Michael Mann adalah profesor sosiologi di Universitas California, Los Angeles. Dalam bukunya, The Darkside of Democracy: Explain Ethnic Cleansing, [1] Mann menjelaskan bahaya tirani mayoritas atas minoritas lewat Demorasi yang tidak liberal (illiberal Democracy).[2] Demokrasi, terutama proses Demokratisasi kerap bersifat chauvinistik, sebab hanya diberlakukan untuk keunggulan etnis, satu bangsa/negara, dan tidak berlaku bagi etnis atau entitas politik lain di luar suatu kelompok.
Saat ini cukup banyak negara yang menganggap dirinya penganut Demokrasi tetapi justru mempraktekkan kolonialisme dan pembersihan etnis. Mann, kendati tidak menolak Demokrasi tetapi ia mempertanyakan kembali superioritas Demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan. Dalam bukunya ini,
Mann menunjukkan sejumlah peristiwa nyata bernuansa gelap terjadi saat Demokrasi tengah mengalami proses pembentukan. Sebab itu, buku Mann ini penuh aneka peristiwa sejarah seputar pemusnahan etnis, kolonialisasi yang dilakukan oleh negara penganut Demokrasi, dan sisi penting karya Mann ini adalah, memberi kita pertimbangan seputar potensi gelap Demokrasi yang penuh kekerasan yang mematikan. Intinya, Mann melakukan kritisasi bahwa ternyata Demokrasi pun tidak bisa menjadi satu-satunya gantungan dalam menjamin hak paling dasar manusia: Hak hidup.
Buku Mann pun menyediakan kerangka teoretis alternatif dalam menjelaskan tidak hanya penyebab terjadinya pemusnahan etnis, tetapi juga alasan meningkatnya pemusnahan etnis atau pembantaian massal. Buku Mann merupakan suatu upaya konstruktif dalam menjelaskan asal-usul dan eskalasi pemusnahan etnis secara teoretis, dengan memberi fokus pada relasi kekuasan politik di dalam masyarakat.
Bagaimana Kekerasan dapat Terjadi dalam Demokrasi
Pemusnahan etnis, menurut Mann, adalah “hasil kelindan 4 perangkat jaringan kekuasaan yang saling berinterelasi. Keempat perangkat tersebut adalah ideologi, ekonomi, militer, dan politik. Mann berupaya meyakinkan pembaca bahwa “pemusnahan yang disertai pembunuhan adalah hasil dari situasi di mana kelompok yang lebih berkuasa dari dua [atau lebih] etnik bertujuan melegitimasi dan mendirikan negara, sementara kelompok yang lebih lemah dibantu oleh negara lain.”
Mann bersikeras (dan secara hati-hati menekankan) bahwa pemusnahan dengan metode pembunuhan ini sifatnya sungguh moderen. Jadi, pembantaian massal yang menimpa suatu etnis tidak hanya terjadi di era kuno (misalnya saat kaum Frankis membantai penduduk Yerusalem saat Perang Salib I), melainkan pula di era teknologi canggih dan dunia yang semakin terbuka ini. Mann menganggap Demokrasi selalu mengandung potensi kuat terjadinya tirani mayoritas terhadap kaum minoritasnya. Kemungkinan ini potensinya cukup besar di negara yang sifatnya multietnis atau multinasional. Untuk ini, dapat kita ingat konflik Balkan, dengan mana etnis Serbia membantai etnis Bosnia.
Incompetence of Democracy
Sumber Foto:
https://cdn.impakter.com/wp-content/uploads/2019/12/Reserved-for-Voting-sign-August-19-2014-Flickr.jpg
Pada bab 3, Mann mengajukan argumentasi dua versi slogan “We the People” yang kerap muncul di era modernitas. Menurut Mann, satu versi implikasi dari slogan tersebut penekanan yang didasarkan atas liberalisme dan secara tepat diekspresikan di dalam Konstitusi Amerika Serikat. Namun, versi lain dari slogan tersebut sifatnya organis yang dimaknai sebagai ”one nation, one state” dan sifatnya penentuan nasib sendiri bagi suatu etnis. Mann menekankan bahwa terdapat jurang antara teori dan praktek antara versi liberal dan organik dari Demokrasi ini. Jurang inilah yang merupakan asal-usul dari pemusnahan etnis di era modern.
Mann menyebut bahwa pemusnahan etnis bukan monopoli masa lalu. Di era modern, pemusnahan etnis bahkan meningkat eskalasinya. Abad ke-20 ditandai peristiwa pemusnahan etnis yang memakan 70 hingga 100 juta korban. Dengan peralatan perang modern --berbeda dengan peralatan perang masa kuno-- menargetkan populasi sebagai musuh, bukan sekadar kelompok militer musuh saja. Total masyarakat sipil yang yang tewas dalam Perang Dunia I adalah 10% dan jumlah ini meningkat tajam di Perang Dunia II yaitu mencapai 15%. Dan jumlah ini meningkat menjadi 80% di aneka perang dan konflik yang terjadi pada era 1990an.
