antara pihak yang pro dan anti Macedonia. Aristoteles selalu dianggap orang Macedonia, bukan Athena. Pada tahun 323 SM, di Athena beredar kabar bahwa Alexander mengalami kematian di Babylon. Warganegara Athena memutuskan perang dengan Antipater. Aristoteles pun didakwa dengan tuduhan “tiada rasa hormat” (asebeia). Aristoteles lalu memindahkan domisilinya ke Chalcis di wilayah Euboea, di mana ibunya punya properti di sana (Coleman, 2000: 118). Kepergian Aristoteles ditemani oleh Herpyllis, seorang wanita pengganti istrinya setelah Pythias meninggal. Aristoteles kemudian wafat 1 tahun kemudian di sekitar usia 62 atau 63 tahun, di tahun 322 SM. 

Ada versi lain yang mengisahkan perginya Aristoles dari Athena (Nelson, 2015: 52). Secara umum, versi ini hampir serupa. Aneka penaklukan yang dilakukan Alexander (muridnya) membuat negara-negara kota Yunani masuk ke dalam pengaruh Macedonia, tepatnya sebagai Protektorat Imperium Macedonia. Athena sendiri bukan lagi negara kota yang independen, melainkan diperintah oleh Antipater, seorang diktator Macedonia yang juga teman Aristoteles. Posisi Antipater tentu saja tidak populer di Athena, ditambah lagi munculnya kabar kematian Alexander dalam misi penaklukan di wilayah timur. Terjadilah pemberontakan di Athena melawan kekuasaan Antipater. Aristoteles menemui kenyataan bahwa ia selama ini berkompromi dengan seorang tiran bernama Antipater, dan menyadari bahwa ia pun kemungkinan besar akan terbunuh dalam pemberontakan yang terjadi. Itulah alasannya ia meninggalkan Athena dengan menyatakan bahwa ia “tidak ingin melihat sebuah kota melakukan kejahatan berulang terhadap filsafat.” Mengapa Aristoteles menyatakan ini? Ia tidak akan lupa bahwa Sokrates dengan sukarela meminum racun cemara akibat tetap menghormati keputusan negara-kota yang salah. Aristoteles tidak akan mengulangi kesalahan Sokrates. Bagi Aristoteles, filsafat politik itu tidak boleh cuma bernilai abstrak-teoretis melainkan juga harus punya dimensi praktis. Ilmu politik pun, sebab itu, tidak boleh semata-mata bicara hal abstrak seperti Sokrates lakukan, melainkan harus punya dimensi praktis pula. Seorang filosof tidak boleh menyianyiakan hidup semata untuk logika murni. 


Zoon Politikon

Sebagai pemikir, Aristoteles menelurkan sejumlah konsep. Konsep tersebutlah yang membedakan antara pemikir satu dengan pemikir lain. Secara singkat, Burns merinci sejumlah konsep kunci dalam pemikiran Aristoteles. Sifat Alamiah Manusia (Human Nature) bagi Aristoteles adalah binatang politik dan sosial atau zoon politikon (Burns, 2005: 76). Kehidupan manusia yang paripurna adalah hidup bersama dengan manusia lain. Bahwa apabila manusia hidup sendiri, maka ia tidak akan tahu apa yang baik dan buruk, adil dan tidak adil. Sebab itu pula, Aristoteles memandang optimis individu manusia. Baginya, manusia secara alamiah adalah entitas moral atau etis. Kehidupan alamiah manusia adalah kehidupan berkeadilan (life of justice). Inilah yang membedakan spesies manusia dengan binatang. Lalu, di mana zoon politikon ini hidup bersama? Mereka hidup bersama di dalam Polis. 


Polis

Polis bagi Aristoteles bukan teritori yang semata bersifat politis, melainkan juga komunitas etis atau komunitas yang diikat berdasarkan perilaku. Komitmen manusia yang hidup di dalam Polis adalah nilai-nilai yang dipahami bersama. Namun, bagi Aristoteles, manusia terlahir tidak setara atau bisa disebut, kesetaraan itu sifatnya alamiah. Perbudakan dibenarkan eksistensinya oleh Aristoteles. Budak diperlukan untuk mengurus rumah tangga para warganegara kota. Konsep Polis Aristoteles bertengan dengan konsep kaum Sofis (McClelland, 1996: 53) Kaum Sofis memandang Polis murni sebagai hasil konvensi masyarakat. 

