Teori kekuasaan (power), ketertiban (order) dan keadilan (justice) adalah 3 konsep dasar politik yang akan dibahas kali ini. Ketiga konsep ini saling berkelindan dan satu sama lain melahirkan konsep-konsep penting baru. Sebelum dibahas kekuasaan, keteraturan, dan keadilan sebagai awal perlu disepakati definisi dari politik.
Thomas M. Magstadt mendefinikan politik sebagai “The process by which a community selects rulers and empowers them to make decisions, takes action to attain common goals, and reconciles conflicts within the community.” [1] Politik adalah “proses dengan mana suatu komunitas memilih penguasa dan memberdayakan mereka agar bisa membuat keputusan, mengambil tindakan demi mencapai tujuan bersama, serta menyelesaikan konflik di dalam komunitas tersebut.”
Definisi Magstadt ini berangkat dari teori kontrak sosial bahwa komunitas itulah penguasa sesungguhnya (katakanlah: rakyat). Komunitas terdiri atas individu unik, punya kepentingan masing-masing, kadang saling bersilangan (bayangkan kepentingan buruh dan pengusaha). Juga, para anggota komunitas punya pekerjaan penting lain, selain mengatur hidup bersama dan mencapai tujuan. Untuk itulah mereka bersepakat untuk memilih salah satu di antara mereka untuk mengatur (kontrak sosial). Awal penjelasan Magstadt ini tidak berbeda dengan penjelasan John Locke, Rousseau, ataupun Thomas Hobbes, kendati 3 yang terakhir punya implikasi pemikiran khas masing-masing.
Kekuasaan (Power)
Magstadt menyatakan penguasa mengalami “empower” atau pemberdayaan agar dapat berbuat sesuatu. Entitas pemberdayaan inilah yang dinamakan kekuasaan. Apakah itu kekuasaan? Magstadt mendefinifikan kekuasaan sebagai “the capacity to influence or control the behavior of persons and institutions, whether by persuasion or coercion.” [2] Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi atau mengendalikan perilaku orang dan lembaga, apakah lewat pesuasi (bujukan) ataupun koersi (pemaksaan).
Penguasa yang dipilih oleh komunitas harus bisa mengatur. Bukan penguasa kalau tidak bisa mengatur. Namun, sekali lagi perlu diingat bahwa kemampuan mengatur adalah kemampuan yang diberikan dan bukan muncul secara alamiah. Komunitas-lah yang memberikan kemampuan tersebut kepada penguasa. Logikanya, apa yang diberikan bisa diambil kembali. Itulah esensi dari konsep kontrak sosial. Ketika komunitas meyakini bahwa penguasa (yang diberikan kekuasaan) tidak melakukan fungsi yang diharapkan, mereka bisa meminta kembali kekuasaan dari si penguasa.
Kembali ke masalah kekuasaan yang diberikan kepada penguasa. Penguasa menggunakan kekuasaan dari komunitas untuk mempengaruhi komunitas, baik individu maupun apapun lembaga yang ada di dalam komunitas. Individu dan lembaga harus tunduk pada pengaruh yang diberikan penguasa, karena berdasarkan kontrak sosial penguasa memang diberikan hak untuk itu. Dalam melakukan pengaruh pun, penguasa bisa menempuh dua cara, baik bujukan (persuasi) maupun paksaan (koersi). Keduanya sah karena mereka memang diberikan hak untuk itu oleh komunitas. Seluruh anggota komunitas (individu dan lembaga) harus tunduk pada pengaruh penguasa. Tentu saja, ketundukan ini dengan sederetan panjang catatan.
Sebab itu, dalam konsep kekuasaan muncul sekurangnya tiga konsep yaitu authority, legitimacy, dan legitimacy authority.[3] Dalam konteks politik, kekuasaan harus tunduk pada ketiga konsep ini. Authority (kewenangan) adalah “command of the obedience of society’s members by a government.” Kewenangan adalah “perintah agar anggota masyarakat patuh kepada pemerintah (penguasa).” Bukan pemerintah kalau tidak dipatuhi oleh siapa yang mereka perintah. Namun, perintah ini bukan sembarang perintah, melainkan diturunkan dari konsep politik yang sudah diutarakan sebelumnya. Kewenangan ini kemudian memunculkan konsep baru yaitu legitimacy. Legitimacy (legitimasi) adalah “the exercise of political power in a community in a way that is voluntarily accepted by the members of that community.” Dengan demikian, kewenangan ada karena adanya legitimasi. Legitimasi adalah penerapan kekuasaan politik dalam komunitas dengan cara yang diterima secara sukarela oleh para anggota komunitas. Konsep dasarnya adalah kesukarelaan yang menandaskan bahwa para anggota komunitas sudah paham dan menerima kewenangan penguasa untuk mengatur diri mereka.