Mann lalu mengkritik Demokrasi. Jika kita [menurut Mann] mendefinisikan Demokrasi bukan semata masalah elektoral, tetapi juga dalam terminologi rule of law, kemerdekaan berekspresi, dan sejenisnya, maka suatu rezim yang melakukan pemusnahan ataupun pembantaian tidak akan bisa disebut sebagai Demokratis. Sejumlah rezim Demokratis masih melakukan pemusnahan etnis: Namun, Mann juga mengingatkan bahwa semakin baik kualitas para politisi yang mewakili kelompok etnis dominan, makin jarang terjadi pemusnahan etnis. Demikian pula sebaliknya, semakin buruk kualitas politisi yang mewakili kalangan mayoritas di suatu negara, semakin ada kecenderungan terjadinya pemusnahan etnis.
Bagi Mann, intensifikasi dari pembunuhan dalam skala massal atas dasar keanggotaan kelompok etnis berkaitan dengan sesuatu yang salah dalam konsep modernitas, dan tentu saja proses Demokratisasi. Dalam hal modernisasi dan Demokratisasi ini gerakan sosial dominan dalam kolektivitas etnis tertentu mengejar kelompok lain yang hendak melakukan proses serupa tapi di teritori yang sama.
Fakta bahwa mereka mampu membuat klaim yang melegitimasi proyek pembangunan negara yang saling bersaing dan bahwa mereka mampu memobilisasi kelompok individu dalam jumlah besar di seputar proyek tersebut adalah indikator bagaimana masalah ideologi telah merembes ke dalam prinsip kaum modernis yang mengklaim mempraktekkan pemerintahan rakyat Pemerintahan oleh ‘rakyat’, produk langsung era Pencerahan, maknanya kini telah kabur.
Demos kerap dimaknai sebagai etnos dan di mana proyek Demokratisasi cenderung diimplementasikan sebagai homogenisasi etnis. Hubungan intrinsik antara keduanya (demos yang keliru dimaknai sebagai etnos) menciptakan kondisi historis dimana kekerasan oleh kelompok etnis beskala besar. Inilah fakta sisi gelap Demokrasi.
Seluruh konsep normatif seperti Demorasi Liberal, negara kesejahteraan, kesinambungan ekonomi, dan bahkan budaya politik toleran seluruhnya, menurut Mann, dibangun di atas pemusnahan etnis, baik itu pembunuhan massal atau kekerasan yang terlembaga. Sebab itu genosid bukan hanya prerogatif milik otoritarianisme, ia (genosid) kiranya pun muncul di bawah kondisi Demokratisasi dan liberalisasi yang kurang sempurna.
Genosid tahun 1915 atas orang Armenia bukan dieksekusi oleh kuasa otoritarian tetapi oleh kekaisaran Otoman yang multietnis, tepatnya oleh Young Turk, kelompok Turki yang sekuler, mempraktekkan liberalisasi, dan berorientasi Barat. Genosid yang dilakukan oleh Young Turk bukan dilakukan atas nama Tuhan ataupun kebesaran Otoman: Ia dilakukan atas nama nasionalisme etnik moderen.
Bagaimanapun, transformasi rivalitas intra kelompok dari kerusuhan etnis yang sederhana hingga genosid selap dikondisikan oleh transposisi mereka ke level negara-bangsa. Ia terjadi saat suatu negara-bangsa dengan mengalami Demokratisasi. Kerap secara internal terpecah dan teradikalisasi oleh tekanan geopolitik seperti perang, yang mewujud ke dalam peristiwa pembunuhan massal di era moderen. Inilah yang membuat seluruh pihak menjadi prihatin dan menganggap Demokrasi sebagai penyebab. Konteks yang sifatnya struktural ini menciptatakan kondisi dimana tiga tingkat penguatan pemusnahan etnis muncul: elit politik yang teradikalisasi berupaya memaksakan suatu cetak biru negara baru; geng-geng kalangan muda yang militan diorganisir ke dalam formasi paramiliter; dan apa yang Mann sebut sebagai konstituen inti dari etno-nasionalisme yang menyediakan dukungan massal bagi tindakan kekerasan.
Kondisi di Indonesia
Indonesia pasca 1945 banyak dilanda pembunuhan massal, kendati tidak seluruhnya diarahkan pada etnis tertentu. Di Sumatera Timur terjadi Revolusi Sosial, di mana para tuan tanah, priyayi, dan orang-orang pribumi yang bekerja untuk dan bersikap kebarat-baratan dibunuhi. Aktivitas yang sebagian besar dimotori oleh aktivis PKI Ilegal (PKI yang berdiri pasca 1926) dan kemudian diikuti oleh massa melakukan kegiatan ‘balas dendam.’