Namun, bagi Aristoteles Polis ini berbeda dengan komunitas manusia lainnya karena punya “tujuan” tersendiri. Argumentasi Aristoteles adalah, segala sesuatu di alam ini punya tujuan-tujuannya sendiri, demikian pula Polis. Sebab itu harus diidentifikasi alasan adanya sesuatu plus tujuannya, yang kemungkinan bisa saja berbeda. Misalnya, suatu Polis berdiri karena alasan ekonomi, tetapi tujuannya adalah moral. Karena baginya, “good life” manusia hanya bisa terjadi di dalam Polis. 

Lalu, apa yang sesungguhnya Aristoteles maksudkan dengan Polis itu. Baginya, Polis pastilah merupakan konstitusi (kesepakatan untuk memegang jabatan publik, cara memerintah) karena konstitusi memberikan suatu identitas bagi Polis dalam suatu periode. Polis tidak bisa didefinisikan sama seperti warganegara. Polis bisa mati atau berganti. Demikian pula, Polis tidak bisa didefinisikan sebagai teritorial, karena teritorial cenderung meluas dan bergantung pada suatu kontrak. 

Siapakah yang menjadi anggota dari Polis yang Aristoteles maksudkan? Di sini Aristoteles bicara mengenai “negara.” (McClelland, 1996: 54). Negara terdiri atas warganegara, dan warganegara adalah orang-orang yang punya andil (saham) dalam hubungan publik seperti memegang jabatan publik, ambil bagian dalam administrasi keadilan, juga anggota suatu dewan pemerintah. Sebagai relativis, Aristoteles mengakui bahwa makna pasti warganegara itu berbeda dari satu Polis dengan Polis lain. Ini karena warganegara adalah “genus” bukan “spesies.” Jadi, semua warganegara negara kota disebut genus, sementara warganegara Athena, Sparta, atau Macedonia adalah spesies. Definisi warganegara di Athena, beda dengan definisi yang berlaku di Sparta atau Macedonia, demikian pula sebaliknya.  

Polis yang ideal bagi Aristoteles adalah Polis yang cukup kecil sehingga dengan selayang pandang keseluruhan landscapenya bisa terlihat. Ukurannya kira-kira adalah semua orang, dalam situasi hening, bisa mendengar seruan atau pidato seseorang atau perintah seorang jenderal di kala perang. Dengan demikian dapat kita kira-kira ukuran Polis ideal menurut Aristoteles ini. Sebuah kelurahan di Indonesia mungkin terlalu besar bagi ukuran sebuah Polisnya Aristoteles. Sementara itu, teritori ideal bagi sebuah Polis adalah di dekat laut karena laut adalah kekuatan kunci baik dalam situasi perang maupun perekonomian. (McClelland, 1996: 53-6).  

Polis berbeda dengan asosiasi biasa seperti asosiasi pengrajin, asosial pelaut, dan sejenisnya. Dalam Polis warganegara bisa menyediakan seluruh kebutuhannya secara paripurna. Ada sejumlah alasan mengenai ini, menurut Aristoteles. Pertama, Polis menyediakan persyaratan ekonomi bagi hadirnya moralitas. Baginya, kebutuhan ekonomi dan moral saling berkaitan. (Adams & Dyson, 2007: 15). Agar para “pakar” bisa melakukan kontemplasi dengan metode sophia, sebagai misal, ia harus tercukupi dahulu kebutuhan ekonominya, semisal tempat tinggal, sandang, dan perumahan. Semua hal ini adalah ekonomi, yang dalam pengurusannya dilakukan oleh budak. Dengan sudah tercukupinya kebutuhan tersebut, sang “pakar” akan memiliki leissure time (waktu luang) untuk melakukan kontemplasi. 