Apabila dipadukan kedua konsep tersebut, kewenangan (authority) dan legitimasi lahirlah sebuah konsep baru yaitu legitimate authority (kewenangan terlegitimasi). Legitimate authority adalah “the legal and moral right of a government to rule over a specific populations and control a specific territory; the term legitimacy usually implies a widely recognized claim of governmental authority and volutary acceptance of the part of the population(s) directly affected.” Kewenangan yang terlegitimasi adalah hak legal sekaligus moral pada pemerintah untuk mengatur suatu populasi spesifik dan mengendalikan teritori yang juga spesifik; istilah legitimasi biasanya berdampak pada klaim diakuinya otoritas kepemerintahan dan diakui secara sukarela oleh bagian populasi terpengaruh langsung.
Pemerintah Malaysia tidak punya kewenangan terlegitimasi atas masyarakat Indonesia karena baik masyarakat maupun teritorinya ada di luar kemampuan mereka. Namun, pemerintah Malaysia bisa menerapkan kewenangan terlegitimasi mereka atas warganegara mereka yang tengah belajar di sebuah universitas di Indonesia. Kata kuncinya adalah specific population atau specific territory. Kewenangan suatu pemerintah juga bisa menjangkau ke luar batas teritori negara apabila ada populasi mereka di luar wilayahnya. Hal sebaliknya bisa terjadi manakala ada nelayan Malaysia mengambil ikan di perairan Indonesia. Kendati mereka penduduk Malaysia dan tidak wajib sukarela taat pada pemerintah Indonesia, namun karena mereka sudah melakukan perbuatan illegal di wilayah Indonesia, maka pemerintah Indonesia punya kewenangan terlegitimasi untuk menangkapnya.
Hingga saat ini, konsep dasar politik sudah selesai dibahas yaitu power yang turunannya adalah authority (kewenangan), legitimacy (legitimasi), dan legitimate authority (kewenangan terlegitimasi). Sekarang kita masuk pada konsep dasar politik selanjutnya: Orde atau Ketertiban.
Ketertiban (Order)
Apakah order itu ? Order atau ketertiban adalah “ … refers to an existing or desired arrangement of institutions based on certain principles such as liberty, equality, prosperity, and security. Also often associated with the rule of law (as in the phrase “law and order”) and with conservative values such stability, obedience, and respect for legitimate authority).”[4] Order mengacu pada kesepakatan yang ada ataupun dikehendaki secara terlembaa berdasarkan prinsip-prinsip seperti kebebasan, kesetaraan, kesejahteraan, dan keamanan. Juga kerap dihubugkan dengan aturan hukum (seperti dalam frasa “hukum dan ketertiban”) dan dengan nilai-nilai konservatif seperti stabilitas, kepatuhan, dan penghormatan kewenangan yang terlegitimasi.
Ketertiban adalah situasi ekuilibrium (setimbang) antara dua situasi. Situasi pertama adalah hasrat setiap anggota masyarakat untuk menikmati kebebasan, kesetaraan, kesejahteraan, dan keamanan. Situasi kedua adalah konservasi tatanan masyarakat yaitu stabilitas, kepatuhan, dan penghormatan atas kewenangan yang terlegitimasi. Jika hanya situasi pertama yang terpenuhi maka tercipta kondisi anarki (mobokrasi). Jika hanya situasi kedua yang terpenuhi maka tercipta totalitarianisme negara. Keteraturan atau order adalah situasi setimbang antara kedua hal tersebut. David Easton telah menjelaskan lewat teori sistem politik umumnya bahwa sistem politik adalah mirip organisme hidup.[5] Ia harus punya keselarasan antara input (tuntutan dan dukungan), proses tuntutan dan dukungan di “black box” konversi, output (keputusan dan tindakan) yang kemudian dikembalikan lagi kepada publik melalui feedback. Tuntutan dipenuhi oleh situasi pertama (kebebasan, kesetaraan, kesejahteraan, dan keamanan), sementara dukungan dipenuhi oleh situasi kedua (stabilitas, kepatuhan, dan penghormatan atas kewenangan yang terlegitimasi). Hal yang dikehendaki adalah ekuilibriumitas. Dengan ini, sistem politik akan lestari.