Peristiwa pembunuhan massal pun kemudian terjadi tahun 1948, di mana Westerling melakukan pembunuhan membabi-buta atas ribuan rakyat di Sulawesi Selatan. Westerling adalah warganegara Belanda dan Belanda saat itu adalah negara Demokrasi. Lalu, saat terjadi peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto terjadi pembunuhan massal atas orang-orang yang diindikasikan merupakan anggota PKI atau yang berhubungan dengannya. Jumlah yang terbunuh di Jawa dan Bali melebihi 500 ribu orang. Namun, apa yang terjadi di Sumatera Timur, Sulawesi Selatan, dan Jawa-Bali bukan merupakan pemusnahan etnis secara khusus, kendati dapat dibedah melalui mata rantai interelasi antara aspek ideologis, ekonomi, militer, dan politik dalam kerangka analitis Mann.
Peristiwa-peristiwa yang disebut di atas terjadi di masa-masa peralihan, di mana terjadi perubahan sistem politik, tidak ada otoritas sentral yang dominan, sehingga aneka kelompok yang relatif kuat dapat mengorganisir diri dan membunuhi lawan ideologisnya secara bebas tanpa penghakiman, seperti membunuhi lalat, nyamuk, tikus, atau hama wereng coklat saja.
Di era Orde Baru, pun terjadi peristiwa pembunuhan (yang kerap terlampau dibesar-besarkan) yaitu tragedi Balibo. Namun, tindakan ini memiliki pembenaran ideologisnya sendiri yaitu upaya pemerintah sah Indonesia mempertahankan wilayah atas kemungkinan upaya separatisme. Kendati demikian, peristiwa tersebut, karena terjadi di suatu rezim yang kuat, tidak mengalami eskalasi. Demikian halnya saat pemberlakuan DOM di Aceh dan kasus separatis di Papua.
Peristiwa pembunuhan massal yang penuh histeria kembali terjadi saat Indonesia mengalami masa peralihan rezim politik. Setelah Suharto mundur dari kekuasaan, terjadi tragedi Mei 1998 di mana yang menjadi sasaran adalah etnis Cina, orang-orang yang dianggap dekat dengan Suharto (tidak banyak).
Di era Indonesia merdeka, baru tahun 1998lah terjadi pembunuhan atas suatu etnis secara khusus. Eskalasi yang lebih besar terjadi manakala Presiden Abdurrahman Wahid memerintah, yaitu terjadi kerusuhan Ambon, Poso, dan Sampit. Di Ambon, pembunuhan atas etnis diselubungi oleh nuansa agama, padahal pada hakikatnya adalah konflik antar elit politik, yang melibatkan peran militer, di mana penduduk asli tertekan oleh etnis pendatang. Hal ini pula terjadi di Poso, di mana terdapat pula nuansa agama di sana, tetapi pula pada hakikatnya adalah masalah marjinalisasi ekonomi penduduk asli yang terdesak oleh pendatang.
Demikian pula yang terjadi di Sampit, di mana dua kelompok etnis yang berbeda (dan beda agama pula) bersatu melawan etnis lain. Jumlah yang tewas dari kerusuhan etnis tersebut membuat jumlah penduduk Indonesia jauh berkurang. Ini dapat menggambarkan betapa dahsyatnya konflik etnis yang bermuara pada pembantaian massal antar etnis.
Buku Mann, dengan demikian, dapat dijadikan sebagai referensi yang baik dalam mengantisipasi aneka potensi pembunuhan massal akibat proses Demokrasi. Dalam Demokratisasi, setiap pihak seberapa kuat atau seberapa lemah pun, berupaya menegaskan keberadaan diri mereka. Saat penegasan keberadaan diri mereka itulah terjadi persinggungan dengan eksistensi kelompok lainnya. Manakala pelembagaan politik masih lemah, maka negosiasi yang dilakukan adalah lewat cara-cara primitif khas evolusi manusia: Pembantaian antar kelompok. [sb]
Catatan Kaki
[1] Michael Mann, The Darkside of Democracy: Explain Ethnic Cleansing (Cambridge: Cambridge University Press, 2005) Bab 3 – 5 .
[2] Itamar Magid, Review – The Darkside of Democracy: Explaining Ethnic Cleansing, Amsterdam Law Forum, Vol. 2:3, July 2010.
0 Komentar
Anonim pun dapat berkomentar. Namun, tentu saja dengan akun pun sangat dipersilakan. Jika sudah klik Publikasikan. Juga pemirsa boleh bersoal/sharing tanggapan. Komentar pemirsa tentu tidak berisi kata atau link yang merujuk pada p*rn*grafi, jud*, *ogel, kekerasan, atau sejenisnya. Terima kasih.