Kedua, Polis menyediakan persyaratan pendidikan dengan mana pengembangan dan realisasi kebajikan moral bergantung. Bagi Aristotels, pendidikan moral adalah ciri kebajikan intelektual. Pendidikan ditempuh lewat pembiasaan perilaku, yaitu melalui mekanisme pelatihan dan pengulangan. Ketiga, Polis menyediakan prakondisi sosial bagi komoditas etis. Manusia tidak bisa hidup soliter (menyediri). Juga, manusia tidak bisa menemukan kepuasan ataupun kebahagiaan melulu bersandar pada diri sendiri maupun kepentingan sendiri. Manusia baru bisa mencapai kenikmatan hidup lewat interaksinya dengan manusia lain. Dengan demikian, bagi Aristoteles, eudaimonia (kebahagiaan)  hanya bisa tercapat apabila orang lain pun berbahagia. 


Etika, Eudaimonia, Justice

Aristoteles juga kerap menyebut soal Etika, Bagaimana Etika dipandang olehnya? Etika adalah tujuan utama dan bentuk kehidupan terbaik bagi manusia. Etika manusia adalah Eudaimonia, yaitu kehidupan berdasarkan Kebajikan (virtue). Secara bahasa, Eudaimonia berarti happiness (kebahagiaan). Kebahagiaan tertinggi ditemukan lewat kontemplasi abstrak yang ditempuh melalui kebajikan intelektual bernama sophia (kebijakan). Kontemplasi ini tidak terganggu oleh perhatian atas hal-hal yang tidak penting. Dalam kegiatan praktis keseharian, kebahagiaan terletak dalam praktik kebajikan moral yang dilakukan lewat phronesis (penalaran praktis). Phronesis ini berbeda dengan sophia karena yang pertama bersifat “awam” sementara yang kedua bersifat “pakar.”

Bagi Aristoteles Kebajikan itu banyak, tetapi yang terpenting adalah Justice (keadilan). Orang yang adil adalah yang perbuatannya selalu mengacu pada hal yang benar dengan alasan yang pula benar. Tindakan yang benar adalah tindakan yang mengkonfirmasikan persyaratan sesuai prinsip equity atau proportional equality. Kedua prinsip ini (equity atau proportional equity) adalah prinsip fundamental dari natural justice (keadilan alamiah). 

Dengan demikian, sebuah tindakan disebut tidak adil apabila bertentangan dengan hukum atau berkonflik dengan “keadilan politik”. Hukum diartikan Aristoteles sebagai hukum moral. Sementara, keadilan politik adalah prinsip yang berkembang di dalam Polis yang ditinggali oleh individu. Namun, kita tidak perlu terlampau rumit karena Aristoteles mengidentikkan antara hukum positif dengan Polis. Standar baik atau buruk bagi seorang warganegara ditentukan oleh prinsip keadilan politik yang berlaku di sebuah Polis. Polis satu dengan lainnya berbeda dalam hal keadilan politik ini.  

Bagi Aristoteles, manakala orang bicara keadilan secara universal, maka itu bermakna disposisi moral atau sifat karakter yang tidak hanya mewajibkan seseorang melakukan tindakan adil tetapi memastikan pula agar ia bertindak adil, sesuai dengan “apa” ia maksudkan sebagai “adil.” Juga, dalam maknanya yang luas, keadilan adalah kebenaran secara umum dan meliputi seluruh perilaku baik dalam berhubungan dengan orang lain (Coleman, 173). Dengan demikian, Aristoteles beranggapan bahwa makna keadilan itu memiliki banyak variasi pemaknaan. Sebab itu, perlu kesatuan makna mengenai keadilan ini.

Pemaknaan keadilan harus ditetapkan menurut hukum. Apa yang sesuai dengan hukum harus diputuskan oleh legislator, apapun konstitusi yang dianut di suatu Polis (konstitusi ini akan dibahas kemudian). Keputusan para legislator itu disebut aturan keadilan yang berlaku hanya di Polis yang membelakukannya. Polis lain tentu punya aturan keadilannya masing-masing. Hukum mengatur segala hal dalam kehidupan, dan segala yang tersebut di dalam hukum ditujukan bagi kepentingan bersama, baik itu seluruh warganegara, yang terbaik di antara para warganegara, kelas yang berkuasa, ataupun kriteria yang ditetapkan oleh mereka yang tinggal di suatu komunitas politik. 