Order atau ketertiban diterapkan ke tengah masyarakat. Apakah masyarkat itu? Magstadt di sini mendefinisikannya sebagai “an aggregation of individuals who share a common identity. Usually, because people who live in close proximity often know each other, enjoy shared experiences, speak the same language, and have similar values and interests.” [6] Masyarakat adalah pengempokan individu yang saling berbagi identitas serupa. Biasanya akibat mereka hidup berdekatan dan saling kenal satu sama lain, saling berbagi pengalaman sama, bicara bahasa sama, dan punya nilai-nilai serta kepentingan serupa.
Dalam definisi di atas, masyarakat di dalam negara sifatnya plural. Bahkan di dalam sebuah negara, terdapat masyarakat yang berbeda. Di Indonesia adalah masyarakat petani, nelayan, buruh, pengusaha, guru, mahasiswa, dosen, pengacara, wartawan, makelar saham, pariwisata, tenaga kesehatan, dan masih banyak lainnya. Ini belum termasuk masyarakat yang dibedakan berdasarkan etnisitas seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Sunda, Banten, Papua (terpecah ke dalam suku-suku lagi), ataupun Aceh. Belum lagi unsur agama yang masuk ke sana seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis, Al Irsyad, Rabithah al Alawiyyah, Kongres Wali Gereja, Persekutuan Gereja Indonesia, Perwalian Umat Buddha, ataupun Parisada Hindu. Masyarakat itu sangat kompleks dan inilah yang mendorong equilibriumitas antara situasi pertama dan kedua tidak mudah dicapai oleh sebuah pemerintahan.
Mengenai ketertiban ini, Samuel P. Huntington menyebutnya sebagai political order (tertib politik) yang bergantung pada hubungan antara pembangunan lembaga politik dan mobilisasi kekuatan sosial baru ke dalam politik.[7] Berkurangnya political order adalah akibat merosotnya otoritas (kewenangan), efektivitas, dan legitimasi dari suatu pemerintahan.[8] Francis Fukuyama juga menambahkan bahwa political order memperoleh jaminannya hanya secara kelembagaan yaitu “the state, rule of law, and mechanism of accountability.”[9]
Untuk itulah, sebagai derivasi konsep order atau keteraturan muncul social contract. Apakah social contract itu ? Social contract adalah “a concept in political theory most often associated with Thomas Hobbes, Jean-Jacques Rousseau, and John Locke, the social contract is an implicit agreement among individuals to form a civil society and accept certain moral and political obligations essential to preservation.”[10] Social contract (kontrak sosial) adalah suatu konsep yang kerap dihubungkan dengan Thomas Hobbes, Jean-Jacques Rousseau, dan John Locke, bahwa kontrak sosial adalah kesepakatan implisit di antara para individu untuk mendirikan masyarakat sipil dan menerima kewajiban moral dan politik tertentu yang penting untuk pemeliharaan masyarakat.
Kontrak sosial Indonesia tertuang di dalam Mukadimah UUD 1945, kontrak sosial Amerika Serikat tertuang ke dalam Declaration of Independence dan Bill of Right. Bahkan komunitas politik di zaman Rasulullah (di Madinah) sejak awal telah membuat kontrak sosial yang dikenal sebagai Piagam Madinah. Kontrak sosial selalu tercatat sehingga menjadi acuan pihak yang memberikan kekuasaan (rakyat) dan menerima kekuasaan (pemerintah) sebagai pedoman aksi. Jika salah satu pihak menyalahi ketentuan, maka sanksi akan diberikan, baik itu pada “rakyat” atau “penguasa.” Kontrak sosial inilah upaya penjaminan ekuilibriumitas berhadapan dengan pluralisme di tengah masyarakat seperti telah kami utarakan sebelumnya.