Selain keadilan secara umum, Aristoteles juga merinci soal keadilan partikular (khusus). Keadilan partikular ini berkenaan dengan tindakan individual. Keadilan partikular terdiri atas keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan distributif diberlakukan pada masalah distribusi kehormatan, kekayaan, dan aset-aset lain yang bisa dibagi dalam suatu komunitas. Keadilan distributif ini dapat saja tersebar merata ataupun tidak di suatu masyarakat. Keadilan korektif mencerminkan kondisi di dalam transaksi privat. Transaksi privat ini bisa bersifat sukarela maupun tidak sukarela. Sebab itu, keadilan korektif terdiri atas dua bagian (sukarela dan tidak sukarela). Yang sukarela meliputi penjualan, pembelian, peminjaman dengan bunga, peminjaman tanpa bunga, deposit, persewaan. Setiap pihak yang melakukan tindakan-tindakan tersebut melakukannya dengan sukarela. Sementar itu, yang tidak sukarela meliputi hal yang rahasia, semisal, pencurian, pelecehan, peracunan, membunuh diam-diam, saksi palsu, atau kekerasan seperti perampokan, pembunuhan, penyerangan publik. (Coleman, 2000: 175) .

Aristoteles juga bicara mengenai keadilan politik. Keadilan politik adalah keadilan sebagaimana terjadi antara orang-orang yang secara aktual atau proporsional adalah setara. Orang-orang setara itu hidup dalam suatu kehidupan bersama dengan tujuan memuaskan kebutuhan mereka. Namun, apabila berlangsung antara orang yang tidak setara atau tidak proporsional, maka keadilan politik tidak terjadi. Keadilan yang terjadi antara tuan dan budak, suami dan istri, ayah dan anak adalah bukan keadilan politik. Keadilan politik berlangsung di ruang publik, bukan ruang privat. Sebab itu, seorang suami tidak bisa disebut “tidak adil” dalam konteks politik sehubungan dengan perilakunya di rumah tangga. Keadilan politik harus ditetapkan lewat hukum dan hanya diterapkan atas anggota komunitas yang diatur juga oleh hukum. Jadi, hanya berlaku bagi para warganegara yang di dalamnya terdiri atas mereka yang memerintah dan yang diperintah. 


Konstitusi

Lalu, bagaimana pandangan Aristoteles mengenai Politik? Pembicaraan politik Aristoteles berkisar pada konstitusi. Konstitusi adalah organisasi suatu Polis dengan pemberian rasa hormat atas aneka jabatan di dalamnya secara umum, tetapi terutama terhadap jabatan yang lebih berdaulat atas seluruh hal lainnya. (Fifty, 16). Komitmen utama Aristoteles adalah pada konstitusionalisme dan gagasan rule of law. Aristoteles juga terkenal sebagai filosof yang termasuk paling awal membagi kategori konstitusi politik. Tentunya, Plato (gurunya) lebih dahulu menulis di Republik. Bagi Aristoteles, konstitusi harus memuat hukum kebiasaan dan cara hidup yang berlaku di suatu polis. 

Kategorisasi adalah ciri khas Aristoteles, dan sebab itu konstitusi pun dibagi menurut kategori “baik” dan “korup.” Bentuk “baik” konstitusi adalah monarki, aristokrasi, dan politea (polity). Bentuk “korupnya” adalah tirani, oligarki, dan demokrasi. Aristoteles memaksudkan kategorisasi tersebut sebagai “ideal-typhus” karena ia menyadari bahwa di lapangan nyata ada variasi-variasi lain. Sebab itu dalam mengobservasi konstitusi ia menggunakan indikator berupa kontinuum. Misalnya gradasi antara penguasa sedikit (few) hingga banyak (many). Atau, antara cenderung demokrasi hingga oligarki.  Mengapa konstitusi bisa berbeda, yang satu demokrasi atau lainnya aristokrasi ? Jawaban Aristoteles adalah karena masing-masing memiliki penafsiran berbeda mengenai keadilan (justice). 

Ada catatan Aristoteles mengenai demokrasi. Ia menyatakan bahwa di dalam demokrasi “men” seharusnya punya kekayaan yang equal satu sama lain karena mereka secara equal sama-sama bebas. Demokrasi adalah pemerintahan oleh yang banyak. Yang banyak inilah yang memerintah, dan karena mereka memerintah bersama maka kekayaan mereka pun seharusnya sama. Berbeda dengan catatannya mengenai oligarki. Dalam oligarki “men” seharusnya tidak sama posisinya dalam seluruh hal, yang diakibatkan adanya ketimpangan dalam hal kepemilikan kekayaan.