Derivasi lanjutan dari konsep order adalah government (pemerintah), republic (republik), state (negara), dan sovereignty (kedaulatan).[11] Pemerintah adalah “the persons and institutions that make and enforce rules or laws for the larger community.” Republik adalah “a form of government in which sovereignty resides in the people of that country, rather than with the rules. The vast majority of republics today are democratic or representative republics, meaning that sovereign power is exercised by elected representatives who are responsible to the citizenry.” Negara adalah “ … an independent political-administrative unit that successfully claims the allegiance of a given population, exercises a monopoly on the legitimate user of coercive force, and controls the territory inhabited by its citizens or subjects; in its other common form, a state is the major political-administrative subdivision of a federal state.” Terakhir yaitu kedaulatan adalah “a government’s capacity to assert supreme power successfully in a political state.” Kini mari kita membahasnya satu per satu.
Ketertiban adalah konsep pokok. Tanpa ketertiban komunitas tidak akan teratur dan gagal mencapai tujuannya. Untuk itu diperlukan pemerintah sebagai aktor penjamin ketertiban. Pemerintah adalah orang atau lembaga yang menyusun dan melaksanakan aturan atau hukum bagi komunitas yang lebih besar di dalam negara. Jumlah pemerintah pasti lebih kecil dari rakyat, tetapi mereka inilah yang “sibuk” untuk membangun ketertiban di tengah masyarakat, terlebih masyarakat yang plural.
Kelangsungan kerja pemerintah adalah dalam narasi republik. Republik adalah bentuk pemerintahan dengan mana kedaulatan ada di tangan rakyat ketimbang di tangan penguasa. Kini republik-republik di dunia menerapkan demokrasi (RRC adalah republik, tetapi tidak menjalankan demokrasi, demikian pula Korea Utara dan Kuba). Makna republik sendiri adalah kekuasaan berdaulat rakyat tadi dilaksanakan oleh pewakilan terpilih mereka yang bertanggung jawab pada seluruh warganegara.
Konsep republik harus mewujud di sebuah entitas bernama negara. Dalam konteks kedaulatan, negara adalah unit administrasi-politik yang mengklaim beroleh ketaatan dari populasi mereka, memegang hak monopoli secara terlegitimasi guna melakukan kekuatan paksaan, dan mengendalikan teritori yang dihuni oleh warga negara atau subyeknya; dalam bentuk lain, negara adalah administrasi-politik utama dalam sistem federal. Negara adalah unit politik yang dijalankan rodanya oleh pemerintah. Pemerintah (terdiri atas eksekutif, legislatif, dan yudikatif) melakukan hal-hal yang dianggap perlu untuk melakukan paksaan (bahkan dengan ancaman kekuatan) demi memperoleh ketaatan warganegaranya. Negara republik demokrasi dan non demokrasi berbeda dalam hal penggunaan ancaman kekuatan paksaan ini. Bisa dikontraskan antara RRC dan Korea Utara dengan Inggris ataupun Selandia Baru.
Akhirnya tiba di konsep kedaulatan. Kedaulatan adalah kemampuan pemerintah untuk menegaskan kekuasaan tertinggi dalam negara secara politik. Kedaulatan rakyat sudah ditransfer kepada kedaulatan negara. Namun kedaulatan negara sine qua non dengan kedaulatan rakyat. Tidak ada kedaulatan pemerintah tanpa terlebih dahulu warganegara memberikannya.
Keadilan (Justice)
Konsep dasar politik yang ketiga adalah justice atau keadilan. [12] Ini merupakan konsep yang paling sering terlupakan untuk dibahas karena subyektivitasnya. Keadilan adalah “fairness; the distribution of rewards and burdens in society in accordance with what is deserverd.” Keadilan adalah situasi fairness yaitu distribusi reward dan beban di dalam suatu masyarakat sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Jika warganegara menuntut A, maka mereka perlu melakukan B dan pemerintah melakukan C. Jika pemerintah menuntut X, maka mereka perlu melakukan Y dan warganegara melakukan Z.