Aristokrasi, dalam hal “banyak” sama dengan oligarki, yaitu kekuasaan yang terdistribusi di sedikit orang. Namun, aristokrasi adalah konstitusi yang diperintah oleh orang-orang terbaik demi kebaikan bersama. Pada sisi lain, oligarki adalah konstitusi yang diperintah oleh sedikit orang kaya demi kebaikan mereka sendiri. Polity adalah adalah konstitusi yang diperintah oleh orang banyak demi kebaikan bersama, sementara demokrasi serupa dengan “mob rule” yaitu konstitusi yang diperindah oleh banyak orang demi kebaikan yang banyak itu sendiri. 

Secara subyektif, Aristoteles menganggap Monarki adalah jenis konstitusi terbaik. Namun, sebagai seorang realis politik, ia harus memberikan resep yang bisa diterapkan. Sebab itu baginya bentuk konstitusi terapan terbaik yang bisa diaplikasikan adalah Polity (Coleman, 2000: 216). Dalam Polity, yang banyak memerintah dengan aturan, sesuai kepentingan bersama sebagai keseluruhan. Aristoteles menyatakan bahwa orang Yunani menggunakan istilah Polity (politeia) bukan hanya untuk menggambarkan seluruh pemerintahan konstitusional, tetapi dalam penggunaan awam, istilah Polity juga kerap dipakai untuk merujuk entah itu aristokrasi yang kurang lebih sama dengan oligarki tetapi masih memperhatikan keahlian (merit), atau apa yang sesungguhnya adalah Polity tetapi secara formal mereka sebut demokrasi (Coleman, 2000: 217). 

Apa yang sesungguhnya dimaksud Polity oleh Aristoteles? Polity secara umum didefinisikan sebagai konstitusi di mana sejumlah besar “men” (warganegara laki-laki) saling berbagi kebajikan bersama, kebajikan militer, dan sebab itu aneka badan pemerintahan yang berdaulat, dan warganegaranya terdiri atas mereka yang mempersenjatai diri. Dalam Polity orang memerintah sesuai kepentingan bersama. Namun, dalam pemahaman Aristoteles, Polity bukan semata ditandai oleh warganegara yang dipersenjatai, melainkan pula agar disebut konstitusi yang benar, Polity harus mendasarkan diri pada kebajikan moral. Jadi, mereka yang cocok untuk menjadi warganegara sebuah Polity adalah orang yang memiliki kebajikan militer (berani, bersenjata) tetapi juga mampu diperintah oleh sebuah pemerintahan yang didasarkan pada hukum. Hukum tersebut mendistribusikan jabatan pada mereka yang cocok dan memiliki keahlian (merit). Dengan demikian, wujud Polity ini agak mirip dengan aristokrasi dengan perbedaan bahwa dalam aristokrasi hanya didasarkan pada keahlian semata, tetapi dalam Polity diserta oleh keberanian dan persenjataan diri. Dalam Polity, pemilihan untuk jabatan publik bisa didasarkan atas kekayaan ataupun keahlian. Sebagai penutup, Polity murni juga jarang ditemui di kenyataan, karena yang kerap ditemui adalah variasi dari oligarki ataupun demokrasi. Oligarki manakala “polity” itu diperintah oleh golongan kaya, atau demokrasi di mana “polity” diperintah oleh kaum miskin.

Sumber

McClelland, J. S. A History of Western Political Thought. New York: Routledge, 1996.
Adams, Ian; R. W. Dyson. Fifty Major Political Thinkers. London and New York: Routledge, 2007.
Coleman, Janet. A History of Political Thought: From Ancient Greece to Early Christianity. Oxford: Blackwell Publishers, 2000.
Nelson, Brian R. Western Political Thought: From Socrates to the Age of Ideology. Long Grove, Illinois: Waveland Press, 1996.
Burns, Tony. “Aristotle”. David Boucher and Paul Kelly (eds.). Political Thinkers: From Socrates to the Present. New York: Oxford University Press, 2005.

Reactions

Posting Komentar

0 Komentar