Mengenai konsep fairness dalam masalah keadilan ini, John Rawls telah membuat tulisan baik berjudul “Theory of Justice.” Rawls menyatakan dua proposisi sehubungan dengan masalah keadilan di dalam negara:
Proposisi pertama menyatakan bahwa “setiap orang punya hak setara dan semaksimal mungkin untuk dipenuhi dalam hal kebebasan asasi yang setara dan cocok dengan sistem kebebasan serupa untuk semua.” Proposisi kedua menyatakan “ketimpangan sosial dan ekonomi harus disikapi sedemikian rupa sehingga keduanya: (a) dapat mencapai keuntungan terbesar bagi yang paling kurang diuntungkan … dan … (b) kesempatan untuk menduduki jabatan publik harus terbuka bagi semua orang di bawah kondisi kelayakan kesetaraan kesempatan.” [13]
Bahwa fairness bagi Rawls adalah semua warganegara punya hak setara dan (kalau bisa) semaksimal mungkin dipenuhi sesuai sistem kebebasan yang berlaku, Kebebasan satu individu tidak boleh melanggar kebebasan individu lain. Masalah lain dalam distribusi keadilan yang disitir Rawls adalah ketimpangan ekonomi dan sosial. Tugas pemerintah adalah sedemikian rupa menguntungkan mereka yang mengalami ketimpangan ini. Syarat Rawls lainnya agar ketimpangan bisa terkurangi adalah kesempatan duduk di jabatan publik yang terbuka sesuai konstitusi.
Hingga kini, masalah keadilan dalam praktek kekuasaan adalah hal yang paling sulit dicapai pemuasannya. Keadilan ini sifatnya resiprokal, satu pihak dipenuhi, pihak lain dirugikan. Demikian pula sebaliknya. Masalah keadilan berlangsung di tengah masyarakat dan antara masyarakat satu dengan lainnya saling bersilangan. Di sinilah posisi pemerintah selaku regulator diharapkan. Namun, posisi pemerintah harus berada di tengah pertentangan kepentingan. Bisa saja pemerintah berpihak, tetapi menurut Rawl harus pada yang mengalami ketimpangan ekonomi dan sosial.
Demikian pembahasan konsep dasar politik yaitu kekuasaan, ketertiban, dan keadilan. Ketiganya saling berhubungan, berkelindan, dan menghadirkan konsep-konsep baru yang kiranya perlu dikuasai para analis dan pelaku politik. Untuk merangkum bahasan ini, saya lengkapi dengan skema pemikiran berikut:
Catatan Kaki
[1] Thomas M. Magstadt, Understanding Politics: Ideas, Institutions & Issues (Belmont: Wadsworth, 2013), p. 3.
[2] ibid., p. 3.
[3] ibid., p. 4.
[4] ibid., p. 5.
[5] Seta Basri, "Pengertian Sistem Politik David Easton dan Gabriel Abraham Almond", Seta Basri Menulis Terus [web blog], 14 April 2012, (diakses 15 Maret 2021).
[6] Magstadt, op.cit., p. 5.
[7] Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Society (New Haven and London: Yale University Press, 1968) p. xix.
[8] ibid., p. 4.
[9] Francis Fukuyama, Political Order and Political Decay: From the Industrial Revolution to the Globalization of Democracy (New York: Farrar, Straus and Giroux). Buku ini adalah lanjutan dari kritiknya atas Samuel P. Huntington dalam Political Order in Changing Society tahun 1968 yang cetak ulangnya juga diberi pengantar oleh Fukuyama.
[10] Magstadt, Understanding ... op.cit., p. 6.
[11] ibid., p. 9-10.
[12] ibid.
[13] Seta Basri, "Kritik atas Demokrasi Liberal", Seta Basri Menulis Terus [web blog], 19 Februari 2021, https://www.setabasri.com/2020/01/kritik-atas-demokrasi-liberal.html, (diakses 15 Maret 2021).
Tags:
Konsep dasar politik kekuasaan (power) ketertiban (order) dan kedaulatan (sovereignty),pemikiran samuel huntington dan francis fukuyama ketertiban politik
0 Komentar
Anonim pun dapat berkomentar. Namun, tentu saja dengan akun pun sangat dipersilakan. Jika sudah klik Publikasikan. Juga pemirsa boleh bersoal/sharing tanggapan. Komentar pemirsa tentu tidak berisi kata atau link yang merujuk pada p*rn*grafi, jud*, *ogel, kekerasan, atau sejenisnya. Terima kasih.